SURAH AN-NABA (BERITA BESAR)

Kajian Mendalam Ayat 1 sampai 40

Surah Makkiyah | Fokus Utama: Hari Kebangkitan

Pengantar dan Tema Sentral Surah An-Naba

Surah An-Naba, yang berarti 'Berita Besar', merupakan surah ke-78 dalam Al-Qur'an dan termasuk dalam golongan Surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal dakwah di Makkah. Surah ini secara keseluruhan berfokus pada satu tema sentral yang krusial: penegasan dan kepastian Hari Kebangkitan (*Yawm Al-Qiyāmah*) dan penetapan pembalasan (*Jazā'*) bagi setiap amal perbuatan manusia.

Surah ini berfungsi sebagai respons langsung terhadap keraguan dan ejekan kaum musyrikin Makkah mengenai kehidupan setelah kematian. Allah menggunakan tiga metode argumen yang kuat dalam surah ini:

  1. Pertanyaan Retoris (Ayat 1-5): Menarik perhatian pada isu yang menjadi perdebatan besar.
  2. Bukti Kosmik (Ayat 6-16): Menunjukkan keagungan dan kekuasaan-Nya melalui penciptaan alam semesta yang sempurna, membuktikan bahwa Dzat yang mampu menciptakan semua ini dari ketiadaan pasti mampu mengembalikannya.
  3. Penggambaran Detail (Ayat 17-40): Memberikan deskripsi spesifik tentang Hari Kiamat, pembalasan bagi orang kafir (Neraka), dan kenikmatan bagi orang beriman (Surga).

Dari awal hingga akhir, Surah An-Naba menanamkan rasa takut (kepada azab) dan harapan (akan rahmat) seraya menegaskan bahwa janji Allah adalah kebenaran yang tak terelakkan.

Bagian Pertama: Pertanyaan Mengenai Berita Agung (Ayat 1-5)

Ayat 1-2: Pertanyaan yang Menggema

عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2)

1. Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? 2. Tentang berita yang besar (Hari Kebangkitan).

Surah ini dibuka dengan pertanyaan yang menarik perhatian: "‘Amma yatasā’alūn?" (Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?). Kata Yatasā’alūn menunjukkan adanya perdebatan, keraguan, dan penolakan yang meluas di kalangan orang-orang Makkah. Mereka memperbincangkan dan meremehkan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Berita yang dimaksud (An-Naba' Al-'Azhim) adalah Hari Kebangkitan, Hari Pembalasan, dan adanya perhitungan setelah kematian. Ini adalah berita 'besar' karena memiliki implikasi permanen terhadap seluruh keberadaan manusia, memisahkan kebenaran dari kebatilan, dan menegaskan tujuan hakiki penciptaan. Musyrikin menganggap kebangkitan kembali tulang-belulang yang telah hancur adalah sesuatu yang mustahil. Mereka bertanya dengan nada menolak dan meragukan.

Ayat 3-5: Pengingkaran dan Kepastian

الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3) كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (5)

3. Yang dalam hal itu mereka berselisih. 4. Sekali-kali tidak! Kelak mereka akan mengetahui. 5. Kemudian, sekali-kali tidak! Kelak mereka akan mengetahui.

Ayat 3 menjelaskan bahwa isu kebangkitan adalah titik perbedaan utama antara para Nabi dan kaumnya. Ayat 4 dan 5 memberikan jawaban yang tegas, menggunakan kata Kallā, yang merupakan kata hardikan, penolakan keras, dan kepastian. Ini adalah peringatan keras bahwa keraguan mereka akan segera berakhir ketika kenyataan itu datang. Pengulangan frasa "Kelak mereka akan mengetahui" bertujuan untuk memberikan penekanan yang luar biasa (ta’kid) bahwa mereka tidak hanya akan melihat kebenaran Kiamat, tetapi juga merasakan konsekuensi dari penolakan mereka. Ini menunjukkan betapa gentingnya masalah ini, sehingga Allah perlu mengulang peringatan tersebut dua kali.

Bagian Kedua: Bukti-Bukti Keagungan dan Kekuasaan Allah (Ayat 6-16)

Setelah memberikan peringatan keras, Allah SWT mulai menyajikan bukti-bukti tak terbantahkan (argumentasi rububiyah) yang ada di sekitar manusia. Bukti-bukti ini menegaskan bahwa Dzat yang menciptakan semua sistem sempurna ini, pastilah mampu menciptakan kembali manusia.

Ilustrasi Kekuatan Penciptaan Allah (Bumi, Gunung, dan Matahari) Bumi sebagai hamparan, gunung sebagai pasak (Ayat 6-7)

Ilustrasi yang menunjukkan kesempurnaan sistem alam semesta yang diatur oleh Allah.

Ayat 6-7: Bumi sebagai Hamparan dan Gunung sebagai Pasak

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا (6) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (7)

6. Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan (tempat menetap)? 7. Dan gunung-gunung sebagai pasak?

Allah memulai dengan struktur bumi. Bumi digambarkan sebagai Mihād, yang berarti tempat tidur, hamparan, atau buaian—tempat yang tenang dan nyaman untuk kehidupan. Ini menunjukkan rahmat Allah yang membuat bumi stabil dan sesuai untuk ditinggali.

Kemudian, gunung digambarkan sebagai Awtād (pasak atau tiang). Peran geologis gunung sebagai penstabil kerak bumi adalah penemuan modern yang telah diisyaratkan Al-Qur'an. Jika bumi tidak memiliki pasak, ia akan terus bergoncang. Adanya gunung menunjukkan kebijaksanaan dan ketelitian Pencipta dalam merancang sistem yang mencegah kekacauan. Dzat yang mampu merancang arsitektur kosmos sedemikian rupa pasti mampu mengembalikan kehidupan.

Ayat 8-11: Penciptaan Pasangan, Tidur, Malam, dan Siang

وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا (8) وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11)

8. Dan Kami telah menciptakan kamu berpasang-pasangan. 9. Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. 10. Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian (pelindung). 11. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.

Ayat ini beralih ke kehidupan manusia itu sendiri. Penciptaan berpasang-pasangan (Azwājan) adalah dasar reproduksi, menunjukkan kemampuan Allah untuk memulai kehidupan baru secara terus-menerus. Tidur (Subāt) adalah istirahat total bagi jiwa dan raga, seperti kematian kecil (disebut juga al-mawtu as-shughra). Dari tidur, manusia dibangunkan kembali setiap pagi; ini adalah miniatur kebangkitan yang terjadi setiap hari. Allah menciptakan siklus yang sempurna untuk memulihkan energi dan kesadaran, yang merupakan pengulangan kecil dari Hari Kebangkitan Besar.

Malam (*Layl*) dijadikan sebagai Libāsā (pakaian), yang menyelimuti dan memberikan ketenangan serta perlindungan dari kelelahan. Siang (*Nahār*) dijadikan waktu untuk mencari penghidupan (*Ma’āsyā*). Pergantian ritmis ini menunjukkan sistem yang teratur. Keberhasilan pergantian antara kematian (tidur) dan kehidupan (terbangun/siang) adalah bukti bahwa Allah tidak kesulitan untuk menghidupkan kembali manusia secara permanen.

Ayat 12-16: Tujuh Langit, Matahari, dan Air

وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14) لِّنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16)

12. Dan Kami telah membangun di atas kamu tujuh (langit) yang kokoh. 13. Dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari). 14. Dan Kami turunkan dari awan yang dicurahkan (hujan) air yang tercurah dengan deras. 15. Untuk Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tanam-tanaman. 16. Dan kebun-kebun yang lebat.

Bukti kekuasaan berpindah ke langit (samā’). Tujuh langit yang kokoh (shidādan) menunjukkan struktur alam semesta yang luar biasa kuat dan teratur. Di antara langit, terdapat matahari yang berfungsi sebagai Sirājan Wahhājā (pelita yang amat terang dan memancarkan panas yang dahsyat). Matahari adalah sumber energi vital, yang diciptakan dengan perhitungan sangat presisi.

Lalu, perhatian kembali ke bumi melalui siklus air. Air hujan (*mā’an tsajjājā*) diturunkan dari awan (*al-mu’sirāt*) dengan deras. Air ini bukan sekadar cairan, tetapi sarana untuk membangkitkan kehidupan di bumi yang mati. Dari air yang sama, Allah menumbuhkan biji-bijian, tanam-tanaman, dan kebun-kebun yang lebat (*jannātin alfāfā*). Proses transformasi bumi yang kering menjadi hijau melalui air adalah demonstrasi sempurna dari proses kebangkitan rohani dan jasmani yang akan terjadi pada Hari Kiamat. Jika Allah mampu menghidupkan bumi yang mati, mengapa manusia meragukan kemampuan-Nya untuk menghidupkan kembali tubuh manusia yang telah menjadi tanah?

Bagian Ketiga: Ketetapan Hari Pemisahan (Ayat 17-30)

Setelah menunjukkan bukti-bukti penciptaan, Allah kemudian mengumumkan konsekuensi logis dari kekuasaan tersebut: Hari Pembalasan.

Ayat 17-20: Penentuan Waktu dan Kedatangan Kiamat

إِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ كَانَ مِيقَاتًا (17) يَوْمَ يُنفَخُ فِي الصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا (18) وَفُتِحَتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ أَبْوَابًا (19) وَسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا (20)

17. Sesungguhnya Hari Keputusan (Hari Kiamat) adalah suatu waktu yang telah ditetapkan. 18. (Yaitu) hari (ketika) sangkakala ditiup, lalu kamu datang berkelompok-kelompok. 19. Dan langit pun dibukalah, maka terdapatlah beberapa pintu. 20. Dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana.

Ayat 17 menyatakan bahwa Hari Keputusan (*Yawm Al-Fasl*) memiliki waktu yang telah ditetapkan (*mīqātā*). Ia pasti akan datang, bukan sebuah spekulasi. Hari Keputusan adalah hari di mana kebenaran dipisahkan dari kebatilan, dan takdir tiap jiwa ditetapkan.

Pada Ayat 18, peristiwa besar dimulai: tiupan Sangkakala (*Shūr*). Seluruh manusia akan dibangkitkan dan datang menghadap Allah dalam kelompok-kelompok (*afwājan*). Kelompok ini bisa diinterpretasikan berdasarkan amal perbuatan mereka (kelompok iman dan kelompok kekafiran).

Ayat 19 dan 20 menggambarkan kehancuran kosmik. Langit terbuka lebar (*futīhatis samā’*), seolah-olah ia adalah pintu-pintu yang terbuka bagi kedatangan para malaikat dan urusan ilahi. Gunung-gunung, yang sebelumnya merupakan pasak (Ayat 7), kini dicabut dan dijalankan, hancur lebur hingga menjadi seperti fatamorgana (*sarābā*), yang terlihat padat namun tidak memiliki substansi nyata. Kontras antara bumi yang stabil pada Ayat 6 dan kehancurannya pada Ayat 20 menekankan dahsyatnya perubahan yang akan terjadi.

Ayat 21-26: Neraka sebagai Balasan yang Sesuai

إِنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًا (21) لِّلطَّاغِينَ مَآبًا (22) لَّابِثِينَ فِيهَا أَحْقَابًا (23) لَّا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا (24) إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا (25) جَزَاءً وِفَاقًا (26)

21. Sesungguhnya neraka Jahannam itu (sebagai) tempat pengintai. 22. Menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. 23. Mereka tinggal di dalamnya dalam waktu yang lama. 24. Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman. 25. Kecuali air yang mendidih dan ghassāq (nanah atau cairan kotor). 26. Sebagai balasan yang sesuai (dengan perbuatan mereka).

Neraka Jahannam digambarkan sebagai Mirshādā (tempat pengintai atau perangkap yang disiapkan). Neraka menanti dengan siap para pelaku dosa besar yang melampaui batas (*thāghīn*), yaitu mereka yang zalim dan melampaui batas-batas syariat Allah.

Ayat 23 menyebutkan durasi hukuman mereka: ahqābā, yang berarti masa yang lama, periode yang terus berlanjut, meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai batasan waktunya, namun konteksnya menunjukkan penderitaan yang sangat panjang dan tak berkesudahan bagi kekafiran mutlak.

Deskripsi penderitaan fisik sangat mengerikan. Mereka tidak akan mendapatkan kesejukan (*bardā*) atau minuman yang menyegarkan. Minuman mereka hanyalah Hamīm (air yang mendidih) dan Ghassāq (nanah, darah, dan cairan yang menjijikkan dari tubuh penghuni neraka). Ini adalah kebalikan total dari air hujan yang menyuburkan bumi yang disinggung di Ayat 14. Tujuan dari azab ini, sebagaimana dijelaskan Ayat 26, adalah Jazā’an Wifāqā (balasan yang sesuai). Keadilan Allah menuntut agar setiap perbuatan zalim dan penolakan terhadap kebenaran mendapat ganjaran yang setimpal.

Pemilihan kata Wifāqā ini menghilangkan anggapan bahwa Allah itu zalim; sebaliknya, hukuman tersebut adalah cerminan sempurna dari kekufuran, pendustaan, dan kedurhakaan mereka di dunia. Keadilan Allah meliputi pembalasan yang seimbang antara dosa dan siksa.

Ayat 27-30: Sebab-Sebab Hukuman

إِنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرْجُونَ حِسَابًا (27) وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا كِذَّابًا (28) وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ كِتَابًا (29) فَذُوقُوا فَلَن نَّزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا (30)

27. Sesungguhnya mereka tidak berharap adanya perhitungan. 28. Dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sebenar-benarnya dusta. 29. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab. 30. Karena itu rasakanlah. Maka Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu kecuali azab.

Ayat 27 memberikan akar masalah kaum thāghīn: mereka tidak percaya atau tidak mengharapkan adanya perhitungan. Ketidakpercayaan ini membuat mereka hidup semau mereka, mengabaikan batasan moral dan hukum agama. Ayat 28 menambahkan bahwa mereka secara aktif mendustakan ayat-ayat (tanda-tanda) Allah, baik yang berupa wahyu maupun yang ada di alam semesta.

Ayat 29 berfungsi sebagai penutup klaim ini: Meskipun mereka mengira tidak ada perhitungan, Allah menegaskan bahwa segala sesuatu, besar atau kecil, telah dicatat dan dihitung dengan sempurna (*Ahshaynahu Kitābā*). Ini adalah penegasan kedaulatan dan ilmu Allah yang mutlak.

Ayat 30 adalah hukuman final dan putusan: "Fadzūqū falannazīdakum illā ‘adzābā." Ini adalah puncak dari kengerian neraka. Bukan hanya mereka akan dihukum, tetapi hukuman itu tidak akan pernah berkurang; bahkan, akan terus bertambah. Ini menunjukkan bahwa penderitaan mereka tidak akan terbiasa oleh waktu dan tidak akan pernah mencapai titik akhir.

Bagian Keempat: Kenikmatan dan Kemenangan Bagi Orang yang Bertakwa (Ayat 31-36)

Setelah menggambarkan Neraka secara detail, Al-Qur'an beralih ke kontras yang menakjubkan, yaitu ganjaran yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (yang membenarkan Hari Kebangkitan dan beramal saleh).

Ayat 31-33: Keselamatan dan Pasangan Abadi

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا (31) حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا (32) وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا (33)

31. Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa ada kemenangan. 32. (Yaitu) kebun-kebun dan buah anggur. 33. Dan gadis-gadis remaja yang sebaya.

Bagi orang-orang yang bertakwa (*Mutaqqīn*), Allah menjanjikan Mafāzā—sebuah kemenangan besar, tempat keselamatan, dan keberhasilan. Ini adalah kebalikan dari penyesalan dan azab yang dialami para pendusta.

Kemenangan tersebut berupa kenikmatan fisik yang menenangkan jiwa. Dimulai dengan Hadā’iqa wa a’nābā (kebun-kebun yang indah dan buah-buahan anggur yang manis), yang melambangkan keindahan alami yang sempurna dan rezeki yang berlimpah ruah.

Ayat 33 menggambarkan kenikmatan sosial dan emosional, yaitu Kawā’iba Atrābā. Kawā’ib merujuk pada wanita muda yang penuh pesona, dan Atrābā berarti sebaya. Ini menjanjikan keharmonisan dan persahabatan yang abadi, di mana tidak ada pertengkaran atau kedengkian, melengkapi kenikmatan lahiriah dengan kenyamanan batin.

Ayat 34-36: Minuman Suci dan Ganjaran yang Tak Terbatas

وَكَأْسًا دِهَاقًا (34) لَّا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّابًا (35) جَزَاءً مِّن رَّبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا (36)

34. Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). 35. Di sana mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. 36. Sebagai balasan dari Tuhanmu dan karunia yang cukup berlimpah.

Mereka disuguhi Ka’san Dihāqā (gelas-gelas yang penuh minuman yang lezat). Ini adalah kontras tajam dari Hamīm dan Ghassāq yang harus diminum oleh penghuni neraka.

Namun, kenikmatan Surga tidak hanya bersifat fisik. Kenikmatan terbesar terletak pada kesucian lingkungan. Ayat 35 menjelaskan bahwa di Surga, mereka tidak akan mendengar laghwan (perkataan sia-sia, omong kosong, atau hal yang tidak berguna) dan tidak pula kidzāban (dusta atau maksiat). Ini menunjukkan ketenangan jiwa yang sempurna, bebas dari kecemasan, pertengkaran, dan kebohongan yang mengotori kehidupan dunia.

Penyimpulan ganjaran ini (Ayat 36) menekankan bahwa ini adalah ‘athā’an hisābā—karunia yang cukup, yang berlimpah, atau karunia yang diberikan sesuai dengan perhitungan yang adil dan sempurna dari sisi Allah. Karunia Allah tidak terhitung dan melebihi ekspektasi hamba-Nya. Bahkan, banyak ulama tafsir menyatakan bahwa kata hisābā di sini berarti 'cukup' atau 'berlimpah ruah', sebagai penegasan bahwa rezeki mereka akan memenuhi segala keinginan dan kebutuhan mereka tanpa batas.

Ilustrasi Keadilan Ilahi dan Pembalasan (Timbangan) Takwa & Kemenangan Kekafiran & Azab Jazā’an Wifāqā - Balasan yang Sesuai

Timbangan Keadilan: Balasan yang sesuai (Jazā’an Wifāqā) bagi orang bertakwa dan orang yang melampaui batas.

Bagian Kelima: Keagungan Tuhan dan Peringatan Final (Ayat 37-40)

Surah ini ditutup dengan deskripsi majelis di Hari Kiamat, menekankan kedaulatan mutlak Allah, dan memberikan peringatan terakhir kepada manusia.

Ayat 37: Kedaulatan Mutlak pada Hari Kiamat

رَّبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الرَّحْمَٰنِ لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا (37)

37. (Dialah) Tuhan (yang memelihara) langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pengasih; mereka tidak memiliki kekuasaan untuk berbicara dengan Dia.

Ayat ini menegaskan otoritas Allah sebagai Rabb (Penguasa, Pemelihara, Pencipta) segala sesuatu. Penggunaan sifat Ar-Rahmān (Maha Pengasih) di tengah konteks azab dan ganjaran menekankan bahwa meskipun Dia memiliki kekuatan untuk menghukum, rahmat-Nya tetap luas. Namun, kedaulatan-Nya di Hari Kiamat begitu mutlak sehingga tidak ada satu pun makhluk—manusia atau malaikat—yang memiliki kekuasaan atau izin untuk berbicara kepada-Nya (*lā yamlikūna minhu khithābā*), kecuali atas izin-Nya. Hal ini menunjukkan betapa gentingnya situasi pada hari tersebut; hak berbicara pun dicabut, menegaskan betapa kecilnya makhluk di hadapan keagungan Pencipta.

Ayat 38: Berbicara Hanya dengan Izin dan Kebenaran

يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَّا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَٰنُ وَقَالَ صَوَابًا (38)

38. Pada hari (ketika) Ruh (Jibril) dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan dia hanya mengatakan yang benar.

Majelis Mahsyar dijelaskan secara dramatis. Malaikat, termasuk Ruh (yang umumnya diidentifikasi sebagai Malaikat Jibril), berdiri bershaf-shaf penuh ketundukan dan ketakutan. Mereka, meskipun mulia, tidak berani berkata-kata. Pengecualian diberikan hanya kepada dua kondisi: izin dari Ar-Rahmān, dan apa yang diucapkan haruslah Shawābā (kebenaran, tepat, atau benar). Ini menekankan disiplin dan keheningan di hadapan Dzat Yang Maha Agung, dan bahwa syafaat (perantaraan) pun hanya dapat terjadi jika diizinkan dan berdasarkan kebenaran.

Ayat 39: Hari yang Pasti dan Seruan Kembali

ذَٰلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَاءَ اتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِ مَآبًا (39)

39. Itulah Hari yang pasti. Maka barangsiapa menghendaki, niscaya ia mengambil jalan kembali kepada Tuhannya.

Ayat ini adalah inti dari peringatan Surah An-Naba. Dzālikal Yawmul Haqqu (Itulah Hari yang pasti, Hari Kebenaran). Tidak ada keraguan lagi tentang kedatangannya. Karena kepastian ini, Allah memberikan kebebasan dan seruan terakhir kepada manusia: "Faman syā’at takhadza ilā Rabbihī Ma’ābā" (Maka barangsiapa menghendaki, niscaya ia mengambil jalan kembali kepada Tuhannya). Kata Ma’ābā berarti tempat kembali, merujuk pada amal saleh yang mengarahkan seseorang ke Surga. Pilihan ada di tangan manusia saat ini, sebelum hari itu tiba. Ini adalah penutup yang kuat, menekankan tanggung jawab pribadi dalam memilih jalan hidup.

Ayat 40: Penyesalan yang Terlambat

إِنَّا أَنذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا (40)

40. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu azab yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu hanya menjadi tanah."

Surah ini diakhiri dengan peringatan yang mengguncang. Azab digambarkan sebagai sesuatu yang qarībā (dekat), meskipun Hari Kiamat belum tiba, karena semua yang pasti terjadi dianggap dekat. Pada hari itu, setiap manusia, termasuk yang beriman, akan melihat dan menghitung semua yang telah mereka kerjakan (*mā qaddamat yadāh*), di mana 'kedua tangan' melambangkan keseluruhan amal perbuatan mereka.

Puncak penyesalan diungkapkan melalui ucapan orang kafir: "Yā laitanī kuntu turābā" (Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu hanya menjadi tanah). Penyesalan ini muncul karena dua alasan utama:

  1. Melihat Ganjaran Hewan: Menurut banyak tafsir, ketika binatang-binatang di Mahsyar telah diadili satu sama lain, Allah memerintahkan mereka menjadi tanah. Orang kafir yang melihat ini iri pada nasib hewan, yang tidak perlu menghadapi siksa abadi.
  2. Kenyataan Abadi: Orang kafir menyadari bahwa keberadaan mereka sebagai makhluk hidup (yang dipertanyakan dan disangkal di dunia) kini menghasilkan azab abadi, sementara status mereka sebagai tanah (atau materi mati) akan jauh lebih baik.

Penyesalan ini adalah penyesalan yang tidak berguna, karena waktu untuk bertobat telah usai. Ayat ini mengembalikan Surah ini pada tema awalnya (Ayat 1-5) dengan memberikan jawaban mutlak: Berita Besar itu nyata, dan penyesalan akibat menolaknya jauh lebih dahsyat daripada yang mereka bayangkan.

Kesimpulan dan Ibrah (Pelajaran) Utama

Surah An-Naba adalah panggilan yang kuat dan tegas. Ia bukan sekadar deskripsi metafisik, melainkan ultimatum terhadap keraguan eksistensial.

Dengan runtutan ayat yang logis dan naratif yang dramatis, Surah An-Naba berhasil menjawab pertanyaan keraguan di awal surah dengan kepastian yang menggetarkan, memastikan bahwa berita besar itu adalah kebenaran yang tak terelakkan.

🏠 Kembali ke Homepage