Pendahuluan: Memahami Konteks Surah An-Naba
Surah An-Naba' (النَّبَأ) adalah salah satu surah yang paling fundamental dalam menegaskan kebenaran ajaran Islam, khususnya mengenai aspek eskatologi (ilmu akhir zaman). Surah ini berada pada urutan ke-78 dalam mushaf Al-Qur’an dan merupakan surah permulaan dari Juz ‘Amma (Juz ke-30). Secara umum, Surah An-Naba' tergolong sebagai surah Makkiyah, yang berarti surah ini diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah.
Periode Makkiyah ditandai dengan fokus utama pada penanaman akidah (keyakinan dasar), tauhid (keesaan Allah), dan yang paling sering disangkal oleh kaum Quraisy Makkah, yaitu Hari Kebangkitan (Yaumul Ba'ats) dan Hari Pembalasan (Yaumul Jaza'). Dalam konteks ini, Surah An-Naba' muncul sebagai respons tegas terhadap keraguan dan perdebatan sengit yang terjadi di kalangan musyrikin Makkah mengenai kemungkinan terjadinya kehidupan setelah mati dan hisab.
Pertanyaan mendasar yang sering muncul bagi setiap pembaca dan penghafal Juz ‘Amma adalah: an naba berapa ayat? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi kunci untuk memulai kajian mendalam terhadap struktur dan tema-tema yang terkandung di dalamnya. Surah An-Naba' memiliki jumlah ayat yang terperinci dan terbagi secara tematis menjadi beberapa bagian utama, yang secara kohesif membangun argumentasi Allah SWT mengenai kekuasaan-Nya, kepastian Hari Kiamat, serta ganjaran bagi hamba-Nya.
An Naba Berapa Ayat? Jawaban Struktural
Secara definitif, Surah An-Naba' (Berita Besar) terdiri dari 40 ayat. Surah ini ditutup dengan rima yang kuat dan berirama cepat, khas surah-surah pendek di akhir Al-Qur’an, yang bertujuan untuk menggugah kesadaran dan memberikan peringatan yang keras (indzar).
Pembagian 40 ayat ini dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar, yang masing-masing memiliki fokus naratif yang berbeda:
- **Ayat 1-5:** Pertanyaan dan Jawaban Mengenai Berita Besar (Yaumul Qiyamah).
- **Ayat 6-16:** Bukti-bukti Kekuasaan Allah di Alam Semesta (Ayat Kauniyah).
- **Ayat 17-30:** Kepastian dan Kengerian Hari Keputusan, Serta Balasan bagi Kaum Durhaka.
- **Ayat 31-40:** Ganjaran bagi Kaum Bertakwa dan Penutup yang Penuh Peringatan.
Setiap kelompok ayat tersebut saling menguatkan, dari pertanyaan yang provokatif, diikuti dengan bukti penciptaan yang tak terbantahkan, lalu puncak peristiwa Kiamat, dan diakhiri dengan kontras antara siksaan dan kenikmatan abadi.
Visualisasi tema Surah An-Naba', menyeimbangkan pertanyaan besar (titik pusat) dengan bukti-bukti kekuasaan (kiri) dan kepastian ganjaran (kanan).
Tafsir Mendalam Surah An-Naba' (Ayat 1-40)
Untuk mencapai kedalaman pemahaman dan memenuhi kajian yang komprehensif, kita akan menelaah setiap kelompok ayat dengan fokus pada makna bahasa, konteks teologis, dan pandangan ulama tafsir klasik.
Bagian 1: Misteri Berita Besar (Ayat 1–5)
Surah ini dibuka dengan gaya pertanyaan retoris yang mengejutkan, langsung menuju inti perdebatan antara Nabi Muhammad dan kaum musyrikin.
عَمَّ يَتَسَآءَلُونَ
1. Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?
Tafsir: Kata ‘Amma’ (tentang apa) menunjukkan adanya perdebatan dan keingintahuan yang besar. Para musyrikin Makkah sering berkumpul dan berdiskusi dengan nada meremehkan mengenai kabar yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ, yaitu hari kebangkitan. Ini adalah awal dari respons ilahi terhadap keraguan manusia.
عَنِ ٱلنَّبَإِ ٱلْعَظِيمِ
2. Tentang berita yang besar (An-Naba'il ‘Azhim).
Tafsir: Berita besar yang dimaksud adalah Hari Kebangkitan, kiamat, hisab, dan pembalasan. Ini adalah berita yang mengubah tatanan hidup dan pandangan dunia. Mengapa disebut 'Azhim (besar/agung)? Karena dampaknya melibatkan seluruh alam semesta dan menentukan nasib abadi setiap jiwa. Para ulama juga menyebut bahwa 'Naba'il ‘Azhim' ini mencakup seluruh risalah Islam, yang puncaknya adalah penetapan Hari Kiamat.
ٱلَّذِى هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ
3. Yang dalam hal itu mereka berselisih.
Tafsir: Perselisihan kaum Quraisy bukan hanya perdebatan filosofis, tetapi juga penolakan keras terhadap realitas Hari Kiamat. Sebagian menganggapnya mustahil (karena jasad telah menjadi tulang belulang), sebagian menganggapnya dongeng, dan sebagian lagi ragu-ragu. Ayat ini menyoroti bahwa keraguan adalah penyakit pertama yang menghalangi penerimaan kebenaran.
كَلَّا سَيَعْلَمُونَ
4. Sekali-kali tidak! Kelak mereka akan mengetahui.
Tafsir: Ini adalah kata peringatan yang keras. Kata *Kallaa* (sekali-kali tidak) menepis keraguan mereka. Frasa *Saya’lamuun* (kelak mereka akan mengetahui) merujuk pada momen ketika mereka dihadapkan langsung dengan realitas kubur dan Hari Kiamat. Ini bukan lagi teori, melainkan pengalaman yang tak terhindarkan dan menakutkan bagi mereka yang mendustakannya.
ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ
5. Kemudian, sekali-kali tidak! Kelak mereka benar-benar akan mengetahui.
Tafsir: Pengulangan peringatan (Ayat 4 dan 5) bertujuan untuk penegasan dan intensitas ancaman. Ini menunjukkan bahwa penemuan kebenaran tersebut akan datang dalam dua tahap: pertama, saat kematian, dan kedua, saat kebangkitan, di mana pengetahuan itu datang dengan kepedihan dan penyesalan yang mendalam. Pengulangan ini adalah salah satu ciri retorika Al-Qur'an untuk menciptakan efek dramatis dan definitif.
Bagian 2: Bukti Kekuasaan Ilahi (Ayat 6–16)
Setelah memberikan peringatan, Allah SWT beralih ke argumentasi empiris. Allah menggunakan penciptaan alam semesta yang teratur dan luar biasa sebagai bukti bahwa Dzat yang mampu menciptakan semua ini dari ketiadaan, pasti mampu membangkitkan manusia dari kematian.
أَلَمْ نَجْعَلِ ٱلْأَرْضَ مِهَٰدًا
6. Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?
Tafsir: *Mihadan* berarti hamparan, alas, atau tempat tinggal yang nyaman. Bumi dijadikan stabil, memiliki daya dukung, dan dapat diolah untuk kehidupan. Ini adalah anugerah terbesar. Jika Allah mampu menciptakan tempat yang sempurna bagi kehidupan, bukankah Dia mampu menghidupkannya kembali? Ayat ini menuntut refleksi atas keseimbangan ekologis yang disediakan Allah.
وَٱلْجِبَالَ أَوْتَادًا
7. Dan gunung-gunung sebagai pasak?
Tafsir: Jibāl (gunung-gunung) digambarkan sebagai *Awtadan* (pasak atau pancang). Secara ilmiah modern, istilah ini sangat akurat menggambarkan fungsi geologis gunung yang menstabilkan kerak bumi dan mencegah pergeseran yang berlebihan. Tafsir klasik menekankan bahwa gunung berfungsi sebagai penyeimbang yang mencegah bumi berguncang terus-menerus. Gunung, yang tampak kokoh dan abadi, adalah bukti nyata dari arsitektur ilahi yang terperinci.
وَخَلَقْنَٰكُمْ أَزْوَٰجًا
8. Dan Kami menciptakan kamu berpasang-pasangan.
Tafsir: Penciptaan berpasangan (*azwajan*) mencakup dua makna: pasangan suami-istri yang menjadi sumber ketenangan dan kelangsungan keturunan, serta konsep bahwa segala sesuatu di alam semesta ini diciptakan berpasangan (siang-malam, positif-negatif, hidup-mati). Ini menunjukkan keteraturan sistem reproduksi dan sosial yang dikendalikan oleh Allah, sehingga keberadaan keturunan baru membuktikan siklus hidup yang dapat diulang.
وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا
9. Dan Kami menjadikan tidurmu untuk istirahat.
Tafsir: Tidur (*nawm*) dijadikan *Subatan*, yaitu pemutus kegiatan dan waktu istirahat total bagi fisik dan mental. Tidur di sini dilihat sebagai "kematian sementara," di mana ruh manusia seolah diambil dan dikembalikan setiap pagi. Kemampuan untuk mengembalikan kesadaran setelah tidur nyenyak adalah metafora harian yang membuktikan kemampuan Allah membangkitkan manusia dari kematian abadi.
وَجَعَلْنَا ٱلَّيْلَ لِبَاسًا
10. Dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian.
Tafsir: Malam (*Layl*) diumpamakan sebagai pakaian (*Libasa*) karena malam menutupi bumi dengan kegelapannya, menyembunyikan aktivitas manusia, dan memberikan ketenangan. Pakaian juga berfungsi sebagai perlindungan. Malam adalah perlindungan dari panas matahari dan waktu yang tepat untuk beristirahat, menunjukkan perencanaan yang teliti dalam rotasi alam semesta.
وَجَعَلْنَا ٱلنَّهَارَ مَعَاشًا
11. Dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan.
Tafsir: Kontras dengan malam, siang (*Nahaar*) dijadikan waktu *Ma'asha* (penghidupan/mata pencaharian). Allah menjadikan siang terang benderang, memudahkan manusia untuk bergerak, bekerja, dan berinteraksi. Pergantian teratur antara siang dan malam adalah sistem sempurna yang mendukung eksistensi manusia, yang mustahil terjadi tanpa Dzat Yang Maha Mengatur.
وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا
12. Dan Kami telah membangun di atas kamu tujuh lapis (langit) yang kokoh.
Tafsir: Tujuh langit (*Sab’an Shidaadan*) secara tradisional ditafsirkan sebagai tujuh tingkatan atau dimensi langit yang sangat kuat dan teratur, tanpa retak atau tiang yang terlihat. Ayat ini mengajak manusia merenungkan betapa besarnya dan kokohnya struktur kosmos di atas kepala mereka, suatu struktur yang jauh lebih besar daripada bumi. Kekuatan penciptaan ini menegaskan kemampuan Allah untuk menata kembali segala sesuatu, termasuk jasad yang telah hancur.
وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا
13. Dan Kami menjadikan pelita yang amat terang (matahari).
Tafsir: Matahari (*Siraajan Wahhaajan*) adalah sumber cahaya dan energi yang membakar. Istilah *Wahhaj* menunjukkan panas yang luar biasa dan cahaya yang menyilaukan. Matahari bukan hanya penerang, tetapi juga mesin energi utama yang mendukung semua kehidupan di bumi, dari fotosintesis hingga siklus air. Kehadiran matahari yang persis dan teratur adalah mukjizat penciptaan yang tak dapat ditiru manusia.
وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا
14. Dan Kami turunkan dari awan yang dicurahkan air yang tercurah dengan deras.
Tafsir: *Al-Mu’shiraat* merujuk pada awan yang diperas atau memeras air, seperti pemerahan susu. *Tsajjajan* berarti air yang dicurahkan secara deras dan melimpah. Hujan adalah sumber kehidupan yang membangkitkan tanah yang mati. Dalam konteks argumen tentang Kebangkitan, hujan adalah analogi yang paling kuat: jika Allah mampu menghidupkan bumi yang kering dan gersang dengan setetes air, maka menghidupkan kembali manusia dari debu adalah hal yang lebih mudah bagi-Nya.
لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا
15. Untuk Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tanam-tanaman.
Tafsir: Hujan turun dengan tujuan yang jelas: menumbuhkan *habban* (biji-bijian, sumber makanan pokok) dan *nabaatan* (tumbuh-tumbuhan umum). Proses ini adalah demonstrasi kekuasaan Allah yang mengubah materi mati (tanah dan air) menjadi kehidupan yang subur, berulang kali, setiap musim. Ini adalah siklus Kebangkitan yang disaksikan manusia setiap tahun.
وَجَنَّٰتٍ أَلْفَافًا
16. Dan kebun-kebun yang lebat.
Tafsir: *Jannatin Alfaafa* merujuk pada kebun-kebun yang subur, saling berdekatan, dan tumbuh rapat (lebat). Kebun buah-buahan ini adalah hasil akhir yang indah dari proses penciptaan air dan tanah. Rangkaian Ayat 6-16 berfungsi sebagai bukti tak terbantahkan, bahwa Dzat yang mampu melakukan semua ini, adalah Dzat yang Maha Kuasa untuk mengadakan Hari Kebangkitan.
Bagian 3: Kepastian Hari Keputusan dan Balasan Neraka (Ayat 17–30)
Setelah bukti-bukti di alam semesta disajikan, narasi beralih ke kepastian realitas akhirat yang akan datang. Ayat-ayat ini memberikan deskripsi dramatis tentang Kiamat dan azab bagi orang-orang yang mendustakan Berita Besar tersebut.
إِنَّ يَوْمَ ٱلْفَصْلِ كَانَ مِيقَٰتًا
17. Sesungguhnya Hari Keputusan itu adalah waktu yang ditetapkan.
Tafsir: *Yaumul Faṣl* (Hari Keputusan) adalah hari pemisahan antara yang benar dan yang salah, antara Mukmin dan Kafir. Kata *Miiqātan* menekankan bahwa kedatangannya pasti, telah ditentukan waktunya oleh Allah, dan tidak dapat dimajukan atau dimundurkan. Penetapan waktu ini menghilangkan keraguan yang diajukan pada Ayat 1-5.
يَوْمَ يُنْفَخُ فِى ٱلصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا
18. Yaitu hari (ketika) sangkakala ditiup, lalu kamu datang berbondong-bondong.
Tafsir: Penjelasan ini menggambarkan momen kebangkitan. Tiupan *Shaur* (Sangkakala) oleh Malaikat Israfil adalah tanda dimulainya Hari Kebangkitan. Manusia akan bangkit dari kubur dan datang ke Padang Mahsyar *Afwajan* (berkelompok-kelompok), sesuai dengan jenis amal atau panji mereka, menunjukkan kekacauan dan ketergesaan massa di hari itu.
وَفُتِحَتِ ٱلسَّمَآءُ فَكَانَتْ أَبْوَٰبًا
19. Dan langit pun dibuka, maka terdapatlah beberapa pintu.
Tafsir: Langit yang tadinya kokoh (sebagaimana disebutkan di Ayat 12) akan terbelah, seolah-olah menjadi pintu-pintu (*Abwaban*). Para ulama tafsir menjelaskan ini sebagai keretakan dan kehancuran sistem kosmos, memungkinkan malaikat dan ketetapan Allah turun, menandakan berakhirnya tatanan duniawi dan dimulainya tatanan akhirat.
وَسُيِّرَتِ ٱلْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا
20. Dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana.
Tafsir: Kontradiksi dengan Ayat 7 yang menyebut gunung sebagai pasak. Di Hari Kiamat, pasak-pasak itu dicabut. Gunung yang kokoh akan bergerak, hancur, dan akhirnya menjadi debu yang beterbangan, menyerupai *Saraaban* (fatamorgana) yang tidak memiliki substansi nyata. Ini menunjukkan lenyapnya semua hal yang dianggap kekal di dunia.
إِنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًا
21. Sesungguhnya (neraka) Jahannam itu adalah tempat pengintai (penghadang).
Tafsir: *Jahannam* digambarkan sebagai *Mirsadan*, sebuah tempat pengintaian atau pos penjagaan. Ini berarti neraka sudah siap siaga, menunggu dan mengintai siapa pun yang melanggar batas-batas Allah. Gambaran ini menunjukkan keadilan Allah dan kesiapan balasan bagi para pendurhaka.
لِّلطَّٰغِينَ مَـَٔابًا
22. Menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas (ṭāghīn).
Tafsir: Neraka adalah *Ma’aaban*, tempat kembali yang pasti bagi para *Thaghīn*, yaitu orang-orang yang melampaui batas kebenaran, sombong, menolak tauhid, dan mendustakan hari kebangkitan. Ini menunjukkan bahwa neraka adalah destinasi yang sesuai dan setimpal bagi mereka yang memilih jalan kesesatan.
لَّٰبِثِينَ فِيهَآ أَحْقَابًا
23. Mereka tinggal di dalamnya dalam masa yang lama (aḥqābā).
Tafsir: *Aḥqābā* (bentuk jamak dari *huqub*) berarti masa yang sangat lama atau berabad-abad. Meskipun ada perbedaan pendapat tafsir mengenai apakah *ahqaban* berarti kekal abadi atau periode yang sangat panjang tetapi terbatas (bagi pelaku dosa besar dari kalangan Muslim), pandangan yang dominan adalah bahwa bagi kaum musyrikin dan pendusta Hari Kiamat, periode ini tidak memiliki akhir yang diketahui selain kehendak Allah, menunjukkan azab yang terus menerus.
لَّا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا
24. Mereka tidak merasakan di dalamnya kesejukan dan tidak pula minuman.
Tafsir: Kesejukan (*Barda*) merujuk pada ketenangan atau istirahat, yang sangat dibutuhkan setelah sengatan api neraka. Minuman (*Sharaaban*) yang dimaksud adalah minuman yang menghilangkan dahaga. Ayat ini menolak segala bentuk kenyamanan, menegaskan bahwa penderitaan di neraka bersifat total dan mutlak. Jika mereka diberi minum, itu adalah air yang mendidih.
إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا
25. Kecuali air yang mendidih dan nanah.
Tafsir: Inilah ‘minuman’ yang mereka dapatkan. *Ḥamīman* adalah air yang sangat panas dan mendidih, membakar organ dalam. *Ghasṣāqan* adalah nanah, darah, dan cairan menjijikkan yang keluar dari tubuh penduduk neraka. Kontras ini menunjukkan bahwa kebutuhan mendasar manusia (minum) akan dipenuhi dengan elemen yang meningkatkan siksaan, bukan meredakannya.
جَزَآءً وِفَاقًا
26. Sebagai balasan yang setimpal (wiqāqan).
Tafsir: *Wifāqan* berarti sesuai, setara, dan seimbang. Siksaan dan azab ini adalah hasil yang adil dari perbuatan mereka di dunia. Karena mereka melampaui batas dan melanggar hukum Allah secara total, balasan mereka pun datang dalam bentuk siksaan yang total pula. Ini menekankan prinsip keadilan ilahi (*‘adl*).
إِنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرْجُونَ حِسَابًا
27. Sesungguhnya mereka tidak berharap adanya perhitungan.
Tafsir: Kejahatan utama mereka adalah penolakan terhadap konsep pertanggungjawaban. Mereka hidup seolah-olah tidak ada Hari Penghisaban (*Ḥisāban*). Ketidakpercayaan ini memungkinkan mereka berbuat sesuka hati, dan oleh karena itu, balasan yang mereka terima adalah karena pilihan sadar mereka untuk menolak keadilan ilahi.
وَكَذَّبُوا بِـَٔايَٰتِنَا كِذَّابًا
28. Dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan kedustaan yang sungguh-sungguh.
Tafsir: Mereka tidak hanya meragukan, tetapi secara aktif mendustakan (*Kadhdhabū*) ayat-ayat Allah, baik yang berupa wahyu (Al-Qur’an) maupun ayat-ayat kauniyah (bukti penciptaan yang baru dijelaskan pada Ayat 6-16). Penggunaan kata *Kidhābā* (bentuk mubalaghah/intensif) menunjukkan bahwa kedustaan mereka adalah penolakan total dan berulang.
وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ كِتَٰبًا
29. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab.
Tafsir: Ayat ini menjadi penutup argumen pembalasan. Allah menjelaskan bahwa seluruh amal, ucapan, dan niat mereka telah dicatat dengan teliti (*Aḥṣaynāhu*) di *Kitab* (Lauh Mahfuzh atau catatan amal). Tidak ada satu pun perbuatan mereka yang luput dari perhitungan. Ini menjamin keadilan mutlak dalam pembalasan yang akan mereka terima.
فَذُوقُوا فَلَن نَّزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا
30. Karena itu, rasakanlah. Maka Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kalian kecuali azab.
Tafsir: Ayat ini adalah vonis terakhir yang disampaikan kepada penghuni neraka, penuh keputusasaan. Kalimat "Maka Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kalian kecuali azab" berarti setiap penambahan waktu di neraka hanya akan membawa penambahan intensitas siksaan. Mereka tidak memiliki harapan akan keringanan, apalagi kebebasan.
Bagian 4: Ganjaran bagi Kaum Bertakwa dan Penutup (Ayat 31–40)
Setelah deskripsi yang mengerikan tentang neraka, Al-Qur'an menggunakan teknik kontras yang kuat. Ayat-ayat terakhir ini menggambarkan keindahan dan ketenangan surga sebagai balasan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang menerima Berita Besar (An-Naba'il ‘Azhim) dan bersiap menghadapinya.
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا
31. Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa ada kemenangan (mafāzan).
Tafsir: *Al-Muttaqīn* (orang-orang bertakwa) adalah mereka yang takut kepada Allah dan menjalankan perintah-Nya, khususnya mereka yang membenarkan Hari Kebangkitan. *Mafāzan* (kemenangan/tempat kemenangan) adalah pembebasan dari neraka dan pencapaian tujuan tertinggi, yaitu surga. Kata ini mengkontraskan keputusasaan di neraka dengan keberhasilan di surga.
حَدَآئِقَ وَأَعْنَٰبًا
32. (Yaitu) kebun-kebun dan buah anggur.
Tafsir: Ganjaran pertama yang disebutkan adalah kebun yang indah (*Ḥadā’iq*) dan anggur (*A‘nāban*). Anggur dipilih karena merupakan buah yang paling disukai dan melambangkan kenikmatan yang segar dan murni.
وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا
33. Dan gadis-gadis remaja yang sebaya.
Tafsir: *Kawā’ib* merujuk pada bidadari dengan fisik yang sempurna, dan *Atrābā* berarti sebaya, selalu berusia muda, menunjukkan keselarasan dan keharmonisan dalam persahabatan dan pendampingan di surga. Ini adalah kenikmatan sosial dan spiritual.
وَكَأْسًا دِهَاقًا
34. Dan gelas-gelas yang penuh (dengan minuman).
Tafsir: *Ka’san Dihāqan* merujuk pada minuman surgawi yang disajikan secara melimpah dalam gelas-gelas yang selalu penuh, berbeda dengan dahaga di neraka yang hanya dipuaskan oleh nanah dan air mendidih. Minuman ini adalah sumber kebahagiaan dan tidak menyebabkan mabuk.
لَّا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّٰبًا
35. Di sana mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan dusta.
Tafsir: Kenikmatan surga bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis dan spiritual. Tidak ada *Laghwan* (kata-kata sia-sia, caci maki, atau obrolan tak berguna) dan tidak ada *Kidhābā* (kebohongan). Lingkungan surgawi adalah lingkungan kesempurnaan, damai, dan penuh kejujuran, membebaskan penghuninya dari segala gangguan verbal duniawi.
جَزَآءً مِّن رَّبِّكَ عَطَآءً حِسَابًا
36. Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup (berlimpah) lagi perhitungan.
Tafsir: Surga adalah *Jazā’an* (balasan) yang berasal dari Allah. Yang terpenting, ia adalah *‘Aṭā’an Ḥisābā*—pemberian yang melimpah (melebihi amal mereka) dan dihitung secara adil. Meskipun balasan diberikan berdasarkan amal, kemurahan Allah memastikan bahwa pemberian-Nya jauh melebihi apa yang pantas diterima, menunjukkan sifat *Karīm* (Maha Mulia) Allah.
رَّبِّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا ٱلرَّحْمَٰنِ لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا
37. (Yaitu) Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah; mereka tidak memiliki kekuasaan untuk berbicara dengan Dia.
Tafsir: Ayat ini menegaskan kebesaran Dzat yang memberikan ganjaran itu. Dialah *Rabb* (Pemelihara) seluruh alam semesta, dan *Ar-Raḥmān* (Maha Pemurah). Walaupun Dia Maha Pemurah, Dia juga Maha Agung, sehingga pada Hari Kiamat, manusia tidak memiliki kekuasaan atau keberanian untuk berbicara (*Khīṭāban*) tanpa izin-Nya, menekankan kedudukan rendah makhluk di hadapan Penciptanya. Semua harus menunggu izin intervensi (syafaat).
يَوْمَ يَقُومُ ٱلرُّوحُ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ صَفًّا لَّا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ ٱلرَّحْمَٰنُ وَقَالَ صَوَابًا
38. Pada hari (ketika) Ruh dan para Malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan yang benar.
Tafsir: *Rūḥ* di sini ditafsirkan oleh sebagian besar ulama sebagai Malaikat Jibril atau sebagai sejenis makhluk agung, berdiri bersama seluruh Malaikat dalam barisan (*Shaffan*). Keagungan hari itu sedemikian rupa sehingga bahkan makhluk terkuat seperti Malaikat pun tidak berani berbicara tanpa izin. Syafaat (perantara) hanya diberikan kepada mereka yang diizinkan dan hanya dapat mengucapkan *Ṣawābā* (yang benar), yaitu kesaksian tentang Tauhid.
ذَٰلِكَ ٱلْيَوْمُ ٱلْحَقُّ فَمَن شَآءَ ٱتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِۦ مَـَٔابًا
39. Itulah Hari yang pasti benar (al-ḥaqq). Maka barangsiapa menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.
Tafsir: *Al-Ḥaqq* (kebenaran yang pasti). Setelah semua bukti dan deskripsi surga serta neraka, Allah memberikan kebebasan memilih kepada manusia. Siapa pun yang menghendaki, memiliki kesempatan di dunia ini untuk *Ittakhaźa ilā Rabbihī Ma’ābā* (menempuh jalan kembali/tempat kembali kepada Tuhannya), yaitu dengan beriman dan beramal saleh. Ini adalah ajakan terakhir.
إِنَّآ أَنذَرْنَٰكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنظُرُ ٱلْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ ٱلْكَافِرُ يَٰلَيْتَنِى كُنتُ تُرَٰبًا
40. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kamu akan azab yang dekat, pada hari (ketika) seseorang melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu hanya menjadi tanah."
Tafsir Penutup: Inilah akhir dari 40 ayat Surah An-Naba'. Azab disebut *Qarīban* (dekat) karena meskipun waktunya hanya diketahui Allah, setiap hal yang pasti datang dianggap dekat. Pada hari itu, setiap individu melihat catatan amalnya (*Mā qaddamat yadāhu*)—semua perbuatan, baik dan buruk. Puncaknya adalah penyesalan total orang kafir. Mereka berharap *Ya Laytanī Kuntu Turābā* (sekiranya aku dahulu hanya menjadi tanah), yaitu: mereka berharap tetap menjadi debu setelah kematian atau berharap tidak dibangkitkan seperti hewan-hewan yang setelah dihisab dijadikan tanah kembali. Penyesalan ini adalah penutup yang dramatis, menggarisbawahi kegagalan mereka menerima Berita Besar ketika mereka masih memiliki kesempatan.
Inti Pesan dan Relevansi Surah An-Naba
Surah An-Naba' adalah mahakarya retorika yang berfungsi sebagai landasan keyakinan bagi seorang Muslim. Pesan inti surah ini, yang terbagi dalam 40 ayat, dapat diringkas dalam beberapa poin utama:
1. Prinsip Kepastian (Al-Ya’qin)
Seluruh surah, dari pertanyaan awal hingga penyesalan akhir, bertujuan untuk menghilangkan keraguan (syak) mengenai Hari Kebangkitan. Allah tidak hanya memerintahkan untuk percaya, tetapi juga menyajikan bukti-bukti kosmik dan biologis yang teratur (ayat 6-16) sebagai analogi yang logis. Jika manusia mampu menyaksikan kehidupan muncul dari tanah mati berkat air hujan, maka kebangkitan total dari tanah adalah keniscayaan bagi Dzat Yang Maha Kuasa.
2. Perbandingan Drastis (Kontras Total)
Kekuatan naratif surah ini terletak pada perbandingan tajam antara dua destinasi: api yang panas membakar tanpa kesejukan (*Ḥamīman wa Ghasṣāqan*) di satu sisi, dan kebun yang lebat dengan minuman yang melimpah (*Ḥadā’iqan wa A‘nāban wa Ka’san Dihāqan*) di sisi lain. Kontras ini adalah motivasi terbesar bagi seorang Mukmin untuk istiqamah dan peringatan keras bagi para pendurhaka.
3. Peringatan tentang Hisab yang Dekat
Penutup surah, dengan frasa *‘Adhāban Qarīban* (azab yang dekat), mengingatkan bahwa waktu yang tersisa di dunia ini sangatlah singkat dibandingkan dengan keabadian yang menanti. Kesempatan untuk beramal saleh (menempuh *Ma’ābā* – Ayat 39) adalah terbatas, dan setiap orang akan segera melihat catatan amalnya sendiri. Ini mendorong urgensi dalam beramal dan bertaubat.