Surah Al-Baqarah Ayat 260 merupakan salah satu permata teologis dalam Al-Quran yang menawarkan pelajaran fundamental mengenai kepastian Yaumul Qiyamah (Hari Kebangkitan) dan kesempurnaan kekuasaan Allah SWT. Ayat ini, yang menarasikan permohonan Nabi Ibrahim (Abraham) AS kepada Tuhannya, bukanlah catatan tentang keraguan, melainkan sebuah pencarian mendalam menuju tingkat Yaqin (kepastian iman) yang paling tinggi—dari ilmu yang pasti (ilmul yaqin) menuju penglihatan yang pasti (ainul yaqin).
Kisah ini datang setelah serangkaian ayat dalam Al-Baqarah yang menekankan pentingnya infaq (sedekah), keadilan, dan demonstrasi keajaiban Ilahi melalui kisah-kisah kebangkitan lain, seperti kisah Uzair (Ayat 259). Konteksnya menempatkan keyakinan pada Kebangkitan sebagai pilar utama yang mendukung seluruh sistem moral dan spiritual Islam, menjadikannya kunci untuk memahami tanggung jawab manusia di dunia ini.
Ayat ini adalah dialog singkat namun padat yang memuat seluruh spektrum teologi Islam mengenai Qudratullah (Kekuasaan Allah) dan pentingnya kepastian hati dalam beriman. Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah setiap elemen naratif dan linguistiknya.
Ketika Allah berfirman, "أَوَلَمْ تُؤْمِن" (A wa lam tu'min - Belum yakinkah engkau?), respon Ibrahim adalah "بَلَىٰ" (Balaa - Tentu saja aku yakin). Para ulama tafsir sepakat bahwa pertanyaan Ibrahim bukanlah indikasi keraguan (shakk) terhadap kekuasaan Allah atau janji kebangkitan. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir, para nabi adalah manusia yang paling tinggi derajat imannya.
Pertanyaan Ibrahim adalah pencarian Ainul Yaqin (Kepastian Penglihatan) setelah mencapai Ilmul Yaqin (Kepastian Pengetahuan). Ibrahim sudah tahu secara konseptual bahwa Allah mampu menghidupkan yang mati. Namun, melihat proses tersebut secara fisik, dengan mata kepala sendiri, akan membawa ketenangan (liyatma'inna qalbi) yang tak tertandingi.
Konsep Ithmi’nan al-Qalb (Ketenangan Hati) yang diminta Ibrahim menunjukkan bahwa iman tertinggi tidak hanya terletak pada penerimaan akal, tetapi juga pada kedamaian jiwa yang dicapai melalui observasi langsung dari mukjizat Ilahi. Ketenangan ini sangat penting bagi Ibrahim sebagai Khalilullah (Kekasih Allah) yang akan menghadapi berbagai ujian besar, termasuk menyembelih putranya dan mendirikan Ka'bah.
Permintaan Ibrahim berpusat pada kata kunci Kaifa (Bagaimana). Dia tidak bertanya "هل" (Hal - Apakah), yang menunjukkan keraguan tentang *kemungkinan* kebangkitan. Sebaliknya, dia bertanya tentang *metode* atau *cara* pelaksanaannya. Ini adalah permintaan untuk memahami mekanisme kekuasaan Allah, bukan validitasnya. Ini menunjukkan rasa haus akan ilmu dan kejelasan yang dimiliki oleh para nabi.
Kata Tuhyi (Engkau menghidupkan) mengandung akar kata hayat (hidup). Ini kontras dengan penciptaan awal. Allah menunjukkan bahwa jika Dia mampu mengembalikan kehidupan ke dalam materi yang telah terpisah dan tercampur, maka mengembalikan roh ke dalam jasad yang terkubur adalah hal yang jauh lebih mudah bagi-Nya.
Allah SWT memerintahkan Ibrahim untuk melakukan serangkaian langkah yang terperinci dan logis untuk menunjukkan keajaiban kebangkitan. Proses ini dirancang untuk menghilangkan setiap kemungkinan keraguan rasional, baik bagi Ibrahim maupun bagi siapa saja yang merenungkan kisah ini.
Perintah pertama adalah "فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ" (Ambillah empat ekor burung). Para ulama tafsir memberikan berbagai pandangan mengenai jenis burung ini. Meskipun Al-Quran tidak merincinya, beberapa riwayat menyebutkan jenis-jenis burung yang berbeda, seperti merpati, ayam jantan, merak, dan gagak. Yang penting bukanlah jenisnya, melainkan proses yang akan terjadi pada mereka.
Langkah pertama Ibrahim adalah memastikan ia benar-benar mengenali burung-burung tersebut, mungkin dengan memberinya makan atau melatihnya, sehingga ketika burung-burung itu kembali, ia yakin bahwa itu adalah entitas yang sama persis.
Perintah selanjutnya, Faṣur hunna ilayk (lalu cincanglah semuanya olehmu), adalah perintah yang krusial. Kata ṣur memiliki beberapa penafsiran:
Penafsiran pertama (memotong-motong) adalah yang paling diterima karena paling dramatis menunjukkan kekuatan kebangkitan. Setelah dicincang, Ibrahim mencampur daging, bulu, dan tulang-belulang burung menjadi satu adonan.
Ibrahim kemudian diperintahkan untuk meletakkan "جُزْءًا" (satu bagian) dari campuran tersebut di atas setiap bukit. Jumlah bukit yang dipilih adalah empat, sesuai dengan jumlah burung. Penempatan di bukit, yang merupakan lokasi terpisah dan jauh dari Ibrahim, memastikan bahwa proses kebangkitan bersifat murni Ilahi, tanpa campur tangan manusia.
Para ulama seperti Al-Qurtubi menekankan bahwa pemilihan bukit menunjukkan pemisahan total materi. Angin mungkin menerbangkan bagian-bagian kecil, memastikan bahwa partikel-partikel kehidupan terdistribusi secara luas dan bercampur baur dengan lingkungan alam, menjadikan penyatuan kembali mustahil bagi siapa pun kecuali Pencipta.
Puncak mukjizat terjadi ketika Ibrahim diperintahkan, "ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا" (kemudian panggillah ia, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera). Ketika Ibrahim memanggil, partikel-partikel yang tersebar itu mulai berkumpul, tulang-belulang menyatu, daging tumbuh, bulu menutupi tubuh, dan burung-burung itu hidup kembali, terbang menuju Ibrahim dalam keadaan utuh.
Kata Sa'yan (dengan segera/berlari) menunjukkan kecepatan dan kepatuhan mutlak burung-burung yang telah dihidupkan kembali. Mereka datang sebagai respons langsung terhadap panggilan nabi yang didukung oleh Kekuasaan Ilahi. Ini menunjukkan bahwa materi, betapa pun hancur dan terpecahnya, akan patuh sepenuhnya pada perintah Allah di Hari Kebangkitan.
Para mufassir (penafsir) sepanjang sejarah Islam telah memberikan perhatian besar pada Al-Baqarah 260 karena posisinya yang strategis dalam babak pembuktian keesaan dan kekuasaan Allah. Diskusi tafsir tidak hanya berputar pada narasi, tetapi juga pada implikasi teologisnya.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya seringkali merujuk pada riwayat-riwayat (atsar) yang menjelaskan rincian yang tidak disebutkan dalam Al-Quran. Ia menegaskan bahwa tujuan utama mukjizat ini adalah untuk memberikan demonstrasi visual yang tak terbantahkan. Ibnu Katsir menempatkan kisah ini dalam rangkaian tiga demonstrasi kebangkitan dalam Surah Al-Baqarah:
Menurut Ibnu Katsir, setelah melihat burung-burung itu datang kembali, Ibrahim mencapai tingkat ainul yaqin yang diinginkannya, dan ia memuji Allah atas keagungan-Nya.
Imam Al-Qurtubi, seorang ahli fiqih dan tafsir, membahas hikmah di balik perintah mencincang. Ia menjelaskan bahwa jika burung-burung itu hanya dimatikan dan diletakkan utuh, kebangkitannya mungkin masih meninggalkan celah keraguan (mungkin hanya tidur atau koma). Namun, dengan mencincang dan mencampur materi, Allah menghilangkan segala kemungkinan keraguan rasional, menegaskan bahwa kekuasaan-Nya melampaui hukum fisika yang paling dasar.
Al-Qurtubi juga menyoroti penutup ayat: "وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ" (Dan ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana). Ayat penutup ini berfungsi sebagai penegasan teologis:
Imam At-Tabari, dalam ensiklopedia tafsirnya yang masif, mencatat adanya perbedaan pendapat minor tentang makna *shur hunna*. Meskipun mayoritas mengartikannya sebagai 'cincang', ada riwayat yang menyebutkan bahwa *shur hunna* berarti 'memotong kepala' atau 'membagi tubuhnya tanpa mencincang secara halus'. Namun, At-Tabari menyimpulkan bahwa konteks paling kuat dan paling sesuai dengan tujuan demonstrasi adalah interpretasi pencampuran dan penghancuran total, karena inilah yang benar-benar mustahil bagi makhluk, tetapi mudah bagi Allah.
Ayat 260 bukan hanya sebuah kisah; ia adalah batu uji (touchstone) untuk memahami hubungan antara iman, akal, dan penglihatan. Ayat ini memberikan kerangka teologis yang komprehensif mengenai sifat keyakinan yang diinginkan Islam.
Para sufi dan ahli teologi membagi Yaqin menjadi tiga tingkatan, yang semuanya relevan dalam kisah ini:
Permintaan Ibrahim mengajarkan bahwa mencari bukti bukanlah aib; sebaliknya, itu adalah sifat mulia yang dimiliki oleh para pencari kebenaran. Peningkatan kepastian akan memperkuat ketahanan spiritual dalam menghadapi tantangan dakwah.
Mukjizat empat burung ini memberikan bantahan mutlak terhadap pandangan materialistik yang membatasi kehidupan hanya pada proses kimia-biologi. Jika kebangkitan hanya mengandalkan hukum fisika, menyatukan kembali partikel yang telah tercerai-berai dan dicampur dengan tanah (atau materi lain) adalah hal yang mustahil secara statistik maupun kausalitas alam.
Kisah ini menegaskan konsep Khalaq (Penciptaan) dan Ihya (Menghidupkan Kembali). Bagi Allah, menghidupkan kembali partikel yang telah tercampur sama sekali tidak berbeda dengan penciptaan awal. Allah menunjukkan bahwa Dia bukan sekadar pengatur alam semesta (Deus Ex Machina), tetapi Pemilik dan Penguasa absolut yang dapat mengubah atau menangguhkan hukum alam kapan pun Dia berkehendak. Kekuasaan ini adalah esensi dari tauhid uluhiyah dan rububiyah.
Penting untuk melihat Al-Baqarah 260 bukan sebagai peristiwa tunggal, melainkan sebagai persiapan psikologis dan spiritual bagi Ibrahim AS untuk misi-misi agungnya di masa depan. Ketenangan hati yang ia dapatkan adalah modal tak ternilai.
Ayat ini sering dikaitkan dengan dialog Ibrahim sebelumnya dengan Raja Namrudz (disebutkan secara implisit dalam 2:258), di mana Ibrahim menggunakan kekuasaan Allah atas kehidupan dan kematian sebagai argumen utama: "Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan." Ketika Namrudz mengklaim bisa melakukan hal yang sama (dengan membebaskan tahanan dan mengeksekusi yang lain), Ibrahim mengalihkan argumennya ke kekuasaan Allah atas alam semesta (matahari terbit dari Timur). Namun, kisah empat burung ini memberikan Ibrahim bukti empiris yang lebih kuat mengenai klaim awalnya.
Tingkat Yaqin yang dicapai Ibrahim setelah mukjizat burung sangat penting ketika Allah mengujinya dengan perintah yang secara lahiriah tampak tidak masuk akal dan brutal: mengorbankan putranya, Ismail. Hanya seorang nabi dengan kepastian mutlak (Ainul Yaqin) mengenai hikmah dan kekuasaan Tuhannya yang mampu melaksanakan perintah tersebut tanpa ragu, knowing full well bahwa Allah mampu mengembalikan kehidupan atau memberikan kompensasi yang tak terhingga.
Meskipun kisah ini terjadi ribuan tahun lalu, pelajarannya tetap abadi dan relevan, terutama di era modern yang didominasi oleh sains dan skeptisisme.
Di era di mana banyak orang mempertanyakan konsep kebangkitan berdasarkan termodinamika dan peluruhan materi, kisah ini berfungsi sebagai pengingat teologis. Sains mungkin mampu menjelaskan *cara* kerja alam semesta saat ini, tetapi ia tidak dapat membatasi kekuasaan Pencipta alam semesta. Al-Baqarah 260 adalah argumen bahwa batas-batas sains hanyalah manifestasi dari hukum yang ditetapkan Allah; Dia bebas untuk melampaui manifestasi tersebut kapan pun Dia mau.
Bagi para da'i dan pendidik, kisah Ibrahim adalah pelajaran tentang perlunya kepastian diri. Seseorang tidak dapat meyakinkan orang lain tentang kebenaran yang mendasar seperti kebangkitan jika hati mereka sendiri tidak sepenuhnya tenang. Meminta bukti dan merenungkan tanda-tanda (Ayat) adalah cara untuk memperkuat pondasi dakwah.
Di tingkat spiritual individu, pemahaman mendalam tentang ayat ini menghilangkan ketakutan berlebihan terhadap kematian dan kehancuran fisik. Kehidupan setelah mati bukanlah sekadar harapan; itu adalah kepastian, karena Allah telah menunjukkan demonstrasi reorganisasi partikel yang paling mustahil.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dikehendaki oleh artikel ini, kita perlu membedah struktur sintaksis (I'rab) dari ayat ini, yang penuh dengan ketelitian linguistik.
Ayat dimulai dengan Wa idh (Dan ingatlah ketika). Penggunaan idh (ketika) di awal sebuah kisah dalam Al-Quran berfungsi untuk menarik perhatian pendengar ke masa lampau yang penting dan relevan. Ini adalah instruksi langsung kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya untuk merenungkan peristiwa bersejarah ini, menekankan bahwa kisah ini adalah bagian integral dari narasi iman.
Allah menggunakan struktur pertanyaan negatif dalam jawaban-Nya: "أَوَلَمْ تُؤْمِن" (A-walam tu'min?). Struktur ini dalam bahasa Arab digunakan untuk konfirmasi, bukan interogasi murni. Itu berarti, "Bukankah engkau sudah beriman? Jawabannya harus 'ya'.” Allah mengetahui iman Ibrahim, tetapi Dia meminta Ibrahim untuk mengkonfirmasi status imannya sebelum memberikan anugerah Ainul Yaqin.
Kalimat ini menggunakan lam al-ta'lil (lam yang menunjukkan alasan): agar hatiku tenang. Akar kata ṭam'ana berarti menetap, stabil, atau damai. Ini menunjukkan bahwa yang dicari Ibrahim adalah stabilitas batin yang sempurna. Hati (qalb) adalah pusat kesadaran, kehendak, dan iman. Menenangkan hati berarti menghilangkan segala bentuk kekacauan atau potensi keraguan yang mungkin muncul akibat tekanan dakwah atau skeptisisme lingkungan.
Jawaban Allah adalah serangkaian perintah berurutan yang dimulai dengan fa (maka/segera). Struktur ini menekankan tindakan segera dan logis: 1. Ambil (Burung) 2. Cincang/Satukan (Burung) 3. Letakkan (di Bukit) 4. Panggil (Burung) 5. Mereka Datang (Sa’yan) Urutan yang ketat ini menunjukkan bahwa mukjizat bukanlah sihir atau kebetulan, melainkan hasil dari kalamullah (firman Allah) yang bersifat kausalitas mutlak, di mana perintah-Nya adalah realitas.
Di luar demonstrasi fisik, kisah ini mengandung hikmah spiritual yang mendalam tentang bagaimana seorang mukmin harus mendekati pengetahuan tentang yang gaib (al-Ghayb).
Ibrahim mengajarkan bahwa ilmu yang didapat dari wahyu harus dicari manifestasinya dalam dunia nyata, jika dimungkinkan oleh Allah. Ketika seorang mukmin dapat menghubungkan pengetahuan teologis (bahwa Allah Maha Kuasa) dengan observasi empiris (tanda-tanda kekuasaan-Nya), imannya menjadi lebih kokoh dan tak tergoyahkan.
Dalam konteks modern, ini dapat diartikan sebagai dorongan untuk tidak hanya membaca tentang kebesaran Allah, tetapi juga untuk merenungkan ciptaan-Nya (kosmologi, biologi, sejarah) sebagai bukti nyata yang memperkuat keyakinan dasar.
Peristiwa kebangkitan burung adalah pengakuan total Ibrahim atas keterbatasan dirinya sebagai manusia, bahkan sebagai seorang nabi. Meskipun ia memiliki ilmu, ia membutuhkan penyaksian visual untuk mencapai ketenangan sempurna. Ini adalah kerendahan hati (tawadhu') yang mengakui bahwa kesempurnaan keyakinan (Yaqin) adalah anugerah, bukan pencapaian semata.
Kisah ini menghibur kita semua. Jika Nabi Ibrahim, sang kekasih Allah, merasa perlu meminta bukti tambahan untuk ketenangan hatinya, maka wajar bagi manusia biasa untuk mencari tanda-tanda yang menguatkan iman mereka, selama pencarian itu dilakukan dengan niat tulus untuk meningkatkan ibadah, bukan untuk menantang Tuhan.
Mengapa Allah memilih empat burung? Beberapa ulama spiritual (Sufi) menafsirkan empat burung tersebut sebagai simbol empat sifat buruk atau empat nafsu yang harus ‘dimatikan’ dan ‘dihancurkan’ oleh seorang salik (penempuh jalan spiritual) sebelum ia dapat mencapai Yaqin dan ketenangan hati.
Meskipun ini adalah interpretasi isyarat (simbolik) dan bukan tafsir literal, ia menawarkan pelajaran moral yang kuat. Empat sifat yang sering dikaitkan adalah:
Dalam penafsiran ini, perintah untuk mencincang burung-burung itu adalah metafora untuk menghancurkan dominasi sifat-sifat buruk tersebut, menempatkan sisa-sisanya (juz'an) di tempat terpisah (latihan spiritual), dan kemudian memanggil jiwa (ruh) yang suci untuk datang kembali dengan segera, dalam keadaan damai dan patuh kepada Allah.
Surah Al-Baqarah adalah surah Madaniyah yang padat berisi hukum-hukum, etika perang, muamalah (transaksi), dan demonstrasi keimanan. Ayat 260 ditempatkan dalam blok ayat (258–260) yang berfokus pada bukti-bukti kekuasaan Allah, yang didahului oleh ayat kursi (2:255).
Penempatan kisah Ibrahim di sini berfungsi untuk menghubungkan keyakinan spiritual dengan praktik sosial. Bagaimana cara seorang mukmin dapat memberikan infaq (sedekah) dengan tulus jika ia tidak yakin akan adanya Hari Perhitungan? Bagaimana ia bisa berperang di jalan Allah dengan jiwa yang damai jika ia ragu akan janji kebangkitan?
Dengan membuktikan secara visual kekuasaan Allah untuk menyatukan kembali materi yang terpecah, ayat ini memberikan fondasi teologis yang kuat untuk melaksanakan semua perintah lainnya dalam surah tersebut, dari urusan finansial hingga urusan pengorbanan jiwa.
Penutup ayat ini—"واعلم أن الله عزيز حكيم"—bukanlah sekadar penutup, melainkan janji dan jaminan. Kebangkitan adalah keniscayaan yang didukung oleh dua sifat mutlak Allah:
1. Al-Aziz (Yang Maha Kuat, Yang Tak Terkalahkan): Tidak ada kekuatan di alam semesta yang dapat menghalangi kehendak-Nya untuk membangkitkan yang mati. Bahkan hukum entropi dan peluruhan, yang bagi manusia adalah batas akhir, tunduk pada keperkasaan-Nya.
2. Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana): Tindakan menghidupkan kembali makhluk yang mati bukanlah tindakan acak. Itu adalah bagian dari kebijaksanaan kosmik untuk menegakkan keadilan mutlak dan memberikan balasan yang sesuai bagi setiap jiwa. Jika tidak ada kebangkitan, maka kehidupan ini tidak adil, dan itu bertentangan dengan hikmah Allah.
Dengan demikian, kisah empat burung ini adalah pelajaran paling padat tentang bagaimana Yaqin harus diperjuangkan. Bukan hanya melalui logika, tetapi juga melalui pengalaman spiritual yang mendalam, yang pada akhirnya membawa ketenangan tak terlukiskan ke dalam hati setiap hamba yang mencari kebenaran.
Kisah Nabi Ibrahim, sang Bapak Para Nabi, yang mencari ketenangan hati melalui bukti empiris adalah cerminan dari kemanusiaan yang agung. Ia mengajarkan kepada kita bahwa perjalanan iman adalah perjalanan yang terus-menerus mencari peningkatan, dari pengetahuan akal menuju kepastian mata, yang akhirnya berujung pada kedamaian jiwa abadi di hadapan Kekuasaan Ilahi yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Dengan merenungkan setiap detail dalam Al-Baqarah 260, seorang mukmin diajak untuk memvisualisasikan Hari Kebangkitan, di mana setiap partikel akan kembali ke asalnya, dan setiap jiwa akan patuh, datang "سعيا" (dengan segera) menjawab panggilan Tuhan Semesta Alam. Inilah warisan terbesar dari dialog suci antara Nabi Ibrahim dan Tuhannya.
Pendalaman lebih lanjut terhadap detail linguistik dan teologis ayat 260 mengungkap kekayaan makna yang berlapis. Fokus pada kata sa'yan (سَعْيًا) dan implikasi perintah fashur hunna (فَصُرْهُنَّ) adalah kunci untuk memahami keagungan mukjizat ini.
Kata sa'yan sering diterjemahkan sebagai 'dengan segera' atau 'berlari'. Dalam konteks kebangkitan ini, kata tersebut memiliki makna ganda:
Perbedaan ini penting. Jika burung-burung itu datang hanya dengan terbang biasa, efek keajaibannya akan berkurang. Tetapi mereka datang dengan *sa'yan*, seolah didorong oleh kehendak yang tak terbendung, menekankan bahwa kekuasaan Allah meresap hingga ke tingkat terkecil dari eksistensi, memaksa materi yang sebelumnya mati untuk bergerak secara aktif dan sukarela menuju kehidupan baru.
Para filosof Islam klasik, ketika membahas ayat ini, sering membandingkannya dengan teori atomisme (jika ada) dan komposisi materi. Proses fashur hunna memastikan bahwa tidak hanya burung-burung itu mati, tetapi identitas kolektif mereka juga hancur lebur. Tidak ada satu pun tulang, bulu, atau otot yang tetap berada dalam posisi yang memungkinkannya dikenali sebagai bagian dari burung A, B, C, atau D. Mereka semua tercampur menjadi satu massa.
Jika Allah hanya memerintahkan mereka untuk hidup kembali tanpa mencampur partikel-partikel tersebut, seseorang mungkin berargumen bahwa ada sisa 'pola' kehidupan yang masih utuh. Namun, dengan pencampuran dan pemisahan geografis di atas bukit, Allah menunjukkan kemampuan-Nya untuk menciptakan kembali pola kehidupan individu dari kekacauan total (chaos), menjamin bahwa kebangkitan adalah tindakan penciptaan ulang yang lengkap, bukan sekadar penyembuhan.
Kisah ini memposisikan Ibrahim bukan hanya sebagai nabi yang menerima wahyu, tetapi sebagai hanif (pencari kebenaran murni) yang menggunakan akal dan inderanya untuk mengkonfirmasi kebenaran spiritual. Ini adalah model ideal bagi umat Islam: menggunakan karunia akal yang diberikan Allah untuk memperkuat, bukan untuk melemahkan, iman.
Permintaan Ibrahim adalah sebuah doa yang diizinkan dan dikabulkan oleh Allah, menandakan bahwa eksplorasi spiritual yang tulus, meskipun melibatkan pertanyaan tentang hal gaib, adalah terpuji di sisi-Nya, selama ia dimotivasi oleh cinta dan keinginan untuk ketenangan hati (ithmi’nan).
Dalam refleksi akhir, Al-Baqarah 260 berdiri sebagai monumen kekuasaan Ilahi. Ini adalah jembatan yang menghubungkan keyakinan rasional (ilm) dengan kepastian visual (ain), membuktikan bahwa batas antara hidup dan mati, antara yang mungkin dan yang mustahil, hanyalah garis yang ditarik oleh kehendak Allah SWT, Dzat Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Setiap detail—dari kata tanya 'bagaimana' (kaifa) hingga respons 'agar hatiku tenang' (liyatma'inna qalbi) dan kecepatan 'segera' (sa'yan)—adalah komponen penting dalam pelajaran abadi mengenai tauhid yang sempurna.