Menyingkap Jumlah Ayat Al-Quran: Perspektif Historis dan Teologis

Analisis Mendalam Mengenai Hitungan Ayat Berdasarkan Riwayat Para Ulama Qira'at

Simbolisasi Jumlah Ayat Al-Quran ٦٢٣٦ Ayat Al-Quran

Gambar: Representasi Visual Fokus Utama Jumlah Ayat Al-Quran.

Pendahuluan: Kompleksitas Angka Ilahi

Pertanyaan mengenai alquran terdiri dari berapa ayat adalah salah satu pertanyaan yang paling mendasar namun juga paling rumit dalam studi ilmu Al-Quran (Ulumul Quran). Di permukaan, jawaban yang umum diterima oleh mayoritas Muslim di seluruh dunia, terutama yang menggunakan Mushaf standar percetakan Kairo, adalah 6.236 ayat. Namun, sejarah kodifikasi, tradisi lisan, dan perbedaan metodologi di antara para ulama terdahulu mengungkapkan bahwa angka ini bukanlah angka tunggal yang disepakati secara mutlak sejak awal.

Al-Quran, sebagai mukjizat abadi dan kalamullah, tersusun dari 114 surah. Setiap surah tersusun dari sejumlah unit yang disebut *ayat* (jamak: *ayat*). Kata *ayat* secara harfiah berarti tanda atau mukjizat. Dalam konteks Al-Quran, ia menandai unit terkecil dari teks yang diturunkan, yang memiliki permulaan dan akhir yang jelas. Penentuan batas-batas ayat ini, yang disebut *Fawāṣil al-Āyāt*, adalah akar dari perbedaan hitungan yang ada.

Perbedaan jumlah ayat Al-Quran sama sekali tidak menyentuh integritas tekstual atau keautentikan isi Al-Quran. Setiap kata, setiap huruf, dari Al-Quran adalah identik di antara semua riwayat. Perbedaan ini murni bersifat metodologis, terkait dengan di mana Nabi Muhammad ﷺ berhenti saat membaca untuk menandai akhir dari satu unit makna atau unit sintaksis (ayat), dan bagaimana generasi ulama berikutnya mencatat praktik penghentian (waqf) tersebut.

Untuk memahami mengapa jumlahnya bervariasi—mulai dari 6.204 hingga 6.236—kita harus menelusuri lima sekolah penghitungan utama yang muncul di era awal Islam, yaitu sekolah Madani (penduduk Madinah), Makki (Mekah), Syami (Syria/Damaskus), Basri (Basrah), dan yang paling berpengaruh, Kufi (Kufah). Perbedaan ini menunjukkan kekayaan tradisi keilmuan Islam dalam upaya mereka mendokumentasikan setiap aspek wahyu ilahi.

Asal-Usul Perbedaan Jumlah Ayat (Fawāṣil al-Āyāt)

Penentuan akhir ayat (Fawāṣil) bukanlah hasil ijtihad (penalaran) semata oleh para sahabat atau tabi'in. Mayoritas ulama meyakini bahwa penentuan ayat bersifat *tawqifi*, artinya didasarkan pada petunjuk langsung dari Rasulullah ﷺ. Nabi sendiri yang menetapkan di mana suatu ayat dimulai dan berakhir, meskipun secara sintaksis, beberapa ulama mungkin melihatnya sebagai satu kesatuan kalimat.

Konsep Tawqifi dan Ijtihadi

Dalam ilmu hitungan ayat, terjadi perdebatan apakah penentuan ayat sepenuhnya *tawqifi* atau sebagiannya *ijtihadi*. Pendapat mayoritas (Jumhur) menyatakan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan posisi dan jumlah ayat adalah *tawqifi*. Nabi Muhammad ﷺ biasa berhenti pada ujung ayat dalam bacaannya. Para sahabat kemudian mencontoh persis di mana beliau berhenti, yang menjadi penanda akhir ayat.

Namun, dalam beberapa kasus, terutama ayat-ayat yang sangat panjang atau ayat yang memiliki struktur paralel yang kuat, praktik penghentian Nabi terkadang ditafsirkan berbeda oleh para sahabat di kota-kota yang berbeda. Misalnya, jika Nabi berhenti sejenak untuk menarik napas di tengah kalimat yang sangat panjang, apakah itu menandakan akhir ayat, atau hanya waqf (jeda) sementara? Interpretasi terhadap waqf inilah yang melahirkan variasi kecil dalam total hitungan.

Perbedaan utama berkisar pada empat poin kritis:

  1. Basmalah (Bismillahir Rahmanir Rahim): Apakah Basmalah pada permulaan setiap surah (kecuali Surah At-Taubah) dihitung sebagai ayat pertama dari surah itu sendiri, atau hanya sebagai pembatas antar surah?
  2. Huruf Muqatta’ah: Huruf-huruf tunggal atau kombinasi huruf di awal beberapa surah (seperti Alif Lam Mim, Ya Sin, Ha Mim). Apakah setiap kombinasi ini dihitung sebagai satu ayat?
  3. Pemisahan Ayat Panjang: Beberapa ayat yang sangat panjang dalam Mushaf Kufi (misalnya, Ayat Kursi atau ayat tentang hutang) dipisahkan menjadi dua atau tiga ayat dalam hitungan sekolah lain (misalnya Madani atau Syami).
  4. Penggabungan Ayat Pendek: Beberapa ayat pendek yang berdekatan dalam Mushaf Kufi digabungkan menjadi satu ayat dalam hitungan sekolah lain.

Peran Kodifikasi Utsmani

Meskipun Mushaf standar yang disusun pada masa Khalifah Utsman bin Affan (Mushaf Utsmani) menyatukan teks Al-Quran secara hurufiah, Mushaf ini tidak mencantumkan penomoran ayat. Penomoran baru ditambahkan kemudian, berdasarkan riwayat lisan tentang praktik waqf Nabi yang dikumpulkan oleh para ulama Qira'at di pusat-pusat keilmuan utama. Oleh karena itu, semua riwayat hitungan ayat merujuk pada teks yang sama persis, tetapi dengan penandaan akhir yang berbeda.

Lima Sekolah Utama Hitungan Ayat (Adad al-Ayat)

Ilmu hitungan ayat (Adad al-Ayat) adalah disiplin ilmu yang mempelajari jumlah ayat dalam Al-Quran berdasarkan riwayat yang terpercaya. Secara historis, lima pusat keilmuan yang paling menonjol mengembangkan metodologi hitungan ayat yang sedikit berbeda. Penting untuk dicatat bahwa perbedaan ini sangat kecil, biasanya tidak melebihi 30-an ayat dalam total lebih dari 6.200 unit.

1. Hitungan Sekolah Kufi (Mayoritas Global)

Sekolah Kufi, yang riwayatnya diterima secara luas hari ini, menetapkan jumlah ayat Al-Quran sebanyak 6.236 ayat. Riwayat ini didasarkan pada transmisi dari Ali bin Abi Thalib dan Abdurrahman bin Abi Laila, yang kemudian disistematisasi oleh para ulama Kufah, terutama Hamzah bin Habib Az-Zayyat. Hitungan Kufi inilah yang digunakan dalam Mushaf Haffs ‘an Asim, yang merupakan Mushaf standar yang dominan di Timur Tengah, Indonesia, dan banyak belahan dunia lainnya.

Karakteristik khas hitungan Kufi adalah:

Keunggulan hitungan Kufi adalah kemampuannya untuk memelihara irama (fasilah) dan kesamaan bunyi (saja') di akhir ayat-ayat, yang diyakini paling sesuai dengan pola pembacaan Nabi ﷺ. Oleh karena itu, 6.236 ayat sering disebut sebagai jumlah definitif Al-Quran.

2. Hitungan Sekolah Madani (Madinah)

Di Madinah, tempat awal tradisi lisan ini berakar, terdapat dua hitungan utama:

A. Madani Awal (The First Madani Count): 6.214 ayat

Hitungan ini diriwayatkan dari Abu Ja'far Yazid bin al-Qa'qa dan Syaibah bin Nashshoh. Hitungan Madani Awal lebih sering menggabungkan beberapa kata pengantar (seperti Huruf Muqatta'ah) dengan ayat setelahnya, sehingga totalnya sedikit lebih rendah dari Kufi. Tradisi Madinah sangat kuat karena kota ini adalah tempat Nabi menghabiskan sebagian besar periode kenabiannya, sehingga praktik waqf dan fasilahnya sangat dihormati.

B. Madani Akhir (The Latter Madani Count): 6.219 ayat

Hitungan ini diriwayatkan dari Ismail bin Ja'far dan Nafi' bin Abdurrahman. Perbedaan antara Madani Awal dan Akhir ini mencerminkan evolusi pencatatan, atau perbedaan fokus pada riwayat dari guru yang berbeda, namun keduanya cenderung lebih konservatif dalam memecah ayat dibandingkan Kufi.

3. Hitungan Sekolah Makki (Mekah): 6.210 ayat

Hitungan Makki diriwayatkan dari Abdullah bin Katsir. Sama seperti Madani, hitungan Makki umumnya tidak menghitung Basmalah di permulaan surah sebagai ayat (kecuali Al-Fatihah). Perbedaan utama terletak pada pemecahan ayat-ayat pendek. Hitungan ini secara keseluruhan termasuk yang paling rendah di antara lima sekolah utama.

4. Hitungan Sekolah Syami (Syria/Damaskus): 6.226 ayat

Sekolah Syami, yang dipimpin oleh Abdullah bin Amir, memiliki total 6.226 ayat. Angka ini berada di tengah-tengah rentang perbedaan. Syami cenderung memiliki hitungan yang lebih dekat dengan Kufi, namun berbeda dalam penempatan waqf di beberapa surah panjang seperti Al-Baqarah dan An-Nisa. Sekolah Syami sangat dipengaruhi oleh tradisi transmisi yang dibawa oleh para Sahabat yang dikirim ke Syam, seperti Abu Darda.

5. Hitungan Sekolah Basri (Basrah): 6.204 ayat

Hitungan Basri, yang diriwayatkan dari Ashim al-Jahdari, adalah yang paling rendah dalam jumlah total ayat (6.204). Hitungan Basri cenderung menggabungkan banyak unit kecil menjadi satu ayat. Contohnya, mereka sering tidak menghitung Huruf Muqatta’ah sebagai ayat independen, dan beberapa rangkaian kalimat tanya atau seruan yang oleh Kufi dipecah, oleh Basri digabungkan.

Tabel Perbandingan Utama

Sekolah Hitungan Jumlah Ayat Riwayat Utama
Kufi (Standar Modern)6.236Hamzah, Al-Kisa'i, Ashim
Madani Akhir6.219Nafi', Ismail bin Ja'far
Madani Awal6.214Abu Ja'far, Syaibah
Syami (Damaskus)6.226Ibnu Amir
Makki (Mekah)6.210Ibnu Katsir
Basri6.204Ashim al-Jahdari

Catatan: Angka 6.236 adalah hitungan yang paling umum digunakan dalam Mushaf standar di Indonesia dan mayoritas dunia Islam.

Analisis Detail: Titik-Titik Konflik Hitungan

Untuk memahami sepenuhnya mengapa angka 6.236 (Kufi) menjadi standar dan bagaimana perbedaannya dengan 6.204 (Basri), kita perlu melihat beberapa surah spesifik di mana perbedaan penomoran ini paling menonjol. Perbedaan ini tidak acak; ia mengikuti pola yang ketat dalam setiap sekolah, berdasarkan riwayat yang mereka yakini paling akurat merefleksikan praktik Nabi ﷺ.

1. Kasus Basmalah

Ini adalah perbedaan yang paling terkenal. Hanya sekolah Kufi dan sekolah Makki (dalam beberapa riwayat) yang secara eksplisit menghitung Basmalah sebagai ayat pertama Surah Al-Fatihah. Namun, perbedaan utama muncul pada 112 surah lainnya:

Fakta bahwa seluruh ulama sepakat tentang 6.236 sebagai hitungan Kufi, menunjukkan bahwa mereka hanya menghitung Basmalah pada Al-Fatihah sebagai ayat. Jika mereka menghitung 113 Basmalah, jumlah Kufi akan menjadi 6.349.

2. Kasus Huruf Muqatta’ah (Pembuka Surah)

Huruf-huruf seperti Alif Lam Mim (ألم) dan Ha Mim (حم) adalah penanda unik di awal beberapa surah. Perlakuan terhadapnya sangat bervariasi:

3. Ayat-Ayat yang Terpecah atau Tergabung (Al-Fawasil)

Perbedaan terbesar terletak pada ayat-ayat yang sangat panjang. Ayat ke-282 Surah Al-Baqarah (Ayat tentang Utang), yang merupakan ayat terpanjang dalam Al-Quran, adalah contoh yang sering dibahas. Meskipun ayat ini panjang, semua sekolah sepakat bahwa ia adalah satu ayat saja.

Namun, di tempat lain, pemecahan terjadi. Misalnya, pada Surah Al-Ma'idah, sekolah Kufi dan Syami cenderung memecah unit yang lebih pendek menjadi ayat-ayat terpisah untuk menjaga rima. Sementara itu, sekolah Basri dan Madani akan menggabungkan dua atau tiga pernyataan pendek yang berhubungan erat menjadi satu ayat untuk menjaga kesatuan makna sintaksis.

Contoh pemecahan yang dilakukan Kufi yang tidak dilakukan oleh Basri:

Dalam beberapa surah pendek (seperti Ad-Dhuha atau Al-Insyirah), Kufi akan memecah setiap unit pertanyaan retoris menjadi ayat tersendiri, sementara Madani/Basri mungkin menggabungkan pertanyaan dan jawabannya jika rima akhirnya tidak konsisten, untuk menjaga irama keseluruhan surah.

Keseluruhan perbedaan ini, yang terakumulasi di 114 surah, menghasilkan disparitas antara 6.204 hingga 6.236 ayat. Namun, keindahan dari tradisi ini adalah bahwa setiap angka didasarkan pada riwayat yang kuat yang ditelusuri kembali kepada praktik pembacaan para sahabat yang belajar langsung dari Nabi Muhammad ﷺ di pusat-pusat keilmuan yang berbeda.

Mengapa Hitungan Kufi (6.236) Menjadi Standar Global?

Meskipun ada lima sistem hitungan yang sah secara historis, hitungan Kufi yang terkenal dengan 6.236 ayatlah yang mendominasi pencetakan Mushaf modern. Ada beberapa alasan kuat mengapa tradisi ini mengungguli yang lain:

1. Keunggulan Riwayat Hafsh 'an 'Asim

Sistem hitungan Kufi sangat terkait erat dengan riwayat bacaan (Qira'at) dari Imam Ashim bin Abi An-Nujud (w. 127 H) melalui muridnya, Hafsh bin Sulaiman (w. 180 H). Riwayat Hafsh 'an 'Asim ini menjadi Qira'at yang paling tersebar luas di seluruh dunia Islam, terutama setelah standarisasi cetakan Mushaf Kairo pada awal abad ke-20.

Ketika Mushaf standar dicetak, para ulama memutuskan untuk menggunakan penomoran yang sesuai dengan tradisi Qira'at yang paling banyak digunakan. Karena Qira'at Ashim (Kufi) adalah yang paling populer, penomoran 6.236 pun menjadi standar de facto.

2. Konsistensi dalam Fasilah (Rima Akhir)

Sekolah Kufi sangat konsisten dalam menjaga *fasilah* (rima atau kesamaan bunyi) di akhir ayat. Para ulama Kufah berargumen bahwa penandaan ayat yang dilakukan Nabi ﷺ dimaksudkan untuk menjaga irama puitis wahyu. Dalam banyak kasus, memecah kalimat panjang menjadi dua ayat pendek (seperti yang dilakukan Kufi) akan mempertahankan fasilah yang sama dengan ayat-ayat di sekitarnya. Hal ini memperkuat pandangan bahwa penomoran Kufi paling akurat mencerminkan praktik penghentian (waqf) Nabi.

3. Pengaruh Geografis dan Politik

Kufah adalah pusat keilmuan yang sangat penting selama era Abbasiyah. Para ulama Kufi, termasuk Imam Abu Hanifah dan para ahli hadis terkemuka, memiliki pengaruh besar di Baghdad, ibu kota kekhalifahan. Dominasi keilmuan ini secara bertahap menyebarkan metodologi Kufi ke seluruh wilayah kekuasaan Islam.

4. Mempertimbangkan Basmalah Al-Fatihah

Meskipun ada perdebatan tentang Basmalah, hitungan Kufi yang memasukkan Basmalah Surah Al-Fatihah sebagai ayat 1, selaras dengan pandangan banyak fukaha (ahli fikih) yang mengharuskan Basmalah dibaca dengan keras dalam shalat, menguatkan statusnya sebagai bagian integral dari surah. Pengakuan terhadap status Basmalah Al-Fatihah ini memberikan bobot teologis tambahan pada hitungan Kufi.

Signifikansi Teologis dan Praktis dari Ayat

Perbedaan dalam jumlah ayat, yang berkisar hanya 32 ayat, tidak mengurangi kesempurnaan Al-Quran. Fokus teologis tidak terletak pada angka total, melainkan pada keutuhan teks (huruf dan kata-kata) yang mutlak dan pada fungsi setiap ayat sebagai "tanda" (mukjizat).

Ayat Sebagai Tanda (Mukjizat)

Secara bahasa, *ayah* berarti tanda. Setiap ayat Al-Quran adalah tanda kebesaran Allah SWT. Terlepas dari apakah suatu penghentian dibaca sebagai ayat ke-10 atau digabungkan menjadi ayat ke-9 (seperti perbedaan antara Kufi dan Basri), teksnya tetap sama dan mengandung tanda kebenaran yang sama. Para ulama menekankan bahwa perbedaan hitungan hanyalah masalah *tarqim* (penomoran) dan *waqf* (penghentian), bukan masalah *tahrif* (perubahan teks).

Pengaruh pada Pembacaan dan Hafalan

Dalam praktik sehari-hari, sistem penomoran yang berbeda memiliki dampak kecil, terutama dalam konteks hafalan. Seorang hafiz (penghafal) Al-Quran harus mengikuti penomoran dari Mushaf yang ia gunakan. Seseorang yang menghafal menggunakan Mushaf Madani (misalnya riwayat Warsh ‘an Nafi’, yang populer di Afrika Utara) akan memiliki penomoran yang berbeda dengan yang menggunakan Mushaf Kufi (Hafsh ‘an Ashim).

Sebagai contoh, jika Mushaf Kufi menyatakan Surah Al-Baqarah memiliki 286 ayat, Mushaf Madani Akhir hanya memiliki 284 ayat. Kedua penghafal ini membaca teks yang sama persis, tetapi di titik tertentu, penghafal Kufi berhenti dan menganggapnya ayat baru, sementara penghafal Madani melanjutkan membaca kalimat tersebut.

Kesatuan Umat Islam dijamin oleh *keutuhan huruf* Al-Quran, yang telah disepakati oleh semua riwayat (Mushaf Utsmani), bukan oleh *kesatuan penomoran* ayat. Perbedaan angka adalah bukti kekayaan dan ketelitian tradisi keilmuan dalam merekam semua praktik pembacaan Nabi ﷺ.

Jumlah Surat dan Kata: Konsensus Mutlak

Meskipun jumlah ayat bervariasi, ada dua hal yang disepakati secara mutlak oleh semua sekolah Qira'at dan Adad al-Ayat:

  1. Jumlah Surah: Terdapat 114 surah.
  2. Jumlah Kata dan Huruf: Konsensus ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan huruf atau kata dalam Mushaf Utsmani. Hitungan total kata diperkirakan mencapai 77.439 kata, dan total huruf diperkirakan mencapai 323.670 huruf. Angka-angka ini tetap konstan, menegaskan integritas tekstual Al-Quran.

Dengan demikian, jawaban atas alquran terdiri dari berapa ayat adalah: menurut riwayat yang paling dominan dan digunakan dalam Mushaf cetak standar, totalnya adalah 6.236 ayat. Namun, secara historis dan akademis, semua angka antara 6.204 hingga 6.236 adalah valid, tergantung pada riwayat penandaan ayat yang diikuti.

Kontemplasi Teologis: Menjaga Batas-Batas Wahyu

Ilmu Adad al-Ayat mengajarkan kita betapa telitinya generasi awal Muslim dalam menjaga wahyu. Perbedaan hitungan bukan menunjukkan kelalaian, melainkan ketelitian yang ekstrem. Setiap pusat keilmuan berusaha merekam praktik terbaik dari para sahabat yang mereka yakini paling akurat mencontoh Nabi ﷺ.

Para ulama qira'at meyakini bahwa penentuan akhir ayat (Fawāṣil) memiliki fungsi penting dalam pembacaan dan pemahaman: ia memberi jeda bagi pembaca untuk merenungkan makna, dan juga berfungsi sebagai penanda ritmis yang membantu dalam menghafal. Jika suatu kalimat sangat panjang, penandaan ayat di tengah kalimat tersebut oleh sekolah Kufi, misalnya, membantu memecah unit makna tersebut agar lebih mudah dicerna dan diresapi.

Pentingnya Ilmu Qira'at

Ilmu hitungan ayat tidak bisa dipisahkan dari Ilmu Qira'at (tujuh atau sepuluh cara pembacaan yang diakui). Setiap Qira'at memiliki Adad al-Ayatnya sendiri. Contohnya, Qira'at Ibnu Katsir (Makki) menggunakan hitungan 6.210, sementara Qira'at Nafi’ (Madani Akhir) menggunakan 6.219. Mempelajari perbedaan ini adalah bagian integral dari studi Al-Quran yang mendalam, menunjukkan bahwa tradisi lisan dan penulisan telah melalui proses verifikasi yang berlapis-lapis dan sangat detail, jauh melampaui dokumen sejarah lainnya.

Meskipun kita kini bergantung pada angka tunggal 6.236, memahami latar belakang keberadaan angka-angka lain menegaskan keunikan Al-Quran: sebuah kitab yang tidak hanya dijaga dari sisi isi hurufiahnya, tetapi juga dijaga detail terkecilnya, termasuk praktik penghentian nafas dan irama yang diajarkan langsung oleh Rasulullah ﷺ.

Dalam kesimpulan, bagi masyarakat umum yang menggunakan Mushaf standar hari ini, jawabannya adalah 6.236 ayat. Namun, bagi para penuntut ilmu dan ulama, jawabannya adalah: Jumlah ayat berkisar antara 6.204 hingga 6.236, tergantung pada riwayat mana tentang *Fawāṣil al-Āyāt* yang Anda ikuti, dan semua riwayat ini mewakili keautentikan teks yang sama persis.

Konteks Historis Mendalam: Bagaimana Riwayat Ayat Tercatat

Pencatatan jumlah ayat bukanlah pekerjaan yang dilakukan secara serempak. Proses ini memakan waktu puluhan tahun, berawal dari kebiasaan para sahabat mencatat batas-batas wahyu yang diturunkan. Ketika wahyu diturunkan, Nabi Muhammad ﷺ biasanya mendiktekan kepada juru tulis dan seringkali mengindikasikan di mana satu ayat berakhir. Misalnya, setelah membaca satu rangkaian kalimat, beliau mungkin berkata, "Letakkan ini di akhir ayat ini, dalam surah ini." Namun, dalam pengajaran lisan kepada para sahabat, terutama di Madinah, penandaan waqf (penghentian) dilakukan secara lisan, dan interpretasi waqf inilah yang kemudian dibawa ke berbagai pusat keilmuan (Kufah, Basrah, Syam, Mekah).

Peran Sahabat dan Tabi'in

Pencatatan hitungan ayat pertama kali dilakukan oleh para Tabi'in yang berguru kepada para sahabat senior di kota-kota yang berbeda:

Ketika Tabi'in seperti Hamzah Az-Zayyat di Kufah dan Nafi’ di Madinah mulai menyistematisasi Qira'at dan hitungan ayat mereka, mereka harus menyaring dan memilih di antara riwayat yang berbeda yang mereka terima dari guru-guru mereka. Pilihan metodologis inilah yang menghasilkan variasi angka 6.204, 6.210, 6.214, 6.219, 6.226, dan 6.236.

Ilmu Fasal: Keseimbangan Sintaksis dan Ritmis

Inti dari perbedaan ini terletak pada ilmu *Fasal* atau *Fasilah*. Fasilah adalah kata terakhir dari suatu ayat yang berfungsi sebagai rima atau penutup. Para ulama Kufi cenderung mendahulukan rima atau ritme pembacaan. Mereka berpendapat, jika sebuah kalimat dapat dipecah menjadi dua unit yang masing-masing berakhir dengan rima yang seragam dengan ayat-ayat di sekitarnya, maka pemecahan itu sah, berdasarkan kemungkinan praktik waqf Nabi ﷺ.

Sebaliknya, ulama Madani atau Basri mungkin lebih menekankan kesatuan sintaksis (tata bahasa). Mereka berpendapat bahwa jika dua kalimat pendek secara tata bahasa membentuk satu unit makna yang utuh, maka penghentian di tengahnya (meskipun mengikuti rima) hanyalah jeda bernapas, bukan akhir ayat yang sesungguhnya. Mereka lebih memilih total ayat yang lebih sedikit untuk menjaga kesatuan makna gramatikal.

Misalnya, dalam Surah Al-Muddaththir, perbedaan dalam memecah ayat-ayat pendek yang berirama tajam adalah sangat kentara. Hitungan Kufi akan memecah setiap unit kecil untuk mempertahankan irama yang intens, sedangkan Basri akan menggabungkan beberapa unit ini.

Studi Kasus Mendalam: Perdebatan Basmalah dan Huruf Muqatta’ah

Basmalah: Bukan Hanya Permulaan

Perdebatan Basmalah sebagai ayat tunggal adalah salah satu perdebatan teologis tertua. Sekolah Kufi dan Makki (yang keduanya menghitung Basmalah Al-Fatihah sebagai ayat) berpegang pada hadis dan riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ membaca Basmalah dengan keras di Al-Fatihah dan menganggapnya sebagai bagian dari surah tersebut.

Namun, di luar Al-Fatihah, masalahnya berbeda. Madani dan Syami berpendapat bahwa Basmalah adalah ayat yang diturunkan untuk pemisah dan berkah, tetapi ia bukan bagian integral dari 112 surah lainnya, layaknya penomoran bab dalam kitab. Oleh karena itu, jika Basmalah pada 112 surah dihitung, total hitungan ayat akan naik tajam. Fakta bahwa total Kufi hanya 6.236 menegaskan bahwa mereka hanya menghitung 113 Basmalah sebagai pemisah, dan hanya satu yang dihitung sebagai ayat surah (Al-Fatihah).

Implikasi Huruf Muqatta’ah

Huruf-huruf misterius di awal 29 surah ini memberikan perbedaan yang signifikan. Sebagai contoh, pertimbangkan Surah Yunus:

Hitungan Kufi:

  1. Alif Lam Ra. (Ayat 1)
  2. Tilka aayatu l-kitabi l-hakim. (Ayat 2)

Hitungan Basri/Madani:

  1. Alif Lam Ra, Tilka aayatu l-kitabi l-hakim. (Ayat 1)

Jika perbedaan ini terjadi di semua 29 surah, jumlah ayat Kufi secara otomatis bertambah 29 ayat hanya karena perlakuan terhadap Muqatta’ah, menjelaskan mengapa total Kufi cenderung lebih tinggi. Para ulama yang menghitung Muqatta’ah sebagai ayat berpendapat bahwa Nabi ﷺ sering berhenti setelah mengucapkannya, dan secara ritmis, huruf-huruf tersebut berfungsi sebagai pembuka ayat, sebagaimana ia berfungsi sebagai pembuka surah.

Kedalaman Ilmu Adad al-Ayat: Presisi dan Kesempurnaan

Ilmu Adad al-Ayat adalah bukti betapa umat Islam menghargai setiap unit terkecil dari wahyu. Disiplin ilmu ini memastikan bahwa tidak ada satu pun bagian dari Al-Quran, bahkan jeda dan penghentiannya, yang hilang dalam transmisi. Ini adalah pemeliharaan yang melampaui sekadar teks; ini adalah pemeliharaan terhadap ritme dan cara penyampaian ilahi.

Perbedaan Angka dalam Surah Tertentu

Perbedaan angka tidak tersebar merata. Beberapa surah memiliki kesepakatan mutlak (misalnya, Surah An-Nur dengan 64 ayat, Surah Al-Qariah dengan 11 ayat), sementara surah lain memiliki variasi yang cukup besar:

Perbedaan kecil di puluhan surah ini terakumulasi, menghasilkan total variasi sekitar 32 ayat. Namun, di dalam setiap surah, teks tetaplah identik. Misalnya, seorang yang menghitung Al-Baqarah 284 ayat tetap membaca kata dan huruf yang sama dengan orang yang menghitung 286 ayat; mereka hanya menandai akhir ayat di titik yang berbeda.

Implikasi Metodologis: Jumlah Kata Versus Jumlah Ayat

Para ulama seperti Ibnu Al-Jauzi dan Az-Zarkasyi dalam karya-karya mereka tentang ilmu Al-Quran secara khusus membahas hubungan antara jumlah kata dan jumlah ayat. Mereka mencatat bahwa penentuan akhir ayat seringkali dilakukan pada titik di mana terjadi perubahan subjek atau pergeseran retorika, meskipun secara sintaksis kalimat dapat berlanjut. Ini menunjukkan bahwa ayat berfungsi lebih sebagai unit retorika dan refleksi teologis daripada sekadar unit gramatikal.

Sebagai contoh, dalam beberapa ayat panjang, jika ada rangkaian ancaman atau janji yang berulang, Kufi cenderung memecahkannya menjadi ayat-ayat terpisah, karena setiap unit merupakan tanda (ayat) yang berdiri sendiri, meskipun semua unit tersebut berfungsi sebagai satu kalimat panjang dalam tata bahasa Arab.

Refleksi Teologis Final: Keutamaan Mushaf dan Konsensus Ilahi

Meskipun terdapat perbedaan dalam jumlah penomoran ayat Al-Quran, kesempurnaan dan keutamaan Al-Quran sebagai firman Allah tetap tak terbantahkan. Keberadaan lima hingga enam hitungan yang berbeda, yang semuanya diterima sebagai riwayat yang sah, adalah bukti dari toleransi dan keluasan tradisi Islam (sa'ah al-Islam).

Para ulama selalu berhati-hati untuk tidak meremehkan hitungan mana pun. Seseorang tidak boleh mengatakan bahwa hitungan Madani lebih benar daripada Kufi, atau sebaliknya. Semua riwayat ini, yang bersumber dari praktik waqf yang berbeda di hadapan Rasulullah ﷺ, dianggap sebagai bagian dari manifestasi kemudahan dan kesempurnaan wahyu (Yusr ad-Din).

Pentingnya Hafalan dan Talaqqi

Dalam tradisi Islam, Al-Quran diwariskan melalui *talaqqi* (penerimaan lisan dari guru ke murid). Ketika seorang guru mengajarkan suatu Qira'at, ia secara otomatis mengajarkan Adad al-Ayat yang menyertainya. Seorang murid tidak hanya menghafal huruf, tetapi juga tata cara penghentian. Proses lisan yang ketat inilah yang memastikan bahwa teks Al-Quran, baik kata-katanya maupun batasan ayatnya, telah terpelihara dengan presisi absolut, meskipun penomorannya bervariasi.

Pada akhirnya, bagi pertanyaan sederhana: alquran terdiri dari berapa ayat? Jawabannya adalah 6.236 ayat, sebagai standar penomoran Kufi yang dianut oleh Mushaf modern. Namun, jawaban yang lebih mendalam adalah bahwa Al-Quran terdiri dari lebih dari enam ribu ayat suci, dan jumlah pastinya tergantung pada riwayat penandaan ayat mana yang Anda ikuti.

Pemahaman ini mengajak kita untuk mengapresiasi keragaman keilmuan dalam Islam dan mengakui bahwa perbedaan minor dalam penomoran ayat tidak mengurangi kesatuan teks, melainkan memperkaya warisan dokumentasi wahyu ilahi yang telah berusia lebih dari empat belas abad.

Rangkuman Angka

Untuk menguatkan pemahaman, mari kita ulangi angka-angka penting:

Angka 6.236 telah mengikat sebagian besar umat Islam kontemporer, menjadikannya tonggak yang memudahkan hafalan, referensi, dan studi. Ini adalah angka yang paling relevan dalam konteks global saat ini, namun pemahaman mendalam tentang variasi historis adalah kunci untuk mengapresiasi kedalaman ilmu-ilmu Al-Quran.

Setiap ayat, terlepas dari penomorannya, adalah tanda (ayah) dari Tuhan Yang Maha Esa. Entah itu ayat ke-10 atau digabungkan menjadi ayat ke-9, esensi teologisnya, petunjuknya, dan mukjizatnya tetap abadi dan universal bagi seluruh umat manusia.

Studi mengenai jumlah ayat ini merupakan cabang ilmu yang dikenal sebagai *'Ilm al-Fawasil* atau ilmu batas-batas ayat. Para ulama terdahulu menganggapnya sebagai disiplin ilmu yang terpisah dan krusial, sama pentingnya dengan ilmu Qira’at itu sendiri. Mereka menyusun kitab-kitab tebal hanya untuk membahas penandaan ayat di setiap surah. Misalnya, kitab *Al-Bayan fi 'Adadi Ayil Qur'an* oleh Abu 'Amr Ad-Dani, yang secara rinci membandingkan setiap riwayat dari kelima sekolah hitungan tersebut.

Ketelitian ini mencerminkan komitmen umat terhadap firman Allah. Seandainya para ulama terdahulu hanya tertarik pada "teks utama," mereka bisa saja mengabaikan detail penomoran ini. Namun, karena mereka percaya bahwa setiap jeda Nabi ﷺ saat membaca adalah instruksi ilahi yang bersifat *tawqifi*, maka perbedaan minor dalam waqf menjadi penting untuk didokumentasikan. Dokumentasi ini tidak menghasilkan kontradiksi, melainkan spektrum transmisi yang sahih.

Dalam konteks modern, ketika teknologi percetakan Mushaf telah membuat teks menjadi seragam secara visual dan penomoran Kufi telah mendunia, perbedaan historis ini mungkin terasa abstrak. Namun, bagi para ahli Qira'at, pemahaman mengenai Adad al-Ayat adalah wajib. Ketika seorang guru Qira'at mengajarkan riwayat Madani, ia harus melatih muridnya untuk berhenti di titik yang berbeda dari Mushaf Kufi standar, sehingga murid tersebut membaca Al-Quran sesuai dengan tradisi yang diwarisinya.

Sebagai contoh penutup dari perbedaan yang subtil namun signifikan, pertimbangkan surah-surah yang memiliki sumpah (qasam). Kadang-kadang, sumpah itu sendiri dihitung sebagai ayat, dan kadang-kadang digabungkan dengan kalimat jawaban sumpah. Sekolah Kufi cenderung memisahkan sumpah sebagai ayat terpisah (misalnya, *Wa at-tin* dihitung ayat 1, dan *Waz-zaitun* dihitung ayat 2), sedangkan sekolah Basri mungkin menggabungkannya. Pilihan ini memengaruhi ritme pembacaan di surah-surah pendek, di mana jumlah ayat secara proporsional lebih signifikan perubahannya.

Oleh karena itu, meskipun 6.236 adalah angka yang paling sering digunakan, ia adalah hasil dari pilihan metodologis yang berbasis pada riwayat Kufi. Keindahan Al-Quran adalah bahwa ia tetap utuh dan sempurna, terlepas dari bagaimana kita menghitung unit-unit tanda (ayat) di dalamnya.

🏠 Kembali ke Homepage