An-Nisa Ayat 135: Pilar Keadilan Mutlak dalam Bingkai Ilahi

Pendahuluan: Fondasi Etika Keadilan

Di antara ayat-ayat Al-Qur'an yang membentuk fondasi etika dan jurisprudensi Islam, Surah An-Nisa ayat 135 berdiri tegak sebagai perintah yang paling menuntut dan paling mendasar mengenai sifat keadilan. Ayat ini tidak sekadar memerintahkan keadilan, tetapi menuntut umat Islam untuk menjadi **penegak keadilan yang teguh** (Qawwamina bil-Qist), sebuah status yang hanya bisa dicapai melalui pengorbanan ikatan emosional dan kepentingan pribadi yang paling mendasar.

Perintah ini membawa konsekuensi moral yang sangat berat: keadilan harus ditegakkan tanpa kompromi, bahkan jika hal itu merugikan diri sendiri, orang tua, atau kerabat terdekat. Ini adalah ujian keimanan yang sesungguhnya, memisahkan mereka yang mengklaim beriman dari mereka yang benar-benar mewujudkan esensi ketundukan kepada Allah SWT. Ayat 135 menjadi cetak biru bagi sistem peradilan yang ideal, tata kelola negara yang adil, dan yang terpenting, moralitas individu yang tak tercela.

Dalam analisis ini, kita akan menyelami setiap frasa dari ayat yang monumental ini, mengeksplorasi kedalaman linguistiknya, konteks historisnya, serta implikasi sosial, hukum, dan spiritualnya yang tak lekang oleh waktu. Tujuan akhir dari pembahasan panjang ini adalah untuk memahami mengapa Allah menempatkan keadilan sebagai prasyarat keberlangsungan masyarakat beriman, dan mengapa menegakkannya merupakan bentuk kesaksian tertinggi kepada-Nya.

Teks Ayat dan Makna Literal

Surah An-Nisa (Wanita), Ayat 135:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَن تَعْدِلُوا ۚ وَإِن تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Terjemahan Resmi Bahasa Indonesia

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa: 135)

Analisis Linguistik Mendalam terhadap Frasa Kunci

1. Qawwamina bil-Qist (Penegak Keadilan yang Teguh)

Kata kunci pertama adalah قَوَّامِينَ (Qawwamina). Ini adalah bentuk superlatif (sighah mubalaghah) dari akar kata kerja *qama* (berdiri). Jika perintahnya hanya menggunakan kata kerja biasa ('Uqimu), itu berarti "dirikanlah keadilan." Namun, penggunaan *Qawwamina* menyiratkan intensitas dan konsistensi yang luar biasa. Ini berarti: jadilah orang-orang yang memiliki sifat dasar dan permanen sebagai penegak keadilan. Mereka bukan hanya adil sesekali, tetapi mereka adalah orang-orang yang senantiasa, secara teguh, dan secara proaktif berdiri untuk keadilan.

Kata kedua, الْقِسْطِ (Al-Qist), sering disamakan dengan *Al-Adl* (keadilan). Namun, dalam banyak konteks, Al-Qist membawa makna yang lebih spesifik, yaitu **keseimbangan, bagian yang adil, atau ekuitas**. Keadilan (*Adl*) bisa berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya, tetapi *Qist* lebih menekankan pembagian yang merata dan penyeimbangan yang benar. Menjadi *Qawwamina bil-Qist* berarti menjadi arsitek dan penjaga keseimbangan moral dan sosial yang berkelanjutan.

2. Syuhada’a lillah (Menjadi Saksi Karena Allah)

Perintah berikutnya mengikat keadilan pada tujuan ilahiah. Menjadi شُهَدَاءَ (Syuhada’a) berarti menjadi saksi. Kesaksian dalam Islam adalah ibadah yang sangat serius; ia harus berdasarkan fakta dan kebenaran, bukan dugaan atau kepentingan. Penambahan لِلَّهِ (lillah) – karena Allah – mengubah kesaksian dari tugas sipil menjadi kewajiban teologis. Ini menegaskan bahwa motivasi utama dalam mencari dan menyampaikan kebenaran bukanlah demi ketenangan komunitas, kepentingan pribadi, atau bahkan untuk kebenaran itu sendiri, tetapi semata-mata demi memenuhi perintah Allah.

Implikasi dari *Syuhada’a lillah* sangat besar: jika kesaksian Anda benar-benar untuk Allah, maka tidak ada kekuatan duniawi (bahkan ancaman nyawa atau putusnya hubungan) yang boleh menggoyahkan kejujuran Anda. Tujuan ilahiah ini menuntut kejernihan moral yang absolut.

Ilustrasi Timbangan Keadilan Timbangan Keadilan yang Seimbang dan Tegak Qawwamina bil-Qist

Ujian Terberat: Keadilan Melawan Diri Sendiri dan Ikatan Darah

Inti dari An-Nisa 135, dan bagian yang paling sulit untuk diimplementasikan, adalah penegasan bahwa keadilan harus diterapkan **meskipun terhadap diri sendiri, orang tua, dan kaum kerabat** (وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ).

1. Melawan Diri Sendiri (Alā Anfusikum)

Ini adalah tingkat kesulitan yang paling tinggi. Bagaimana seseorang bisa menjadi saksi yang merugikan dirinya sendiri? Ini terjadi ketika seorang Muslim dituntut untuk mengakui kesalahannya, kejahatannya, atau utangnya, meskipun pengakuan tersebut akan mengakibatkan kerugian finansial, penjara, atau kehilangan reputasi. Dalam sistem peradilan Islam, pengakuan diri (iqrar) adalah bentuk bukti yang paling kuat. Ayat ini memerintahkan kejujuran introspektif yang radikal.

Dalam skala yang lebih luas, "melawan diri sendiri" juga mencakup menegakkan kebenaran dalam hati. Jika seseorang tahu bahwa suatu tindakan yang ia lakukan adalah salah, ia harus menolaknya, meskipun hal itu memenuhi keinginan nafsunya. Keadilan pertama-tama harus ditegakkan di medan perang internal diri seorang mukmin.

2. Melawan Orang Tua dan Kerabat (Al-Walidain wal-Aqrabin)

Dalam hampir setiap budaya di dunia, termasuk budaya Arab saat Al-Qur'an diturunkan, kesetiaan kepada orang tua dan ikatan darah adalah nilai yang paling suci dan tidak dapat diganggu gugat. Islam sendiri sangat menekankan birrul walidain (berbakti kepada orang tua). Namun, ayat ini dengan tegas menetapkan batas: **kesetiaan kepada Allah dan kebenaran lebih tinggi daripada kesetiaan kepada darah**. Jika orang tua atau kerabat terlibat dalam ketidakadilan, korupsi, atau kejahatan, seorang Muslim wajib bersaksi melawan mereka.

Perintah ini berfungsi sebagai katup pengaman sosial. Tanpa perintah ini, masyarakat akan runtuh karena nepotisme (favoritisme kerabat) dan kronisme (favoritisme teman). Keadilan menjadi tumpul ketika ikatan darah digunakan sebagai perisai dari akuntabilitas. Dengan menuntut kesaksian melawan orang terdekat, Islam memastikan bahwa hukum adalah universal dan tidak pandang bulu.

Konsekuensi Sosial dari Impartialitas

Ayat ini mengajarkan bahwa ikatan spiritual (iman) harus lebih kuat daripada ikatan biologis. Keadilan yang tegak adalah prasyarat untuk masyarakat yang stabil, bahkan jika proses penegakannya menyakitkan secara emosional. Para ulama tafsir klasik menekankan bahwa menjalankan perintah ini adalah bentuk jihad akbar (perjuangan terbesar), karena ia menuntut penolakan terhadap naluri manusiawi yang paling alami: membela keluarga dan diri sendiri.

Studi Kasus Fiqih: Para fuqaha (ahli fiqih) berdebat mengenai bagaimana kesaksian terhadap kerabat dapat dilakukan tanpa melanggar kewajiban birrul walidain. Konsensusnya adalah bahwa menegakkan kebenaran adalah bentuk ketaatan kepada Allah, dan ketaatan kepada Allah mendahului ketaatan kepada makhluk. Jika kesaksian Anda benar dan jujur, itu bukan pelanggaran terhadap bakti, melainkan penunaian kewajiban yang lebih tinggi, yang pada akhirnya membawa kebaikan (maslahah) bagi semua pihak, termasuk kerabat yang bersalah, yang perlu diadili untuk membersihkan dosa mereka.

Imparsialitas Ekonomi: Kaya atau Miskin

Bagian ayat berikutnya menghilangkan dimensi bias sosial ekonomi: إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا (Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya). Ini adalah pilar kedua dari keadilan mutlak: pengadilan tidak boleh dipengaruhi oleh status finansial terdakwa atau saksi.

Menghindari Bias terhadap Orang Kaya

Dalam banyak peradaban kuno dan modern, orang kaya sering lolos dari hukuman karena kekuasaan, pengaruh, atau kemampuan mereka untuk menyewa pembela terbaik. Ayat ini melarang hal tersebut. Seorang saksi tidak boleh menahan diri dari kebenaran karena takut akan pembalasan atau pengaruh orang kaya, dan seorang hakim tidak boleh memberikan keringanan hanya karena khawatir kehilangan dukungan finansial atau politik dari orang yang berkuasa.

Menghindari Bias terhadap Orang Miskin (Simpati yang Salah)

Sebaliknya, ada godaan untuk menunjukkan simpati berlebihan kepada orang miskin (bias kemiskinan). Kadang-kadang, seorang saksi atau hakim mungkin merasa iba dan cenderung mengurangi hukuman atau mengubah kesaksian demi menolong orang miskin yang terlibat masalah. Ayat ini juga melarang hal tersebut. Keadilan harus tetap ditegakkan, karena simpati yang salah dapat merusak struktur hukum dan menciptakan preseden yang berbahaya.

Konsep Allah Lebih Tahu Kemaslahatan

Frasa فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا (maka Allah lebih tahu kemaslahatannya) memberikan landasan teologis untuk imparsialitas ini. Manusia tidak perlu khawatir tentang nasib akhir orang kaya atau orang miskin tersebut setelah keadilan ditegakkan. Allah, sebagai Pemberi Rezeki dan Penentu Takdir, akan mengurus kemaslahatan (kebaikan atau perlindungan) bagi keduanya. Tugas manusia hanyalah memastikan bahwa prosedur dan hasil persidangan mencerminkan kebenaran yang obyektif. Dengan kata lain, kita harus fokus pada keadilan transaksional, dan menyerahkan keadilan distributif serta nasib jangka panjang kepada Allah.

Hal ini membebaskan sistem peradilan dari beban menjadi penyedia sosial atau agen kesejahteraan, memastikan bahwa fokus utamanya tetap pada kebenaran faktual dan penegakan hukum yang setara.

Ancaman Penyimpangan: Hawa Nafsu, Pemutarbalikan, dan Keengganan

Ayat 135 menyimpulkan dengan tiga larangan keras yang mengancam penegakan keadilan, semuanya berakar pada kelemahan karakter manusia.

1. Larangan Mengikuti Hawa Nafsu (Fakhō Nafsu)

فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَن تَعْدِلُوا (Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran). Hawa nafsu di sini adalah bias emosional, keinginan subyektif, atau dendam pribadi. Ini adalah godaan untuk membiarkan perasaan pribadi (suka, benci, takut, iri hati) mempengaruhi proses hukum. Keadilan menuntut objektivitas yang steril; ia harus ditegakkan dengan akal yang jernih dan niat yang murni.

Penyimpangan kebenaran sering terjadi bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena keinginan untuk memuaskan nafsu, seperti keinginan untuk melihat musuh dihukum atau melindungi teman dari konsekuensi. Ayat ini mewajibkan pemisahan total antara emosi dan kebenaran hukum.

2. Memutarbalikkan Kata (Talwū)

وَإِن تَلْوُوا (Dan jika kamu memutarbalikkan). Kata *Talwū* berasal dari akar kata *Lawa* yang berarti memelintir atau memutar. Ini merujuk pada manipulasi kesaksian atau fakta. Memutarbalikkan kata dapat terjadi dalam beberapa cara:

Ini adalah pengingat bahwa keadilan tidak hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi bagaimana ia disampaikan. Integritas kesaksian adalah paramount.

3. Keengganan Menjadi Saksi (Tu’ridhū)

أَوْ تُعْرِضُوا (atau enggan menjadi saksi). *Tu’ridhū* berarti berpaling, mengabaikan, atau menolak. Ini adalah dosa kelalaian. Ketika seseorang mengetahui kebenaran yang krusial untuk penegakan keadilan, tetapi ia memilih untuk diam atau menolak bersaksi—mungkin karena takut, malas, atau menghindari kesulitan—ia telah melanggar perintah ilahi ini.

Keengganan untuk bersaksi sama merusaknya dengan bersaksi palsu, karena membiarkan ketidakadilan merajalela. Dalam Islam, menjadi saksi adalah kewajiban sosial dan agama, bukan hak opsional.

Penutup Peringatan: Khābiran (Maha Mengetahui)

Ayat ditutup dengan peringatan tegas: فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan). Kata خَبِيرًا (Khabiran) bukan sekadar Maha Mengetahui, tetapi Maha Mengetahui secara mendalam dan terperinci. Allah mengetahui tidak hanya hasil dari kesaksian Anda, tetapi juga niat terdalam Anda, apakah Anda memutarbalikkan kata karena takut akan kerugian, atau enggan bersaksi karena kemalasan atau kepentingan pribadi.

Ancaman ini berfungsi sebagai rem moral terakhir. Meskipun pengadilan dunia mungkin gagal mendeteksi kebohongan yang tersembunyi atau motivasi yang busuk, pengadilan Allah tidak akan pernah gagal. Ini memberikan jaminan spiritual bagi penegak keadilan bahwa upaya mereka, meskipun menyakitkan dan sulit, sepenuhnya diketahui dan akan dihargai oleh Yang Maha Mengetahui.

Implikasi Jurisprudensi dan Tafsir Klasik

Ayat 135 memiliki peran sentral dalam Usul al-Fiqh (prinsip-prinsip hukum Islam), khususnya dalam Bab Syahadat (Kesaksian). Para ulama telah menarik banyak kesimpulan praktis dari ayat ini.

Kewajiban Mutlak Memberikan Kesaksian

Imam al-Qurtubi dan al-Tabari, dalam tafsir mereka, menekankan bahwa perintah *Qawwamina bil-Qist* dan larangan *Tu’ridhū* menjadikan kesaksian yang diketahui kebenarannya sebagai fardhu ‘ain (kewajiban individu) jika tidak ada orang lain yang mampu bersaksi, atau fardhu kifayah (kewajiban kolektif) jika ada orang lain yang bisa menggantikan.

Ayat ini secara eksplisit membatalkan segala bentuk etika kesukuan atau klan yang menempatkan loyalitas darah di atas kebenaran. Sebelum Islam, loyalitas mutlak kepada suku (Asabiyah) adalah norma, tetapi ayat ini menuntut loyalitas mutlak kepada *Qist* (Keadilan Ilahi).

Tafsir Mengenai Harta Benda

Para mufassir juga menjelaskan bahwa frasa "Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya" harus dipahami sebagai larangan untuk menolak bersaksi demi orang miskin (karena kasihan) atau menahan kesaksian melawan orang kaya (karena takut akan kerugian harta kita sendiri). Keadilan harus berjalan, tanpa memandang dampak ekonomi langsung pada subjek kasus atau pada saksi itu sendiri.

Keadilan Pemimpin dan Rakyat

Dalam konteks tata negara, ayat ini sering dikutip untuk mendefinisikan hubungan antara penguasa dan yang diperintah. Pemimpin wajib menjadi *Qawwamina bil-Qist* dalam kebijakan, distribusi sumber daya, dan penegakan hukum. Rakyat, di sisi lain, wajib menjadi *Syuhada’a lillah* dengan memberikan masukan jujur dan bersaksi melawan ketidakadilan penguasa, jika perlu, asalkan kesaksian tersebut benar dan bertujuan untuk kebaikan kolektif.

Imam Ibnu Katsir mengaitkan penegakan ayat ini dengan keberkahan masyarakat. Jika keadilan diabaikan, maka kekacauan dan hukuman ilahi akan menimpa. Keadilan adalah pilar peradaban, bukan hanya pilihan moral.

Relevansi Kontemporer: Keadilan di Abad Modern

Meskipun diturunkan pada abad ke-7, prinsip-prinsip An-Nisa 135 tetap relevan dan menantang di era modern. Dalam masyarakat yang semakin kompleks, keadilan sering terdistorsi oleh media, kepentingan korporasi, dan politik identitas.

Keadilan dalam Sistem Hukum Modern

Di masa kini, perintah untuk menjadi saksi yang jujur menuntut integritas dalam berbagai peran:

Keadilan dalam Dunia Digital

Tantangan baru muncul di ruang digital. Ketika kita berinteraksi di media sosial atau forum online, perintah untuk bersaksi demi Allah menuntut kita untuk menyebarkan kebenaran, melawan fitnah, dan menolak berpartisipasi dalam disinformasi (memutarbalikkan kata-kata). Loyalitas kita kepada kebenaran digital harus melampaui loyalitas kepada 'kubu' politik atau kelompok online kita.

Keadilan terhadap diri sendiri dalam konteks modern berarti mengakui dan memperbaiki bias kognitif atau prasangka yang kita miliki, terutama dalam interaksi antarkelompok, yang dapat menghambat pandangan objektif kita terhadap orang lain.

Menghancurkan Nepotisme dan Korupsi

Ayat ini adalah senjata terkuat melawan korupsi struktural dan nepotisme. Di negara-negara di mana ikatan kekerabatan atau kroni mendominasi birokrasi, sistem menjadi lumpuh. Seorang Muslim yang memegang teguh An-Nisa 135 harus menjadi pelapor (whistleblower) atau penolak (refuser) ketika kerabatnya sendiri mencoba memanfaatkan posisi untuk keuntungan haram. Kewajiban ini adalah jihad sosial yang mempertahankan integritas negara dan masyarakat.

Tuntutan untuk tidak memandang status kaya atau miskin juga sangat vital dalam masyarakat yang didominasi oleh ketidaksetaraan ekonomi. Kelemahan sistem hukum sering terletak pada ketidakmampuan untuk menjerat orang yang terlalu berkuasa. An-Nisa 135 menuntut keberanian moral untuk memastikan keadilan berlaku sama bagi miliarder dan tunawisma.

Keadilan Sebagai Manifestasi Integritas Spiritual

Lebih dari sekadar aturan hukum, An-Nisa 135 adalah perintah untuk mengembangkan karakter spiritual yang utuh. Keadilan sejati tidak dapat dipisahkan dari takwa (kesadaran akan Allah).

Keadilan sebagai Ibadah

Ketika kita memenuhi peran sebagai *Syuhada’a lillah*, setiap tindakan penegakan keadilan—baik dalam skala besar di pengadilan maupun dalam skala kecil dalam keputusan sehari-hari—berubah menjadi ibadah. Ini adalah bentuk pengakuan bahwa Allah adalah Yang Maha Adil (Al-‘Adl), dan upaya kita untuk meniru sifat-sifat-Nya dalam batas kemampuan manusia adalah puncak dari pengabdian.

Implikasi Akhirat

Para ulama juga mengajarkan bahwa ketaatan terhadap ayat ini sangat menentukan nasib seseorang di akhirat. Rasulullah SAW bersabda bahwa hakim akan terbagi menjadi tiga golongan, dua di neraka dan satu di surga. Hanya hakim yang mengetahui kebenaran dan menghukum sesuai kebenaran (menegakkan Qist) yang akan selamat. Perintah An-Nisa 135 adalah panduan untuk menjadi hakim atau saksi yang selamat dari azab api neraka.

Jika seseorang gagal menegakkan keadilan karena takut pada manusia atau karena mengikuti hawa nafsunya, ia telah memilih keuntungan dunia yang sementara daripada keridhaan Allah yang abadi. Ayat ini secara efektif mengaitkan integritas moral dengan keselamatan abadi.

Tantangan Emosional dan Psikologis

Tuntutan ayat ini seringkali bertabrakan dengan naluri psikologis kita. Mengakui kesalahan diri sendiri sangat sulit karena ego manusia. Bersaksi melawan orang tua atau anak membutuhkan kekuatan hati yang luar biasa, seringkali menyebabkan trauma emosional yang mendalam. Islam mengakui kesulitan ini, tetapi menegaskan bahwa mengatasi kesulitan tersebut adalah harga yang harus dibayar untuk menjadi masyarakat yang dirahmati Allah.

Penting untuk dipahami bahwa penegakan keadilan ini tidak dilakukan dalam kebencian, melainkan dalam kesadaran tugas. Tindakan bersaksi harus disertai dengan niat yang murni untuk memulihkan hak, bukan untuk mempermalukan atau membalas dendam.

Penutup: Mandat Keadilan sebagai Identitas Muslim

Surah An-Nisa Ayat 135 bukan hanya sekadar pasal dalam kitab undang-undang, melainkan sebuah pernyataan identitas bagi umat Islam. Ia mendefinisikan apa artinya menjadi "orang yang beriman" (Ya Ayyuhallazina Amanu). Keimanan tidak hanya diucapkan di lidah atau dirasakan di hati, tetapi dimanifestasikan melalui tindakan radikal, yaitu mendirikan keadilan secara teguh dan konsisten (*Qawwamina*).

Ayat ini memuat tiga pilar utama yang menopang keadilan ilahi:

  1. **Prioritas Ilahi:** Keadilan harus didorong oleh motivasi semata-mata karena Allah (Syuhada’a lillah).
  2. **Imparsialitas Total:** Keadilan harus melampaui ikatan pribadi terkuat (diri sendiri, orang tua, kerabat) dan status ekonomi (kaya atau miskin).
  3. **Integritas Tindakan:** Harus ada penolakan mutlak terhadap manipulasi verbal (*Talwū*) atau penolakan tugas (*Tu’ridhū*), karena Allah Maha Mengetahui niat di baliknya (*Khabiran*).

Dengan menempatkan keadilan di atas semua ikatan duniawi, Al-Qur'an menawarkan visi masyarakat yang kokoh, di mana tidak ada seorang pun yang terlalu kuat untuk diadili dan tidak ada seorang pun yang terlalu lemah untuk dilindungi. Perintah ini menantang setiap Muslim untuk terus-menerus mengintrospeksi dirinya, memastikan bahwa timbangan keadilan dalam hatinya selalu seimbang, dan bahwa ia selalu siap berdiri tegak, menjadi saksi yang jujur di hadapan dunia dan di hadapan Sang Pencipta.

Pendalaman Konsep Qawwamina: Keadilan sebagai Sifat Dasar

Untuk mencapai kedalaman yang diharapkan dari ayat ini, kita harus kembali pada makna intensitas dari kata *Qawwamina*. Ini bukan sekadar perintah ad-hoc (sewaktu-waktu), tetapi deskripsi karakter. Seseorang yang digambarkan sebagai *Qawwam* (bentuk jamak *Qawwamina*) adalah seseorang yang tidak pernah lelah, tidak pernah duduk santai dalam hal menegakkan nilai tersebut. Keadilan menjadi modus operandi, bukan sekadar respons terhadap krisis.

Dalam ilmu tauhid, Allah adalah Al-Qayyum, Yang Maha Berdiri Sendiri, Yang Menopang segalanya. Ketika kita diperintahkan menjadi *Qawwamina*, kita diminta untuk menopang dan menjaga keseimbangan moral di bumi sebagai wakil-Nya. Ini adalah tanggung jawab kosmik yang dilekatkan pada setiap individu beriman.

Keadilan yang konsisten ini memerlukan pelatihan spiritual yang ketat. Mengapa? Karena menjadi *Qawwam* berarti harus melawan insting manusiawi yang cenderung memilih jalan termudah atau jalan yang paling menguntungkan diri sendiri dan kelompok. Keadilan jenis ini memerlukan Mujahadah (perjuangan keras) yang berkelanjutan terhadap godaan-godaan dunia.

Perbedaan antara Keadilan Pribadi dan Publik

Perintah ini berlaku di dua ranah. Di ranah pribadi, ia menuntut kita untuk adil terhadap waktu kita, kesehatan kita, dan janji kita. Jika kita melanggar janji dengan orang lain, kita harus adil dengan mengakui kesalahan dan memperbaiki kerugian yang ditimbulkan (melawan diri sendiri). Di ranah publik, ia menuntut partisipasi aktif dalam sistem hukum dan sosial untuk memastikan bahwa tidak ada penindasan yang terjadi, bahkan jika kita harus mengambil risiko sosial atau finansial.

Seorang Muslim tidak bisa bersembunyi di balik alasan 'ini bukan urusan saya'. Selama ketidakadilan ada, ia adalah urusan setiap Muslim. Ini menciptakan masyarakat yang waspada secara moral, di mana keadilan tidak hanya diemban oleh penguasa, tetapi didukung oleh setiap elemen masyarakat.

Etika Profesional dan Larangan Talwū (Memutarbalikkan Fakta)

Larangan memutarbalikkan kata (*Talwū*) memiliki implikasi besar dalam profesi modern, terutama yang berhubungan dengan informasi, uang, atau hukum.

1. Profesi Hukum (Pengacara)

Bagi seorang pengacara Muslim, ayat ini memberikan batas yang jelas. Meskipun tugas pengacara adalah membela klien, ia tidak boleh menggunakan distorsi fakta, penyembunyian bukti, atau manipulasi linguistik untuk memenangkan kasus jika ia tahu kliennya bersalah. Tujuannya harus mencari keadilan, bukan hanya kemenangan litigasi. Jika seorang pengacara mengetahui bahwa kliennya memutarbalikkan kebenaran, kewajibannya terhadap Allah (Syahada’a lillah) mungkin menuntutnya untuk menolak kasus tersebut atau, dalam batas etika profesional, memastikan kebenaran terungkap.

2. Akuntan dan Auditor

Dalam dunia finansial, *Talwū* bermanifestasi sebagai penipuan akuntansi atau pelaporan yang tidak jujur. Seorang auditor yang mengetahui adanya penyimpangan, tetapi memutarbalikkan data atau menyembunyikan kebenaran untuk melindungi perusahaan, secara langsung melanggar ayat 135. Imparsialitas ekonomi (tidak peduli apakah itu menguntungkan si kaya atau merugikan si miskin) harus menjadi panduan mutlaknya.

3. Ilmuwan dan Peneliti

Dalam penelitian ilmiah, *Talwū* adalah pemalsuan data atau penarikan kesimpulan yang bias demi memenuhi hipotesis atau memperoleh dana. Keadilan di sini berarti kesetiaan total pada metodologi ilmiah dan hasil yang jujur. Seorang ilmuwan harus menjadi saksi jujur atas hasil eksperimennya, bahkan jika hasilnya bertentangan dengan kepentingan pribadinya atau komunitas akademisnya.

Larangan *Talwū* dan *Tu’ridhū* adalah perlindungan terhadap erosi kebenaran. Keadilan tidak dapat ditegakkan jika fondasi faktualnya telah rusak oleh manipulasi yang disengaja atau kelalaian yang pengecut.

Keseimbangan Keadilan dan Cinta Kasih (Rahmah)

Seringkali muncul pertanyaan, bagaimana perintah keras untuk bersaksi melawan kerabat dapat diselaraskan dengan perintah Islam untuk menunjukkan kasih sayang (*rahmah*) dan berbakti (*birr*) kepada orang tua? Para ulama menjelaskan bahwa tidak ada kontradiksi di sini. Keadilan adalah bentuk kasih sayang yang lebih tinggi.

Keadilan sebagai Bentuk Perlindungan

Ketika seorang Muslim bersaksi melawan kerabatnya yang bersalah, ia sebenarnya sedang melakukan tindakan perlindungan dalam jangka panjang:

  1. **Perlindungan Spiritual:** Hukuman duniawi (misalnya ganti rugi, penjara) berfungsi sebagai penebus dosa, mencegah kerabat tersebut membawa dosa yang lebih besar ke hadapan Allah di hari kiamat. Ini adalah bentuk rahmah sejati.
  2. **Perlindungan Sosial:** Ini mencegah kerabat tersebut merusak masyarakat lebih jauh dan mendorong mereka untuk bertaubat dan memperbaiki diri.

Dengan demikian, ketaatan pada An-Nisa 135 adalah manifestasi dari kasih sayang yang rasional dan ilahiah, yang mendahulukan kemaslahatan akhirat dan keteraturan sosial di atas kenyamanan emosional yang sementara. Kasih sayang tanpa keadilan dapat berubah menjadi kelalaian, dan kelalaian adalah bentuk ketidakadilan sosial.

An-Nisa 135: Ujian Penerapan Iman Sejati

Ayat ini dimulai dengan seruan "Wahai orang-orang yang beriman!" (Yā Ayyuhallazīna Āmanū). Ini menunjukkan bahwa penegakan keadilan yang ekstrem ini adalah tolok ukur keimanan yang matang. Orang yang tidak beriman (secara lahiriah) mungkin adil dalam beberapa kasus, tetapi seorang mukmin sejati harus mampu mempertahankan keadilan bahkan ketika taruhannya adalah harta, reputasi, atau keutuhan keluarga mereka sendiri.

Ayat ini berfungsi sebagai filter. Mereka yang mengaku beriman tetapi gagal menegakkan keadilan ketika menghadapi tekanan pribadi atau keluarga, keimanan mereka masih berada pada tingkat yang dangkal. Keimanan sejati adalah keimanan yang mampu menundukkan naluri alamiah yang bersifat mementingkan diri sendiri di bawah kehendak Ilahi untuk keadilan.

Melalui tuntutan ini, Islam menciptakan individu-individu yang berani, teguh, dan memiliki otonomi moral yang tinggi. Mereka tidak tergantung pada opini publik atau tekanan kelompok, karena motivasi mereka bersumber dari Yang Maha Tinggi. Ketaatan ini menghasilkan integritas yang tak tergoyahkan, yang merupakan karakteristik utama peradaban Islam yang berkembang pesat di masa lampau.

Menghidupkan Kembali Qist

Tugas umat Islam hari ini adalah menghidupkan kembali konsep *Qist* dalam segala aspek kehidupan, dari negosiasi bisnis hingga debat politik, dari pendidikan anak hingga interaksi dengan tetangga. Keadilan harus menjadi nafas yang dihirup oleh masyarakat Muslim, membedakan mereka sebagai komunitas yang kebenaran dan keadilan berdiri tegak lurus melampaui segala batas dan kepentingan.

Pada akhirnya, An-Nisa 135 bukan hanya tentang memberikan kesaksian di pengadilan; itu adalah tentang menjadi saksi hidup bagi kebenaran Allah di dunia ini. Setiap Muslim adalah seorang saksi, dan setiap tindakannya harus membuktikan bahwa ia adalah seorang penegak keadilan yang teguh, tanpa pengecualian.

🏠 Kembali ke Homepage