Pengantar: Panggilan Suci Kepada Orang-Orang Beriman
Surah An-Nisa (Wanita) adalah surah Madaniyah yang kaya akan hukum-hukum sosial, etika bermasyarakat, dan penetapan fondasi keimanan yang kokoh. Di tengah perdebatan, peperangan, dan tantangan internal yang dihadapi komunitas Muslim awal, ayat 136 dari surah ini berfungsi sebagai seruan tegas dan fundamental. Ayat ini bukan sekadar ajakan; ia adalah deklarasi identitas, sebuah peta jalan menuju keselamatan spiritual, yang secara eksplisit menggariskan apa yang harus diyakini oleh seorang Muslim dan konsekuensi dari pengabaian salah satu pilar tersebut.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ ءَامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلْكِتَٰبِ ٱلَّذِى نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلْكِتَٰبِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا
Yā ayyuhal-lażīna āmanū āminū billāhi wa rasūlihī wal-kitābil-lażī nażżala 'alā rasūlihī wal-kitābil-lażī anzala min qabl, wa may yakfur billāhi wa malā'ikatihī wa kutubihī wa rusulihī wal-yaumil-ākhiri fa qad ḍalla ḍalālan ba'īdā.
Terjemah Makna: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.
Ayat ini menarik perhatian karena memulai dengan panggilan kepada 'orang-orang yang telah beriman' (يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟) diikuti dengan perintah untuk 'tetap beriman' (ءَامِنُوا۟). Ini menunjukkan bahwa keimanan bukanlah status statis yang sekali dicapai, melainkan sebuah proses dinamis yang memerlukan pembaruan, penguatan, dan penegasan terus-menerus. Keimanan sejati harus diperbaharui dalam hati dan diwujudkan dalam amal.
I. Penegasan Ulang Keimanan: Dinamika Iman dan Islam
Perintah "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman" seringkali menjadi titik fokus dalam tafsir. Para ulama, termasuk Imam Fakhruddin Ar-Razi dan Ibnu Katsir, menafsirkan seruan ganda ini dalam beberapa dimensi penting. Pertama, ia merupakan perintah untuk memperkuat keimanan yang sudah ada, mengubah keyakinan dasar menjadi keyakinan yang mendalam dan kokoh (*yaqin*). Kedua, ia dapat ditujukan kepada orang-orang yang baru memeluk Islam atau mereka yang keimanannya masih lemah (munafik), agar mereka segera memantapkan hati mereka. Ketiga, ia menegaskan pentingnya konsistensi dalam keyakinan dan praktik. Keimanan harus mencakup seluruh aspek yang diperintahkan, bukan parsial.
Struktur ayat ini menetapkan fondasi teologis yang mendasari seluruh bangunan ajaran Islam. Ia secara jelas membagi kewajiban keimanan menjadi lima pilar utama yang disebut dalam ayat, meskipun rukun iman secara tradisional berjumlah enam (dengan memasukkan Qada dan Qadar yang merupakan bagian inheren dari keyakinan kepada Allah). Ayat ini secara spesifik berfokus pada lima objek keimanan yang harus diakui dan diyakini oleh setiap individu yang mengaku beriman.
1. Keimanan kepada Allah (Tauhid Mutlak)
Pilar pertama dan yang paling utama adalah iman kepada Allah SWT, yang meliputi pengakuan akan keesaan-Nya (Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat). Keyakinan ini adalah sumbu sentral di mana semua keyakinan lain berputar. Tauhid Rububiyah adalah pengakuan bahwa hanya Dia yang mencipta, memelihara, dan mengurus alam semesta. Tauhid Uluhiyah adalah pengakuan bahwa hanya Dia yang berhak disembah. Tauhid Asma wa Sifat adalah pengakuan bahwa Dia memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, yang tidak menyerupai makhluk-Nya.
*Ilustrasi konseptual Tauhid: Cahaya dan Pusat Semesta*
Keimanan kepada Allah yang dituntut dalam An-Nisa 136 adalah keimanan yang paripurna, tidak terdistorsi oleh syirik sekecil apa pun. Ia menuntut pengabdian total, rasa takut (khauf), harapan (raja’), dan kecintaan (mahabbah) yang hanya ditujukan kepada-Nya. Kekuatan iman kepada Allah ini menjadi filter utama bagi setiap tindakan dan keputusan, memastikan bahwa seluruh hidup seorang mukmin terarah pada pencapaian ridha Ilahi. Keimanan ini harus terus diperdalam melalui perenungan ayat-ayat-Nya di alam semesta (ayat kawniyah) dan ayat-ayat-Nya dalam Al-Qur'an (ayat qauliyah).
Dalam konteks teologis yang lebih luas, Tauhid adalah landasan yang membedakan Islam dari sistem kepercayaan lain. Penekanan pada keesaan dan ketunggalan pencipta berarti menolak segala bentuk perantara mutlak atau sekutu dalam ibadah. Bagi seorang mukmin, mengenali Allah melalui Asmaul Husna—nama-nama-Nya yang indah—bukan hanya menambah pengetahuan, tetapi juga memperkuat kualitas imannya. Misalnya, keyakinan kepada-Nya sebagai Al-Ghafur (Maha Pengampun) memunculkan harapan, sementara keyakinan kepada Al-Qawiy (Maha Kuat) menanamkan ketenangan dalam menghadapi kesulitan duniawi. Tanpa keimanan yang benar dan mendalam kepada Allah, seluruh pilar keimanan lainnya akan runtuh, karena semua berasal dari sumber otoritas tunggal ini.
Penegasan kembali iman (seperti perintah dalam ayat ini) menegaskan bahwa sifat keimanan itu fluktuatif, dapat meningkat dan menurun. Oleh karena itu, seorang mukmin diperintahkan untuk terus mencari sarana penguatan, seperti dzikir, shalat, dan tafakkur (perenungan). Hal ini merupakan respons terhadap potensi melemahnya hati akibat godaan duniawi atau bisikan syaitan. Ayat An-Nisa 136 mengajak mukmin untuk 'mengikat' kembali keyakinan mereka, menjadikannya terstruktur dan berdasar, agar tidak terombang-ambing oleh keraguan atau filsafat yang menyesatkan.
2. Keimanan kepada Rasul-Nya (Muhammad SAW)
Pilar kedua adalah keyakinan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Keimanan ini mencakup pengakuan bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allah, penutup para nabi, serta bahwa semua yang beliau sampaikan adalah kebenaran mutlak dari Allah. Mengimani Rasulullah bukan sekadar mengakui eksistensi historisnya, tetapi mengakui otoritasnya sebagai penafsir dan pelaksana ajaran Ilahi.
Keimanan ini menuntut dua hal utama: ketaatan pada perintah beliau (Sunnah dan hadis) dan menjauhi larangan beliau. Tidak mungkin seseorang mengklaim beriman kepada Allah jika ia menolak risalah yang dibawa oleh Rasul-Nya. Rasulullah adalah jembatan penghubung antara kehendak Ilahi yang abstrak dengan praktik kehidupan manusia yang konkret. Tanpa Sunnah, ajaran Al-Qur'an akan sulit diimplementasikan secara praktis, misalnya dalam detail pelaksanaan shalat, puasa, atau haji.
Ayat ini juga menyiratkan bahwa penolakan terhadap kenabian Muhammad SAW, baik sebagian maupun keseluruhan, menempatkan seseorang pada posisi yang sama dengan kekafiran. Iman kepada Rasulullah adalah penegasan bahwa risalah yang dibawanya adalah penyempurnaan dari risalah-risalah sebelumnya, membawa hukum yang paling lengkap dan universal, yang cocok untuk setiap zaman dan tempat.
Aspek lain dari keimanan kepada Rasul adalah mencintai beliau melebihi diri sendiri, keluarga, dan harta benda. Cinta ini bukan hanya emosi, melainkan dorongan untuk meneladani akhlak mulianya, yang merupakan manifestasi sempurna dari ajaran Al-Qur'an. Ketaatan kepada Rasul adalah ketaatan kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain: "Barangsiapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah." (QS. An-Nisa: 80).
3. Keimanan kepada Kitab yang Diturunkan Kepadanya (Al-Qur'an)
Pilar ketiga adalah iman kepada Kitab yang diturunkan kepada Rasulullah, yaitu Al-Qur'an Al-Karim. Keimanan ini mengharuskan pengakuan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang otentik, tidak tercipta, dan terpelihara dari segala bentuk distorsi atau perubahan sejak diturunkan hingga Hari Kiamat.
Implikasi keimanan kepada Al-Qur'an sangat luas. Ia menuntut:
- Pembacaan dan Penghormatan: Membacanya dengan tajwid yang benar dan menghormati mushaf.
- Pemahaman (Tadabbur): Merenungkan makna dan tujuan ayat-ayatnya.
- Pengamalan (Tatbiq): Menerapkan hukum dan etika yang terkandung di dalamnya dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Al-Qur'an adalah *Al-Furqan* (Pembeda antara yang benar dan yang salah), *Asy-Syifa* (Penyembuh bagi penyakit hati), dan *Al-Huda* (Petunjuk). Dengan meyakini Al-Qur'an sebagai sumber hukum tertinggi, seorang mukmin memastikan bahwa hidupnya berjalan di atas rel syariat yang ditetapkan oleh Sang Pencipta. Mengabaikan Al-Qur'an atau meragukan keabsahannya adalah bentuk kekafiran yang secara langsung menyerang pilar inti yang ditetapkan dalam An-Nisa 136.
*Ilustrasi Kitab Suci: Sumber Hidayah*
Konteks historis penurunan Al-Qur'an juga menjadi bagian integral dari keimanan ini. Memahami bahwa ia diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun memungkinkan mukmin memahami kedalaman konteks (asbabun nuzul) dan hikmah pensyariatan bertahap. Iman kepada Al-Qur'an adalah pengakuan bahwa ia adalah mukjizat abadi Nabi Muhammad SAW, bukti nyata kebenaran risalahnya, yang tantangannya untuk menciptakan satu surah yang serupa tetap terbuka dan tak terjawab.
4. Keimanan kepada Kitab-kitab yang Diturunkan Sebelumnya
Pilar keempat adalah pengakuan terhadap Kitab-kitab suci yang diturunkan sebelum Al-Qur'an, seperti Taurat kepada Musa AS, Injil kepada Isa AS, dan Zabur kepada Daud AS, serta suhuf (lembaran-lembaran) kepada nabi-nabi terdahulu seperti Ibrahim AS. Ini adalah salah satu aspek penting yang membedakan Islam dari pandangan monoteistik lainnya; Islam menuntut penghormatan terhadap seluruh rantai pewahyuan.
Namun, keimanan di sini memiliki nuansa spesifik:
- Pengakuan Asal: Meyakini bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Allah dan merupakan petunjuk pada masanya.
- Keterbatasan Saat Ini: Mengakui bahwa teks-teks tersebut, dalam bentuknya yang ada saat ini, mungkin telah mengalami distorsi atau perubahan (tahrif), baik dalam teks maupun penafsirannya.
- Supremasi Al-Qur'an: Mengakui bahwa Al-Qur'an adalah *muhaimin* (penjaga, penguji, dan penentu kebenaran) atas kitab-kitab sebelumnya, dan hukum-hukumnya berlaku mutlak saat ini.
Penyebutan kitab-kitab terdahulu dalam An-Nisa 136 menunjukkan universalitas pesan Ilahi. Meskipun syariatnya berbeda-beda sesuai kebutuhan zaman, inti pesan tauhid dan moralitas selalu sama. Keyakinan ini menumbuhkan rasa persatuan historis dengan umat-umat terdahulu yang juga mengikuti petunjuk Allah, sekaligus menegaskan bahwa hanya Al-Qur'an yang menjadi panduan yang tidak terkontaminasi bagi umat manusia saat ini.
Dalam konteks menghadapi Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) pada masa Nabi Muhammad SAW, penegasan ini sangat strategis. Ini menunjukkan bahwa Muslim tidak menolak nabi-nabi dan kitab-kitab mereka, melainkan menuntut mereka untuk kembali kepada ajaran tauhid murni yang dibawa oleh nabi-nabi itu, yang kini telah disempurnakan oleh Al-Qur'an. Ini adalah panggilan untuk mengakui kontinuitas risalah ilahi dari zaman ke zaman.
Keimanan ini juga mendorong kaum Muslim untuk mempelajari sejarah para nabi dan isi pokok risalah mereka, yang banyak diceritakan kembali dalam Al-Qur'an. Kisah-kisah ini bukan sekadar narasi, melainkan pelajaran etika dan ketabahan dalam menghadapi ujian keimanan. Dengan demikian, rukun iman ini menjadi fondasi bagi pemahaman yang benar tentang sejarah agama dan kenabian.
5. Keimanan kepada Seluruh Rasul (Diperluas dalam Konsekuensi Kekafiran)
Meskipun ayat tersebut secara spesifik memerintahkan beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad), Al-Qur'an, dan kitab-kitab sebelumnya, bagian kedua ayat 136 (yang menjelaskan konsekuensi kekafiran) memperluas cakupan objek keimanan menjadi enam pilar standar rukun iman (Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir). Ini menggarisbawahi bahwa keimanan adalah sebuah paket yang tidak bisa dipisahkan.
Mengapa ayat ini menyebut 'Rasul-Nya' di awal dan 'Rasul-rasul-Nya' (jamak) di bagian akhir? Penekanannya adalah: beriman kepada Muhammad SAW adalah kewajiban yang spesifik saat ini, tetapi penolakan terhadap kebenaran nabi mana pun yang diutus Allah (misalnya menolak Nuh, Ibrahim, atau Musa) adalah sama dengan kekafiran. Iman dalam Islam bersifat inklusif terhadap semua utusan Tuhan, menolak pandangan yang memilah dan memilih nabi.
Setiap Rasul memiliki misi yang sama, yaitu menyeru kepada Tauhid. Tugas mereka adalah menyampaikan, menjelaskan, dan menjadi teladan. Keimanan kepada mereka berarti meyakini bahwa mereka semua jujur, amanah, menyampaikan risalah secara sempurna, dan maksum (terjaga dari dosa besar). Meragukan integritas salah satu dari mereka sama saja dengan meragukan kebijaksanaan Allah dalam memilih utusan-Nya.
Pilar keimanan kepada rasul-rasul ini menjamin kesinambungan sejarah petunjuk Ilahi. Muslim percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkan manusia tanpa bimbingan, selalu mengutus peringatan dan pembawa kabar gembira di setiap komunitas dan zaman. Ini menegaskan keadilan dan rahmat Allah.
II. Konsekuensi Ketidakpercayaan: Kesesatan yang Jauh (ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا)
Bagian kedua dari An-Nisa 136 adalah peringatan keras dan tegas mengenai konsekuensi spiritual dari penolakan. Ayat ini mengidentifikasi lima (atau enam, jika kita memisahkannya secara eksplisit) objek keimanan yang jika salah satunya diingkari, akan menyebabkan "sesat yang amat jauh" (ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا).
Objek-objek yang disebutkan dalam konteks kekafiran adalah: Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian. Ini adalah fondasi rukun iman dalam bentuk yang paling esensial. Penolakan terhadap salah satu elemen ini berarti merobohkan seluruh struktur keimanan.
1. Kafir kepada Malaikat-malaikat-Nya
Mengimani malaikat adalah meyakini eksistensi mereka sebagai makhluk yang diciptakan dari cahaya, yang tugasnya hanya taat kepada Allah tanpa pernah membangkang. Mereka adalah perantara wahyu (Jibril), pencatat amal (Raqib dan Atid), dan pelaksana perintah kosmis (Malaikat Maut, Mikail). Kekafiran terhadap malaikat berarti menolak mekanisme kerja alam semesta dan rantai transmisi wahyu Ilahi.
Penolakan terhadap malaikat seringkali muncul dari pandangan materialistik yang hanya mengakui apa yang dapat diindera. Islam menegaskan bahwa dunia ghaib adalah realitas, dan malaikat adalah bagian vital dari realitas tersebut. Mengingkari malaikat berarti menutup diri dari pemahaman tentang bagaimana komunikasi antara Allah dan Rasul-Nya terjadi, sehingga secara otomatis merusak keyakinan terhadap Al-Qur'an dan Rasul.
2. Kafir kepada Hari Kemudian (Yaumul Akhir)
Iman kepada Hari Akhir—kebangkitan, hisab, surga, dan neraka—adalah pendorong moralitas utama bagi manusia. Jika seseorang tidak meyakini adanya pertanggungjawaban setelah kematian, maka tidak ada lagi alasan kuat untuk menahan diri dari kezaliman dan hawa nafsu duniawi. Kekafiran terhadap Hari Akhir menghilangkan makna keadilan mutlak Allah. Hal ini membuat etika menjadi relatif dan tidak memiliki sanksi akhir, sehingga seluruh sistem hukum dan moral agama menjadi hampa.
Syeikh Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan bahwa kerangka keimanan ini berfungsi sebagai sistem perlindungan. Keimanan kepada Allah memberi tujuan hidup; kepada Rasul memberi metode; kepada Kitab memberi petunjuk; kepada Malaikat memberi kesadaran akan pengawasan; dan kepada Hari Akhir memberi motivasi dan harapan/ketakutan. Jika salah satu hilang, tujuan hidup akan hilang, metode akan kacau, dan motivasi akan padam, menghasilkan ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا.
3. Definisi Sesat yang Amat Jauh
Frasa ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا (sesat yang amat jauh) memiliki makna yang mendalam. Kata *Dhalal* (sesat) merujuk pada penyimpangan dari jalan kebenaran (As-Shirath Al-Mustaqim). Penambahan kata *Ba'idan* (amat jauh) menunjukkan bahwa penyimpangan ini bukan penyimpangan kecil yang mudah diperbaiki, melainkan penyimpangan mendasar dan fatal yang membuat individu sulit, bahkan mustahil, untuk kembali ke jalan yang lurus tanpa rahmat khusus dari Allah.
Ini adalah kesesatan yang komprehensif, mencakup aspek akidah (keyakinan), syariah (hukum), dan akhlak (moralitas). Ketika seseorang menolak fondasi keimanan yang disebutkan, ia kehilangan kompas spiritualnya. Ia mungkin mencoba mencari kebenaran di tempat lain, tetapi karena ia menolak sumber kebenaran yang otentik, setiap jalan yang diambilnya akan membawanya semakin jauh dari tujuan akhir.
Dalam tafsir kontemporer, kesesatan ini juga diartikan sebagai kehampaan spiritual dan intelektual. Orang yang menolak wahyu Ilahi akan mengisi kekosongan itu dengan ideologi buatan manusia, yang sifatnya sementara, kontradiktif, dan pada akhirnya menyesatkan. Ia menjadi budak hawa nafsunya atau menjadi korban tirani pemikiran sekuler yang memutus hubungan dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu, An-Nisa 136 adalah peringatan akan bahaya pemikiran parsial; keimanan harus diterima sebagai keseluruhan yang utuh.
III. Kontinuitas Risalah dan Kesempurnaan Ajaran
Ayat An-Nisa 136 sangat efektif dalam menjelaskan konsep kontinuitas risalah (pesan kenabian). Dengan mewajibkan iman kepada kitab-kitab sebelumnya dan nabi-nabi terdahulu, Islam menegaskan dirinya bukan sebagai agama baru yang terpisah dari sejarah spiritual umat manusia, melainkan sebagai penyempurnaan ajaran yang telah ada sejak Nabi Adam AS.
1. Islam sebagai Muhaimin (Penguji dan Penyempurna)
Keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah *Muhaimin* atas kitab-kitab sebelumnya adalah kunci. Ini berarti Al-Qur'an menguji dan mengoreksi apa pun yang tersisa dari kebenaran murni dalam ajaran-ajaran terdahulu. Meskipun Muslim menghormati Taurat dan Injil yang asli, mereka wajib berpegang pada Al-Qur'an karena ia adalah standar kebenaran terakhir dan terjamin keasliannya. Kepatuhan terhadap An-Nisa 136 memastikan bahwa seorang Muslim menghindari perpecahan dan dualisme keyakinan, menetapkan Al-Qur'an sebagai hakim tunggal dalam perselisihan antar-agama.
Konsep *Muhaimin* juga membawa tanggung jawab besar bagi umat Muslim untuk menjadi teladan dalam menjaga dan mengamalkan ajaran Kitab Suci. Ini adalah perintah untuk memastikan bahwa pesan Ilahi terakhir tetap murni dan relevan di tengah perubahan zaman. Keimanan ini memotivasi umat untuk terlibat aktif dalam dakwah dan penyebaran kebenaran, sebagaimana yang diamanatkan dalam Al-Qur'an itu sendiri.
Studi mendalam terhadap ayat ini memperlihatkan bahwa hubungan antara kitab-kitab suci yang berbeda bukanlah hubungan penolakan, melainkan hubungan penyempurnaan. Setiap kitab membawa cahaya di zamannya, dan Al-Qur'an mengumpulkan, mengoreksi, dan menyempurnakan semua cahaya tersebut menjadi satu penerangan abadi. Penolakan terhadap nabi atau kitab mana pun (seperti yang dilakukan oleh sebagian Yahudi yang menolak Isa atau Nasrani yang menolak Muhammad) secara esensial melanggar prinsip keimanan yang ditetapkan dalam ayat ini, menempatkan mereka dalam kategori 'sesat yang amat jauh'.
2. Integrasi Rukun Iman
Ayat ini secara indah mengintegrasikan fondasi Rukun Iman. Keimanan yang terpecah-pecah tidak akan diterima. Misalnya, seorang yang mengaku beriman kepada Allah, tetapi menolak Hari Akhir, sama saja menolak hikmah dan keadilan Allah. Seorang yang mengaku beriman kepada Al-Qur'an, tetapi menolak Rasulullah Muhammad SAW, sama saja menolak pembawa pesan dan penjelas pesan itu. Ayat 136 secara tegas menutup celah-celah ini, menuntut keimanan yang holistik dan komprehensif.
Inilah yang membedakan iman yang utuh (*al-iman al-kamil*) dari sekadar pengakuan lisan. Iman yang utuh harus mencakup pengakuan hati (tashdiq bi al-qalb), pernyataan lisan (iqrar bi al-lisan), dan pembuktian amal (amal bi al-arkan). Ayat ini fokus pada dimensi *tashdiq* yang mendalam—menetapkan objek-objek yang wajib diyakini oleh hati, karena kerusakan pada keyakinan dasar akan otomatis merusak dimensi lisan dan perbuatan.
Kesesatan yang jauh muncul ketika seseorang mulai memilih-milih objek keimanan. Jika seseorang menerima Allah tetapi menolak Malaikat, ia telah menolak proses wahyu. Jika ia menerima Al-Qur'an tetapi menolak Rasul, ia menolak implementasi praktisnya. Ini adalah bahaya dari relativisme spiritual, di mana individu menciptakan agamanya sendiri berdasarkan potongan-potongan keyakinan yang disukainya. Ayat An-Nisa 136 adalah penangkal terhadap relativisme tersebut, menuntut penerimaan total terhadap otoritas wahyu.
IV. Penerapan Praktis dan Implikasi Etika
Keimanan yang ditetapkan dalam An-Nisa 136 tidak bersifat teoretis semata; ia memiliki implikasi mendalam terhadap perilaku sehari-hari seorang mukmin. Mengimani setiap pilar yang disebutkan adalah membenarkan pandangan dunia yang mengatur etika, hukum, dan interaksi sosial.
1. Penguatan Komitmen (Tajdidul Iman)
Perintah berulang untuk 'tetap beriman' adalah panggilan untuk *tajdidul iman* (memperbaharui iman). Dalam kehidupan yang penuh godaan, iman cenderung terkikis. Ayat ini berfungsi sebagai pengingat harian untuk mengevaluasi diri: Apakah saya masih teguh pada keyakinan kepada Allah yang Maha Esa? Apakah saya mengikuti Sunnah Nabi dengan ikhlas? Apakah saya menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber utama dalam pengambilan keputusan?
Pembaharuan iman ini diwujudkan melalui peningkatan ibadah, pencarian ilmu agama yang mendalam, dan menjauhi maksiat. Ia menuntut seorang mukmin untuk tidak pernah merasa puas dengan tingkat keimanannya saat ini, melainkan selalu berusaha mencapai *ihsan* (kesempurnaan ibadah, seolah melihat Allah atau merasa dilihat oleh-Nya).
2. Konsolidasi Umat dan Solidaritas
Ketika semua Muslim berpegang teguh pada fondasi keimanan yang sama (Allah, Rasul, Kitab-kitab suci, Hari Akhir), hal ini menciptakan kesatuan umat. Tidak ada ruang untuk perpecahan mendasar dalam akidah. Semua perbedaan yang muncul harus diselesaikan dengan merujuk kembali kepada Kitab dan Sunnah, yang merupakan objek keimanan utama yang disebutkan dalam ayat ini. Keimanan yang kokoh dan seragam adalah prasyarat bagi persatuan (ukhuwah) yang kuat.
Di masa kini, di mana umat Islam seringkali terpecah oleh isu-isu politik atau fiqih minor, An-Nisa 136 mengarahkan perhatian kembali kepada hal-hal yang menyatukan: Tauhid yang murni dan risalah yang dibawa oleh Muhammad SAW. Ayat ini mengajak komunitas Muslim untuk mencari titik temu akidah yang fundamental, meninggalkan perselisihan yang tidak substansial yang dapat merusak persatuan dan menjauhkan mereka dari jalan hidayah.
3. Menghadapi Ideologi Kontemporer
An-Nisa 136 juga relevan dalam menghadapi tantangan ideologi modern yang menantang fondasi keimanan.
- Ateisme dan Agnostisisme: Menolak iman kepada Allah dan Hari Akhir, secara langsung melanggar poin-poin krusial ayat ini.
- Sekularisme: Berusaha memisahkan otoritas wahyu (Al-Qur'an dan Rasul) dari urusan publik dan tata negara, merusak keimanan kepada Kitab sebagai panduan hidup.
- Liberalisme Agama yang Ekstrem: Berusaha 'memfilter' atau 'merevisi' ajaran Rasul atau Kitab Suci agar sesuai dengan standar budaya kontemporer, yang secara implisit menolak keotentikan dan supremasi Kitab dan Rasul.
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada ruang abu-abu dalam fondasi keimanan. Jika seseorang menolak salah satu pilar tersebut, ia berada dalam kesesatan yang sangat jauh. Ini adalah garis demarkasi yang jelas antara jalan hidayah dan jalan kesesatan, memberikan kerangka teologis yang tangguh untuk mempertahankan akidah di tengah hiruk pikuk pemikiran modern.
V. Analisis Lanjutan Mengenai Kedalaman Keimanan
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif terhadap perintah dalam An-Nisa 136, kita harus menggali lebih dalam makna iman itu sendiri, yang dalam konteks ayat ini menuntut ketaatan vertikal dan horizontal secara simultan. Ketaatan vertikal adalah hubungan langsung dengan Allah (Tauhid), sedangkan ketaatan horizontal adalah penerimaan atas mekanisme pewahyuan dan pertanggungjawaban (Rasul, Kitab, Hari Akhir).
1. Keimanan kepada Allah Melalui Asmaul Husna
Keimanan kepada Allah yang ditetapkan dalam ayat ini diperkuat dengan pemahaman mendalam tentang Asmaul Husna (Nama-nama Indah Allah). Mengenal Allah sebagai Al-Khaliq (Sang Pencipta) menuntut kita untuk menyadari keterbatasan kita sebagai makhluk. Mengenal-Nya sebagai Al-Adl (Yang Maha Adil) memperkuat keyakinan akan Hari Kiamat. Mengenal-Nya sebagai Al-Hadi (Sang Pemberi Petunjuk) menjustifikasi pengutusan Rasul dan penurunan Kitab.
Dengan demikian, perintah untuk beriman kepada Allah dalam An-Nisa 136 bukan hanya pengakuan eksistensi, tetapi pengakuan akan kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang mengarah pada pengagungan dan ibadah yang murni. Apabila keimanan kepada sifat-sifat Allah lemah, maka ibadah yang dilakukan akan terasa hampa dan tidak memiliki dampak transformatif pada perilaku.
Tingkat keimanan yang diharapkan oleh ayat ini adalah *Iman Haqiqiy* (iman yang hakiki), di mana hati sepenuhnya terikat pada keesaan Allah, dan pikiran tidak lagi diganggu oleh keraguan eksistensial. Iman ini menghasilkan *tawakkal* (berserah diri) yang sempurna, karena mukmin tahu bahwa segala urusan berada dalam genggaman Dzat yang Maha Kuat dan Maha Bijaksana.
Kajian mendalam tentang konsep *uluhiyah* (ketuhanan) dalam ayat ini juga relevan. Iman sejati kepada Allah menuntut pembebasan dari segala bentuk perbudakan selain kepada-Nya. Ini adalah pembebasan dari perbudakan harta, pangkat, hawa nafsu, dan bahkan opini publik yang bertentangan dengan wahyu. Hanya ketika keimanan kepada Allah berada di puncak hierarki hati, barulah keimanan kepada Rasul dan Kitab dapat berfungsi secara optimal.
2. Keterkaitan Kitab dan Rasul dalam Hukum Syariat
Ayat 136 menekankan peran ganda Rasulullah: beliau adalah penerima Kitab dan juga penjelasnya. Dalam konteks syariat, Kitab (Al-Qur'an) menyediakan prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar hukum, sementara Sunnah (Risalah Rasul) menyediakan detail, konteks, dan cara pelaksanaan. Penolakan terhadap Sunnah (yang merupakan manifestasi ketaatan kepada Rasul) berarti menolak kemampuan untuk mengamalkan Kitab.
Sebagai contoh, kewajiban shalat dan zakat ada dalam Al-Qur'an, tetapi detail *kaifiyat* (tata cara) dan *nishan* (nisab/batas minimal) hanya dijelaskan melalui Sunnah Nabi. Oleh karena itu, beriman kepada "Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya" secara otomatis mengharuskan pengamalan ajaran yang disampaikan oleh Rasul. Ini adalah jaminan bahwa Islam tidak dapat dipraktikkan secara benar melalui interpretasi murni rasional tanpa bimbingan kenabian.
Pemahaman ini mengukuhkan peran sentral Rasulullah SAW. Meskipun beliau adalah manusia biasa, beliau adalah manusia yang dipilih dan disucikan (maksum) dalam penyampaian risalah. Keraguan terhadap kesempurnaan penyampaian beliau adalah keraguan terhadap kesempurnaan Kitab, yang pada akhirnya adalah keraguan terhadap Allah SWT—sebuah lingkaran kekafiran yang membawa pada ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا.
Para ulama tafsir klasik menekankan bahwa keimanan kepada Rasul juga mencakup keyakinan terhadap segala berita ghaib yang beliau sampaikan, seperti peristiwa sebelum Hari Kiamat, kondisi di dalam kubur, dan deskripsi Surga dan Neraka. Hal-hal ghaib ini, meskipun tidak dapat diverifikasi oleh indera manusia, harus diterima dengan keyakinan penuh karena sumbernya adalah wahyu melalui Rasulullah SAW, yang kebenarannya dijamin oleh Allah dalam Kitab-Nya.
3. Peringatan terhadap Kekafiran yang Bertahap
An-Nisa 136 tidak hanya berbicara tentang kekafiran total, tetapi juga memperingatkan terhadap kekafiran yang bertahap, yaitu menolak satu per satu rukun iman. Kekafiran ini dapat dimulai dengan meragukan keotentikan satu hadis, kemudian meragukan keadilan Allah karena musibah, hingga akhirnya menolak seluruh sistem keyakinan.
Ayat ini mendidik mukmin untuk menjadi garda terdepan pertahanan akidah. Setiap pilar harus dijaga dengan cermat. Keimanan adalah rantai yang kuat; jika satu mata rantai putus, seluruh rantai akan rusak. Inilah alasan mengapa peringatan *Dhalalan Ba’idan* (sesat yang amat jauh) diletakkan di akhir ayat, sebagai penutup yang menakutkan bagi siapa pun yang mencoba memecahbelah fondasi yang telah ditetapkan oleh Allah.
Lebih dari itu, kekafiran yang jauh ini juga mencerminkan penyimpangan sosial. Sebuah masyarakat yang kehilangan keyakinan akan Hari Akhir akan menjadi masyarakat yang korup dan tidak peduli terhadap hak-hak sesama. Sebuah masyarakat yang menolak Rasulullah akan kehilangan standar etika universal yang dibawa oleh Sunnah. Jadi, kesesatan yang jauh bukan hanya penderitaan individu, tetapi juga kehancuran peradaban.
VI. Relevansi Abadi Ayat An-Nisa 136
Ayat An-Nisa 136 tetap menjadi mercusuar petunjuk, membimbing umat manusia di tengah arus deras informasi dan ideologi yang saling bertentangan. Di era digital, di mana otoritas keagamaan terus dipertanyakan, ayat ini mengembalikan umat pada sumber otoritas tunggal yang tak terbantahkan: Allah, Kitab-Nya, dan Rasul-Nya.
1. Pondasi Ilmu Pengetahuan Islam
Dalam tradisi keilmuan Islam, ayat ini adalah titik awal untuk studi Akidah (Teologi). Semua ilmu keislaman, mulai dari Fiqih, Tafsir, hingga Hadis, berdiri di atas keyakinan bahwa Allah telah berbicara (melalui Kitab) dan Kitab itu telah dijelaskan (melalui Rasul). Jika keyakinan ini goyah, seluruh bangunan ilmu pengetahuan Islam akan kehilangan legitimasinya.
Oleh karena itu, penekanan pada keimanan yang kokoh dalam An-Nisa 136 adalah dorongan untuk mencari ilmu, karena iman sejati adalah iman yang didasarkan pada pengetahuan (*ilmul yaqin*), bukan sekadar taklid buta. Studi Al-Qur'an dan Sunnah adalah cara praktis untuk menguatkan pilar-pilar keimanan yang diperintahkan.
Perintah untuk beriman juga mencakup kewajiban untuk mempertahankan keimanan tersebut dari serangan intelektual. Ini menuntut para cendekiawan Muslim untuk selalu siap menjelaskan dan mempertahankan kebenaran risalah Islam dengan argumentasi yang rasional dan logis, selaras dengan semangat yang diamanatkan oleh Kitab Suci itu sendiri.
2. Keimanan yang Menyelamatkan
Pada akhirnya, tujuan dari seluruh perintah keimanan dalam An-Nisa 136 adalah keselamatan abadi. Ayat ini adalah ultimatum kasih sayang: Allah menunjukkan jalan yang jelas dan memperingatkan terhadap bahaya yang pasti. Jalan keselamatan adalah keselarasan sempurna antara keyakinan, perkataan, dan perbuatan, yang semuanya diarahkan oleh lima (atau enam) pilar keimanan ini.
Kesesatan yang jauh bukan hanya kegagalan doktrinal, tetapi juga kegagalan penyelamatan diri. Mukmin yang teguh pada pilar-pilar ini akan menemukan kedamaian hati di dunia dan ganjaran tertinggi di akhirat. Inilah janji hakiki yang terkandung di balik seruan 'Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman.' Ini adalah janji bahwa upaya berkelanjutan dalam memperkuat keyakinan akan menghasilkan hasil yang tak terhingga.
Memahami kedalaman makna setiap komponen iman yang diamanatkan—baik itu Tauhid yang membebaskan, Risalah yang memandu, Kitab yang mencerahkan, maupun Hari Akhir yang memotivasi—adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan terarah. Ayat 136 dari Surah An-Nisa ini bukan hanya sebuah aturan, tetapi adalah esensi dari Islam itu sendiri, sebuah fondasi yang tak tergoyahkan bagi setiap hamba yang mencari keridhaan Ilahi.
Keimanan adalah perjalanan spiritual yang tiada henti. Penguatan keimanan adalah tindakan yang harus dilakukan setiap saat. Ketika seseorang menyadari bahwa setiap aspek keimanan itu saling terkait dan wajib diterima secara utuh, barulah ia dapat berharap terhindar dari ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا dan mencapai derajat mukmin yang sebenar-benarnya di sisi Allah SWT.
Inti dari perintah ini adalah pemurnian hati (tazkiyatun nufus) dan pembentukan kepribadian yang Islami (*shakhsiyah islamiyah*). Hanya dengan keimanan yang teguh, didasarkan pada semua rukun yang disebutkan, seorang individu mampu menghadapi cobaan, menolak godaan syirik modern, dan berkontribusi positif bagi perbaikan umat manusia, sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Kesempurnaan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai penutup para nabi, menjamin bahwa Al-Qur'an dan Sunnah adalah sumber hukum yang final. Keimanan kepada Rasul dan Kitab ini adalah pintu gerbang menuju implementasi *syariatul haq* (syariat yang benar), yang tidak hanya mengatur ibadah ritualistik, tetapi juga interaksi ekonomi, sosial, dan politik. Seorang mukmin yang sepenuhnya mengimani An-Nisa 136 akan menjadikan syariat sebagai panduan tertinggi dalam semua aspek kehidupannya.
Maka, bagi setiap insan yang mengaku beriman, ayat 136 adalah ujian abadi: apakah keyakinan yang kita miliki itu bersifat parsial, mudah goyah, dan didominasi oleh keraguan, ataukah ia adalah keyakinan yang menyeluruh, diperbaharui setiap hari, dan diwujudkan dalam ketaatan mutlak kepada Allah, Rasul-Nya, dan wahyu-Nya yang abadi.
Kepatuhan terhadap An-Nisa 136 bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah kebutuhan spiritual mendasar. Ia memastikan bahwa akar keimanan tertanam dalam tanah kebenaran yang tidak akan pernah layu, menjamin buah berupa amal saleh dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Inilah makna terdalam dari panggilan suci: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ ءَامِنُوا۟.