An Nisa Ayat 105: Pilar Keadilan, Kepemimpinan, dan Integritas Ilahi

Pendahuluan: Fondasi Hukum dan Etika Hakim

Surah An-Nisa (Perempuan) dalam Al-Qur'an dikenal sebagai surah Madaniyah yang kaya akan hukum, tatanan sosial, dan peraturan keluarga. Namun, di tengah pembahasan yang luas mengenai hak waris, hubungan pernikahan, dan perlindungan yatim, terselip ayat-ayat krusial yang membentuk pondasi sistem peradilan dalam Islam. Salah satu ayat yang paling fundamental dan menjadi pedoman utama bagi setiap pemimpin, hakim, dan penegak keadilan adalah An Nisa Ayat 105.

Ayat ini diturunkan dalam konteks spesifik yang menegaskan bahwa fungsi utama otoritas, baik spiritual maupun temporal, adalah menegakkan kebenaran berdasarkan wahyu Allah, bukan berdasarkan asumsi, kepentingan, atau pembelaan terhadap pihak yang bersalah. Inti dari ayat ini adalah instruksi langsung kepada Rasulullah ﷺ—dan secara universal kepada seluruh umat—mengenai prinsip imparsialitas, kebenaban, dan larangan mutlak membela pengkhianat atau pelaku kejahatan, meskipun terdapat tekanan sosial atau politik.

Kajian mendalam terhadap An Nisa Ayat 105 bukan hanya sebatas pemahaman teks, melainkan penelusuran terhadap etika kepemimpinan yang murni, tuntutan akuntabilitas publik, dan mekanisme ilahi yang menjamin bahwa kebenaran akan selalu terungkap, meskipun upaya manusia untuk menyembunyikannya begitu kuat. Ayat ini merupakan cetak biru bagi sistem hukum yang menempatkan keadilan substantif di atas segala-galanya, menjadikannya pokok bahasan yang tak pernah lekang oleh waktu dalam studi tafsir, fikih, dan ushuluddin.

Untuk memahami kedalaman pesan ini, kita harus menyelami teksnya, menelusuri kisah di balik penurunannya (Asbabun Nuzul), dan mengeksplorasi implikasi hukum universal yang telah dirumuskan oleh para fuqaha dan mufassir sepanjang sejarah peradaban Islam. Dari sinilah, kita akan melihat bagaimana satu ayat mampu membalikkan pandangan publik dan menetapkan standar keadilan yang melampaui batas-batas waktu dan tempat.

Teks Ayat dan Makna Literal

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, agar kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah diwahyukan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi pembela (orang yang suka) berkhianat." (Q.S. An-Nisa [4]: 105)

Ayat ini terbagi menjadi tiga komponen utama yang masing-masing mengandung penekanan hukum dan etika yang sangat kuat:

  1. Sumber Hukum Ilahi (إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ): Penegasan bahwa sumber otoritas hukum dan kebenaran adalah Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah. Ini menolak segala bentuk arbitrase hukum yang didasarkan pada hawa nafsu atau tradisi yang menyimpang.
  2. Tugas Utama Hakim (لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ): Tujuan penurunan Kitab adalah untuk memberikan keputusan di antara manusia. Frasa ‘بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ’ (dengan apa yang Allah tunjukkan kepadamu) sangat penting, menunjukkan bahwa penilaian harus didasarkan pada bukti yang terungkap sesuai petunjuk ilahi, bukan berdasarkan sangkaan.
  3. Larangan Membela Pengkhianat (وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ خَصِيمًا): Ini adalah perintah negatif yang tegas, melarang Rasulullah ﷺ (dan oleh karena itu, setiap hakim) untuk membela atau berpihak pada pelaku pengkhianatan atau kejahatan, bahkan jika mereka berasal dari kaum atau kelompoknya sendiri.

Kata kunci "Khā'inīn" (pengkhianat) di sini tidak hanya merujuk pada pengkhianatan terhadap negara atau agama, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah, kejujuran, dan kebenaran dalam konteks perselisihan hukum. Ini mencakup mereka yang berbohong, menyembunyikan bukti, atau memalsukan fakta demi menghindari hukuman.

Konteks Historis dan Asbabun Nuzul (Sebab Penurunan Ayat)

Kekuatan An Nisa Ayat 105 terletak pada kisah penurunannya yang sangat dramatis dan penuh intrik, yang dikenal sebagai kasus Bani Ubayriq. Kisah ini menjadi pelajaran abadi mengenai bahaya fitnah, manipulasi hukum, dan pentingnya penyelidikan menyeluruh (tabayyun) sebelum menjatuhkan vonis.

Kisah Pengkhianatan Bani Ubayriq

Kasus ini melibatkan seorang laki-laki dari Bani Ubayriq, yang bernama Thu'mah bin Ubayriq. Latar belakang peristiwa ini adalah sebagai berikut:

Suatu malam, terjadi pencurian baju besi di Madinah. Baju besi tersebut adalah milik Qatadah bin Nu’man. Awalnya, Thu'mah mencuri baju besi itu dan menyembunyikannya di rumah seorang Yahudi yang bernama Zaid bin As-Samin. Ketika pencurian itu terungkap, Thu'mah segera menyalahkan Zaid bin As-Samin, mengklaim bahwa ia hanya mencuri makanan, dan Zaid yang mencuri baju besi tersebut.

Keluarga Thu'mah, Bani Ubayriq—yang merupakan Muslim—kemudian datang kepada Rasulullah ﷺ untuk membela kerabat mereka. Mereka memberikan kesaksian palsu dan berupaya meyakinkan Nabi bahwa Thu'mah tidak bersalah, melainkan Zaid si Yahudi-lah pelakunya. Mereka memanfaatkan kedekatan kekerabatan dan status keislaman mereka untuk menekan Rasulullah ﷺ agar mengambil keputusan berdasarkan simpati, bukan bukti.

Mereka berargumentasi, "Wahai Rasulullah, jika engkau memutuskan bahwa Thu'mah bersalah, maka engkau telah menghancurkan kehormatan seorang Muslim. Sedangkan jika engkau membebaskannya, engkau telah membela kami. Lagipula, Zaid adalah seorang Yahudi, mengapa engkau lebih mempercayai perkataannya?"

Kecenderungan Awal dan Intervensi Ilahi

Pada awalnya, berdasarkan kesaksian yang rapi dan sumpah yang meyakinkan dari Bani Ubayriq, Rasulullah ﷺ cenderung untuk mempercayai bahwa Zaid bin As-Samin yang bersalah, sementara Thu'mah hanya korban fitnah. Ini menunjukkan betapa liciknya manipulasi fakta yang dilakukan oleh Bani Ubayriq. Rasulullah ﷺ, sebagai manusia, mungkin terpengaruh oleh penampilan luar dan tekanan dari kaum Muslimin yang membela Thu'mah.

Namun, saat Rasulullah ﷺ hampir memutuskan perkara sesuai dengan apa yang ia dengar dari pihak Bani Ubayriq, wahyu ilahi segera turun, mengoreksi potensi kekeliruan tersebut. Wahyu ini bukan hanya menegur secara lembut, tetapi memberikan instruksi keras yang menetapkan standar keadilan absolut:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, agar kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah diwahyukan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi pembela (orang yang suka) berkhianat." (An Nisa: 105)

Ayat-ayat berikutnya (106 hingga 109) bahkan lebih tegas, memerintahkan Nabi untuk memohon ampunan Allah jika terdapat kekeliruan dalam pertimbangan awal, dan melarang keras untuk membantah atau membela orang yang berkhianat. Dengan turunnya wahyu ini, kebenaran terungkap: Thu'mah memang bersalah, dan baju besi itu ditemukan di tempat yang ditunjukkan oleh petunjuk wahyu.

Pelajaran dari Asbabun Nuzul

Kisah Bani Ubayriq ini memberikan beberapa pelajaran penting yang menjadi landasan hukum:

  1. Kepentingan Tabayyun Mutlak: Bahkan seorang Nabi pun, yang memiliki tingkat ketelitian tertinggi, dapat terkelabui oleh manipulasi manusia. Ini menekankan pentingnya penyelidikan mendalam (tabayyun) yang melampaui penampilan luar dan kesaksian yang meyakinkan.
  2. Kebenaran di Atas Ikatan: Ayat ini menghancurkan konsep nepotisme, sukuisme, atau fanatisme golongan dalam peradilan. Status keislaman atau kekerabatan tidak boleh menjadi alasan untuk membenarkan kesalahan atau melindungi pengkhianat.
  3. Integritas Hakim Terpelihara: Wahyu ini berfungsi sebagai perlindungan terhadap Rasulullah ﷺ dari dosa kesalahan hukum, sekaligus menetapkan preseden bahwa seorang hakim harus berani menolak tekanan dari komunitasnya sendiri demi kebenaran.

Kasus ini tidak hanya mereduksi kekeliruan dalam kasus pencurian baju besi, tetapi secara permanen membentuk paradigma bahwa hukum Allah adalah otoritas tertinggi, dan keadilan harus diterapkan tanpa pandang bulu, bahkan terhadap mereka yang memiliki status sosial atau agama yang berbeda (seperti Zaid si Yahudi).

Simbol Keadilan Ilahi dan Wahyu الْكِتَاب Hakim

Gambar: Simbol Wahyu (Al-Kitab) sebagai Dasar Utama bagi Keadilan (Timbangan) dalam Peradilan (Hakim).

Analisis Tafsir Mendalam terhadap An Nisa Ayat 105

Para mufassir klasik dan kontemporer telah memberikan perhatian yang luar biasa terhadap ayat ini, membedah setiap frasa untuk mengekstrak hukum dan etika yang terkandung di dalamnya. Berikut adalah analisis rinci berdasarkan interpretasi para ulama:

1. Keabsahan Hukum Hanya Milik Wahyu (بِالْحَقِّ)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa penekanan pada frasa "dengan membawa kebenaran" (bil-haqq) adalah penegasan bahwa Al-Qur'an adalah sumber hukum yang sempurna dan tidak mengandung sedikit pun kebatilan. Ini menempatkan hukum positif buatan manusia di bawah hukum ilahi. Konsekuensinya, seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara berdasarkan spekulasi, perasaan pribadi, atau tekanan kelompok, tetapi harus kembali pada petunjuk yang jelas dan definitif yang diturunkan oleh Allah.

Al-Tabari menekankan bahwa kebenaran yang dibawa oleh Al-Qur'an adalah keadilan yang mutlak, yang tidak bias dan tidak berpihak. Hakim harus memastikan bahwa setiap prosedur, pembuktian, dan keputusan yang diambil mencerminkan kebenaran ilahi ini, meskipun hasilnya tidak populer atau mengecewakan pihak yang memiliki kekuasaan.

2. Tugas Hakim dan Kewajiban Berhukum (لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ)

Frasa ini menetapkan peran fundamental Rasulullah ﷺ sebagai hakim tertinggi. Setelah beliau wafat, tugas ini diwariskan kepada para khalifah, pemimpin negara, dan para qadhi (hakim). Tugas ini adalah amanah terberat karena melibatkan hak-hak manusia yang dilindungi oleh syariat.

Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa hakim adalah wakil Allah di bumi dalam urusan peradilan. Oleh karena itu, putusannya harus didasarkan pada pengetahuan yang benar, yang hanya dapat diperoleh melalui wahyu dan sunnah yang menafsirkannya. Jika seorang hakim tidak menerapkan hukum yang diwahyukan, maka ia telah mengkhianati amanah tersebut.

3. Menghukum Berdasarkan Apa yang Allah Tunjukkan (بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ)

Ini adalah poin tafsir yang paling penting dalam konteks peradilan. Frasa "Bima Arāka Allāh" (dengan apa yang Allah tunjukkan kepadamu) memiliki dua makna utama yang saling melengkapi:

Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur'an menekankan bahwa frasa ini memastikan bahwa keadilan tidak tunduk pada subjektivitas manusia. Keadilan harus objektif, bersumber dari panduan yang diberikan oleh Allah, yang meliputi cara pengumpulan bukti, penimbangan saksi, dan penetapan hukuman. Ini adalah jaminan bahwa hakim tidak hanya menggunakan akalnya tetapi juga metodologi yang disucikan oleh agama.

4. Larangan Membela Pengkhianat (وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ خَصِيمًا)

Ini adalah larangan etis yang sangat keras dan mencakup dua dimensi:

Al-Mawardi, seorang ulama fikih dan politik, menafsirkan bahwa larangan ini meluas kepada semua pihak yang terlibat dalam sistem peradilan, termasuk jaksa, pengacara, dan saksi. Siapa pun yang membela kebatilan, mengetahui bahwa itu batil, maka ia telah menjadi khasīm bagi pengkhianat dan melanggar perintah ilahi ini. Ini adalah peringatan keras terhadap korupsi hukum dan penyalahgunaan profesi advokasi untuk membela kejahatan.

Implikasi Hukum Universal dan Prinsip Fikih

An Nisa Ayat 105 adalah salah satu ayat yang paling sering dikutip dalam literatur Usul Fiqh (Prinsip Hukum Islam) karena ayat ini merumuskan beberapa kaidah hukum universal yang berlaku bagi semua sistem peradilan.

1. Kaidah Keadilan Tanpa Pandang Bulu (Imparsialitas Absolut)

Ayat ini menetapkan bahwa keadilan tidak mengenal batasan suku, ras, agama, atau status sosial. Kasus Bani Ubayriq menunjukkan bahwa bahkan kecenderungan untuk membela seorang Muslim terhadap seorang Yahudi dikoreksi oleh Allah karena keadilan adalah nilai mutlak yang harus diterapkan kepada semua manusia. Ibnu Taymiyah menekankan bahwa keadilan harus diberikan kepada semua pihak, baik Muslim maupun non-Muslim, teman maupun musuh, berdasarkan bukti yang ada.

2. Kewajiban Menghindari Hukum Berdasarkan Dzann (Sangkaan)

Perintah untuk menghukum "Bima Arāka Allāh" menekankan pentingnya bukti nyata (bayyinah). Islam melarang pengambilan keputusan hukum berdasarkan dugaan, rumor, atau sangkaan semata (dzann). Tugas hakim adalah menggali fakta secara objektif, menimbang bukti dengan cermat, dan mencapai keyakinan hukum yang didasarkan pada prosedur syar’i yang valid. Hal ini sejalan dengan kaidah fikih: "Hukum dibangun di atas keyakinan, bukan keraguan."

3. Prinsip Audit Ilahi terhadap Keputusan Hakim

Ayat ini berfungsi sebagai pengingat bahwa setiap hakim berada di bawah pengawasan ilahi. Jika Rasulullah ﷺ pun perlu dikoreksi oleh wahyu, maka hakim biasa jauh lebih rentan terhadap kekeliruan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal ini menimbulkan prinsip akuntabilitas tertinggi dalam sistem hukum Islam. Keputusan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan di dunia (melalui proses banding/audit) dan di akhirat.

4. Etika Profesi Advokat dan Pembela Hukum

Larangan menjadi khasīm bagi pengkhianat memiliki implikasi besar terhadap etika profesi hukum. Meskipun seorang pengacara memiliki tugas untuk memberikan pembelaan terbaik bagi kliennya, para fuqaha menyimpulkan bahwa pengacara dilarang menggunakan cara-cara curang, memalsukan bukti, atau berbohong untuk membebaskan klien yang mereka yakini bersalah. Tugas utama profesi hukum dalam Islam adalah membantu menegakkan keadilan, bukan memenangkan kasus dengan segala cara.

5. Hukuman bagi Saksi Palsu dan Manipulator

Kasus Bani Ubayriq menunjukkan bahwa orang-orang yang berbohong atau memberikan kesaksian palsu untuk memutarbalikkan fakta, seperti yang dilakukan oleh keluarga Thu'mah, berada dalam kategori pengkhianat yang dicela oleh ayat ini. Dalam fikih, kesaksian palsu (syahadah az-zur) adalah dosa besar yang merusak fondasi peradilan dan dapat dikenai hukuman berat, termasuk hukuman cambuk atau penjara, tergantung pada mazhab dan beratnya kerusakan yang ditimbulkan.

Dengan demikian, An Nisa Ayat 105 tidak hanya memberikan instruksi kepada hakim, tetapi juga mengatur seluruh ekosistem peradilan: sumber hukum, prosedur investigasi, etika pembelaan, dan konsekuensi bagi mereka yang berusaha merusak kebenaran.

Relevansi Kontemporer: Keadilan di Era Modern

Meskipun diturunkan lebih dari seribu tahun lalu, pesan An Nisa Ayat 105 tetap sangat relevan, khususnya dalam menghadapi tantangan hukum dan etika di dunia modern yang kompleks, di mana korupsi, manipulasi media, dan kepentingan politik sering kali mengancam independensi peradilan.

Integritas Hakim dan Kepemimpinan Publik

Dalam konteks modern, perintah untuk mengadili "Bima Arāka Allāh" diterjemahkan menjadi kewajiban bagi para pemimpin dan hakim untuk memiliki integritas yang tak tergoyahkan. Mereka harus memastikan bahwa putusan mereka didasarkan pada undang-undang yang berlaku (yang idealnya tidak bertentangan dengan prinsip keadilan universal) dan bukti yang sahih, jauh dari pengaruh suap, tekanan politik, atau popularitas. Seorang hakim yang korup, yang mengambil keputusan berdasarkan uang atau kekuasaan, secara esensial adalah khasīm bagi pengkhianat, karena ia membela kebatilan demi keuntungan pribadi.

Krisis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan di banyak negara sering kali berakar pada kegagalan hakim dan penegak hukum dalam menjalankan amanah ini. An Nisa 105 berfungsi sebagai pengingat keras bahwa otoritas publik harus berfungsi sebagai pelayan kebenaran, bukan alat kekuasaan.

Transparansi dan Akuntabilitas

Kasus Bani Ubayriq menunjukkan pentingnya transparansi proses dan mekanisme koreksi. Dalam sistem modern, hal ini terwujud dalam hak untuk banding, audit terhadap kinerja hakim, dan kebebasan pers yang mengawasi proses peradilan (selama tidak mengganggu independensi hakim). Kewajiban untuk mengadili dengan kebenaran (bil-haqq) menuntut sistem yang transparan, di mana alasan setiap putusan diuraikan secara logis dan terbuka, sehingga publik dapat menilai apakah keputusan tersebut didasarkan pada bukti yang ditunjukkan Allah.

Melawan Budaya Nepotisme dan Kolusi

Larangan membela pengkhianat adalah senjata ilahi melawan kolusi dan nepotisme. Dalam organisasi mana pun, baik pemerintah, perusahaan, atau lembaga agama, seringkali muncul kecenderungan untuk melindungi anggota internal yang bersalah demi menjaga nama baik atau solidaritas kelompok. Ayat ini secara eksplisit melarang sikap semacam itu. Keadilan harus mendahului loyalitas kelompok. Perlindungan terhadap pelaku kejahatan (pengkhianat) adalah pengkhianatan terhadap keadilan itu sendiri.

Peran Masyarakat dalam Penegakan Keadilan

Meskipun ayat ini secara langsung ditujukan kepada Rasulullah ﷺ sebagai hakim, masyarakat juga memikul tanggung jawab kolektif. Kasus Bani Ubayriq menunjukkan bagaimana opini publik dan tekanan kelompok dapat mencoba mempengaruhi peradilan. Oleh karena itu, masyarakat memiliki kewajiban untuk tidak memihak kepada kebatilan, berani memberikan kesaksian yang benar, dan mendukung hakim yang menegakkan keadilan sejati, bahkan ketika hal itu menyakitkan bagi kelompok mereka sendiri.

Pesan inti dari An Nisa Ayat 105 adalah bahwa keadilan adalah jembatan yang menghubungkan hukum ilahi dengan realitas manusia. Ia menuntut kejujuran di tingkat tertinggi, bukan hanya dari mereka yang diadili, tetapi terutama dari mereka yang mengadili.

Ekstensi Tafsir: Etika Pelaporan dan Jurnalistik

Dalam konteks informasi dan komunikasi modern, perintah untuk mengadili berdasarkan apa yang Allah tunjukkan dapat diperluas ke ranah pelaporan fakta. Jurnalis, analis, dan mereka yang bertugas menyebarkan informasi memiliki kewajiban etis untuk menyampaikan kebenaran (bil-haqq) dan tidak menjadi pembela (khasīm) bagi agenda-agenda yang curang atau manipulatif. Ayat ini mengingatkan bahwa media atau pelaporan yang bias, yang menyembunyikan atau memutarbalikkan fakta demi kepentingan tertentu, secara moral menyamai tindakan pengkhianatan yang dilarang.

Perbandingan dengan Hukum Internasional

Prinsip-prinsip yang terkandung dalam An Nisa Ayat 105—seperti hak atas peradilan yang adil (due process), presumption of innocence, dan larangan penggunaan bukti palsu—sejalan dengan banyak prinsip hukum internasional yang beradab. Namun, sumber motivasi dalam Islam adalah spiritual: keadilan ditegakkan bukan hanya karena itu baik bagi masyarakat, tetapi karena itu adalah perintah Allah yang wajib dipatuhi. Dimensi spiritual ini memberikan lapisan pengawasan dan akuntabilitas yang jauh lebih dalam daripada sekadar hukum buatan manusia.

Kisah Thu'mah bin Ubayriq dan teguran ilahi yang keras terhadap potensi kekeliruan dalam keputusan Nabi mengajarkan kepada kita bahwa perjalanan menuju keadilan adalah perjuangan berkelanjutan yang membutuhkan kewaspadaan abadi. Setiap proses hukum, setiap investigasi, dan setiap putusan adalah medan uji bagi integritas individu yang terlibat. Kegagalan untuk mematuhi prinsip ini bukan sekadar kesalahan prosedural, melainkan pengkhianatan terhadap Kitab yang diturunkan dengan kebenaran.

Pengaruh pada Pembentukan Karakter Umat

Lebih jauh dari sistem peradilan formal, An Nisa Ayat 105 menanamkan nilai-nilai kebenaran dalam karakter individu. Jika umat memahami bahwa Allah menegur Rasul-Nya karena potensi bias terhadap pengkhianat, maka setiap Muslim harus lebih waspada terhadap kecenderungan diri untuk berkhianat, baik dalam janji, transaksi bisnis, atau dalam hubungan interpersonal. Keadilan dimulai dari hati yang jujur dan komitmen untuk tidak menjadi khasīm (pembela) bagi kebatilan, sekecil apapun bentuknya.

Ayat ini adalah mercusuar. Ketika dunia tampak kabur oleh kabut kepentingan, politik, dan kekuasaan, An Nisa 105 mengarahkan kita kembali ke sumber cahaya: Al-Qur'an, yang diturunkan untuk memastikan bahwa keadilan adalah norma, bukan pengecualian. Kewajiban untuk mengadili dengan kebenaran adalah jaminan bagi kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan, memastikan bahwa hak-hak individu terlindungi dan bahwa penipu serta pengkhianat tidak mendapatkan tempat berlindung di bawah payung hukum.

Penelusuran mendalam terhadap ayat ini dari berbagai sudut pandang—historis, linguistik, fikih, dan etika—menggambarkan kekayaan tak terbatas dari wahyu ilahi. Ayat ini bukan hanya instruksi hukum, tetapi juga pelajaran moral yang abadi: jadilah pembela kebenaran, dan jangan pernah, dalam keadaan apa pun, membela kejahatan atau pengkhianatan. Keberanian seorang hakim untuk berdiri sendiri di hadapan kebenaran adalah manifestasi tertinggi dari iman dan kepatuhan terhadap perintah An Nisa Ayat 105.

Prinsip 'Bima Arāka Allāh' menuntut kerangka berpikir yang sangat teliti dalam mengumpulkan dan menimbang bukti. Dalam peradilan modern, hal ini mencakup ilmu forensik, analisis data yang cermat, dan penggunaan teknologi untuk mengungkap fakta yang tersembunyi. Penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan harus dipandang sebagai alat untuk memenuhi perintah ilahi dalam mencari kebenaran, bukan sebagai tujuan akhir itu sendiri. Apabila teknologi digunakan untuk memanipulasi bukti (seperti deep fake atau data palsu), maka penggunaan tersebut jatuh dalam kategori khianah yang dilarang keras oleh ayat ini.

Ayat ini juga memberikan wawasan tentang psikologi keadilan. Mengapa Allah harus secara eksplisit melarang membela pengkhianat? Karena secara naluriah, manusia cenderung membela kelompok atau kerabatnya. Perintah ini datang untuk mengatasi kelemahan naluriah tersebut dengan menetapkan bahwa ikatan iman dan kebenanan harus lebih kuat daripada ikatan darah atau suku. Pengkhianatan terhadap keadilan adalah pengkhianatan terhadap Allah, dan konsekuensinya jauh lebih besar daripada sekadar kehilangan sebuah kasus hukum di dunia.

Kesimpulan: Keadilan sebagai Manifestasi Tauhid

An Nisa Ayat 105 berdiri tegak sebagai monumen ajaran Islam mengenai keadilan dan integritas kepemimpinan. Ayat ini secara definitif menetapkan bahwa sumber segala hukum adalah wahyu ilahi, dan tujuan utama kekuasaan adalah mengadili manusia berdasarkan kebenaran yang diturunkan tersebut.

Kisah di balik penurunannya mengajarkan pelajaran yang tidak lekang dimakan waktu: bahwa kebenaran harus diutamakan di atas loyalitas kelompok, dan bahwa penyelidikan yang cermat harus mengalahkan asumsi dan manipulasi. Larangan tegas untuk menjadi pembela pengkhianat (khā'inīn) adalah perintah etis tertinggi yang menjamin bahwa sistem peradilan akan selalu berjuang untuk kesucian dan kebenaban, menolak segala bentuk korupsi dan kolusi.

Bagi umat Islam, kepatuhan terhadap An Nisa Ayat 105 adalah manifestasi nyata dari tauhid—pengakuan bahwa hanya Allah yang memiliki otoritas mutlak, dan bahwa keadilan adalah salah satu sifat-Nya yang harus dicerminkan oleh hamba-Nya di muka bumi. Implementasi sempurna dari ayat ini adalah kunci menuju masyarakat yang adil, stabil, dan dirahmati.

🏠 Kembali ke Homepage