Surah An-Nisa (Wanita) merupakan surah Madaniyah yang kaya akan hukum-hukum sosial, keluarga, dan, yang sangat relevan, hukum-hukum terkait peperangan dan ketahanan komunitas. Di tengah pembahasan mengenai tata cara salat dalam kondisi takut (salat al-khauf) dan pembagian harta rampasan, muncul sebuah seruan yang menancapkan fondasi psikologis dan spiritual bagi setiap orang beriman yang berada dalam medan perjuangan, baik perjuangan fisik melawan musuh nyata maupun perjuangan internal melawan kelemahan diri.
Ayat yang menjadi poros diskusi ini, An-Nisa ayat 104, berfungsi sebagai suntikan semangat, sebuah instruksi tegas dari langit yang melarang keputusasaan dan kelemahan hati. Ayat ini bukan sekadar perintah militer, tetapi merupakan doktrin psikologi ketahanan yang universal, berlaku sepanjang zaman dan dalam setiap bentuk kesulitan yang dihadapi oleh umat manusia.
Ayat ini dapat dipecah menjadi tiga pilar utama yang saling menguatkan, membentuk strategi ketahanan spiritual yang sempurna: (1) Larangan Kelemahan (*Wahn*), (2) Realitas Penderitaan yang Sama (*Al-Alam*), dan (3) Keunggulan Harapan Ilahi (*Ar-Raja'*).
Inti dari perintah ini terletak pada frasa pembuka, وَلَا تَهِنُوا۟ (Wa lā tahinū), yang berarti “Dan janganlah kamu berhati lemah” atau “janganlah kamu menjadi lesu.” Kata ٱلْوَهْنُ (Al-Wahn) secara leksikal merujuk pada kelemahan, kelenturan, atau kegagalan yang berasal dari dalam jiwa. Ini berbeda dengan kelemahan fisik, meskipun kelemahan fisik seringkali menjadi manifestasi dari kelemahan hati.
Tafsir klasik, seperti yang dikemukakan oleh Imam At-Tabari dan Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa konteks ayat ini adalah setelah umat Islam mengalami kekalahan atau kesulitan dalam peperangan tertentu—sering dikaitkan dengan Perang Uhud atau ekspedisi-ekspedisi kecil di mana kaum Muslimin mengalami kerugian. Kelemahan yang dilarang di sini bukanlah ketakutan sesaat, melainkan kehilangan semangat juang yang berujung pada penghentian usaha atau kemunduran mental.
Kelemahan ini, jika dibiarkan, akan merusak sendi-sendi komunal. Ia menggerogoti tekad, memunculkan keraguan terhadap janji Allah, dan akhirnya menyebabkan umat menjadi pasif. Dalam perspektif yang lebih luas, *Al-Wahn* adalah lawan dari *tsabāt* (keteguhan) dan *istiqāmah* (konsistensi).
Allah melarang umat-Nya untuk menyerah di tengah jalan. Perjuangan, dalam bentuk apa pun—pendidikan, dakwah, ekonomi, atau pertahanan—menuntut kontinuitas. Ketika tujuan luhur telah ditetapkan, kemunduran mental tidak boleh menjadi opsi. Kelemahan hati adalah gerbang menuju kekalahan definitif, bahkan sebelum pertarungan usai.
Perintah ini dilanjutkan dengan frasa فِى ٱبْتِغَآءِ ٱلْقَوْمِ (fī ibtighā’il-qaum), “dalam mengejar kaum itu.” Kata *ibtighā’* menunjukkan suatu usaha yang aktif, mencari, atau mengejar dengan sungguh-sungguh. Ini bukan sekadar pertahanan pasif; ini adalah strategi ofensif yang bertujuan untuk mengembalikan inisiatif dan menunjukkan kekuatan serta tekad yang tak tergoyahkan.
Ketika pasukan menderita, reaksi alami adalah beristirahat. Namun, ayat ini memerintahkan sebaliknya: jaga momentum perjuangan. Mengejar musuh memiliki dua makna penting:
Apabila orang beriman berhenti berjuang hanya karena luka yang diderita, maka mereka telah memberikan kemenangan moral kepada pihak lain. Kemenangan sejati seringkali diperoleh bukan pada puncak kekuatan, melainkan pada titik terendah ketika ketahanan mental diuji hingga batas maksimal.
Setelah memerintahkan keteguhan, ayat ini memberikan landasan rasional yang sangat kuat untuk menghilangkan rasa kasihan pada diri sendiri (self-pity):
إِن تَكُونُوا۟ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ
“Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya.”
Penderitaan atau kesakitan (تَأْلَمُونَ - *ta’lamūn*) adalah kodrat manusia universal. Ayat ini mengingatkan para pejuang bahwa musuh yang mereka hadapi bukanlah entitas tanpa rasa; mereka juga merasakan sakit fisik akibat luka, kelelahan, ketakutan akan kematian, dan kerinduan pada keluarga.
Dalam situasi konflik atau persaingan yang intens, sering kali kita cenderung memfokuskan seluruh perhatian dan simpati pada kesulitan yang kita alami sendiri, membuat penderitaan pihak lain menjadi tidak terlihat atau terabaikan. Ayat ini menghancurkan ilusi superioritas penderitaan tersebut.
Mendapatkan kesadaran ini memiliki efek psikologis yang transformatif. Jika musuh yang tidak memiliki dasar spiritual yang kuat (harapan ilahi) mampu menanggung rasa sakit yang sama, bahkan lebih, mengapa orang beriman yang memiliki dukungan ilahi harus menyerah lebih dulu?
Penderitaan adalah variabel yang konstan dalam perjuangan eksistensial. Baik dalam perang Badar, Uhud, maupun dalam perjuangan masyarakat modern melawan ketidakadilan, kedua belah pihak akan merasakan dampak negatif dari konflik tersebut. Yang membedakan bukanlah intensitas sakitnya, tetapi tujuan di baliknya dan harapan di masa depan.
Jika kita memperluas makna ayat ini dari medan perang fisik (Jihad Asghar) ke medan perjuangan internal dan sosial (Jihad Akbar), penderitaan mengambil bentuk lain:
Kesimpulannya, rasa sakit yang diderita orang beriman dalam ketaatan adalah rasa sakit yang bertujuan, bersifat sementara, dan akan berganti dengan pahala abadi. Sementara itu, rasa sakit yang diderita oleh pihak yang tidak beriman, meskipun identik secara fisik atau emosional, adalah rasa sakit yang sia-sia di mata Ilahi, dan akan berganti dengan hukuman abadi jika mereka tetap dalam kekufuran.
Ini adalah klimaks dan pembeda utama dalam ayat ini. Setelah menyamakan penderitaan fisik, Allah menunjukkan jurang pemisah antara orang beriman dan kaum musuh: harapan yang mereka sandarkan.
وَتَرْجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ
“Sedang kamu mengharapkan dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.”
Kata تَرْجُونَ (tarjūn) berarti mengharapkan atau menanti dengan penuh keyakinan. Harapan orang beriman (مِنَ ٱللَّهِ - *minallāh*) adalah harapan yang transendental. Ini adalah harapan yang melampaui hasil materi atau kemenangan duniawi.
Apa yang diharapakan oleh orang beriman yang tidak diharapakan oleh yang lain?
Sebaliknya, kaum musuh, jika mereka berjuang, harapan mereka terbatas pada hal-hal duniawi: rampasan, kekuasaan, atau kehormatan sesaat. Jika mereka gagal, mereka tidak mendapatkan apa-apa, baik di dunia maupun di akhirat. Rasa sakit mereka adalah rasa sakit yang kosong dari makna spiritual yang mendalam.
Inilah yang harus menjadi pendorong terbesar bagi orang beriman untuk tidak pernah berhati lemah. Ketika tubuh lelah dan hati terluka, memori akan harapan abadi ini berfungsi sebagai sumber energi tak terbatas yang tak dimiliki oleh pihak lain. Harapan ini mengubah perspektif penderitaan: rasa sakit bukan lagi tanda kegagalan, tetapi tanda kedekatan dengan tujuan akhir.
Dalam ilmu tasawuf dan akhlak, harapan ini adalah pembeda antara kesabaran yang aktif dan kesabaran yang pasif. Orang beriman tidak hanya pasrah menerima takdir (sabar), tetapi ia aktif dalam menanti ganjaran (raja'). Kesabaran yang didasari *raja'* menghasilkan ketekunan dan keberanian yang tak tertandingi.
Seorang pelajar yang lelah begadang demi ilmu akan terus berjuang karena ia berharap bukan hanya gelar, tetapi juga pahala dari Allah atas usahanya. Seorang aktivis sosial yang lelah menghadapi penolakan akan terus maju karena ia berharap Ridha Allah atas upayanya mendamaikan. Harapan ini membuat perjuangan menjadi ringan, karena hasilnya diukur bukan oleh manusia, melainkan oleh Yang Maha Abadi.
Ilustrasi visual tentang jalur perjuangan orang beriman (menuju cahaya harapan) dibandingkan dengan perjuangan yang hanya bersifat duniawi.
Ayat ini ditutup dengan penegasan dua nama Allah yang agung: وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (Wa kānallāhu ‘Alīman Hakīmā), “Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Penutup ini bukan sekadar formalitas, melainkan konklusi teologis yang memberikan jaminan mutlak atas perintah dan janji yang telah disebutkan sebelumnya.
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (*Al-’Alīm*). Dia mengetahui betapa besar penderitaan yang dialami oleh para pejuang. Dia mengetahui tingkat kelelahan dan kadar kelemahan hati yang mungkin muncul. Karena Dia mengetahui batasan manusia, perintah-Nya untuk terus berjuang—termasuk larangan berhati lemah—adalah perintah yang pasti mampu dilaksanakan. Kehendak-Nya tidak pernah membebani hamba melampaui batas kemampuannya. Pengetahuan-Nya menjamin bahwa Dia akan memberikan kompensasi yang adil dan sempurna atas setiap rasa sakit yang diderita.
Pengetahuan Allah juga mencakup pengetahuan tentang keadaan musuh. Dia tahu betul bahwa musuh pun terluka dan menderita. Pengetahuan ini menegaskan bahwa tidak ada keunggulan tersembunyi yang dimiliki musuh yang tidak diketahui oleh Allah. Oleh karena itu, kaum mukmin diperintahkan untuk terus maju dengan keyakinan penuh.
Allah Maha Bijaksana (*Al-Hakīm*). Setiap perintah, setiap ujian, setiap larangan, dan setiap janji-Nya ditempatkan dengan tujuan dan hikmah yang sempurna. Kebijaksanaan-Nya menjamin bahwa perjuangan ini, meskipun menyakitkan, adalah yang terbaik bagi kemaslahatan hamba-Nya di dunia dan di akhirat.
Jika Allah memerintahkan untuk tidak berhati lemah, itu adalah karena Dia mengetahui bahwa potensi kemenangan sejati masih ada, dan bahwa kemunduran hanya akan menghambat tercapainya hikmah yang telah Dia tetapkan. Kebijaksanaan-Nya juga terlihat dalam janji harapan (*Raja’*); janji tersebut nyata, terjamin, dan pasti akan terpenuhi.
Kombinasi *‘Alīm* dan *Hakīm* memberikan fondasi kepercayaan mutlak. Orang beriman yakin bahwa mereka berjuang di bawah pengawasan Yang Maha Tahu dan di bawah perencanaan Yang Maha Bijaksana. Tidak ada langkah yang sia-sia, tidak ada penderitaan yang tanpa makna, dan tidak ada pengorbanan yang luput dari perhitungan-Nya yang adil.
Meskipun konteks primer An-Nisa 104 adalah peperangan fisik di masa kenabian, kaidah teologis (al-qā’idah al-fiqhiyyah) mengajarkan bahwa *‘al-’ibratu bi ‘umum al-lafzh lā bi khushūsh as-sabab’* (pertimbangan diambil dari keumuman lafal/redaksi, bukan kekhususan sebab). Prinsip *wala tahinū* adalah prinsip universal untuk setiap mukmin yang berhadapan dengan kesulitan.
Dalam konteks modern, ‘kaum musuh’ dapat diinterpretasikan sebagai segala bentuk hambatan yang mencegah tegaknya kebaikan, keadilan, dan kemajuan umat. Ini termasuk:
Mencari ilmu pengetahuan, melakukan penelitian, dan mengembangkan teknologi adalah bentuk *ibtighā’ al-qaum* di era modern. Proses ini penuh dengan kegagalan, penolakan, dan kelelahan mental. Banyak ilmuwan atau pelajar merasa lemah hati (*wahn*) ketika menghadapi kerumitan materi atau kegagalan eksperimen berulang kali.
Ayat 104 mengingatkan: Jangan berhati lemah! Para pesaing Anda di kancah global—mereka yang tidak memiliki motivasi spiritual—juga menghadapi *deadline* yang sama, tekanan mental yang sama, dan kerumitan akademik yang sama. Namun, Anda memiliki harapan unik: harapan bahwa setiap tetes keringat intelektual dicatat sebagai ibadah dan akan menghasilkan ganjaran dari Allah, bukan hanya Nobel atau paten. Kekuatan harapan ini harus mendorong para cendekiawan Muslim untuk melampaui batas kelelahan yang sama-sama dirasakan.
Bagi para pegiat moral dan pendakwah yang berjuang di tengah derasnya arus informasi yang merusak, kelelahan mental sangat mungkin terjadi. Melihat sedikitnya hasil dan banyaknya penolakan seringkali memicu *wahn*. Ayat ini adalah pengingat bahwa perjuangan menegakkan amar makruf nahi mungkar harus terus berlanjut.
Mereka yang tenggelam dalam kebobrokan moral pun menderita. Mereka didera kegelisahan, kekosongan, dan jauhnya dari fitrah. Rasa sakit spiritual yang diderita pelaku kemaksiatan jauh lebih akut daripada rasa sakit lelahnya seorang pendakwah yang ditolak. Harapan yang dimiliki pendakwah adalah keridaan Ilahi; inilah energi yang tak pernah habis.
Ayat 104 mengajarkan bahwa ketahanan bukan hanya tentang menghadapi pukulan besar, tetapi tentang menjaga konsistensi kecil hari demi hari. *Istiqāmah* adalah bentuk praktis dari larangan *wahn*.
Ketika seseorang memulai proyek besar, semangatnya membara. Namun, seiring waktu berjalan, rutinitas, dan kesulitan teknis muncul, semangat itu memudar. Di sinilah ayat 104 berlaku. Perjuangan untuk terus bangun salat malam, berinfak secara rutin, dan menjaga kejujuran di tengah godaan adalah bentuk perjuangan yang harus dipertahankan tanpa kelemahan hati.
Keyakinan bahwa penderitaan konsistensi kita (kurangnya tidur, pengekangan diri) adalah penderitaan yang mulia, sementara kepuasan instan yang dicari orang lain adalah kepuasan yang semu, harus menjadi sumber kekuatan yang berkelanjutan.
Pilar harapan adalah kunci utama ayat ini. Jika tanpa harapan, mukmin dan kafir akan sama-sama menyerah karena kesamaan penderitaan. Namun, *Raja’* memberikan dimensi keunggulan yang tidak terhingga. Untuk memenuhi persyaratan mendalamnya pembahasan, kita harus menganalisis Raja’ dari sudut pandang teologis dan psikologis Islam.
Para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah selalu mengajarkan bahwa harapan (*Raja’*) harus berjalan beriringan dengan rasa takut (*Khauf*) kepada Allah. Raja’ yang murni, yang dimaksud dalam An-Nisa 104, bukanlah harapan kosong tanpa amal. Ia adalah optimisme yang didasarkan pada keyakinan terhadap janji Allah, diikuti dengan usaha maksimal.
Dalam konteks perjuangan, Raja’ berarti: "Kami berusaha sekuat tenaga, dan kami yakin Allah akan memberikan yang terbaik, bahkan jika hasil di dunia terlihat negatif." Ini mencegah kesombongan saat menang dan mencegah keputusasaan saat kalah.
Orang beriman bertarung (berjuang) untuk mencapai dua hal: kemenangan duniawi (jika Allah mengizinkan) dan ganjaran ukhrawi (yang pasti). Musuh hanya punya satu target: kemenangan duniawi. Ketika musuh gagal, mereka kehilangan segalanya; ketika orang beriman ‘gagal’ secara duniawi (misalnya gugur atau kalah dalam pertarungan), mereka telah mencapai kemenangan abadi, yaitu syahid atau terangkatnya derajat di sisi-Nya.
Pengecutan diri, atau *wahn*, seringkali didasari oleh ketakutan yang berlebihan terhadap konsekuensi negatif, seperti kehilangan harta, nyawa, atau kenyamanan. Raja’ berfungsi sebagai penyeimbang ekstrem terhadap ketakutan ini. Jika yang diharapakan adalah Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, maka penderitaan atau kehilangan yang kecil di dunia ini menjadi remeh.
Para sahabat Nabi memahami hal ini dengan sempurna. Mereka rela menghadapi rasa sakit yang luar biasa karena mereka mengharap pahala. Ketika Umar bin Khattab ditikam, rasa sakitnya pasti hebat. Namun, harapannya akan pertemuan dengan Allah dan ganjaran atas keadilannya jauh melampaui rasa sakit fisik itu. Inilah yang tidak dimiliki oleh mereka yang berjuang hanya demi panji-panji dunia.
Frasa ‘apa yang tidak mereka harapkan’ sangat mendalam. Ia mencakup dimensi-dimensi spiritual yang tidak dapat dicerna oleh logika materialis. Mereka mungkin mengharapkan kekuasaan atau harta; itu adalah harapan yang terbatas. Mereka tidak mungkin mengharapkan keridaan Allah (Ridwan) atau pembalasan Surga (Jannah) karena mereka tidak memiliki keimanan sebagai fondasinya. Harapan mereka adalah beton yang rapuh, sementara harapan orang beriman adalah baja yang ditempa oleh keyakinan tauhid.
Keunggulan harapan ini menciptakan suatu keunggulan strategis yang tidak terlihat, yang para ulama menyebutnya sebagai ‘kemenangan moral sebelum kemenangan fisik.’ Pasukan yang memiliki harapan transendental akan selalu lebih tangguh dan lebih sulit dipatahkan daripada pasukan yang hanya berjuang untuk kepentingan sesaat.
Ayat 104 menyebutkan simetri rasa sakit: “sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya.” Namun, substansi dan konsekuensi dari rasa sakit tersebut berbeda secara diametral.
Bagi orang beriman, penderitaan yang dialami dalam ketaatan atau perjuangan dipandang sebagai *balā’* (ujian). Ujian ini memiliki fungsi ganda:
Oleh karena itu, ketika orang beriman menghadapi kesulitan (sakit, lelah, rugi), ia tidak hanya melihat rasa sakit itu, tetapi juga imbalan yang menyertainya. Ini mengubah kesengsaraan menjadi sarana penghambaan yang dicintai.
Sebaliknya, penderitaan yang dialami oleh mereka yang tidak beriman (dalam konteks ayat, musuh yang menentang kebenaran) adalah penderitaan yang sia-sia di mata Allah. Rasa sakit yang sama yang mereka rasakan tidak menghasilkan pahala, tidak menebus dosa (karena mereka belum beriman), dan hanya meningkatkan kerugian mereka di dunia dan akhirat.
Mereka berjuang karena keserakahan, ego, atau ideologi sempit. Ketika mereka terluka, mereka menderita dua kali lipat: penderitaan fisik di dunia, dan hilangnya peluang untuk mendapatkan pahala (yang tidak mereka harapkan) di akhirat. Keputusasaanlah yang akan menghampiri mereka jika tujuan duniawi mereka gagal, karena mereka tidak memiliki jaring pengaman spiritual.
Perbedaan inilah yang menjadi kekuatan psikologis terbesar bagi orang beriman: Anda berjuang dengan rasa sakit yang mendatangkan pahala; mereka berjuang dengan rasa sakit yang mendatangkan kerugian. Mengapa harus berhati lemah jika kerugian musuh lebih besar dan keuntungan Anda lebih abadi?
Ayat 104 adalah panduan praktis untuk manajemen emosi dalam situasi krisis. Ia mengajarkan umat untuk mempraktikkan tiga langkah utama untuk membangun ketahanan emosional (resiliensi).
Ayat ini tidak meminta umat untuk menyangkal rasa sakit mereka (*ta’lamūn*). Sebaliknya, ia mengakui realitas luka, kelelahan, dan kesedihan. Namun, pengakuan ini segera diikuti dengan perbandingan: *“mereka pun menderita kesakitan (pula).”* Ini mencegah perasaan ‘mengapa hanya kami yang menderita?’ yang sering menjadi akar dari keputusasaan.
Dengan menempatkan rasa sakit dalam konteks universalitasnya, orang beriman didorong untuk fokus pada solusi dan tujuan, bukan pada keluhan. Rasa sakit adalah bagian dari harga yang harus dibayar; itu bukan tanda bahwa upaya harus dihentikan.
Daya ungkit (*leverage*) terbesar dalam perjuangan adalah harapan akhirat. Dalam ekonomi perjuangan, berharap dari Allah adalah aset yang nilainya tak terbatas, sedangkan harapan duniawi (yang dimiliki musuh) adalah aset yang fluktuatif dan berisiko tinggi.
Ketika beban terasa terlalu berat, orang beriman harus menarik daya ungkit ini, yaitu mengingat janji Surga. Setiap detik perjuangan adalah deposit yang pasti, terjamin oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Mengaktivasi memori harapan ini secara sadar adalah kunci untuk mengatasi kelelahan dan *wahn*.
Larangan untuk lemah hati dalam ‘mengejar’ menunjukkan pentingnya kontinuitas. Perjuangan tidak hanya diukur dari kekuatan di awal, tetapi dari kemampuan untuk bertahan hingga akhir, terutama setelah menderita kerugian. Ini mengajarkan bahwa keberhasilan jangka panjang jarang datang dari satu lonjakan kekuatan, melainkan dari serangkaian keputusan harian untuk tidak menyerah, terlepas dari seberapa kecil kemajuan yang terlihat.
Ayat 104 membentuk pribadi yang kuat, yang mampu memproses kekalahan kecil sebagai bagian dari kurikulum Ilahi, bukan sebagai akhir dari segalanya. Kelemahan hati adalah kegagalan pilihan, sementara kekalahan di medan perang adalah ujian yang mungkin mendatangkan pahala.
Surah An-Nisa ayat 104 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam doktrin resiliensi Islam. Ia memberikan formula yang lengkap untuk menghadapi adversitas, baik dalam skala individu maupun komunal. Ayat ini menuntun orang beriman melalui tiga tahap mental yang harus dilalui ketika menghadapi kesulitan dan penderitaan:
Dengan menutup ayat ini melalui penegasan bahwa Allah adalah *Al-‘Alīm* dan *Al-Hakīm*, Al-Qur’an menegaskan bahwa strategi ketahanan ini bukanlah teori kosong, melainkan sebuah kebenaran mutlak yang didukung oleh Pengetahuan dan Kebijaksanaan Yang Maha Tinggi.
Maka, bagi setiap orang beriman yang berjuang dalam lingkupnya masing-masing—melawan hawa nafsu, kemiskinan, ketidakadilan, atau kebodohan—pesan dari An-Nisa 104 selalu relevan: Angkat kepala Anda. Luka Anda mulia. Penderitaan Anda adalah tiket menuju yang lebih baik. Harapan Anda adalah aset tak ternilai. Selama Anda memiliki Raja’ kepada Allah, Anda tidak akan pernah kehilangan alasan untuk terus berjuang. Kelemahan hati adalah kezaliman terhadap diri sendiri, dan itu harus ditolak.
Perjalanan seorang mukmin adalah perjalanan panjang menuju akhirat, dipenuhi dengan cobaan dan kesulitan. Namun, setiap langkah yang ditempuh, setiap keringat yang menetes, dan setiap rasa sakit yang diderita adalah bekal yang tak terhingga nilainya. Tidak ada alasan bagi seorang yang memiliki keimanan untuk berhenti di tengah jalan, sebab apa yang ia harapkan jauh lebih besar dan lebih pasti dibandingkan apa yang dipertaruhkan. Inilah intisari dari doktrin resiliensi Ilahi yang abadi.
Ayat 104 menegaskan bahwa perbedaan hakiki antara dua pihak yang sama-sama menderita adalah terletak pada visi masa depan mereka. Pihak yang hanya melihat dunia akan hancur oleh kegagalan di dunia, sementara pihak yang melihat akhirat akan mampu menoleransi kegagalan duniawi, bahkan mengubahnya menjadi kemenangan terbesar. Prinsip ini adalah prinsip keunggulan moral dan spiritual yang harus menjadi ciri khas umat yang berjuang untuk kebenaran dan keadilan.
Oleh karena itu, setiap muslim diperintahkan untuk menginternalisasi pesan ini dalam seluruh aspek kehidupannya. Bukan hanya saat krisis besar, tetapi dalam setiap detail perjuangan sehari-hari. Ketika ibadah terasa berat, ketika godaan menguat, ketika hasil usaha tidak sesuai harapan, ayat ini berbisik lembut namun tegas: "Janganlah kamu berhati lemah..." karena harapan yang menanti di sisi Allah adalah keunggulan abadi yang tidak dapat dibandingkan dengan kesulitan fana mana pun.
Penerapan ayat ini memerlukan introspeksi dan kesadaran diri yang mendalam. Kita harus jujur mengakui bahwa rasa lemah hati adalah penyakit yang rentan menyerang, tetapi kita juga harus segera mengingat komparasi penderitaan dan keunggulan harapan. Kesadaran ini adalah benteng yang menjaga jiwa dari kehancuran mental yang seringkali lebih berbahaya daripada kerugian fisik. Dengan demikian, An-Nisa 104 bukan hanya sejarah, tetapi strategi bertahan hidup yang relevan hingga akhir zaman.
Semua yang ada di alam semesta bergerak menuju tujuan yang telah ditetapkan. Perjuangan orang beriman adalah gerak yang terarah, memiliki peta, dan dijamin hasilnya oleh Yang Maha Mengatur. Ketika perspektif ini tertanam kuat, kelemahan hati menjadi mustahil, dan hanya keteguhanlah yang tersisa.