Pilar Etika dalam Hukum Waris Islam
Surah An Nisa (Wanita) merupakan surah yang banyak memuat detail hukum-hukum muamalah, terutama yang berkaitan erat dengan hak-hak kaum lemah, seperti wanita, anak yatim, dan kerabat. Surah ini diturunkan pada periode Madinah, ketika masyarakat Muslim mulai membangun struktur negara yang memerlukan regulasi ketat mengenai keadilan ekonomi dan sosial. Salah satu regulasi paling revolusioner yang diperkenalkan oleh Islam adalah sistem pembagian warisan yang adil dan terperinci, sebuah sistem yang memastikan bahwa harta peninggalan tidak hanya berputar di kalangan segelintir ahli waris utama saja.
Dalam konteks regulasi warisan inilah An Nisa Ayat 8 muncul, menempatkan dimensi etika dan kemanusiaan di atas kalkulasi matematis belaka. Ayat ini bukan sekadar tambahan, melainkan jantung dari filosofi warisan Islam yang mengajarkan bahwa di tengah pembagian harta yang legal dan terhitung, tidak boleh ada pihak yang terlupakan, terpinggirkan, atau merasa diabaikan. Hukum waris (fara'id) adalah ilmu yang pasti, namun Ayat 8 mengingatkan bahwa kepastian hukum harus diiringi oleh kelembutan hati dan kearifan sosial.
Ayat ini berfungsi sebagai jembatan antara keadilan formal (hukum) dan keadilan substansial (etika). Sementara ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya menetapkan siapa yang berhak menerima berapa banyak, Ayat 8 fokus pada mereka yang secara hukum tidak memiliki hak waris, tetapi secara sosial memiliki ikatan kekerabatan atau kebutuhan yang mendesak. Ini adalah prinsip mendasar mengenai kepedulian universal dalam Islam: harta adalah ujian, dan cara kita membagikannya mencerminkan kualitas keimanan kita.
Ayat ini memuat tiga perintah utama yang harus dilaksanakan oleh ahli waris atau pelaksana pembagian warisan ketika proses pembagian sedang berlangsung atau disaksikan oleh orang lain:
Kondisi ini sangat spesifik. Ayat ini tidak mewajibkan ahli waris untuk mencari atau mengundang kerabat non-ahli waris, anak yatim, atau orang miskin. Kewajiban memberi timbul ketika mereka hadir (syahidū) di tempat pembagian harta dilakukan. Kehadiran ini sering kali memicu perasaan sensitif, kecemburuan, atau harapan. Melihat harta yang besar dibagi-bagi sementara mereka sendiri tidak mendapat apa-apa dapat menimbulkan rasa sakit atau terasingkan.
Para mufassir menekankan bahwa kehadiran ini adalah momen ujian. Jika ahli waris gagal menunjukkan kepedulian di hadapan orang-orang yang membutuhkan, perpecahan keluarga dan kebencian sosial dapat terjadi. Tindakan memberi, meskipun kecil, berfungsi sebagai perekat sosial dan penawar hati yang terluka. Para ulama juga menafsirkan 'hadir' sebagai situasi di mana ahli waris mengetahui dengan pasti bahwa ada kerabat yang sangat membutuhkan di sekitar mereka, meskipun tidak hadir fisik, namun berada dalam lingkup pengawasan sosial mereka. Namun, tafsir yang paling kuat tetap pada makna harfiah: saat mereka menyaksikan proses pembagian, yang secara psikologis adalah momen paling krusial.
Kelompok ini adalah fokus utama. Mereka adalah sanak saudara dekat yang tidak berhak mendapatkan warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat (misalnya, cucu terhalang oleh anak kandung, atau paman terhalang oleh anak laki-laki). Secara hukum fiqh, mereka tidak punya bagian. Namun, secara etika, mereka memiliki ikatan darah dan seringkali berpartisipasi dalam kehidupan almarhum. Mereka hadir dan menyaksikan harta peninggalan orang yang mereka cintai dibagi habis oleh orang lain, sementara mereka tidak mendapatkan apa-apa. Memberi mereka bagian menunjukkan penghargaan terhadap ikatan kekerabatan dan mencegah mereka merasa diasingkan dari keluarga besar.
Kehadiran anak yatim dalam pembagian warisan bisa jadi karena mereka adalah kerabat yang terhalang warisan, atau mereka adalah anak yatim dari kerabat lain yang hadir di lokasi. Anak yatim adalah simbol kelemahan dan ketidakberdayaan, dan Islam selalu menekankan perhatian khusus terhadap mereka. Kebaikan yang diberikan kepada mereka pada momen tersebut adalah wujud pengamalan prinsip perlindungan terhadap anak yatim yang diulang-ulang dalam Al-Qur'an.
Orang miskin yang hadir mungkin adalah orang yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali, tetapi berada di lokasi pembagian karena kebetulan atau karena ia adalah tetangga yang membutuhkan. Kehadiran mereka mengingatkan ahli waris bahwa harta yang mereka terima memiliki dimensi sosial yang lebih luas. Warisan, pada hakikatnya, bukan hanya hak pribadi, tetapi juga amanah sosial.
Kata *farzuqūhum* (berilah mereka rezeki) adalah perintah. Ini menunjukkan bahwa ahli waris harus mengeluarkan sebagian kecil dari harta warisan tersebut. Besarnya pemberian (*al-razq*) menjadi perdebatan utama di kalangan ulama:
Terlepas dari perbedaan hukum wajib atau sunnah, semua sepakat bahwa etika Islam menuntut tindakan memberi, karena hal itu membersihkan harta dan jiwa ahli waris dari sifat kikir dan menjaga kemaslahatan umat. Pemberian ini harus dilakukan sebelum pembagian legal sepenuhnya diselesaikan, atau segera setelahnya, dengan mengambil dari bagian yang akan diterima oleh ahli waris, secara proporsional atau sukarela dari salah satu ahli waris yang dermawan.
Bagian kedua dari ayat ini, وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًۭا مَّعْرُوفًۭا (dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik), adalah aspek paling mendasar dari etika sosial dalam Islam. *Qawlan Ma’rūfā* diterjemahkan sebagai perkataan yang pantas, santun, dikenal baik, dan tidak menyakitkan. Perintah ini berlaku universal, tetapi menjadi sangat krusial dalam konteks pembagian harta.
Mengapa perkataan baik ditekankan setelah perintah memberi? Karena terkadang ahli waris mungkin tidak mampu atau tidak mau memberikan harta (rezeki) tersebut. Jika mereka tidak memberi, mereka mutlak wajib untuk berbicara dengan baik. Harta bisa habis, tetapi harga diri seseorang harus dijaga. Bahkan ketika menolak permintaan pemberian, penolakan harus diungkapkan dengan cara yang terhormat.
Ketika kerabat non-ahli waris atau orang miskin hadir, mereka mungkin berharap. Ahli waris yang kikir, atau yang memang tidak mampu memberi, sering kali merespons dengan kata-kata kasar, sombong, atau merendahkan. Mereka bisa berkata: "Ini bukan urusanmu," "Kamu tidak berhak," atau "Mengapa kamu datang ke sini?" Ayat 8 melarang keras sikap ini.
Qawlan Ma’rūfā dalam situasi ini berarti:
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa jika ahli waris menolak memberikan harta, mereka harus mengatakan: "Sesungguhnya harta ini telah dibagi sesuai dengan ketentuan Allah, dan kami telah memberikan hak kepada ahli waris yang wajib. Jika kami memiliki kemampuan, kami akan memberimu lebih banyak." Perkataan seperti ini menjaga kehormatan penerima dan juga menegaskan ketaatan ahli waris terhadap hukum Allah.
Perintah untuk berbicara baik ini bukanlah perintah yang terisolasi. Al-Qur'an berulang kali menekankan pentingnya kualitas perkataan dalam interaksi sosial (*Qawlan Sadīdā*, *Qawlan Karīmā*, *Qawlan Layyinā*). Dalam konteks Ayat 8, *Qawlan Ma’rūfā* adalah manifestasi dari kepedulian sosial yang melampaui batas-batas material. Kelembutan lisan dapat menutupi kekurangan materi. Bahkan jika ahli waris memberi harta yang banyak, jika disertai dengan kata-kata yang menyakitkan, nilai pemberian itu akan hilang (sebagaimana peringatan dalam surah Al-Baqarah tentang membatalkan sedekah dengan mengungkit-ungkitnya).
Sikap sombong, pamer, atau merendahkan adalah penyakit hati yang sering muncul ketika seseorang memperoleh harta besar. Ayat ini adalah pencegahnya. Ahli waris diingatkan bahwa mereka baru saja menerima anugerah, dan anugerah itu harus dibersihkan dengan kebaikan lisan dan tindakan nyata kepada mereka yang kurang beruntung.
Seperti yang telah disinggung, mayoritas fuqaha (ahli fikih) menetapkan bahwa perintah memberi dalam An Nisa Ayat 8 adalah bersifat *mandub* (dianjurkan keras/sunnah mu'akkadah), bukan *wajib* yang membatalkan pembagian warisan jika tidak dilakukan. Ini didasarkan pada prinsip *nasikh-mansukh* (penghapusan hukum) atau *takhsis* (pengkhususan).
Ayat 8 diturunkan sebelum atau bersamaan dengan ayat-ayat warisan yang mematok jatah pasti (misalnya, 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 1/6). Ketika jatah-jatah tersebut telah ditetapkan secara spesifik dan eksplisit, para ulama berpendapat bahwa tidak ada lagi ruang untuk pengurangan wajib di luar wasiat (yang maksimal 1/3) dan hutang. Jika pemberian dalam Ayat 8 ini wajib, maka perhitungan warisan menjadi tidak pasti, yang bertentangan dengan ketetapan Allah dalam ayat-ayat berikutnya (misalnya An Nisa: 11-12) yang diakhiri dengan peringatan keras: "Ini adalah ketentuan-ketentuan Allah."
Namun, meskipun tidak wajib secara hukum formal yang mengikat, Ayat 8 tetap memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam etika dan moral. Para ulama tetap mendorong agar pemberian ini dilakukan, khususnya jika harta warisan itu besar dan mencukupi. Mereka menganggapnya sebagai pelengkap spiritual yang menyempurnakan keabsahan hukum warisan tersebut.
Beberapa ulama, seperti Mujahid dan Qatadah, berpendapat bahwa ayat ini pada awalnya adalah wajib, namun kemudian dihapuskan (dinaskh) oleh Ayat Wasiat (An Nisa: 11) yang membatasi hak pewaris untuk memberikan harta melalui wasiat hanya pada batas 1/3 dari total harta, atau dinaskh oleh ayat-ayat *fara’id* yang menetapkan jatah pasti. Namun, pandangan yang lebih kuat di kalangan ahli tafsir modern (seperti Ar-Razi dan Sayyid Qutb) adalah bahwa Ayat 8 bersifat *muhkam* (kokoh/tidak dihapus), tetapi ia tidak mengatur hukum waris yang wajib, melainkan mengatur *adab* (etika) pembagian harta.
Ayat 8 mengajarkan bahwa jika almarhum tidak berwasiat kepada kerabat non-ahli waris, ahli waris yang hidup harus mengambil inisiatif untuk memberi secara sukarela dari bagian mereka sendiri, demi menjaga silaturahmi. Wasiat hanya mencakup sepertiga harta almarhum, sementara Ayat 8 mendorong ahli waris untuk bersedekah di luar wasiat tersebut, dari bagian yang menjadi hak mereka.
Hikmah terbesar dari An Nisa Ayat 8 adalah pencegahan konflik dan penyembuhan luka batin. Kematian adalah masa duka, tetapi pembagian warisan seringkali menjadi pemicu perpecahan yang lebih besar. Ketika kerabat non-ahli waris melihat jumlah harta yang sangat besar dibagi-bagi, seringkali muncul rasa iri, dengki, dan bahkan permusuhan yang dapat berlangsung turun-temurun. Islam menolak membiarkan perpecahan ini terjadi.
Tindakan memberi, betapapun kecilnya, mengirimkan pesan yang jelas: "Kami mengakui dan menghargai ikatan kita. Meskipun kamu tidak berhak secara hukum waris, kamu tetap bagian dari kami." Pemberian ini meredakan potensi ketegangan, menumbuhkan rasa syukur, dan memastikan bahwa harta yang baru diperoleh tidak menjadi sumber konflik abadi.
Pemberian ini juga menegaskan kembali komitmen keluarga terhadap prinsip Takaful Ijtima’i (tanggung jawab sosial kolektif). Ahli waris yang kaya tidak boleh lupa bahwa kekayaan mereka datang dari Allah, dan mereka memiliki tanggung jawab moral terhadap anggota keluarga yang kurang beruntung.
Perintah untuk mengucapkan *Qawlan Ma’rūfā* (perkataan yang baik) adalah perintah yang memiliki kedalaman luar biasa, yang melampaui konteks warisan. Dalam situasi apa pun di mana seseorang berinteraksi dengan pihak yang lemah, yang membutuhkan, atau yang rentan secara emosional, kebaikan lisan adalah wajib.
Sementara Al-Qur'an menggunakan berbagai istilah untuk perkataan baik (seperti *sadīdā*—benar dan tepat, *layyinā*—lembut, dan *balīghā*—menyentuh), *Ma’rūfā* memiliki konotasi sosial yang kuat. Kata *Ma’rūf* berarti sesuatu yang "dikenal" atau "diakui" sebagai baik oleh akal sehat, syariat, dan adat istiadat yang sehat. Dalam konteks Ayat 8, perkataan yang baik haruslah sesuai dengan:
Ini kontras dengan *Qawlan Karīmā* (perkataan mulia) yang secara spesifik diperintahkan untuk digunakan ketika berbicara dengan orang tua (QS Al-Isra: 23), yang menekankan aspek kemuliaan, penghormatan tertinggi, dan tidak boleh ada bentakan sama sekali. *Qawlan Ma’rūfā* adalah standar kebaikan umum dalam interaksi sosial yang sensitif.
Pembagian warisan terjadi setelah kematian, yang merupakan momen krisis dan duka. Kehadiran kerabat non-ahli waris seringkali dipenuhi dengan rasa kehilangan ganda: kehilangan orang yang dicintai dan kehilangan harapan ekonomi (jika mereka miskin). Kata-kata kasar di momen ini dapat memperparah trauma. *Qawlan Ma’rūfā* berfungsi sebagai peredam emosi dan penyejuk hati.
Bayangkan seorang anak yatim yang melihat paman-pamannya membagi harta peninggalan ayahnya. Jika ia mendekat dan disambut dengan senyum tulus, doa, dan bahkan pemberian kecil, ia akan merasa dihargai. Jika ia disambut dengan cibiran atau kata-kata yang mengusir, luka tersebut dapat membekas seumur hidup. Ayat 8 mengajarkan bahwa warisan bukan hanya soal uang, tetapi juga soal mewariskan kasih sayang dan etika.
Ilustrasi: Keseimbangan antara pemberian materi (tangan) dan kebaikan hati/lisan (hati) saat pembagian harta.
Meskipun sistem warisan Islam bersifat baku, Ayat 8 memberikan fleksibilitas moral dalam manajemen harta peninggalan. Dalam konteks modern, di mana banyak keluarga memiliki aset yang kompleks (bisnis, saham, properti lintas negara), proses pembagian warisan seringkali memerlukan waktu lama dan melibatkan pengacara. Kehadiran kerabat non-ahli waris di sini mungkin tidak selalu fisik di meja notaris, tetapi kehadiran mereka dalam kesadaran ahli waris adalah wajib.
Ahli waris modern dapat menerapkan Ayat 8 dengan:
Penerapan ini mencegah munculnya gugatan hukum yang didorong oleh emosi dan rasa terpinggirkan, serta menjaga citra baik keluarga di mata masyarakat luas.
Ayat 8 memberikan insentif kuat bagi almarhum untuk melakukan wasiat sebelum meninggal, sehingga kerabat non-ahli waris dapat diakomodasi secara legal. Jika almarhum telah berwasiat kepada mereka (maksimal 1/3), maka ahli waris hanya perlu melanjutkan instruksi tersebut dan menambahkannya dengan *Qawlan Ma’rūfā*. Namun, jika wasiat tidak ada, tanggung jawab etika beralih sepenuhnya kepada ahli waris yang menerima harta.
Dalam praktik modern, seorang Muslim yang ingin memastikan Ayat 8 terlaksana dengan baik dapat menggunakan instrumen hibah kepada kerabat non-ahli waris saat ia masih hidup, atau mencantumkan wasiat yang jelas yang mengalokasikan dana bagi mereka. Namun, semangat Ayat 8 adalah bahwa kedermawanan tidak berakhir dengan kematian pewaris; kedermawanan harus dilanjutkan oleh ahli waris sebagai manifestasi iman mereka.
Dalam masyarakat yang semakin individualis, keluarga besar (ulul qurba) sering kali terpecah. Warisan adalah salah satu momen langka di mana seluruh cabang keluarga berkumpul. Jika ahli waris gagal melaksanakan *Farzuqūhum* dan *Qawlan Ma’rūfā*, perpecahan yang terjadi bisa permanen. Ayat 8 adalah seruan untuk melestarikan *silaturahmi* (menyambung tali persaudaraan) bahkan di saat-saat yang paling materialistik sekalipun.
Kebaikan lisan adalah investasi sosial jangka panjang. Perkataan yang baik akan dikenang lebih lama daripada uang yang diberikan. Seorang kerabat yang miskin mungkin membutuhkan uang, tetapi ia lebih membutuhkan pengakuan dan penghormatan dari keluarganya sendiri. Memberi uang tanpa penghormatan adalah sedekah yang sia-sia di mata Allah dan menyakitkan di mata manusia. Memberi penghormatan tanpa uang (jika tidak mampu) adalah kebaikan yang masih bernilai tinggi.
Untuk memahami sepenuhnya bobot etis dari An Nisa Ayat 8, kita perlu terus meninjau elemen-elemennya dalam konteks moralitas universal Islam. Prinsipnya adalah bahwa segala bentuk kekayaan yang datang—baik melalui usaha, hibah, maupun warisan—mengandung hak bagi pihak lain, terutama mereka yang lemah dan dekat secara kekerabatan. Kekayaan bukanlah hak mutlak individu, melainkan amanah yang harus dikelola dengan kearifan ilahiah.
Ketika Allah memerintahkan: *Farzuqūhum minhu* (Berilah mereka rezeki dari harta itu), ini adalah pengakuan ilahi bahwa harta itu sendiri adalah rezeki yang dianugerahkan. Ahli waris adalah penerima rezeki, dan mereka dituntut untuk menjadi penyalur rezeki bagi yang lain. Pemberian ini bukan sekadar sedekah biasa, melainkan sedekah yang berfungsi sebagai pembersih (tazkiyah) bagi harta yang baru diterima. Ahli waris yang menolak memberi, meski mampu, menunjukkan hati yang kikir dan melanggar tujuan moral di balik hukum warisan.
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa pemberian ini adalah bentuk penyucian harta dari potensi keraguan dan potensi kedengkian yang mungkin menyertai pembagian besar. Dengan mengeluarkan sedikit dari harta warisan, ahli waris memohon keberkahan dan melindungi sisa harta dari fitnah dan malapetaka yang sering kali disebabkan oleh perselisihan keluarga atas harta. Jadi, pemberian ini adalah investasi spiritual, bukan sekadar pengeluaran finansial.
Sangat penting untuk dicatat bahwa ayat ini menggabungkan tindakan fisik (*farzuqūhum*) dan tindakan lisan (*qūlū lāhum qawlan ma‘rūfā*) dengan kata sambung “Waw” (dan). Ini menunjukkan bahwa kedua elemen ini tidak dapat dipisahkan. Memberi tanpa kata-kata baik merusak makna kebaikan itu sendiri. Berbicara baik tanpa memberi (jika mampu) mungkin dianggap hipokrit.
Dalam kasus yang paling ideal, ahli waris memberi dengan sukacita dan berbicara dengan penuh kelembutan. Dalam kasus terburuk (misalnya, ahli waris sendiri miskin), mereka wajib memberi kebaikan lisan sebagai pengganti materi. Kebaikan lisan selalu menjadi "bagian" yang wajib dibagikan, terlepas dari kondisi finansial ahli waris.
Ayat 8 mengajarkan bahwa etika komunikasi dan etika finansial harus berjalan seiring. Dalam Islam, kekayaan tidak pernah menjadi alasan untuk bersikap kasar atau sombong. Justru, kekayaan adalah ujian terbesar terhadap kerendahan hati dan kemampuan seseorang untuk berempati terhadap mereka yang kurang beruntung. Orang yang telah meninggal dunia tidak lagi dapat memperbaiki kekurangannya dalam bersedekah atau berwasiat, maka tanggung jawab ini kini beralih kepada ahli waris yang masih hidup.
Fokus utama *ulul qurba* (kerabat) yang tidak mendapat warisan menunjukkan bahwa Allah ingin melindungi struktur keluarga. Hukum *fara’id* (warisan) bersifat adil secara matematis, namun manusia membutuhkan keadilan emosional. Keadilan emosional ini dipenuhi oleh Ayat 8. Jika pembagian harta hanya mengikuti garis hukum yang dingin, tanpa sentuhan kasih sayang dan kelembutan, maka hasil akhirnya adalah keluarga yang kaya tetapi terpecah belah.
Ini adalah pelajaran tentang bagaimana Islam menggabungkan hukum (fiqh) dengan moralitas (akhlak). Hukum memastikan keadilan distribusi; moralitas memastikan keadilan hubungan sosial. Ayat 8 adalah bukti bahwa Islam tidak pernah memisahkan kedua aspek kehidupan ini.
Bahkan ketika harta warisan yang tersisa sangat sedikit, yang mungkin membuat ahli waris merasa bahwa mereka tidak mampu memberikan bagian kepada kerabat non-ahli waris, kewajiban untuk mengucapkan *Qawlan Ma’rūfā* tetap berlaku. Perkataan yang baik memastikan bahwa, meskipun tangan ahli waris kosong, hati mereka tidak kikir.
Diriwayatkan bahwa para Sahabat Nabi sangat memperhatikan pelaksanaan Ayat 8 ini. Mereka memahami bahwa tujuan syariat (Maqasid Syariah) melampaui sekadar kepatuhan formal. Ketika salah seorang Sahabat membagi warisan, mereka selalu memastikan adanya ‘hadiah’ atau *razq* yang dikeluarkan untuk kerabat yang tidak mendapat bagian, bahkan jika mereka hanya memberi kurma atau pakaian bekas, asalkan disertai dengan perkataan yang menghargai. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya mereka mengambil perintah etika ini.
Kesadaran para Sahabat terhadap pentingnya *Qawlan Ma’rūfā* menunjukkan pemahaman mendalam mereka tentang psikologi manusia. Mereka tahu bahwa manusia bisa lebih tersakiti oleh sikap merendahkan daripada oleh kekurangan materi. Oleh karena itu, kebaikan lisan dianggap sebagai sedekah yang tidak memerlukan modal finansial, tetapi memerlukan modal spiritual yang besar: kerendahan hati.
Pemberian kepada anak yatim dan orang miskin yang hadir juga menegaskan bahwa kewajiban sosial melampaui batas keluarga inti. Warisan adalah kekayaan yang diwariskan oleh orang yang telah tiada, menjadikannya kesempatan unik bagi yang hidup untuk beramal jariyah atas nama almarhum, sekaligus memperbaiki kondisi sosial di sekitar mereka.
An Nisa Ayat 8 secara keseluruhan adalah piagam etika yang mengajarkan bahwa setiap tindakan legal yang berhubungan dengan harta harus dibingkai dalam kasih sayang, empati, dan penghormatan. Ini adalah penyeimbang spiritual terhadap perhitungan matematis yang ketat dari ilmu *Fara'id*.
Surah An Nisa Ayat 8 adalah salah satu ayat terpenting yang menjelaskan filosofi warisan dalam Islam. Ia menetapkan bahwa pembagian harta peninggalan tidak boleh menjadi urusan yang kering dan hanya berdasarkan angka-angka legal. Sebaliknya, ia harus menjadi momen introspeksi, kedermawanan, dan penguatan ikatan sosial.
Perintah untuk memberi (*Farzuqūhum*) kepada kerabat non-ahli waris, anak yatim, dan orang miskin, meskipun mayoritas ulama menafsirkannya sebagai sunnah yang sangat dianjurkan, menunjukkan bahwa ahli waris dituntut untuk melampaui batas kewajiban hukum demi mencapai kesempurnaan moral. Pemberian ini berfungsi sebagai kompensasi emosional dan sosial.
Lebih lanjut, perintah untuk mengucapkan perkataan yang baik (*Qawlan Ma’rūfā*) adalah kewajiban abadi yang harus dipraktikkan, terlepas dari kemampuan finansial untuk memberi. Kebaikan lisan adalah fondasi adab dalam Islam. Dalam konteks warisan, kebaikan lisan mencegah perpecahan, menyembuhkan hati yang terluka, dan memastikan bahwa kekayaan yang diperoleh membawa berkah, bukan bencana perpecahan keluarga.
An Nisa Ayat 8 merupakan pengingat abadi bahwa harta, bagaimanapun besarnya, harus dikelola dengan hati yang bertakwa. Keadilan sejati dalam warisan dicapai ketika hukum (fara'id) ditegakkan, dan pada saat yang sama, etika (akhlak) dan kasih sayang (rahmah) dipertahankan.