Surah Al-Maidah, ayat ke-90, adalah salah satu landasan hukum (syariat) yang paling tegas dan definitif dalam Al-Qur’an. Ayat ini bukan hanya menetapkan larangan terhadap empat jenis perbuatan yang merusak — khamr (minuman memabukkan), maisir (judi), ansab (persembahan di atas berhala atau batu), dan azlam (mengundi nasib) — tetapi juga mengklasifikasikan perbuatan-perbuatan ini sebagai Rijsun min 'amalish Shaytan, atau "Kekejian termasuk perbuatan setan." Perkataan ini memberikan penekanan luar biasa terhadap betapa bahayanya hal-hal tersebut bagi iman, akal, dan tata sosial manusia.
Sebelum ayat ini diturunkan, masyarakat Arab memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan kebiasaan minum khamr dan berjudi. Larangan terhadap kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging ini dilakukan secara bertahap oleh Allah SWT, menunjukkan kebijaksanaan ilahi dalam mentransformasi peradaban secara lembut namun pasti. Al-Maidah 90 datang sebagai puncak dari proses legislasi ini, sebuah titah final yang tidak menyisakan ruang keraguan sedikit pun. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini memerlukan tinjauan linguistik, historis, dan sosiologis untuk menginternalisasi makna sebenarnya dari perintah untuk 'menjauhinya' (فَاجْتَنِبُوهُ - Fajtanibuhu).
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (kesuksesan).
(QS. Al-Maidah: 90)
Untuk memahami kekuatan hukum dalam ayat ini, penting untuk membedah setiap frasa kunci dan maknanya yang mendalam dalam bahasa Arab klasik.
Kata Innama berfungsi sebagai alat penegas (hasyr) yang memiliki makna pembatasan atau pengecualian. Dalam konteks ini, ia menegaskan bahwa keempat hal yang disebutkan (khamr, maisir, ansab, azlam) secara eksklusif dan mutlak adalah kekejian (rijusun) yang berasal dari perbuatan setan. Ini menghilangkan segala kemungkinan penafsiran bahwa hal-hal tersebut mungkin memiliki aspek baik atau netral.
Secara etimologi, Al-Khamr berasal dari kata kerja yang berarti ‘menutupi’ (خمر - khamara). Ini merujuk pada segala sesuatu yang menutupi atau mengaburkan akal (intelek). Tafsir hukum Islam tidak membatasi khamr hanya pada minuman anggur fermentasi, tetapi mencakup segala bentuk zat psikoaktif, narkotika, atau minuman keras lainnya yang menghilangkan kesadaran dan kemampuan berpikir jernih. Ayat ini melarang bukan hanya minum, tetapi juga memproduksi, mendistribusikan, dan memanfaatkannya.
Al-Maisir berasal dari kata yang bermakna 'kemudahan' atau 'sesuatu yang mudah diperoleh tanpa usaha'. Ini adalah istilah umum untuk perjudian, di mana harta diperoleh bukan melalui kerja keras dan usaha yang sah, melainkan melalui keberuntungan, spekulasi, atau taruhan. Maisir mencakup segala bentuk permainan yang melibatkan taruhan uang atau barang berharga antara dua pihak atau lebih, di mana pemenangnya mengambil harta dari pihak yang kalah.
Al-Ansab adalah bentuk jamak dari nusub, yang berarti batu tegak. Pada masa pra-Islam, batu-batu ini didirikan di sekitar Ka'bah atau tempat lain untuk menyembelih hewan korban, yang kemudian darahnya dipersembahkan kepada berhala atau dewa. Larangan ini adalah larangan tegas terhadap segala bentuk syirik (menyekutukan Allah) dan ritual keagamaan yang menyimpang dari tauhid, termasuk praktik penyembahan berhala, pemujaan objek, atau pengagungan situs yang melebihi kedudukan Allah.
Al-Azlam adalah bentuk jamak dari zalam atau zulum, yang merujuk pada panah tanpa bulu yang digunakan untuk mengundi nasib atau mengambil keputusan penting (seperti perjalanan, pernikahan, atau perang) tanpa mengandalkan akal atau musyawarah. Praktik ini bertentangan dengan konsep tawakal (berserah diri) setelah melakukan usaha (ikhtiar), karena ia mengajarkan penyerahan keputusan kepada kebetulan atau kekuatan mistis, bukan kepada kehendak Allah melalui tindakan yang rasional. Larangan ini mencakup semua bentuk ramalan, peramalan nasib, atau kepercayaan takhayul.
Kata kunci yang sangat kuat adalah Rijsun (رِجْسٌ), yang berarti 'kekejian', 'kenajisan', 'kotoran', atau 'sesuatu yang menjijikkan'. Kata ini digunakan dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan dosa dan perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah. Ketika keempat perbuatan tersebut dilabeli sebagai rijsun, ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya dilarang secara hukum, tetapi juga secara moral dan spiritual kotor. Ia adalah lawan dari kesucian (thaharah).
Perintah Fajtanibuhu (فَاجْتَنِبُوهُ), yang berarti "Maka jauhilah ia (keempat hal tersebut)," adalah bentuk perintah yang lebih kuat daripada sekadar 'jangan lakukan' (laa taf'alu). Ia menyiratkan keharusan untuk menjauhkan diri secara fisik, sosial, dan spiritual dari lingkungan, tempat, atau sarana yang memungkinkan perbuatan tersebut terjadi. Ini adalah prinsip Sadd adz-Dzara’i (menutup semua jalan menuju keburukan).
Ayat Al-Maidah 90 adalah penutup dari proses pelarangan khamr yang bijaksana. Islam tidak memberlakukan larangan total secara tiba-tiba, melainkan melalui empat tahapan utama, menunjukkan kesabaran dan pemahaman terhadap psikologi sosial masyarakat saat itu:
Tahap awal dimulai dengan QS. Al-Baqarah: 219, yang menyatakan bahwa khamr dan maisir mengandung manfaat sekaligus dosa besar, namun dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Ini menanamkan keraguan di hati umat, mendorong mereka untuk mulai merenungkan nilai sejati dari praktik tersebut.
Kemudian turun QS. An-Nisa: 43, yang melarang shalat dalam keadaan mabuk. Ini secara efektif membatasi waktu minum hanya pada malam hari, jauh dari waktu shalat. Bagi seorang Muslim yang shalat lima waktu, pembatasan ini sudah sangat signifikan, mengurangi konsumsi secara drastis.
Akhirnya, turunlah Al-Maidah 90, yang memberikan larangan mutlak. Diriwayatkan bahwa setelah ayat ini diturunkan, seruan dari Rasulullah SAW membuat para sahabat segera menumpahkan semua khamr yang mereka miliki di jalanan Madinah, sehingga Madinah seakan-akan dialiri sungai khamr. Respons segera ini menunjukkan kesetiaan luar biasa para sahabat terhadap perintah yang definitif, meskipun kebiasaan tersebut sudah sangat melekat.
Khamr, sebagai segala sesuatu yang memabukkan, diserang oleh Islam karena ancamannya terhadap akal (intelek), yang merupakan anugerah terbesar dari Allah dan alat pembeda antara manusia dan hewan. Akal adalah sarana untuk memahami wahyu dan menunaikan tanggung jawab (taklif).
Kerusakan Intelektual dan Spiritual: Khamr tidak hanya merusak fungsi otak, tetapi juga fungsi spiritual. Saat seseorang mabuk, ia kehilangan kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, sering kali melalaikan ibadah, dan bahkan dapat mengucapkan kata-kata kufur tanpa sadar. Ayat 91 dari Al-Maidah secara eksplisit menyebutkan tujuan setan: menimbulkan permusuhan dan kebencian serta menghalangi dari mengingat Allah dan shalat.
Dimensi Sosial dan Kriminalitas: Larangan khamr adalah kunci untuk menjaga ketertiban sosial. Mayoritas tindak kriminal, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, perzinahan, dan pembunuhan, sering kali dipicu atau dilakukan di bawah pengaruh zat memabukkan. Dengan melarang akar dari kerusakan akal, Islam melindungi keluarga, masyarakat, dan keamanan publik secara keseluruhan.
Khamr Modern: Definisi khamr mencakup semua bentuk zat adiktif dan psikoaktif modern, seperti narkoba, ganja, atau pil ekstasi, karena semuanya menutupi akal dan membawa dampak yang lebih destruktif daripada minuman keras tradisional. Hukum Islam bersifat abadi, dan larangan ini meluas kepada semua inovasi yang memiliki fungsi yang sama, yaitu mengaburkan kesadaran dan merusak kesehatan.
Judi (Maisir) dilarang karena ia merusak prinsip ekonomi yang sehat dan etika kerja keras. Islam mengajarkan bahwa harta harus diperoleh melalui kerja yang jujur, perdagangan yang adil, atau warisan yang sah.
Ekonomi Parasitisme: Maisir menciptakan mentalitas malas dan parasit. Seseorang yang kecanduan judi percaya bahwa ia bisa kaya dalam semalam tanpa berkeringat. Ini menghilangkan nilai-nilai produktivitas dan kontribusi terhadap masyarakat.
Menimbulkan Kebencian: Judi sering kali menyebabkan permusuhan yang parah. Pemenang menjadi sombong dan mengambil harta orang lain tanpa hak, sementara yang kalah menderita kerugian besar, menumpuk hutang, dan merasakan kebencian mendalam terhadap pemenang. Ini menghancurkan hubungan kekeluargaan dan persahabatan, yang lagi-lagi ditegaskan dalam Al-Maidah 91.
Maisir Kontemporer: Maisir kini telah berevolusi menjadi bentuk-bentuk digital, taruhan olahraga, undian dengan janji keuntungan yang tidak realistis, atau bahkan skema investasi spekulatif yang menyerupai taruhan murni tanpa basis aset nyata. Meskipun wujudnya berubah, esensi hukumnya tetap sama: mendapatkan harta melalui spekulasi dan keberuntungan yang merugikan orang lain secara sistematis.
Ansab, persembahan di atas batu tegak atau berhala, merupakan manifestasi eksternal dari Syirik, dosa terbesar dalam Islam. Larangan ini adalah perlindungan fundamental terhadap Tauhid (keesaan Allah).
Inti Ajaran Islam: Islam adalah agama Tauhid murni. Segala bentuk ritual atau persembahan harus ditujukan hanya kepada Allah SWT. Ansab mewakili praktik yang mengalihkan fokus ibadah kepada ciptaan, entah itu berhala, kuburan suci, atau objek alam lainnya.
Idolatri Modern: Meskipun berhala batu mungkin sudah jarang ditemui di banyak komunitas Muslim, konsep ansab meluas hingga mencakup segala bentuk pengagungan yang mengarah pada syirik tersembunyi (syirik khafi). Ini bisa berupa:
Dalam esensinya, Ansab melarang pengalihan otoritas dan ketaatan tertinggi yang hanya boleh dimiliki oleh Allah SWT.
Azlam, praktik mengundi nasib, adalah pelarangan terhadap bergantung pada kebetulan dan menolak prinsip kausalitas dan takdir yang dipahami secara benar.
Melawan Ikhtiar dan Tawakal: Islam mengajarkan bahwa seorang Muslim harus berusaha keras (ikhtiar) dalam hidupnya, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah (tawakal). Azlam memotong proses ini; ia mencari jawaban instan dari sumber yang tidak diketahui, mengabaikan proses berpikir, musyawarah (syura), dan doa (istikhara).
Membuka Pintu Klenik: Azlam membuka pintu menuju takhayul, perdukunan, dan klaim gaib yang palsu. Orang yang bergantung pada Azlam akan mudah dimanipulasi oleh peramal dan penyihir, mengarahkan mereka jauh dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Azlam di Era Digital: Dalam masyarakat kontemporer, Azlam dapat terwujud dalam bentuk astrologi yang dipercaya sebagai penentu nasib, pembacaan kartu tarot, atau bahkan ketergantungan ekstrem pada algoritma atau aplikasi "prediksi" yang mengklaim dapat meramalkan masa depan secara mistis, bukan berdasarkan data rasional.
Label "Rijsun min 'amalish Shaytan" (kekejian dari perbuatan setan) memberikan dimensi teologis yang sangat berat pada larangan ini. Ini berarti bahwa keempat perbuatan tersebut bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi adalah serangan langsung terhadap kemanusiaan dan spiritualitas yang dihasut oleh Iblis.
Setan bekerja dengan cara menimbulkan keragu-raguan, mempermudah yang haram, dan memperindah kekejian. Dalam konteks Al-Maidah 90, setan menggunakan khamr untuk melumpuhkan akal, menggunakan maisir untuk memicu ketamakan dan permusuhan, dan menggunakan ansab serta azlam untuk merusak tauhid dan tawakal.
Para ulama fiqih menggunakan istilah Rijsun untuk menetapkan bahwa keempat hal ini adalah haram qat'i (larangan mutlak yang pasti). Khamr, misalnya, dikategorikan sebagai najis maknawi (kenajisan non-fisik) dan bahkan oleh sebagian ulama sebagai najis hissiyah (kenajisan fisik) yang harus dihindari sepenuhnya. Kesepakatan (Ijma') umat Islam atas larangan empat hal ini adalah salah satu yang paling kokoh dalam syariat.
Ayat ini adalah contoh sempurna dari prinsip Sadd adz-Dzara'i. Karena keempat perbuatan ini membuka pintu lebar-lebar menuju kerusakan moral, spiritual, dan sosial, Islam tidak hanya melarang tindakan akhirnya, tetapi juga melarang semua jalur dan sarana yang dapat mengarah kepadanya. Misalnya, bukan hanya mabuk yang haram, tetapi menjual anggur, mengangkutnya, bahkan duduk di meja yang disajikan khamr bagi sebagian mazhab juga termasuk dalam larangan untuk ‘menjauhi’ (Fajtanibuhu).
Perintah Fajtanibuhu mengharuskan umat Muslim mengambil sikap proaktif dalam menjaga kesucian diri dan lingkungannya. Menjauhi secara total berarti tidak hanya menahan diri dari konsumsi atau partisipasi, tetapi juga:
Tingkat isolasi yang diperintahkan oleh kata Fajtanibuhu menunjukkan bahwa Islam memandang kekejian ini sebagai penyakit menular yang dapat merusak komunitas secara kolektif.
Ayat ini ditutup dengan janji: "agar kamu mendapat keberuntungan" (لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ - La'allakum Tuflihun). Keberuntungan (Falah) dalam terminologi Qur’an adalah makna kesuksesan yang paling komprehensif, mencakup keberhasilan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Falah Duniawi: Menjauhi keempat hal ini membawa keuntungan duniawi yang jelas: kesehatan fisik dan mental yang terjaga (tanpa khamr), stabilitas finansial dan terhindar dari hutang (tanpa maisir), kedamaian jiwa dan masyarakat yang harmonis (tanpa permusuhan akibat kekejian), serta kejelasan tujuan hidup yang didasarkan pada Tauhid (tanpa ansab dan azlam).
Falah Ukhrawi: Yang lebih utama, Falah adalah janji surga. Dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang secara eksplisit dicap sebagai "perbuatan setan," seorang hamba membuktikan ketaatan mutlaknya kepada Allah, yang merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai keridhaan dan surga-Nya.
Larangan dalam Al-Maidah 90 secara sempurna melindungi lima kebutuhan dasar (Maqasid Syariah) yang harus dijaga oleh setiap Muslim:
Ayat ini adalah undang-undang perlindungan komprehensif yang dirancang untuk menjaga integritas individu dan stabilitas peradaban.
Meskipun ayat ini diturunkan di Madinah lebih dari empat belas abad yang lalu, relevansinya tetap absolut, bahkan di tengah tantangan globalisasi dan modernisasi. Empat kekejian ini kini tampil dalam wujud yang lebih canggih dan tersembunyi, membutuhkan pemahaman yang lebih tajam.
Di era modern, muncul banyak produk yang memanfaatkan celah hukum atau teknologi. Minuman beralkohol rendah atau turunan zat adiktif sering dipasarkan secara agresif. Begitu pula dengan Maisir, yang kini tersamar dalam bentuk investasi berisiko tinggi yang murni spekulatif, asuransi yang tidak memenuhi prinsip syariah, atau lotre negara yang bertujuan 'amal' namun esensinya tetap pertaruhan.
Para ulama kontemporer menekankan bahwa hukum tidak berfokus pada nama (label) tetapi pada hakikat (esensi). Jika suatu zat memabukkan, atau suatu transaksi melibatkan transfer harta berdasarkan kebetulan tanpa usaha, maka ia jatuh dalam kategori haram, sesuai dengan semangat Rijsun min 'amalish Shaytan.
Ansab (berhala) modern seringkali adalah kultus diri atau ideologi materialistis. Masyarakat modern yang sangat berpusat pada pencapaian individu dan penampilan seringkali tanpa sadar menjadikan ego atau citra publik sebagai 'berhala' yang disembah. Waktu, energi, dan sumber daya dikorbankan demi mendapatkan validasi dari sesama manusia (riya), bukan untuk keridhaan Ilahi. Ini adalah bentuk syirik yang paling halus dan paling sulit dideteksi.
Di dunia yang penuh ketidakpastian, banyak orang mencari kepastian melalui cara-cara non-ilmiah atau mistis. Ketergantungan pada ramalan zodiak, numerologi, atau bahkan 'prediksi' yang dijual sebagai ilmu, namun bertujuan untuk mengendalikan masa depan tanpa ikhtiar yang benar, adalah bentuk Azlam. Kepercayaan ini mengikis fondasi tawakal dan mengarahkan manusia pada keputusasaan atau kesombongan.
Implementasi perintah Fajtanibuhu di masa kini menuntut tingkat kesadaran diri (muhasabah) yang tinggi. Muslim dituntut untuk secara aktif menyaring informasi, lingkungan sosial, dan hiburan yang dikonsumsi, memastikan bahwa tidak ada satupun dari empat kekejian ini yang secara sengaja atau tidak sengaja masuk ke dalam kehidupan mereka. Membangun kekebalan spiritual adalah kunci untuk menghindari jebakan-jebakan setan yang terus berevolusi.
Surah Al-Maidah ayat 90 merupakan salah satu ayat paling fundamental yang menegaskan komitmen Islam terhadap kemurnian akal, harta, dan keimanan. Dengan menggabungkan khamr, maisir, ansab, dan azlam di bawah satu payung Rijsun min 'amalish Shaytan, Allah SWT memberikan peringatan keras bahwa empat pilar kerusakan ini memiliki akar yang sama: godaan Iblis untuk mengalihkan manusia dari tujuan penciptaannya yang mulia.
Menjauhi kekejian-kekejian ini bukanlah sekadar daftar larangan yang memberatkan, melainkan sebuah strategi Ilahi untuk membebaskan manusia dari rantai hawa nafsu, ketergantungan material, dan ilusi spiritual. Setiap Muslim yang memegang teguh perintah Fajtanibuhu ini, secara konsisten melindungi Akal (dari khamr), Harta (dari maisir), dan Tauhid (dari ansab dan azlam), telah menempatkan dirinya di jalur yang dijanjikan, yaitu jalur keberuntungan dan kesuksesan abadi, Tuflihun.
Penerapan ayat ini memerlukan bukan hanya kepatuhan pasif, tetapi juga perjuangan aktif untuk membersihkan diri dan lingkungan dari segala bentuk kekejian setan, baik yang nyata maupun yang tersembunyi di balik kemasan modern. Hanya dengan komitmen total pada kemurnian inilah, janji Falah dapat diwujudkan.
Perintah untuk menjauhi (Ijtinab) adalah metode pensucian yang menyeluruh. Dalam ilmu tasawuf, Ijtinab adalah latihan spiritual untuk menanggalkan keterikatan pada duniawi yang sifatnya merusak. Khamr dan Maisir mengajarkan ketergantungan pada zat dan kebetulan, yang keduanya melemahkan kemauan bebas (iradah) manusia. Dengan menjauhi keduanya, seorang hamba memulihkan iradah dan mengarahkannya hanya kepada apa yang diridhai Allah.
Khamr, dalam filosofi Islam, adalah simbol dari kelalaian (ghaflah). Ketika akal ditutupi, manusia hidup dalam kelalaian dari kewajiban dan dari hakikat dirinya. Maka, larangan terhadap khamr adalah perintah untuk hidup dalam kesadaran penuh, menjalankan ibadah dengan khusyuk, dan berinteraksi sosial dengan tanggung jawab. Sebaliknya, Maisir adalah simbol dari keserakahan yang tidak terkendali, keinginan untuk memiliki tanpa layak. Penghindaran Maisir melatih qana’ah (sikap puas) dan kerelaan untuk berusaha.
Jika kita mengamati peradaban yang mengabaikan empat larangan fundamental ini, kita akan melihat pola kehancuran yang konsisten. Negara-negara dengan tingkat konsumsi alkohol tertinggi seringkali menderita tingkat kecelakaan lalu lintas, kekerasan, dan masalah kesehatan mental yang juga tertinggi. Ekonomi yang didominasi oleh spekulasi dan perjudian massal seringkali mengalami ketidakstabilan sosial yang parah, di mana kesenjangan antara si kaya dan si miskin melebar drastis, menyebabkan konflik kelas dan ketidakadilan.
Ansab dan Azlam, dalam bentuk modernnya (kultus sekuler dan ketergantungan takhayul), melemahkan kohesi moral masyarakat. Ketika masyarakat kehilangan fokus pada Tauhid, mereka mulai mencari kekuatan di tempat lain, yang mengakibatkan fragmentasi etika dan hilangnya standar kebenaran mutlak. Al-Maidah 90 berfungsi sebagai fondasi untuk masyarakat yang adil, sehat, dan berakhlak mulia.
Larangan Khamr merupakan manifestasi kasih sayang Allah yang mendalam. Para ilmuwan modern mengakui kerusakan yang disebabkan oleh etanol pada hati, sistem saraf, dan DNA. Islam, dengan melarang khamr, melindungi kesehatan fisik (Hifz an-Nafs) sebelum ilmu kedokteran modern mampu memverifikasi bahayanya. Selain bahaya fisik, terdapat pula bahaya hilangnya kehormatan. Banyak kisah dalam sejarah dan kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa khamr adalah kunci pembuka bagi dosa-dosa lain yang memalukan dan merusak kehormatan diri dan keluarga.
Para ahli fiqih menelaah lebih lanjut: haramnya khamr tidak terikat pada kadar. Setetes khamr yang memabukkan dalam jumlah besar, tetap haram. Ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW: "Apa yang memabukkan dalam jumlah banyak, maka dalam jumlah sedikit pun ia haram." Ini adalah strategi pencegahan total, menutup pintu bahkan pada percobaan kecil yang mungkin memicu kecanduan atau melalaikan.
Judi adalah manifestasi dari riba tersembunyi yang ditutupi oleh fatamorgana harapan. Maisir, walaupun menghasilkan pemenang, selalu menghasilkan kerugian bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Uang tidak berputar dalam transaksi produktif; ia hanya berpindah tangan dari orang yang tidak beruntung kepada orang yang beruntung, menciptakan kekayaan tanpa kerja dan kemiskinan tanpa kesalahan yang riil (selain dari kesalahan berjudi itu sendiri).
Maisir juga memicu penyakit psikologis, dikenal sebagai kecanduan judi, yang secara medis diakui sebagai gangguan mental serius. Islam melarang praktik ini untuk menjaga keseimbangan psikis umatnya. Seseorang yang hidup dalam kecanduan judi tidak dapat merasakan ketenangan batin karena ia selalu digantung oleh ketidakpastian dan harapan palsu.
Ansab dan Azlam mengajarkan pelajaran penting tentang batas antara kehendak manusia dan kehendak Ilahi. Dengan Ansab, manusia dilarang mengkultuskan perantara, menekankan bahwa hubungan hamba dengan Tuhan adalah langsung dan tanpa mediator fisik. Dengan Azlam, manusia dilarang mencari jawaban dari kebetulan, menekankan perlunya pertimbangan rasional dan spiritual (Istikhara) yang sah dalam mengambil keputusan. Keduanya adalah penegasan terhadap kebebasan pikiran dan hati dari ikatan mitos, takhayul, dan otoritas selain Allah.
Inti dari larangan ini adalah pemurnian niat dan tindakan. Ketaatan kepada Al-Maidah 90 adalah manifestasi dari keimanan yang matang, yang menyadari bahwa jalan pintas yang ditawarkan setan (mabuk untuk melupakan masalah, judi untuk kaya mendadak, ramalan untuk tahu masa depan) selalu berakhir pada kehancuran dan penyesalan yang abadi.
Al-Maidah ayat 90 merupakan cetak biru kemakmuran sejati. Ia memanggil umat beriman untuk meninggalkan empat simpul keburukan yang diwariskan dari zaman kebodohan (Jahiliyah) dan yang terus bereinkarnasi dalam bentuk modern. Jika umat Islam di seluruh dunia mampu menerapkan perintah Fajtanibuhu dengan kesungguhan hati—menjauhi setiap jejak khamr, setiap godaan maisir, setiap bentuk ansab, dan setiap bisikan azlam—maka sesungguhnya mereka telah memenuhi syarat yang paling mendasar untuk mencapai puncak keberuntungan yang dijanjikan, yaitu Tuflihun. Inilah jaminan keselamatan, kebahagiaan, dan kejayaan, baik di dunia yang fana maupun di kehidupan akhirat yang kekal.