Manifestasi Karunia Illahi: Telaah Mendalam Surah An-Nahl Ayat 72

Kitabullah sebagai Sumber Hikmah

Surah An-Nahl, yang secara harfiah berarti 'Lebah', adalah surah yang kaya akan perumpamaan, ajaran moral, dan bukti-bukti kekuasaan Allah yang terhampar dalam semesta. Surah ini sering disebut sebagai ‘Surah Nikmat’ karena detailnya dalam menjelaskan berbagai karunia yang dilimpahkan Allah kepada umat manusia, mulai dari penciptaan, hewan ternak, hujan, hingga makanan yang lezat. Di tengah rangkaian penjelasan tentang kekuasaan dan rezeki tersebut, terdapat Ayat 72, sebuah permata yang secara spesifik menyoroti dua jenis nikmat fundamental yang membentuk pondasi peradaban dan ketenangan spiritual: nikmat pasangan hidup dan nikmat keturunan, yang kemudian disandingkan dengan nikmat rezeki, diakhiri dengan peringatan keras terhadap pengingkaran.

Ayat 72 dari Surah An-Nahl berbunyi:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
"Dan Allah menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari pasanganmu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?" (QS. An-Nahl: 72)

Ayat ini, yang tampaknya ringkas, memuat konsep teologis, sosiologis, dan eksistensial yang sangat mendalam. Ia mengarahkan perhatian manusia pada sumber ketenangan pribadi (pasangan), kelangsungan hidup (keturunan), dan sarana keberlangsungan hidup (rezeki yang baik), dan kemudian mengajukan pertanyaan retoris yang menusuk hati tentang pilihan manusia untuk berpaling dari Realitas yang jelas ini.

I. Fondasi Ketenangan: Pasangan dari Jenis Diri Sendiri (مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا)

Bagian pertama ayat ini menyoroti nikmat fundamental dari penciptaan pasangan: "Dan Allah menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri (min anfusikum azwajan)." Pemilihan diksi ini sangat spesifik dan sarat makna. Frasa ‘min anfusikum’ (dari jenis diri kamu sendiri) bukan sekadar pernyataan biologis, melainkan penegasan teologis yang melampaui batas-batas material.

A. Konsep Kesamaan dan Sakinah

Kebutuhan manusia akan pasangan adalah kebutuhan inheren yang melampaui kebutuhan seksual semata; ia adalah kebutuhan spiritual dan psikologis. Ketika Allah menggunakan frasa "dari jenis kamu sendiri," Ia menekankan bahwa pasangan tersebut adalah sosok yang paling sesuai untuk memberikan ketenangan (sakinah) dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah), sebagaimana dijelaskan pula dalam surah lain. Pasangan bukan diciptakan dari spesies lain yang asing, melainkan dari esensi yang sama, memungkinkan kompatibilitas emosional, intelektual, dan spiritual yang sempurna.

Penciptaan pasangan dari jenis diri sendiri menjamin adanya kesamaan dalam struktur berpikir, kebutuhan dasar, dan cara pandang terhadap eksistensi. Ini menghilangkan hambatan komunikasi yang esensial dan memungkinkan pertumbuhan bersama dalam bingkai ketakwaan. Ketenangan yang didapat dari pasangan adalah manifestasi langsung dari desain Ilahi; ia adalah tempat berlindung dari hiruk pikuk dunia luar, tempat di mana jiwa menemukan istirahat. Jika pasangan bukan berasal dari esensi yang sama, proses pencarian ketenangan akan menjadi pergulatan yang tak berkesudahan, sebab perbedaan fundamental akan menghalangi rasa memiliki dan pemahaman yang mendalam.

Peranan pasangan dalam membangun peradaban yang beradab dan bermartabat tidak dapat dipisahkan dari instruksi ayat ini. Institusi perkawinan yang sah merupakan landasan bagi terbentuknya masyarakat yang stabil, sebuah lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan individu dan transmisi nilai-nilai luhur. Tanpa adanya struktur keluarga yang diakui dan ditegaskan oleh pencipta, tatanan sosial akan runtuh, dan individu akan terombang-ambing dalam kegelisahan eksistensial yang tak terhindarkan. Oleh karena itu, nikmat pasangan merupakan nikmat primer yang menjadi katalisator bagi nikmat-nikmat lainnya yang disebutkan dalam ayat ini.

Keberadaan pasangan adalah ujian dan karunia simultan. Ia menguji kemampuan manusia untuk berbagi, berkorban, dan mempraktikkan kasih sayang tanpa syarat. Dalam interaksi sehari-hari antara suami dan istri, terpancar ajaran-ajaran moral yang paling hakiki, seperti kesabaran, memaafkan, dan saling menghormati. Pasangan adalah cermin yang memantulkan kebaikan dan kekurangan diri, mendorong individu untuk senantiasa menyempurnakan kualitas spiritual dan etika mereka. Proses saling melengkapi inilah yang menjadikan institusi pernikahan sebagai madrasah pertama bagi setiap manusia.

Ketenangan dalam Ikatan Suci

B. Filosofi Penciptaan Jenis

Lafazh ‘azwajan’ adalah jamak dari ‘zauj’ yang berarti pasangan. Dalam kosmologi Al-Quran, segala sesuatu diciptakan berpasangan. Konsep ini meluas hingga ke tingkat atom dan kosmos. Namun, ketika diterapkan pada manusia dengan penekanan ‘min anfusikum’, ia menunjukkan bahwa solusi terhadap kegelisahan manusia ditemukan dalam dirinya sendiri, bukan di luar alamnya. Kontras ini penting karena ia menolak pandangan kuno yang mencari pasangan dari entitas supernatural atau makhluk lain yang tidak dapat dipahami. Keintiman dan pemahaman hanya dapat dicapai melalui kesamaan fundamental.

Dalam konteks teologis, nikmat pasangan ini merupakan ujian nyata dari konsep tauhid rububiyah (ketuhanan dalam penciptaan dan pemeliharaan). Allah adalah satu-satunya Pencipta yang mampu merancang sistem sosial yang sedemikian rupa sehingga kebutuhan emosional manusia dapat terpenuhi melalui interaksi timbal balik. Jika manusia merenungkan kompleksitas hubungan ini, dari mana datangnya cinta, kesabaran, dan empati yang memungkinkan dua individu hidup harmonis, ia akan menyadari bahwa ini bukan sekadar hasil kebetulan, melainkan anugerah yang terencana dengan sempurna. Ini adalah argumen yang kuat melawan praktik penyembahan berhala atau kepercayaan pada kekuatan lain yang tidak memiliki kemampuan untuk mengatur dan menciptakan keharmonisan sosial yang fundamental ini.

Diskusi mengenai pasangan ini harus diperluas pada tanggung jawab. Pasangan yang dijadikan dari jenis diri sendiri menuntut perlakuan yang setara dan adil, yang merupakan inti dari etika Islam. Ketidakadilan atau penindasan dalam hubungan suami-istri adalah pengkhianatan terhadap tujuan Ilahi dalam menciptakan pasangan untuk sakinah. Ayat ini secara implisit menetapkan standar kemanusiaan dan kesetaraan dalam ikatan perkawinan, di mana kedua belah pihak berbagi beban dan menikmati karunia yang sama.

Rasa syukur atas karunia pasangan diwujudkan melalui pemeliharaan ikatan tersebut. Pemeliharaan ini mencakup aspek materi (nafkah), non-materi (kasih sayang dan waktu), serta spiritual (saling mengingatkan dalam ketaatan). Mengingkari nikmat ini bukan hanya berarti menolak keberadaan pasangan, tetapi juga mengabaikan tanggung jawab yang melekat padanya, sehingga merusak fondasi masyarakat yang telah dirancang sempurna oleh Sang Pencipta. Pasangan adalah media untuk mencapai kesempurnaan iman; dengan melalui suka dan duka bersama, individu mengasah karakter dan memperdalam pemahaman mereka tentang takdir.

Fenomena modern di mana institusi perkawinan mengalami kerapuhan seringkali berakar pada kegagalan memahami filosofi ‘min anfusikum’. Ketika pasangan dilihat sebagai objek pemenuhan kebutuhan pribadi semata, dan bukan sebagai rekan spiritual yang setara, tujuan sakinah menjadi hilang. Kekuatan ayat ini terletak pada penegasannya bahwa hubungan ini adalah anugerah yang harus dihargai, bukan hak yang dapat disalahgunakan. Keberhasilan individu dalam rumah tangga seringkali menjadi barometer keberhasilannya dalam hubungan yang lebih luas dengan masyarakat dan Tuhannya.

II. Kelangsungan dan Harapan: Anak-anak dan Cucu-cucu (بَنِينَ وَحَفَدَةً)

Setelah menetapkan fondasi ketenangan melalui pasangan, Ayat 72 melanjutkan dengan hasil alami dari persatuan tersebut: "dan menjadikan bagimu dari pasanganmu anak-anak (banin) dan cucu-cucu (hafadah)." Bagian ini membahas nikmat kelangsungan hidup dan perluasan garis keturunan, sebuah karunia yang memastikan eksistensi umat manusia di masa depan.

A. Nikmat Keturunan (Banin)

Kata ‘banin’ (anak-anak, jamak dari *ibn*) mencakup anak laki-laki dan perempuan dalam makna umum keturunan. Keturunan adalah harapan terbesar manusia, jaminan bahwa usaha, warisan spiritual, dan nama baik akan berlanjut setelah kematian. Dalam pandangan Islam, anak-anak adalah ‘qurratu a’yun’ (penyejuk mata), sumber kegembiraan, dan sekaligus ‘fitnah’ (ujian) terbesar yang diberikan kepada orang tua.

Kelahiran seorang anak adalah mukjizat penciptaan yang terulang kembali, bukti nyata dari kemampuan Allah untuk menghidupkan dari yang mati dan menciptakan dari ketiadaan. Ketika manusia merenungkan proses biologis dan spiritual yang terlibat dalam pembentukan satu jiwa, ia pasti akan tunduk pada keagungan Pencipta. Anak adalah investasi jangka panjang, bukan hanya secara materi, tetapi juga spiritual, karena amal kebaikan anak yang saleh akan terus mengalir kepada orang tua bahkan setelah mereka wafat. Nikmat ini merupakan salah satu karunia terbesar yang membedakan manusia dari makhluk lain yang tidak memiliki kesadaran terhadap warisan spiritual atau garis keturunan.

Ayat ini secara halus mengkritik pandangan-pandangan pagan atau ateistik yang menganggap keturunan hanyalah hasil dari proses kimiawi acak. Sebaliknya, Al-Quran menegaskan bahwa penciptaan anak adalah hasil desain spesifik yang berasal dari sumber yang berpasangan. Ini menyiratkan adanya tanggung jawab yang besar; anak-anak bukan hanya milik biologis, melainkan amanah yang harus dibimbing menuju pengenalan terhadap Pencipta mereka. Kegagalan dalam mendidik keturunan menjadi pengingkaran terhadap nikmat yang telah diberikan. Semakin baik pendidikan spiritual yang diberikan, semakin besar pula rasa syukur yang terwujud dalam bentuk amal jariyah.

B. Perluasan Kebaikan: Cucu-cucu (Hafadah)

Kata ‘hafadah’ sering diterjemahkan sebagai cucu-cucu atau penolong-penolong. Penafsiran yang paling umum adalah cucu, yang menunjukkan perluasan karunia Allah hingga generasi kedua. Nikmat cucu adalah manifestasi dari usia panjang dan keberkahan dalam hidup. Melihat cucu adalah menyaksikan kelanjutan diri di masa depan tanpa tekanan langsung dari mendidik mereka, seringkali membawa kegembiraan murni yang berbeda dari kegembiraan yang dirasakan saat memiliki anak pertama.

Jika ‘banin’ mewakili harapan, maka ‘hafadah’ mewakili kepastian akan kelangsungan dan stabilitas. Keberadaan cucu menunjukkan bahwa rantai generasi telah berhasil melampaui fase kritis, dan sistem keluarga telah berhasil menopang dirinya sendiri. Dalam konteks sosial yang lebih luas, semakin banyak generasi yang hidup bersama, semakin kuat pula ikatan sosial dan transmisi pengetahuan antar generasi. Hal ini vital bagi kelestarian tradisi, nilai-nilai, dan yang terpenting, tauhid.

Sebagian ulama tafsir, seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, menafsirkan ‘hafadah’ sebagai "pelayan atau penolong," merujuk pada keturunan yang tumbuh dan membantu orang tua atau kakek-nenek mereka dalam urusan dunia dan agama. Penafsiran ini menekankan aspek fungsional dari keturunan: mereka bukan hanya penerus biologis, tetapi juga sumber dukungan fisik dan emosional di masa tua. Kerangka ini memperkuat totalitas karunia Ilahi; Allah tidak hanya memberi kita kelanjutan, tetapi juga dukungan praktis yang kita butuhkan saat usia dan tenaga mulai meredup.

Renungan tentang cucu membawa kita pada pemahaman tentang Takdir Ilahi yang meliputi rentang waktu yang panjang. Manusia diberi kesempatan untuk menyaksikan hasil dari usaha mereka dalam mendidik anak-anak, yang kemudian menghasilkan anak-anak yang shalih. Ini adalah hadiah dari Allah bagi mereka yang sabar dan gigih dalam memelihara rumah tangga. Mengingkari nikmat keturunan berarti bersikap acuh tak acuh terhadap masa depan umat, dan secara spiritual, menolak salah satu pintu amal jariyah yang paling berharga.

III. Penopang Kehidupan: Rezeki dari yang Baik-baik (وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ)

Setelah membahas rezeki personal (pasangan) dan rezeki eksistensial (keturunan), ayat ini berpindah ke rezeki materi yang memungkinkan kelangsungan hidup: "dan memberimu rezeki dari yang baik-baik (warazaqakum mina at-tayyibat)." Bagian ini adalah titik penghubung antara karunia spiritual/sosial dengan kebutuhan fisik.

A. Definisi At-Tayyibat

Kata ‘At-Tayyibat’ (yang baik-baik) memiliki makna yang sangat luas, melampaui sekadar "makanan lezat." Tayyibat merujuk pada segala sesuatu yang: (1) Halal, yakni diperbolehkan secara syariat; (2) Bersih dan murni, baik secara fisik maupun spiritual; (3) Bermanfaat bagi tubuh dan jiwa; dan (4) Terbaik dari jenisnya.

Inilah inti dari rezeki yang berkah. Rezeki yang tidak baik (khabits) mungkin memuaskan kebutuhan fisik sesaat, tetapi ia merusak jiwa dan merampas keberkahan dari kehidupan. Allah menekankan bahwa rezeki yang Dia berikan adalah yang terbaik, yang mencukupi, dan yang membawa manfaat jangka panjang. Rezeki ini mencakup air bersih, udara segar, pakaian yang layak, tempat tinggal, ilmu pengetahuan, dan kesehatan—semuanya adalah manifestasi dari karunia yang baik-baik.

Rangkaian ayat ini menunjukkan sebuah sistem kehidupan yang terintegrasi: Ketenangan dalam rumah tangga (Pasangan) memungkinkan pendidikan yang baik bagi generasi penerus (Anak/Cucu), dan semua ini hanya dapat berjalan dengan lancar jika ada dukungan materi yang bersih dan memadai (Tayyibat). Jika salah satu pilar ini runtuh, seluruh struktur kehidupan manusia akan goyah.

B. Rezeki sebagai Ujian Kesyukuran

Penyebutan rezeki setelah pasangan dan keturunan menekankan bahwa rezeki materi harus berfungsi untuk memelihara dua karunia spiritual tersebut. Tujuan rezeki bukanlah akumulasi kekayaan semata, tetapi pemeliharaan keluarga dan ibadah kepada Allah. Penggunaan rezeki yang baik untuk tujuan yang salah (misalnya, untuk menyebar kebatilan atau melanggar hak-hak keluarga) merupakan bentuk pengingkaran nikmat yang paling nyata.

Konsep rezeki dari yang baik-baik ini juga mencakup rezeki yang tidak terduga dan rezeki yang berkelanjutan. Petani menerima hasil panennya, pedagang menerima keuntungan, dan seorang hamba menerima kesehatan yang memungkinkannya bekerja. Semua ini adalah arus rezeki yang tanpa henti, bukti nyata dari Ar-Razaq (Maha Pemberi Rezeki). Jika seseorang merenungkan kerumitan sistem ekologi dan ekonomi yang harus berfungsi dengan sempurna agar sepotong makanan sampai ke mulutnya, ia akan terpaksa mengakui adanya Pengatur Yang Maha Bijaksana.

Rezeki tidak hanya diukur dari kuantitas, tetapi dari kualitas dan keberkahannya. Sebuah keluarga yang hidup sederhana namun penuh kedamaian dan menggunakan rezekinya di jalan kebenaran telah menerima *tayyibat* yang lebih besar daripada mereka yang bergelimang harta namun hidup dalam konflik dan kesyirikan. Rezeki yang baik adalah rezeki yang membawa kedekatan dengan Allah, bukan yang menjauhkan.

Ironi kehidupan seringkali terletak pada bagaimana manusia menyikapi rezeki. Ketika rezeki melimpah, banyak yang lupa akan Sumbernya dan mengklaim keberhasilan tersebut semata-mata karena kecerdasan atau usaha mereka sendiri. Ini adalah bentuk ingkar yang berbahaya. Al-Quran mengingatkan bahwa bahkan rezeki yang paling dasar—air, udara, dan makanan—adalah karunia yang tidak dapat diciptakan atau dijamin oleh manusia itu sendiri. Pemahaman ini harusnya menumbuhkan kerendahan hati dan kesadaran akan ketergantungan mutlak kepada Pencipta.

Rezeki Yang Melimpah dan Halal

Implikasi hukum dari ‘At-Tayyibat’ juga penting. Karena rezeki ini adalah karunia Allah yang ‘baik’, maka tugas manusia adalah memastikan rezeki yang ia peroleh dan konsumsi tetap berada dalam kategori ‘baik’. Ini mencakup menghindari riba, pencurian, penipuan, dan segala bentuk transaksi yang merugikan orang lain. Keberkahan rezeki terkait erat dengan kebersihan cara mendapatkannya. Ketika rezeki diperoleh dengan cara yang batil, keberkahannya akan hilang, dan ia akan menjadi sumber kegelisahan meskipun jumlahnya banyak.

Kesinambungan rezeki juga harus dilihat dalam perspektif sosial. Rezeki yang baik harus disalurkan dengan baik pula, melalui zakat, sedekah, dan infaq. Dengan melakukan ini, manusia menunjukkan pengakuan dan penghargaan terhadap nikmat Allah, sekaligus memastikan bahwa rezeki tersebut tidak hanya berputar di kalangan orang kaya, tetapi juga menjangkau mereka yang membutuhkan. Sirkulasi rezeki yang adil adalah cara kolektif untuk mensyukuri nikmat At-Tayyibat.

IV. Kritik Retoris: Iman Kepada Kebatilan dan Pengingkaran Nikmat (أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ)

Puncak dari Ayat 72 adalah pertanyaan retoris yang kuat, mengakhiri rangkaian penjelasan tentang nikmat yang jelas: "Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?" Pertanyaan ini bukan untuk meminta jawaban, tetapi untuk menanamkan kesadaran kritis akan kontradiksi mendasar dalam perilaku manusia.

A. Beriman kepada Al-Batil (الْبَاطِلِ)

Al-Batil berarti sesuatu yang palsu, sia-sia, tidak memiliki dasar, dan yang pasti akan lenyap. Dalam konteks ayat ini, Al-Batil mencakup: (1) Idola dan berhala yang disembah selain Allah; (2) Keyakinan tak berdasar (seperti menyandarkan rezeki dan kehidupan pada kekuatan lain selain Allah); (3) Filsafat atau gaya hidup yang menyangkal eksistensi Pencipta; dan (4) Segala bentuk kesyirikan dan khurafat.

Kontras yang tajam adalah inti dari pertanyaan ini. Allah telah memberikan bukti yang paling intim (pasangan, anak, cucu) dan bukti yang paling mendasar (rezeki), yang semuanya merupakan eksistensi nyata dan dapat dirasakan. Namun, manusia berpaling dari Realitas ini menuju sesuatu yang tidak dapat memberikan apa-apa, tidak dapat menciptakan, dan tidak dapat menopang kehidupan. Bagaimana mungkin seseorang yang menikmati kehangatan pasangan dan tawa cucu, yang hidup dari rezeki yang baik, justru menyembah batu, api, atau ilusi filosofis yang rapuh?

Pengingkaran ini menjadi ironi terbesar dalam eksistensi manusia. Manusia hidup dalam lautan nikmat, namun memilih untuk percaya pada kepalsuan yang menawarkan kegelisahan abadi. Investasi emosional dan spiritual yang ditanamkan pada Al-Batil adalah pemborosan energi yang seharusnya diarahkan pada ketaatan dan rasa syukur kepada Sang Pemberi Karunia. Ini menunjukkan adanya penyakit spiritual yang mendalam, sebuah kebutaan hati yang menghalangi pengenalan terhadap Kebenaran yang sangat jelas di depan mata.

B. Pengingkaran Nikmat (بِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ)

Yakfurun berasal dari kata *kafara*, yang berarti menutupi atau mengingkari. Dalam konteks ini, pengingkaran bukan hanya berarti penolakan verbal, tetapi juga pengabaian praktis. Seseorang yang menerima rezeki, tetapi menggunakannya untuk maksiat, telah mengingkari nikmat tersebut. Seseorang yang memiliki keluarga harmonis, tetapi merusak ikatan tersebut dengan kezaliman, telah mengingkari nikmat tersebut.

Ayat ini menunjukkan bahwa pengingkaran terhadap nikmat Allah tidak hanya terjadi pada tingkat teologis (tidak mengakui Allah sebagai Pencipta), tetapi juga pada tingkat praktis (tidak menggunakan karunia yang ada sesuai dengan tujuan Pencipta). Terdapat hubungan kausalitas yang kuat: Beriman kepada kebatilan secara otomatis menyebabkan pengingkaran terhadap nikmat yang nyata, karena kebatilan mengalihkan fokus dari Sang Pemberi Karunia kepada hal-hal fana.

Dampak dari pengingkaran ini bersifat destruktif. Ketika masyarakat secara kolektif beriman kepada Al-Batil dan mengingkari nikmat, mereka mengundang konsekuensi negatif, baik di dunia maupun di akhirat. Kekacauan sosial, ketidakstabilan keluarga, dan distribusi rezeki yang tidak adil seringkali merupakan hasil dari kegagalan manusia untuk menempatkan karunia Allah pada tempatnya yang benar—yaitu, sebagai bukti tauhid dan sarana untuk beribadah.

Refleksi atas pengingkaran nikmat membawa kita kembali pada Surah An-Nahl secara keseluruhan, yang merupakan surah bukti-bukti (dalil). Ayat 72 adalah salah satu bukti terkuat karena ia bersifat personal dan universal. Setiap orang, kaya atau miskin, di masa lalu atau sekarang, dapat menyaksikan karunia pasangan dan keturunan. Tidak ada alasan logis yang dapat membenarkan penolakan terhadap Sang Pencipta setelah menerima karunia sebesar ini, karunia yang memastikan kelangsungan dan ketenangan hidup mereka.

Penyebutan kolektif dari tiga nikmat—Pasangan, Keturunan, dan Rezeki—menunjukkan bahwa Allah menyediakan keseluruhan sistem kehidupan yang stabil bagi manusia. Nikmat ini dirancang untuk menghilangkan alasan bagi manusia untuk mencari ketenangan atau bekal hidup pada selain-Nya. Oleh karena itu, beriman pada Al-Batil setelah menerima sistem yang sempurna ini adalah tindakan kesombongan dan kebodohan yang ekstrem. Ini adalah bentuk ‘kufur an-ni’mah’, yaitu tidak menghargai nilai dari apa yang telah diterima.

Seseorang yang secara sadar dan sukarela memilih ilusi di atas realitas yang telah teruji dan terbukti di hadapan matanya menunjukkan krisis spiritual yang parah. Kehidupan modern, meskipun kaya akan material, seringkali menderita penyakit ini: Pasangan dan keluarga yang retak, rezeki yang diperoleh secara haram, dan pencarian makna pada ideologi-ideologi kosong. Semua ini adalah manifestasi kontemporer dari iman kepada Al-Batil dan pengingkaran nikmat Allah, sebagaimana telah diperingatkan dalam ayat yang mulia ini.

Ayat ini berfungsi sebagai panggilan untuk introspeksi. Kepada siapakah kita menyandarkan harapan? Di manakah kita mencari ketenangan? Jika jawabannya adalah kepada idola materi, kekayaan fana, atau pemuasan ego, maka kita secara diam-diam telah termasuk dalam golongan yang diingkari dalam ayat ini, meskipun kita mengaku beriman secara lisan. Syukur yang hakiki menuntut pengakuan total bahwa Sumber dari segala karunia, dari yang paling intim hingga yang paling materi, adalah Allah semata.

V. Sintesis Teologis: Integrasi Nikmat dalam Tauhid

Ayat An-Nahl 72 bukan sekadar daftar karunia, melainkan sebuah argumentasi teologis yang koheren. Argumentasi ini berlandaskan pada tiga pilar eksistensial yang tidak dapat dibantah oleh manusia manapun: penciptaan, prokreasi, dan penyediaan.

A. Penciptaan dan Ketergantungan

Penciptaan pasangan dari jenis diri sendiri menekankan konsep Tauhid al-Asma' wa ash-Shifat, yaitu kesempurnaan sifat Allah dalam merancang kebutuhan makhluk-Nya. Tidak ada satu pun berhala atau kekuatan batil yang mampu menciptakan sistem reproduksi atau ikatan emosional yang sedemikian rumit dan menenangkan. Manusia benar-benar bergantung pada kehendak Ilahi untuk mencapai ketenangan, yang menjadi syarat bagi semua kesuksesan lainnya.

Ketergantungan ini diperkuat oleh nikmat keturunan. Keturunan adalah penyerahan kendali atas masa depan kepada Allah. Meskipun orang tua berikhtiar, hasil akhir—jenis kelamin, kesehatan, karakter, dan umur anak—semuanya berada di bawah otoritas Ilahi. Nikmat banin wa hafadah adalah pengingat bahwa manusia adalah agen yang terbatas, dan hanya Allah yang memiliki otoritas mutlak dalam urusan penciptaan dan takdir.

Sistem penciptaan yang dijelaskan dalam ayat ini harus memicu rasa takjub yang mendalam. Bayangkan kompleksitas genetik dan spiritual yang menyatukan dua individu menjadi satu unit keluarga yang produktif. Keharmonisan yang dihasilkan, yang disebut sakinah, adalah energi pendorong bagi masyarakat. Energi ini, yang begitu kuat dan fundamental, tidak mungkin berasal dari proses evolusi acak semata. Ia adalah bukti yang tak terbantahkan dari campur tangan aktif dan bijaksana Sang Pencipta dalam setiap aspek kehidupan manusia. Setiap senyuman anak dan setiap nasihat kakek-nenek adalah penandatanganan ulang kontrak pengakuan tauhid.

B. Pertanyaan Retoris sebagai Panggilan Hidayah

Pertanyaan "Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?" berfungsi sebagai transisi dari bukti (dalil) ke tuntutan (tuntutan iman). Setelah semua bukti disajikan, tidak ada lagi ruang untuk alasan. Pilihan untuk mengikuti kebatilan adalah pilihan yang murni irasional, didorong oleh hawa nafsu, tradisi buta, atau kesombongan. Ayat ini menyerukan agar manusia menggunakan akal yang telah diberikan Allah untuk menyadari kontradiksi dalam hidup mereka.

Kesimpulan yang ditarik secara eksplisit oleh ayat ini adalah bahwa iman yang benar haruslah dibangun di atas pengakuan terhadap nikmat yang nyata dan terukur. Jika iman tidak mampu menghubungkan antara karunia yang diterima sehari-hari (makanan, keluarga) dengan Sumber Tertinggi (Allah), maka iman tersebut adalah iman yang kosong dan rentan terhadap Al-Batil.

Kedalaman filosofis dari Al-Batil sebagai lawan dari nikmat Allah harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Al-Batil adalah kekosongan eksistensial yang berusaha diisi oleh manusia melalui penyembahan diri, kekuasaan, atau benda. Sebaliknya, nikmat Allah adalah kepenuhan dan makna yang diberikan tanpa syarat. Ketika manusia menolak nikmat (keseimbangan, ketenangan, rezeki), mereka secara otomatis menciptakan ruang bagi Al-Batil untuk merasuk dan mendominasi kehidupan mereka. Kegelisahan dan kecemasan yang melanda masyarakat modern seringkali merupakan indikasi dari pengingkaran kolektif terhadap nikmat-nikmat fundamental ini. Mereka mencari kebahagiaan pada sumber-sumber buatan, padahal solusinya terletak pada pengakuan atas desain Ilahi yang sempurna yang telah disajikan dalam ayat ini.

Ayat ini memberikan peta jalan menuju kehidupan yang penuh makna: Hargai pasangan sebagai karunia, didik keturunan sebagai investasi akhirat, dan gunakan rezeki yang baik untuk menopang struktur keluarga dan ibadah. Dengan melakukan ini, manusia secara praktis menjawab pertanyaan retoris tersebut dengan tindakan syukur yang nyata, menjauhkan diri dari kebatilan, dan mendekatkan diri pada kebenaran tauhid yang hakiki.

Jika kita telaah lebih jauh, pengingkaran (kufr) terhadap nikmat pasangan seringkali berbentuk pengkhianatan, perceraian yang tidak beralasan, atau penelantaran. Pengingkaran nikmat keturunan berbentuk penelantaran pendidikan agama atau penggunaan anak sebagai alat pemuas ambisi pribadi. Pengingkaran nikmat rezeki berbentuk korupsi, penimbunan, atau sifat kikir yang melarang rezeki mengalir kepada mereka yang berhak. Ayat 72 tidak hanya berbicara tentang keyakinan, tetapi tentang etika dan moralitas yang dibangun di atas fondasi pengakuan nikmat.

Tanggung jawab yang diemban oleh individu yang menyadari karunia ini sangatlah besar. Mereka dituntut untuk menjadi model dari kesyukuran, tidak hanya dengan ucapan, tetapi dengan seluruh aspek kehidupan mereka. Membangun rumah tangga yang Islami, menghasilkan keturunan yang saleh, dan mencari rezeki yang halal adalah jihad sehari-hari yang merupakan manifestasi tertinggi dari pengakuan terhadap nikmat yang telah diuraikan dalam Surah An-Nahl Ayat 72 ini. Setiap tarikan napas, setiap momen kebersamaan dengan keluarga, setiap tegukan air bersih, haruslah menjadi pengakuan yang memperbarui keimanan kita kepada Allah Yang Maha Pemberi Karunia.

Dengan demikian, Ayat 72 berfungsi sebagai poros yang menghubungkan spiritualitas pribadi dengan tanggung jawab sosial. Ia memulai dari unit terkecil (pasangan) dan meluas ke generasi (anak dan cucu), dan akhirnya ke dunia materi (rezeki yang baik). Seluruh sistem ini ditujukan untuk satu tujuan: mengesakan Allah. Ketika manusia gagal melihat hubungan ini, mereka gagal dalam ujian eksistensi yang paling mendasar, memilih kepalsuan di atas karunia yang telah disajikan dengan jelas dan berlimpah.

Kesempurnaan pengaturan Ilahi ini harusnya menjadi penawar terhadap segala bentuk ideologi yang menawarkan kebahagiaan tanpa ketaatan, atau rezeki tanpa pengakuan terhadap Sumbernya. Ayat ini adalah seruan yang abadi, mengajak setiap jiwa untuk kembali kepada fitrah, menghargai karunia yang ada, dan menolak godaan Al-Batil yang menjanjikan kenikmatan sesaat namun berakhir dengan penyesalan tak berujung. Hanya dengan bersyukur atas pasangan, keturunan, dan rezeki, manusia dapat menemukan kedamaian sejati dan meraih keberkahan di dunia dan akhirat.

VI. Memperluas Makna Konteks dan Relevansi Kontemporer

Meskipun diturunkan pada abad ketujuh di Mekkah, relevansi Surah An-Nahl Ayat 72 tetap tak terpisahkan dari permasalahan manusia modern. Ayat ini memberikan kerangka kerja untuk mengevaluasi krisis sosial dan spiritual yang dihadapi umat manusia saat ini. Jika kita melihat fenomena disfungsi keluarga, kesepian yang meluas, dan krisis lingkungan, kita dapat menarik garis lurus kembali pada kegagalan kolektif untuk menghargai tiga pilar nikmat ini.

A. Krisis Identitas Pasangan di Era Modern

Di masa kini, hubungan pasangan seringkali diperlakukan sebagai kontrak sementara yang dapat dibatalkan dengan mudah, bukan sebagai ikatan suci yang bersumber dari esensi diri (min anfusikum). Penekanan yang berlebihan pada pemenuhan diri individual dan penolakan terhadap pengorbanan komunal yang dibutuhkan dalam pernikahan telah merusak konsep sakinah. Ayat 72 mengingatkan bahwa Allah-lah yang ‘menjadikan’ pasangan, menunjukkan bahwa pernikahan adalah institusi Ilahi, bukan sekadar kesepakatan sosial. Ketika institusi ini dilepaskan dari fondasi Ilahi-nya, ia kehilangan kemampuan untuk memberikan ketenangan sejati.

Pengingkaran nikmat pasangan juga terlihat dalam meningkatnya angka kekerasan domestik dan ketidaksetaraan gender. Ketika pasangan tidak dihargai sebagai bagian dari diri sendiri, tetapi sebagai objek kepemilikan atau alat pemuas, maka tujuan spiritual dari pernikahan telah gagal. Solusi terhadap krisis keluarga modern bukan terletak pada rekayasa sosial yang rumit, melainkan pada kembalinya pengakuan bahwa pasangan adalah karunia Allah yang harus dijaga dengan adil dan penuh kasih sayang. Karunia ini menuntut pemahaman yang mendalam mengenai hak dan kewajiban yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariat, bukan pada tuntutan budaya yang berubah-ubah.

Lebih jauh lagi, kegagalan dalam menghormati nikmat pasangan dapat memanifestasikan dirinya dalam isolasi dan alienasi yang dialami banyak individu di tengah masyarakat yang padat. Ketersediaan koneksi virtual yang tak terbatas ironisnya meningkatkan kesepian emosional, karena koneksi tersebut tidak dapat menggantikan keintiman hakiki yang disediakan oleh pasangan yang sah. Pasangan adalah satu-satunya institusi yang dirancang untuk mengatasi kerentanan terdalam manusia. Menolak institusi ini atau merusaknya berarti menolak solusi yang telah dirancang sempurna oleh Sang Pencipta bagi kegelisahan jiwa.

B. Eksploitasi Keturunan dan Kehilangan Hafadah

Nikmat banin wa hafadah juga menghadapi tantangan besar. Anak-anak kini sering dihadapkan pada tekanan materialisme yang ekstrem, kehilangan arah spiritual, dan terputusnya hubungan dengan generasi yang lebih tua. Masyarakat yang cenderung menyepelekan peran kakek-nenek (hafadah) telah kehilangan kearifan yang diwariskan secara lisan. Putusnya rantai transmisi nilai ini adalah bentuk pengingkaran kolektif terhadap nikmat cucu.

Anak-anak kini terancam oleh Al-Batil dalam bentuk yang lebih canggih, seperti informasi palsu, hiburan yang merusak, dan penyimpangan moral yang dinormalisasi. Orang tua yang gagal melindungi keturunannya dari Al-Batil ini, meskipun mereka menyediakan rezeki yang melimpah, tetap termasuk golongan yang mengingkari nikmat. Nikmat keturunan menuntut pertahanan spiritual yang aktif. Anak dan cucu adalah benteng terakhir pertahanan iman; jika benteng ini jatuh, maka peradaban akan runtuh. Oleh karena itu, investasi terbesar yang harus dilakukan oleh orang tua adalah dalam ranah pendidikan tauhid.

Ayat ini secara implisit menyerukan kepada umat manusia untuk menciptakan masyarakat yang memungkinkan hafadah (cucu) berkembang dan berinteraksi secara sehat dengan kakek-nenek mereka. Dalam konteks modern, hal ini berarti membangun kembali struktur masyarakat yang mendukung keluarga besar, di mana orang tua yang lanjut usia dihormati dan diintegrasikan, bukan diasingkan dalam panti jompo. Penghormatan terhadap generasi sebelumnya adalah wujud syukur atas nikmat kelangsungan hidup.

C. Rezeki dan Manifestasi Kufr Modern

Pengingkaran nikmat At-Tayyibat (rezeki yang baik) paling jelas terlihat dalam krisis ekonomi global. Praktik riba yang merajalela, ketidakadilan distribusi sumber daya, dan korupsi skala besar adalah manifestasi utama dari iman kepada Al-Batil (sistem ekonomi yang tidak adil) dan pengingkaran rezeki (dengan cara memperolehnya secara haram).

Allah memberikan rezeki yang baik, tetapi manusia merusaknya dengan keserakahan. Kualitas rezeki tidak lagi dipandang dari aspek halalnya, melainkan dari kuantitasnya. Kehidupan yang didominasi oleh konsumsi berlebihan dan eksploitasi alam adalah cara mengingkari nikmat tayyibat, karena rezeki yang ‘baik’ tidak boleh merusak lingkungan atau merugikan generasi mendatang. Penggunaan rezeki yang berlebihan untuk kemewahan yang sia-sia adalah pengingkaran, sementara penggunaan rezeki untuk memperkuat ikatan keluarga dan mendanai pendidikan yang benar adalah syukur yang paripurna.

Ayat An-Nahl 72 pada akhirnya adalah sebuah manual etika bagi manusia. Ia mengajarkan bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang mengakui ketergantungan mutlak kepada Sang Pencipta, di mana setiap karunia—dari cinta pasangan hingga remah makanan—dipahami sebagai bukti kekuasaan Ilahi, dan dengan itu, segala bentuk kebatilan kehilangan kekuatannya untuk menyesatkan jiwa.

Kesyukuran adalah kunci untuk membuka pintu keberkahan yang lebih besar. Sebagaimana firman Allah dalam surah lain, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." An-Nahl 72 meletakkan dasar-dasar untuk praktik syukur ini, menjadikannya bukan sekadar ritual lisan, tetapi gaya hidup yang terintegrasi penuh dengan pasangan, keluarga, dan rezeki yang kita nikmati.

🏠 Kembali ke Homepage