I. Titik Nol Pengetahuan: Eksistensi Tanpa Bekal Awal
Ayat mulia dari Surah An-Nahl, ayat 78, merupakan salah satu deklarasi paling mendasar mengenai fitrah penciptaan manusia, perjalanan epistemologisnya (teori pengetahuan), dan tujuan eksistensialnya. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang biologi kelahiran, tetapi lebih jauh, tentang filosofi dan teologi di balik kesadaran dan fungsi kognitif. Struktur ayat ini begitu padat namun mendalam, membagi pengalaman manusia menjadi tiga fase kronologis dan teleologis: kelahiran tanpa pengetahuan, anugerah alat kesadaran, dan kewajiban moral sebagai respons.
1. Keadaan Awal: Keluarnya dari Perut Ibu (اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ)
Pernyataan pertama menegaskan otoritas Ilahi dalam proses kelahiran. Kata ‘akhrajakum’ (Dia mengeluarkan kamu) menunjukkan sebuah tindakan aktif dan sengaja dari Sang Pencipta. Ini bukan sekadar proses biologis pasif, melainkan intervensi penciptaan yang terencana. Kelahiran bukanlah sebuah kebetulan evolusioner tanpa makna; ia adalah permulaan dari sebuah tanggung jawab. Transisi dari rahim yang gelap, hangat, dan terisolasi ke dunia luar yang penuh cahaya, suara, dan stimulus adalah sebuah keajaiban yang sering luput dari perhatian.
Rahim ibu dipandang sebagai wadah perlindungan, tempat nutrisi dan perkembangan dasar terjadi. Namun, begitu manusia ‘dikeluarkan’, ia dihadapkan pada realitas yang sama sekali baru. Ayat ini mengingatkan kita pada kerentanan dan ketergantungan total manusia pada fase awalnya. Kesadaran akan keterbatasan ini seharusnya menjadi fondasi bagi pengakuan terhadap sumber karunia tersebut.
2. Nol Pengetahuan (لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔا)
Pernyataan ini adalah titik krusial dalam epistemologi Islam: manusia lahir dalam keadaan ‘jahil’ (bodoh/tidak mengetahui apa pun). ‘Laa ta’lamuuna syai’an’ secara harfiah berarti "kalian tidak mengetahui sesuatu pun." Ini bukan berarti manusia tanpa potensi, tetapi tanpa pengetahuan yang diperoleh (acquired knowledge). Manusia lahir tanpa memori, tanpa bahasa, tanpa konsep moral atau ilmiah. Ia adalah wadah kosong yang siap diisi.
Konsep ini sangat penting karena ia menolak klaim bahwa manusia sudah membawa pengetahuan spesifik atau dosa warisan. Manusia lahir dalam keadaan fitrah, yaitu keadaan kemurnian dan potensi alami untuk mengenal Tuhannya, namun ia tidak memiliki bekal kognitif untuk memproses dunia sekitarnya. Semua yang akan diketahui, harus melalui proses belajar dan pengalaman. Pengetahuan, oleh karena itu, adalah anugerah, bukan hak bawaan dalam bentuk informasi siap pakai.
Penolakan terhadap pengetahuan bawaan ini menekankan pentingnya lingkungan, pendidikan, dan wahyu dalam membentuk individu. Jika manusia sudah tahu segalanya sejak lahir, maka tidak akan ada gunanya wahyu, rasul, atau pun akal. Karena manusia tidak tahu apa-apa saat keluar, maka seluruh hidupnya adalah perjalanan untuk mengisi kekosongan itu melalui alat yang telah disediakan oleh Allah.
II. Tiga Pilar Epistemologis: Sama', Bashar, dan Fu'ad
Setelah menyatakan kondisi awal manusia, ayat ini kemudian mengalihkan fokus pada karunia terbesar: alat-alat untuk berinteraksi dengan realitas, memperoleh pengetahuan, dan mencapai kesadaran. Allah berfirman: "wa ja’ala lakumus-sam’a wal-abshara wal-af’idah" (dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani/akal).
1. Sama' (Pendengaran) – Gerbang Pertama
Menariknya, Al-Qur'an secara konsisten menyebut pendengaran (As-Sam’) sebelum penglihatan (Al-Bashar) dalam konteks perkembangan kognitif. Secara biologis, ini terbukti benar. Janin mulai merespons suara dari luar rahim jauh sebelum matanya terbuka di dunia luar. Pendengaran adalah indra pertama yang berfungsi dan sering kali merupakan yang terakhir hilang sebelum kematian.
Namun, dalam konteks wahyu dan pembelajaran, prioritas pendengaran memiliki makna teologis yang lebih dalam:
- Akuisisi Bahasa: Semua pengetahuan abstrak, termasuk konsep ketuhanan, moralitas, dan sejarah, ditransfer melalui bahasa, yang utamanya diproses melalui pendengaran.
- Menerima Wahyu: Wahyu (Al-Qur'an) adalah Kalamullah yang diterima melalui pendengaran (tilawah). Seorang nabi adalah pendengar wahyu yang setia, dan umat beriman adalah pendengar yang taat.
- Kepatuhan: Kata kerja yang terkait dengan pendengaran ('sami'a') seringkali dihubungkan dengan kepatuhan ('thâ’ah'). Mendengar adalah langkah pertama menuju pengakuan dan pelaksanaan perintah Ilahi.
Pendengaran memungkinkan manusia menerima dan memproses informasi yang tidak terlihat, menghubungkannya dengan dimensi spiritual dan metafisik. Tanpa kemampuan mendengar, individu akan terputus dari komunitas dan transmisi pengetahuan kolektif.
2. Bashar (Penglihatan) – Saksi Realitas Fisik
Indra kedua yang diberikan adalah Al-Abshar (bentuk jamak dari Bashar, yang berarti penglihatan). Bashar secara spesifik mengacu pada kemampuan fisik untuk melihat dan membedakan objek. Penglihatan adalah alat utama untuk mengamati alam semesta (ayat-ayat kauniyah) secara fisik dan konkret.
Jika pendengaran adalah gerbang menuju pengetahuan abstrak (melalui wahyu dan lisan), penglihatan adalah gerbang menuju pengetahuan empiris dan observasi. Penglihatan memungkinkan manusia untuk: mengamati keteraturan kosmos, membedakan bahaya, mempelajari fenomena alam, dan membangun peradaban material.
Integrasi antara Sama’ dan Bashar adalah kunci: Pendengaran menerima pesan dan instruksi, sementara Penglihatan memverifikasi dan mengaplikasikan pemahaman itu di dunia nyata. Seorang yang berakal menggunakan kedua indra ini untuk mencari kebenaran, sebagaimana Allah sering menantang manusia untuk melihat bukti-bukti kebesaran-Nya di langit dan di bumi.
Penggunaan indra pendengaran dan penglihatan secara optimal adalah ibadah. Mengarahkan pandangan untuk merenungkan keindahan penciptaan atau mendengarkan ayat-ayat suci adalah cara bersyukur yang paling mendasar.
3. Al-Af’idah (Hati Nurani/Akal) – Pusat Pemrosesan
Karunia ketiga dan yang paling kompleks adalah Al-Af’idah (bentuk jamak dari Fu’ad). Meskipun sering diterjemahkan sebagai 'hati nurani' atau 'akal', Fu’ad memiliki nuansa makna yang lebih kaya daripada sekadar ‘akal’ (Aql) atau ‘hati’ (Qalb).
Dalam konteks kognitif, Fu’ad adalah pusat yang memproses input dari pendengaran dan penglihatan. Jika telinga dan mata adalah sensor, Fu’ad adalah CPU. Ia adalah tempat di mana data sensorik diubah menjadi makna, pemahaman, dan kesadaran emosional serta spiritual.
- Fu'ad dan Qalb: Beberapa ulama membedakan Fu’ad sebagai jantung yang lebih aktif, yang membara dengan emosi dan keinginan (seperti gairah, keberanian, atau ketakutan), sedangkan Qalb (hati) adalah tempat keyakinan dan iman bersemayam. Dalam konteks An-Nahl 78, Fu’ad adalah organ yang bertanggung jawab untuk mengambil data indra dan menggunakannya untuk istidlal (menarik kesimpulan logis).
- Akal dan Hikmah: Anugerah Fu'ad inilah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Hewan memiliki pendengaran dan penglihatan, tetapi tidak memiliki kapasitas Fu'ad untuk merenungkan makna keberadaan, menalar tentang sebab dan akibat, atau memahami konsep syukur.
Rangkaian (Sama’ – Bashar – Fu’ad) mencerminkan alur pemrosesan informasi yang sempurna: Input sensorik (Sama' dan Bashar) → Pemrosesan dan pemahaman (Fu'ad) → Output Kognitif (Keyakinan dan Syukur).
III. Teleologi Ayat: Puncak Rasa Syukur (لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ)
Tujuan akhir dari keseluruhan proses penciptaan dan anugerah alat-alat kognitif ini diringkas dalam kalimat penutup ayat: "la'allakum tasykurun" (agar kamu bersyukur). Ini adalah kunci teleologis yang menghubungkan seluruh keberadaan manusia dengan misi utamanya.
1. Makna Komprehensif Syukur
Syukur (Syukr) dalam pandangan Islam bukan hanya sekadar ucapan terima kasih ('Alhamdulillah'). Syukur adalah sebuah sistem perilaku yang terbagi menjadi tiga tingkatan:
- Syukur Hati (Qalbi): Mengakui dan menyadari bahwa semua nikmat berasal dari Allah semata.
- Syukur Lisan (Lisani): Mengucapkan pujian dan terima kasih kepada Allah (dzikr dan doa).
- Syukur Perbuatan (Jawarihi): Menggunakan nikmat yang diberikan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh Sang Pemberi Nikmat.
Dalam konteks An-Nahl 78, syukur perbuatan sangat ditekankan. Bagaimana cara mensyukuri pendengaran? Dengan menggunakannya untuk mendengarkan kebenaran, menjauhi ghibah, dan mendengarkan firman-Nya. Bagaimana cara mensyukuri penglihatan? Dengan menggunakannya untuk membaca ayat-ayat Al-Qur'an dan merenungkan tanda-tanda kebesaran alam, bukan untuk melihat hal-hal yang dilarang. Bagaimana cara mensyukuri Fu’ad? Dengan menggunakannya untuk berpikir jernih, membedakan yang haq dari yang batil, dan membimbing diri menuju keimanan yang kokoh.
2. Konsekuensi Ketidaksyukuran
Jika syukur adalah tujuan, maka kebalikannya adalah Kufr (kekufuran/ingkar), yang secara literal berarti 'menutup' atau 'mengingkari'. Dalam konteks nikmat, kufur adalah menolak atau menyalahgunakan karunia yang telah diberikan. Manusia yang dianugerahi telinga, mata, dan akal, tetapi memilih untuk tidak menggunakannya untuk mencapai kebenaran, atau menggunakannya untuk kesenangan sesaat yang merusak, maka ia telah jatuh ke dalam kategori ‘kufur nikmat’.
Allah telah menyediakan semua alat yang diperlukan untuk mencapai kesadaran spiritual dan pemahaman. Jika manusia gagal mencapai tujuan itu, kesalahan terletak pada penyalahgunaan atau pengabaian alat tersebut, bukan pada ketiadaan alat. Oleh karena itu, tanggung jawab moral manusia sangat besar; ia bertanggung jawab atas bagaimana ia memanfaatkan potensi kognitifnya.
IV. Tafsir Kontemporer dan Sains Kognitif
Kajian modern mengenai perkembangan neurosains dan psikologi kognitif semakin memperkuat keakuratan urutan yang disajikan dalam An-Nahl 78.
1. Prioritas Pendengaran dalam Perkembangan Janin
Sains modern memvalidasi bahwa sistem pendengaran janin mulai berfungsi sekitar trimester kedua kehamilan, jauh sebelum sistem visualnya matang. Dalam rahim, janin mengenali ritme jantung ibu dan suara lingkungannya, yang merupakan fondasi penting bagi perkembangan bahasa pasca-kelahiran. Urutan Sama’ (Pendengaran) mendahului Bashar (Penglihatan) adalah cerminan dari tahap perkembangan biologis yang fundamental.
Secara bahasa, pendengaran juga merupakan alat pertama bagi bayi untuk menghubungkan dirinya dengan orang tua dan lingkungannya. Tanpa pendengaran yang utuh, proses imitasi bahasa dan sosialisasi akan terhambat, menunjukkan betapa sentralnya karunia ini dalam pembentukan individu yang berpengetahuan.
2. Peran Al-Af’idah dalam Neurosains
Meskipun Al-Qur'an menggunakan istilah yang berakar pada bahasa Arab kuno, fungsi yang diatribusikan pada Al-Af’idah sangat selaras dengan fungsi otak besar (korteks) yang bertanggung jawab atas kesadaran, penalaran, emosi kompleks, dan pengambilan keputusan. Fu’ad bukan hanya sekadar tempat emosi; ia adalah integrator. Ia mengambil data visual ("Saya melihat matahari terbit") dan data auditori ("Saya mendengar pesan wahyu") dan menggabungkannya dengan pengetahuan latar belakang untuk menghasilkan pemahaman ("Penciptaan ini pasti memiliki Pencipta").
Kesadaran (consciousness) yang muncul dari integrasi sensorik ini adalah manifestasi operasional dari Fu’ad. Kesadaran inilah yang memungkinkan manusia untuk beralih dari sekadar respons insting menjadi refleksi filosofis dan spiritual. Kemampuan untuk merenung dan merefleksikan diri ('tafakkur' dan 'taddabur') adalah wujud tertinggi dari fungsi Fu'ad, yang langsung mengarah pada syukur.
V. Implikasi Pedagogis dan Pendidikan
Ayat An-Nahl 78 memberikan kerangka kerja yang sangat kuat bagi sistem pendidikan Islam dan sekuler. Jika manusia lahir tanpa pengetahuan, maka peran pendidikan adalah sebuah kewajiban Ilahi dan sosial.
1. Pendidikan adalah Pengisian Kekosongan
Karena kita lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa, tujuan pendidikan adalah mengisi kekosongan tersebut melalui jalur-jalur yang benar, yaitu pendengaran dan penglihatan yang dibimbing oleh akal. Kurikulum harus dirancang untuk menstimulasi ketiga alat ini secara seimbang.
- Stimulasi Sama': Pentingnya pelajaran lisan, pengajian, ceramah, dan dialog. Pendidikan harus fokus pada kemampuan mendengarkan secara aktif dan kritis.
- Stimulasi Bashar: Pentingnya observasi ilmiah, eksperimen, dan seni visual. Siswa harus dilatih untuk tidak hanya melihat, tetapi juga memahami apa yang mereka lihat (melihat dengan mata hati).
- Pemberdayaan Fu’ad: Ini adalah tujuan tertinggi pendidikan. Mendorong penalaran kritis, etika, filsafat, dan pengambilan keputusan berbasis moral. Sekolah tidak boleh hanya mentransfer informasi, tetapi harus mengajarkan kebijaksanaan (hikmah) sehingga informasi dapat diolah menjadi kesadaran.
2. Integrasi Ilmu
Ayat ini menuntut integrasi ilmu. Ilmu agama (yang banyak diperoleh melalui pendengaran wahyu) tidak boleh dipisahkan dari ilmu alam (yang banyak diperoleh melalui penglihatan observasi). Fu’ad berfungsi sebagai mediator yang menemukan harmoni antara wahyu dan sains, antara alam materi dan alam spiritual. Pemisahan keduanya menghasilkan ketidaksempurnaan syukur; seseorang mungkin ahli dalam ibadah namun buta terhadap tanda-tanda kebesaran Allah di alam, atau sebaliknya.
VI. Analisis Mendalam: Dimensi Spiritual Sama', Bashar, dan Fu'ad
1. Sama’ dan Hakikat Kebenaran
Pendengaran, dalam konteks spiritual, adalah kemampuan untuk mendengarkan kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu tidak populer atau sulit diterima. Ketika Al-Qur'an berbicara tentang orang-orang yang tidak mau beriman, seringkali dikatakan bahwa "mereka tuli dan bisu," padahal secara fisik mereka mungkin mendengar. Ketulian yang dimaksud adalah ketulian spiritual, yaitu penolakan hati untuk menerima pesan yang didengar.
Penggunaan indra pendengaran harus mencakup filter: mendengarkan yang bermanfaat, menghindari yang sia-sia, dan yang paling utama, mendengarkan panggilan Ilahi (adzan, pengajian, wahyu) dengan kesungguhan. Kesadaran akustik ini adalah langkah awal menuju keheningan batin yang memungkinkan refleksi mendalam.
2. Bashar dan Tanda-Tanda Alam
Penglihatan tidak terbatas pada mata fisik (ain). Istilah ‘Bashar’ seringkali terkait dengan ‘Basirah’ (mata hati atau pandangan batin). Jika Bashar adalah melihat objek, Basirah adalah melihat makna di balik objek. Ketika seorang hamba menggunakan penglihatannya untuk merenungkan gunung, ia tidak hanya melihat massa batuan (Bashar), tetapi ia melihat bukti kemahakuasaan dan kekekalan Allah (Basirah, yang diolah oleh Fu’ad).
Syukur atas nikmat penglihatan menuntut kita untuk menjadi pengamat yang aktif, bukan pasif. Alam semesta adalah perpustakaan terbuka yang penuh dengan ‘ayat’ (tanda) yang menunggu untuk dibaca. Gagal membaca dan merenungkan tanda-tanda ini berarti menutup mata hati, meskipun mata fisik terbuka lebar.
3. Peran Fu’ad dalam Integrasi Iman
Fu’ad adalah kursi bagi yaqin (keyakinan pasti). Keyakinan ini dibentuk dari data yang masuk. Misalnya:
- Input Sama’ & Bashar: Saya mendengar Al-Qur'an (wahyu) dan saya melihat keteraturan pergerakan bintang (observasi).
- Pemrosesan Fu’ad: Akal saya menyimpulkan bahwa tidak mungkin kedua hal ini – wahyu yang sempurna dan alam semesta yang teratur – berasal dari sumber yang berbeda. Keduanya menunjuk pada satu kesatuan yang Mahakuasa.
- Output Syukur: Karena saya telah mencapai keyakinan, saya menggunakan hidup saya untuk beribadah.
Jika Fu’ad rusak (oleh hawa nafsu atau keraguan), maka proses integrasi ini gagal. Manusia mungkin mendengar kebenaran, melihat buktinya, tetapi hatinya menolak untuk memprosesnya menjadi keyakinan yang menggerakkan. Inilah esensi dari penyakit hati, ketika alat kognitif tidak berfungsi sesuai tujuan penciptaannya.
VII. Kedalaman Linguistic dan Pilihan Kata Ilahi
Setiap kata dalam Al-Qur'an dipilih dengan presisi yang tidak tertandingi. Dalam An-Nahl 78, pemilihan kata-kata tertentu menggarisbawahi makna yang luas:
1. Penggunaan Jamak untuk Indera
Allah menggunakan bentuk jamak untuk penglihatan (Al-Abshar) dan hati (Al-Af’idah), tetapi menggunakan bentuk tunggal untuk pendengaran (As-Sam’u).
- Sam’u (Tunggal): Menunjukkan bahwa pendengaran terhadap Kebenaran adalah satu, tunggal, dan terpusat. Pesan Ilahi itu esa. Meskipun ada banyak suara di dunia, hanya satu suara Kebenaran yang harus diikuti.
- Abshar (Jamak): Menunjukkan bahwa ada banyak hal yang dapat dilihat di dunia. Kita melihat berbagai fenomena, sudut pandang, dan manifestasi kekuasaan Allah yang beranekaragam. Penglihatan adalah indra yang bercabang dan variatif.
- Af’idah (Jamak): Menunjukkan bahwa meskipun manusia memiliki satu hati fisik, potensi akal, emosi, dan pemahaman spiritualnya sangat beragam dan memiliki banyak tingkatan. Setiap individu memiliki kapasitas unik dalam memproses kebenaran.
Kesatuan pesan (pendengaran) diolah melalui keragaman pengalaman (penglihatan) untuk mencapai kekayaan pemahaman pribadi (hati nurani). Ini adalah keseimbangan yang sempurna antara otoritas wahyu dan otonomi kognitif individu.
Proses ini menegaskan bahwa iman yang sejati harus melibatkan keragaman observasi yang diikat oleh kesatuan pesan. Jika seseorang hanya fokus pada keragaman tanpa bimbingan pendengaran wahyu, ia akan tersesat dalam relativisme. Sebaliknya, jika seseorang hanya fokus pada pendengaran tanpa observasi, imannya mungkin dangkal dan tidak teruji oleh realitas alam.
2. Penekanan pada ‘Kalian’ (Kamu Sekalian)
Penggunaan pronomina jamak ‘kamu sekalian’ (akharajakum, ja’ala lakum, tasykurun) menunjukkan bahwa ayat ini berlaku universal untuk seluruh umat manusia, terlepas dari suku, ras, atau zaman. Ini adalah cetak biru penciptaan manusia secara kolektif. Setiap generasi memulai dari ‘titik nol’ pengetahuan dan harus melalui proses yang sama untuk mencapai syukur. Tanggung jawab untuk bersyukur, oleh karena itu, adalah tanggung jawab komunal yang berdampak pada peradaban.
VIII. Syukur sebagai Prinsip Peradaban
Implikasi An-Nahl 78 tidak berhenti pada tingkat individu; ia meluas ke tingkat sosial dan peradaban. Peradaban yang dibangun di atas prinsip syukur adalah peradaban yang menghargai pengetahuan, keadilan, dan kelestarian alam.
1. Menghargai Sumber Daya
Peradaban yang bersyukur atas penglihatan tidak akan merusak lingkungan alam (ayat-ayat kauniyah) karena mereka melihatnya sebagai tanda kebesaran Allah. Mereka akan menggunakan sumber daya alam secara bijak dan lestari. Penglihatan yang disyukuri menuntut ilmu ekologi dan konservasi.
2. Keadilan Sosial
Penggunaan Fu’ad yang benar (bersyukur) akan menuntut keadilan. Ketika akal manusia berfungsi optimal, ia menyadari bahwa anugerah adalah titipan, bukan hak milik mutlak. Oleh karena itu, kekayaan, kekuasaan, dan pengetahuan harus digunakan untuk menegakkan kesejahteraan bersama, bukan eksploitasi. Ketidakadilan adalah bentuk kufur nikmat sosial.
3. Kontinuitas Ilmu
Kondisi ‘tidak mengetahui sesuatu pun’ di awal kehidupan menunjukkan bahwa proses belajar adalah kontinu. Peradaban yang bersyukur adalah peradaban yang terus menerus mencari ilmu dan mengembangkan pengetahuan. Mereka menghargai pendidik (yang mentransfer pengetahuan yang didengar) dan ilmuwan (yang menemukan fakta yang dilihat).
Jika suatu masyarakat berhenti belajar, berhenti menggunakan telinga untuk mendengar kebenaran baru dan mata untuk melihat fakta baru, maka secara perlahan mereka telah mengingkari anugerah Fu’ad, dan peradaban itu akan mandek. Syukur adalah dinamika, bukan status quo.
IX. Penutup: Panggilan untuk Refleksi dan Tanggung Jawab
Ayat An-Nahl 78 adalah salah satu ayat paling komprehensif yang merangkum keseluruhan perjalanan manusia di dunia ini. Ia adalah pengingat yang menyentuh jiwa setiap kali manusia merasa sombong atas pengetahuan atau pencapaiannya. Ingatlah: setiap ilmuwan yang memenangkan penghargaan, setiap filosof yang menemukan teori baru, setiap seniman yang menciptakan mahakarya—semua dimulai dari titik nol, dari ‘tidak mengetahui sesuatu pun’.
Karunia pendengaran, penglihatan, dan akal bukanlah sekadar fitur biologis; mereka adalah instrumen ibadah yang harus dijaga dan digunakan secara bertanggung jawab. Hidup adalah ujian kognitif: Apakah kita menggunakan alat-alat ini untuk mengenal Allah, atau untuk melupakan-Nya?
Respons yang benar terhadap anugerah ini adalah syukur. Syukur yang mendalam, syukur yang termanifestasi dalam tindakan, syukur yang mengarahkan hati, lisan, dan perbuatan menuju ketaatan sejati. Dengan menyadari bahwa kita ‘dikeluarkan’ tanpa bekal apa pun, dan segala sarana untuk ilmu telah ‘diberikan’ tanpa usaha awal kita, maka kewajiban untuk bersyukur menjadi sebuah keniscayaan logis dan spiritual.
Marilah kita kembali merenungkan karunia penglihatan yang memungkinkan kita melihat indahnya ciptaan, pendengaran yang memungkinkan kita mendengar panggilan kebenaran, dan akal yang memungkinkan kita memproses semua itu menjadi sebuah keyakinan utuh. Semua ini, semata-mata, agar kita menjadi hamba-hamba yang senantiasa tasykurun.
X. Eksplorasi Filosofi Ketiadaan Awal dan Potensi
Pernyataan ‘lā ta‘lamūna syai’an’ (kamu tidak mengetahui sesuatu pun) mengandung filosofi eksistensi yang sangat mendalam. Ini bukan sekadar deskripsi keadaan bayi, tetapi fondasi dari konsep tanggung jawab moral. Karena manusia lahir tanpa pengetahuan, tidak ada prasangka yang melekat, tidak ada beban doktrin yang diwarisi secara paksa. Ini adalah kesetaraan epistemologis universal—semua manusia mulai dari garis awal yang sama.
Konsep ini bertolak belakang dengan beberapa aliran filsafat yang mengklaim adanya ide-ide bawaan (innate ideas) yang lengkap. Meskipun Islam mengakui adanya fitrah (kecenderungan alami untuk mengakui Tuhan), fitrah ini adalah potensi, bukan paket informasi yang sudah terisi. Potensi ini harus diaktifkan dan dipelihara melalui stimulasi eksternal, yaitu wahyu dan observasi. Jika lingkungan tidak mendukung, fitrah dapat tertutup, sebagaimana sabda Nabi bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, dan orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Ketiadaan pengetahuan awal ini menjadikan proses mencari ilmu sebagai ibadah utama. Seluruh perjalanan hidup, dari buaian hingga liang lahat, adalah proses akuisisi, pemrosesan, dan aplikasi pengetahuan. Universitas, sekolah, dan majelis ilmu adalah institusi yang didirikan untuk melaksanakan perintah Ilahi yang tersirat dalam ayat ini: mengisi kekosongan awal dengan cahaya ilmu dan hikmah.
1. Keterkaitan Sama' dan Ilmu Tafsir
Pendengaran (Sama') memiliki peran primer dalam tradisi keilmuan Islam, khususnya dalam transmisi Al-Qur'an dan Hadis. Ilmu Tafsir, Hadis, dan Fiqh pada dasarnya dimulai dari jalur periwayatan yang didengar (sama'a). Keabsahan dan otoritas teks bergantung pada kejujuran dan ketelitian pendengar (rawi) dalam menerima dan menyampaikan pesan yang didengar. Tanpa pendengaran yang akurat dan kredibel, seluruh bangunan syariat akan runtuh.
Oleh karena itu, mensyukuri Sama' berarti menghormati otoritas teks suci yang ditransmisikan melalui jalur pendengaran, serta menjaga integritas komunikasi lisan dalam masyarakat. Ini mencakup etika berbicara dan etika mendengarkan, di mana gosip dan kebohongan merusak fungsi syukur dari indra ini.
2. Keterkaitan Bashar dan Ilmu Alam
Penglihatan (Bashar) adalah dasar bagi semua ilmu empiris (kauniyah). Fisika, kimia, biologi, dan astronomi—semua berakar pada observasi sistematis terhadap tanda-tanda Allah di alam semesta. Al-Qur'an berulang kali memerintahkan manusia untuk ‘melihat’ (undhurū) bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi dihamparkan.
Syukur terhadap Bashar menuntut kita untuk menjadi ilmuwan yang jujur—mengamati fenomena tanpa prasangka dan menarik kesimpulan yang rasional. Ilmuwan yang bersyukur akan melihat keajaiban dalam setiap partikel materi, yang pada gilirannya memperkuat imannya, sesuai dengan tujuan akhir ayat tersebut. Ilmu pengetahuan modern seharusnya menjadi alat untuk bersyukur, bukan alat untuk mengingkari eksistensi Pencipta.
3. Pembedahan Fungsi Fu'ad: Dari Emosi hingga Etika
Para ulama seperti Al-Ghazali mendalami perbedaan antara Fu’ad, Qalb, dan ‘Aql. Meskipun sering tumpang tindih, Fu’ad sering diasosiasikan dengan api hasrat, gairah, dan ketakutan yang mendalam. Fungsi Fu’ad di sini adalah untuk memproses, menginternalisasi, dan merasakan dampak dari informasi sensorik. Ketika seseorang mendengar tentang Hari Pembalasan (Sama') dan melihat nasib orang-orang yang ingkar (Bashar), Fu’ad-lah yang bereaksi dengan rasa takut (khawf) dan harapan (raja’), yang kemudian mendorongnya untuk bertindak.
Inilah yang membuat Fu’ad sangat penting dalam konteks syukur; Syukur bukanlah aksi intelektual yang dingin, tetapi respons hangat yang didorong oleh pengakuan emosional yang mendalam terhadap kebaikan Allah. Akal harus memimpin emosi, tetapi emosi harus ada untuk memberikan energi pada tindakan syukur.
Syukur sejati adalah ketika Fu’ad (hati nurani) telah berhasil menyelaraskan input dari Sama’ (wahyu) dan Bashar (realitas) menjadi sebuah kesimpulan tunggal: Hanya Allah yang layak disembah. Kegagalan melakukan penyelarasan ini adalah akar dari segala kesesatan.
XI. Keabadian dan Keterbatasan Indera
Meskipun indra ini adalah karunia terbesar, ayat ini juga secara implisit mengakui keterbatasan mereka. Manusia hanya bisa mengetahui apa yang dapat dijangkau oleh Sama’, Bashar, dan Fu’ad-nya.
1. Keterbatasan Sama’ dan Bashar
Telinga manusia terbatas pada rentang frekuensi tertentu. Mata manusia terbatas pada spektrum cahaya tampak. Oleh karena itu, kita membutuhkan instrumen ilmu pengetahuan (mikroskop, teleskop, alat perekam suara) untuk memperluas jangkauan indra kita. Penciptaan instrumen-instrumen ini sendiri adalah wujud syukur perbuatan, menggunakan akal (Fu’ad) untuk melampaui keterbatasan fisik indra yang diberikan.
Namun, bahkan dengan bantuan teknologi, banyak hal—seperti hakikat ruh, alam gaib, atau Zat Allah—tetap berada di luar jangkauan indra fisik. Di sinilah peran pendengaran wahyu menjadi dominan; wahyu mengisi ruang kosong yang tidak dapat dijangkau oleh observasi empiris.
2. Keterbatasan Fu’ad
Akal (Fu’ad) manusia, meskipun hebat, juga terbatas dan rentan terhadap kesalahan, hawa nafsu, dan ilusi. Oleh karena itu, akal harus tunduk pada bimbingan wahyu. Fungsi syukur yang paripurna adalah ketika akal mengakui keterbatasannya sendiri dan tunduk pada pengetahuan mutlak yang datang melalui jalur pendengaran (wahyu).
Kesadaran akan keterbatasan ini adalah puncak dari kebijaksanaan. Orang yang bersyukur adalah orang yang tahu batas kemampuannya dan mengakui bahwa pengetahuan yang paling hakiki datang dari sumber yang tak terbatas, yang diakses melalui kombinasi sempurna antara instrumen kognitif dan petunjuk Ilahi.
XII. Proses Kognitif dan Penguatan Iman
An-Nahl 78 memberikan petunjuk praktis bagi setiap individu yang ingin memperkuat imannya. Ayat ini menyarankan sebuah metodologi iman yang sistematis:
Tahap 1: Penerimaan (Sama'). Seseorang harus aktif mendengarkan kebenaran, baik melalui majelis ilmu, pengajian, atau membaca Al-Qur'an. Ini adalah input dasar yang menyediakan informasi penting mengenai tujuan hidup.
Tahap 2: Verifikasi (Bashar). Setelah mendengarkan, individu diperintahkan untuk melihat dan mengamati realitas. Apakah ajaran yang didengar sejalan dengan keteraturan alam semesta yang dilihat? Observasi membantu membedakan antara klaim palsu dan kebenaran sejati.
Tahap 3: Internalisi (Fu’ad). Informasi yang didengar dan diverifikasi yang dilihat harus melalui proses perenungan, di mana maknanya diserap dan diubah menjadi keyakinan pribadi. Ini adalah saat iman berpindah dari sekadar pengetahuan eksternal menjadi kesadaran batin yang teguh.
Tahap 4: Manifestasi (Syukur). Keyakinan yang telah terinternalisasi kemudian dimanifestasikan melalui tindakan dan perilaku yang mencerminkan ketaatan. Ini adalah kesimpulan logis dan moral dari seluruh rangkaian karunia Ilahi.
Ketika proses ini diulang-ulang—mendengar, melihat, merenung, dan bertindak—maka syukur akan menjadi gaya hidup, bukan sekadar respons sesaat. Inilah yang diinginkan oleh Allah dalam penutup ayat ini, yakni perwujudan dari hamba yang sepenuhnya menggunakan potensinya demi mencapai ridha-Nya.