Ayat ke-43 dari Surah An-Nisa merupakan salah satu ayat fundamental dalam syariat Islam yang mengatur hubungan antara kondisi spiritual, fisik, dan pelaksanaan ibadah salat. Ayat ini memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai larangan mendekati salat dalam kondisi tertentu, serta menawarkan solusi yang bersifat memudahkan (taysir) ketika air sebagai sarana utama penyucian tidak tersedia. Kajian terhadap ayat ini membuka gerbang pemahaman yang luas, mencakup aspek akidah, fiqh (hukum), linguistik, dan prinsip hikmah dalam penetapan hukum.
Terjemah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (Jangan pula mendekati salat) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi (wajib). Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau telah menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah mukamu dan tanganmu (dengan tanah itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Ayat An-Nisa 43 diturunkan pada periode awal penetapan hukum Islam di Madinah. Ayat ini memiliki dua konteks utama yang saling terkait: larangan salat dalam kondisi mabuk dan penetapan hukum Tayammum.
Sebelum larangan total khamr (minuman keras) yang ditetapkan dalam Surah Al-Ma'idah ayat 90, Al-Qur'an menggunakan pendekatan bertahap dalam menghapus kebiasaan yang telah mengakar kuat di masyarakat Arab, yaitu meminum khamr. Ayat 43 dari An-Nisa ini merupakan langkah kedua dalam proses pengharaman tersebut.
Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat salat dalam keadaan masih dipengaruhi minuman keras. Dalam salah satu riwayat, saat salat Maghrib, terjadi kekeliruan fatal dalam bacaan imam yang menyebabkan kekacauan dan ketidakpahaman jamaah terhadap apa yang diucapkan. Kejadian ini menegaskan bahwa tujuan utama salat—yaitu berkomunikasi dengan Allah SWT—tidak tercapai jika pikiran sedang tidak jernih.
Bagian kedua ayat ini diturunkan untuk memberikan solusi dalam situasi darurat atau kesulitan. Tayammum adalah sebuah keringanan (rukhsah) yang menunjukkan keluwesan syariat. Berdasarkan riwayat, aturan Tayammum ini ditetapkan ketika para sahabat, termasuk Aisyah RA, mengalami kesulitan mendapatkan air saat dalam perjalanan (safar) dan mereka berada dalam kondisi junub atau harus berwudu. Dengan penetapan Tayammum, ibadah salat tetap dapat dilaksanakan tanpa harus menunda atau meninggalkannya karena kendala air.
Frasa "لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ" (Janganlah kamu mendekati salat) menunjukkan bahwa larangan ini berlaku sejak persiapan salat dimulai, bukan hanya saat takbiratul ihram. Syarat yang harus dipenuhi adalah "حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ" (sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan). Ini adalah syarat fundamental dari ibadah salat, yaitu kesadaran penuh.
Junub adalah kondisi hadas besar yang mewajibkan mandi (Ghusl). Kondisi junub terjadi karena hubungan suami istri atau keluarnya mani, baik dalam tidur maupun sadar. Orang yang junub dilarang melakukan beberapa hal, dan yang paling utama dilarang dalam ayat ini adalah mendekati tempat salat.
Pengecualian "إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ" (kecuali sekadar berlalu saja) menimbulkan beberapa tafsiran di kalangan ulama:
Larangan ini berlaku "حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا" (hingga kamu mandi wajib). Mandi wajib adalah syarat sah mutlak untuk menghilangkan hadas besar.
Tayammum diperbolehkan jika seseorang berada dalam salah satu dari empat kondisi berikut:
Sakit di sini diartikan sebagai kondisi di mana penggunaan air (wudu atau ghusl) dapat memperburuk penyakit, menunda kesembuhan, atau menyebabkan bahaya yang nyata. Ini harus diputuskan berdasarkan konsultasi dengan dokter atau pengalaman yang meyakinkan. Tayammum diizinkan untuk hadas kecil maupun hadas besar (junub).
Jika seseorang sedang dalam perjalanan (safar) dan tidak menemukan air yang cukup untuk bersuci, ia diizinkan Tayammum. Kriteria tidak adanya air ini sangat ketat: air tidak ditemukan sama sekali, atau air yang ada hanya cukup untuk minum/kebutuhan vital lainnya, atau ada bahaya jika mencari air (misalnya ancaman binatang buas atau musuh).
Ini merujuk pada hadas kecil setelah buang air besar atau kecil, yang biasanya memerlukan Wudu. Jika setelah buang hajat seseorang tidak menemukan air, maka Tayammum menjadi pengganti Wudu.
Frasa "لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ" (menyentuh perempuan) adalah titik perbedaan pendapat utama (khilafiyah) di kalangan mazhab Fiqh. Ayat ini berfungsi sebagai penentu hadas kecil (nullifier wudu):
Jika hadas kecil terjadi (misalnya karena menyentuh), dan air tidak ditemukan, maka Tayammum dilakukan sebagai pengganti wudu.
Ketika kondisi darurat terpenuhi dan air tidak ada, perintah selanjutnya adalah: "فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ" (maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah mukamu dan tanganmu).
Sha'idan Tayyiban diartikan sebagai permukaan bumi yang suci. Mayoritas ulama (Jumhur) memperluas makna ini tidak hanya terbatas pada tanah atau pasir, tetapi juga mencakup segala sesuatu yang berasal dari permukaan bumi seperti debu yang menempel di batu, dinding, atau tempat yang bersih, selama ia tidak najis. Syarat utamanya adalah suci dan memiliki ‘debu’ atau partikel halus.
Berdasarkan ayat ini dan hadits Nabi SAW, rukun Tayammum meliputi:
Terdapat perbedaan pandangan terkait jumlah pukulan ke debu:
Wudu atau Ghusl dengan air menghilangkan hadas secara hakiki (rafa'ul hadats) dan berlaku sampai wudu tersebut batal. Sebaliknya, Tayammum hanya berfungsi untuk membolehkan (ibahah) pelaksanaan salat. Para ulama berbeda pendapat apakah satu Tayammum dapat digunakan untuk beberapa waktu salat fardhu:
Namun, semua sepakat bahwa jika air ditemukan, maka Tayammum batal secara otomatis dan wajib menggunakan air untuk bersuci.
Pembatal Tayammum adalah segala hal yang membatalkan wudu (hadas kecil dan besar), ditambah dua hal spesifik terkait syarat Tayammum:
Larangan mendekati salat dalam keadaan mabuk menunjukkan bahwa salat bukan sekadar gerakan fisik atau rutinitas, melainkan momen komunikasi spiritual yang memerlukan kehadiran hati dan akal. Syariat menempatkan akal sebagai prasyarat utama taklif (pembebanan hukum). Ibadah yang dilakukan tanpa kesadaran adalah ibadah yang kosong. Hikmah di balik larangan mabuk saat salat adalah menjamin kualitas ibadah dan menghindari kealpaan dalam menghadap Sang Pencipta.
Penetapan Tayammum adalah manifestasi nyata dari firman Allah bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan.
Tayammum menunjukkan bahwa kebersihan spiritual (penghilangan hadas) dapat dicapai melalui benda-benda alam selain air (debu), menegaskan bahwa seluruh permukaan bumi adalah sarana penyucian bagi umat Muhammad, sebagai salah satu keistimewaan (khasha’is) umat ini.
Seorang yang disebut Faqidut Thuhurain adalah orang yang tidak bisa menggunakan air (karena uzur) dan juga tidak bisa menggunakan debu (karena ketiadaan debu suci, atau sakit parah di seluruh badan). Dalam kasus ini, ulama terbagi:
Penekanan mayoritas ulama pada pelaksanaan salat meskipun tanpa penyucian sempurna menunjukkan betapa pentingnya waktu salat itu sendiri, sejalan dengan prinsip “tidak menunda ibadah” yang didukung oleh adanya Tayammum.
Jika seseorang junub dan ia sakit parah sehingga sentuhan air akan membahayakannya, ayat 43 menegaskan bahwa ia cukup Tayammum. Ayat ini secara eksplisit mengizinkan Tayammum sebagai pengganti Ghusl (mandi wajib) bagi orang sakit atau musafir yang tidak menemukan air. Tayammum yang dilakukan untuk hadas besar memiliki tata cara yang sama persis dengan Tayammum untuk hadas kecil (wudu): dua usapan (wajah dan tangan).
Bagi pasien yang terpasang infus, kateter, atau mengalami luka parah yang harus diperban (jabirah), hukum Tayammum dan Mas’h ‘alal Jabirah (mengusap perban) menjadi solusi. Ayat ini memberikan dasar bahwa kesulitan fisik (sakit) adalah uzur yang membolehkan perpindahan dari bersuci dengan air ke Tayammum, menjamin bahwa ibadah tidak memberatkan pasien.
Dalam situasi krisis air bersih atau kelangkaan air, hukum Tayammum menjadi pedoman. Syariat menekankan pentingnya menghemat air. Jika air yang ada sangat terbatas, maka air tersebut harus diprioritaskan untuk kebutuhan minum dan makan, sementara penyucian ibadah dapat dialihkan sementara ke Tayammum. Ini menunjukkan keseimbangan Islam antara kewajiban ibadah dan pelestarian kehidupan.
‘Afuw (Maha Pemaaf) merujuk pada penghapusan dosa dan kesalahan, bahkan sebelum tobat. Dalam konteks ayat ini, Allah memaafkan ketidaksempurnaan bersuci yang diakibatkan oleh uzur (sakit, safar, ketiadaan air), dan menerima ibadah yang dilaksanakan dengan Tayammum sebagai ibadah yang sempurna.
Ghafur (Maha Pengampun) merujuk pada penutupan dosa. Allah mengampuni hamba-Nya yang mungkin terlanjur melakukan kesalahan—misalnya salat dalam keadaan bingung atau lupa—selama ia kembali kepada kesadaran dan menggunakan keringanan yang diberikan (Tayammum).
Ayat An-Nisa 43 adalah salah satu fondasi utama fiqh Thaharah. Ia menetapkan standar kebersihan spiritual (melalui mandi dan wudu), menekankan kekhusyukan dan kesadaran dalam salat (melalui larangan mabuk), dan memberikan solusi praktis (Tayammum) bagi mereka yang berada dalam kesulitan. Ayat ini merupakan bukti keagungan syariat yang memadukan ketegasan hukum dengan prinsip kemudahan dan kasih sayang yang tak terbatas.
Pemahaman yang komprehensif terhadap Surah An-Nisa ayat 43 memastikan bahwa umat Islam dapat melaksanakan kewajiban terpenting mereka—yaitu salat—dalam kondisi kesucian, kesadaran, dan kemudahan, di mana pun mereka berada.