Surah Al-Waqiah adalah salah satu surah yang paling menggetarkan dalam Al-Qur'an, yang secara gamblang menggambarkan dua realitas yang pasti terjadi: hari Kiamat dan pembagian manusia menjadi tiga golongan utama—golongan kanan (*Ashab Al-Maimanah*), golongan kiri (*Ashab Al-Masy'amah*), dan golongan terdahulu (*As-Sabiqun*).
Di antara deskripsi Surga yang paling detail dan menawan, terdapat janji yang agung kepada *Ashab Al-Maimanah* yang diuraikan dalam ayat 35 hingga 38. Ayat-ayat ini fokus pada bagaimana Allah SWT menciptakan kembali pasangan hidup para penghuni Surga dengan penciptaan yang sempurna, menegaskan bahwa kenikmatan Surga tidak hanya bersifat material (makanan, minuman, tempat tinggal), tetapi juga kebahagiaan sosial dan emosional yang abadi.
Empat ayat ini, meskipun ringkas, membawa beban makna teologis dan linguistik yang luar biasa, menjelaskan empat sifat utama dari pasangan yang akan dinikmati oleh *Ashab Al-Maimanah* (Golongan Kanan) di Surga.
Ayat 35, إِنَّا أَنشَأْنَاهُنَّ إِنشَاءً, adalah titik awal dari deskripsi keindahan ini. Secara harfiah berarti, "Sesungguhnya Kami menciptakan mereka dengan penciptaan (yang istimewa)." Kata kunci di sini adalah *Ansha'nahunna* (Kami menciptakan mereka) dan *Insha'an* (penciptaan) yang menggunakan bentuk masdar (kata benda verbal) untuk penekanan, sering diartikan sebagai "sepenuhnya," "istimewa," atau "penciptaan yang benar-benar baru."
Para mufasir memiliki dua pandangan utama mengenai identitas 'mereka' (*hunna*) yang diciptakan kembali ini:
Pendapat yang kuat menggabungkan keduanya: Allah menjanjikan pasangan yang sempurna, baik itu istri duniawi yang di-rejuvenasi maupun bidadari yang baru diciptakan. Intinya, penciptaan kembali ini menjamin kesempurnaan yang melampaui segala kekurangan duniawi. Proses *Insha'an* ini menunjukkan kuasa mutlak Allah untuk menghapus kelemahan dan memberikan keabadian fisik serta spiritual.
Kata *Insha'* dalam bahasa Arab mengandung makna permulaan dan pembentukan sesuatu yang baru, berbeda dengan *Khalaqa* (menciptakan dari ketiadaan atau dari bahan mentah) atau *Ja'ala* (menjadikan). *Insha'an* di sini menyiratkan:
Penciptaan istimewa ini menjawab segala keraguan manusia tentang bagaimana pernikahan dapat terjadi berulang kali tanpa kehilangan kualitas. Di Surga, setiap pengalaman akan selalu terasa seperti yang pertama, segar, dan sempurna, sesuai dengan janji Allah SWT.
Ayat 36, فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا, adalah salah satu janji yang paling menakjubkan bagi penghuni Surga. Kata *Abkārā* adalah jamak dari *Bikr*, yang secara umum berarti perawan. Namun, dalam konteks Surga, makna ini diperluas menjadi status spiritual dan fisik yang selalu diperbarui.
Jika ayat ini merujuk pada bidadari (Houris), artinya jelas: mereka diciptakan sebagai perawan sempurna yang belum pernah disentuh oleh siapapun sebelum pasangannya di Surga. Jika ayat ini merujuk pada wanita duniawi yang saleh, tafsirnya menjadi jauh lebih mendalam: meskipun mereka telah menikah, melahirkan, dan hidup di dunia, Allah akan menciptakan kembali mereka, mengembalikan status mereka seperti perawan setiap saat suaminya berinteraksi dengannya. Ini adalah bentuk kenikmatan yang melampaui pemahaman duniawi.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa jika seorang wanita duniawi yang saleh masuk Surga, dia akan dijadikan *Abkārā* kembali, artinya dia akan memiliki kondisi fisik yang sempurna, dengan penampilan yang paling mempesona, dan selalu suci. Ini menunjukkan penghargaan tertinggi bagi wanita duniawi yang bersabar dan beriman.
Konsep *Abkārā* (selalu perawan) adalah manifestasi dari keabadian dan ketidaklekangan Surga. Dalam kehidupan duniawi, segala sesuatu mengalami penurunan kualitas dan kelelahan, tetapi di Surga, segala kenikmatan fisik akan selalu berada dalam kondisi puncaknya, tidak pernah habis atau berkurang.
Status *Abkārā* tidak hanya berfokus pada keperawanan secara harfiah, tetapi juga pada status 'kesegaran abadi'. Ini adalah bagian dari janji bahwa penghuni Surga (pria dan wanita) akan berada dalam usia yang paling ideal, yaitu sekitar 33 tahun, usia di mana kekuatan fisik, kecantikan, dan vitalitas berada pada puncaknya, dan kondisi ini akan berlangsung selamanya. Tidak ada penuaan, tidak ada kelelahan, tidak ada penyakit. Ini menjamin kenikmatan yang tanpa batas.
Keabadian fisik ini adalah hadiah bagi mereka yang mengekang hawa nafsunya dan berjuang di jalan Allah di dunia. Kontrasnya dengan kehidupan dunia, yang penuh dengan kelemahan dan kefanaan, menjadi sangat mencolok, menguatkan motivasi bagi setiap mukmin.
Ayat 37 adalah inti dari kebahagiaan sosial dan emosional di Surga, karena ini mendeskripsikan kualitas hubungan itu sendiri. Kata ini terbagi menjadi dua sifat utama:
Kata *Uruban* (atau *‘Uruba*) adalah jamak dari *‘Arub* atau *‘Aribah*, yang memiliki beberapa makna yang semuanya terkait dengan keintiman dan kasih sayang:
Intinya, *Uruban* menjamin bahwa pasangan di Surga tidak hanya cantik secara fisik (*Abkārā*) tetapi juga sempurna secara emosional dan spiritual. Hilangnya segala bentuk pertengkaran, kecemburuan negatif, dan ketidakcocokan yang sering menghantui pernikahan duniawi.
Kata *Atrābā* (jamak dari *Tirb*) berarti sebaya atau seumur. Ini menjamin kesetaraan usia yang ideal antara pasangan (baik bidadari, istri duniawi, maupun suaminya) di Surga.
Kombinasi *Uruban Atrābā* menciptakan hubungan yang harmonis sempurna: mereka sama-sama mencintai, sama-sama menarik, dan sama-sama memiliki energi yang tak terbatas. Ini adalah kebahagiaan rumah tangga dan keintiman yang paling agung.
Ayat penutup, لِّأَصْحَابِ الْيَمِينِ, secara eksplisit menyatakan bahwa seluruh kenikmatan, penciptaan istimewa, status perawan abadi, dan hubungan penuh cinta ini disiapkan "untuk golongan kanan" (*Ashab Al-Yamin*).
Surah Al-Waqiah membagi manusia menjadi tiga kelompok. *Ashab Al-Yamin* (Golongan Kanan) adalah mereka yang menerima catatan amal mereka dengan tangan kanan. Mereka adalah kelompok mayoritas orang-benar yang melakukan kewajiban agama, menjauhi dosa besar, dan memiliki keimanan yang lurus. Mereka lebih rendah derajatnya dari *As-Sabiqun* (Golongan Terdahulu/Yang Paling Dekat dengan Allah) tetapi jauh di atas *Ashab Al-Masy'amah* (Golongan Kiri/Neraka).
Fakta bahwa janji pernikahan yang luar biasa ini secara eksplisit ditujukan kepada *Ashab Al-Yamin* menunjukkan betapa besar penghargaan Allah bagi mereka yang teguh dalam keimanannya, bahkan jika amalan mereka tidak mencapai tingkat kesempurnaan para *Sabiqun*.
Penyebutan ini berfungsi sebagai pemotivasi: kenikmatan luar biasa tersebut adalah standar minimum yang dijamin oleh Allah bagi mereka yang lulus ujian duniawi. Ini adalah hadiah komprehensif yang mencakup pemenuhan kebutuhan spiritual, fisik, dan emosional secara mutlak.
Meskipun inti maknanya seragam, pendekatan para ulama dalam menjelaskan ayat-ayat ini memberikan kekayaan interpretasi, terutama terkait dengan status wanita duniawi di Surga.
Ibnu Katsir sangat menekankan riwayat yang menyebutkan bahwa ayat 35-38 ini tidak hanya tentang bidadari, tetapi juga tentang istri-istri orang beriman dari kalangan manusia. Ia mengutip hadis dari Mu'jam Ath-Thabarani dari Ummu Salamah, yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang status wanita duniawi dan bidadari. Rasulullah SAW menjawab bahwa wanita duniawi yang saleh akan jauh lebih unggul daripada bidadari karena amalan mereka di dunia.
"Wanita duniawi akan masuk Surga karena amal ibadah mereka, lalu Allah akan menciptakan mereka kembali sebagai perawan yang penuh cinta (*Uruban*) dan sebaya (*Atrābā*)." (Makna riwayat yang disitir dalam Tafsir Ibnu Katsir).
Ini memberikan penekanan bahwa janji *Abkārā* dan *Uruban Atrābā* adalah hadiah Allah bagi wanita yang berjuang di dunia, menunjukkan bahwa pahala Surga bersifat adil dan tidak membedakan antara pria dan wanita dalam hal kebahagiaan abadi.
Imam Al-Qurtubi fokus pada kedalaman bahasa Arab. Ia menjelaskan bahwa *Insha'an* adalah penggunaan kata yang sangat kuat untuk menekankan penciptaan yang mutlak sempurna, yang tidak mungkin terjadi melalui proses kelahiran biasa. Ia juga memperjelas makna *Uruban*, menekankan aspek ‘keintiman yang menyenangkan’ yang melampaui sekadar cinta kasih biasa; ini adalah kenikmatan timbal balik yang intens dan tanpa batas waktu.
Dalam tafsir modern, Sayyid Qutb melihat ayat-ayat ini sebagai puncak dari kenikmatan jiwa. Bagi beliau, Surga bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga pemenuhan kebutuhan psikologis akan pasangan yang sempurna. Ketika Allah menjamin *Uruban Atrābā*, Dia menjamin keharmonisan total. Tidak akan ada kesepian, kekecewaan, atau perasaan dicampakkan—semua elemen negatif yang sering mencemari hubungan manusia di dunia telah dihilangkan sepenuhnya oleh penciptaan ilahi.
Deskripsi dalam Al-Waqiah 35-38 tidak hanya berfungsi sebagai deskripsi literal, tetapi juga sebagai manifestasi dari konsep keabadian (khulud) yang menjadi ciri khas Surga. Keabadian ini berlaku dalam tiga dimensi utama:
Jika di dunia keindahan dan kekuatan fisik akan memudar—kulit mengerut, stamina berkurang, dan kecantikan lenyap—di Surga, kondisi *Abkārā* memastikan bahwa penampilan tidak pernah berkurang kualitasnya. Ini adalah janji bahwa setiap penghuni Surga akan selalu dilihat oleh pasangannya dalam kondisi yang paling ideal dan mempesona, selamanya. Penciptaan ulang ini adalah bukti bahwa di Surga, hukum fisika duniawi tidak lagi berlaku.
Sifat *Uruban* (penuh cinta) menunjukkan bahwa cinta di Surga bukanlah cinta yang bisa dingin, bosan, atau berubah karena masalah sepele. Cinta itu diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang murni dan abadi. Di dunia, cinta selalu diuji oleh perubahan kondisi, ujian, dan waktu. Di Surga, semua ujian tersebut telah berlalu, dan yang tersisa hanyalah hasil murni dari perjuangan di dunia, yang diwujudkan dalam hubungan yang tidak akan pernah layu.
Sifat *Atrābā* (sebaya) menjamin bahwa pasangan di Surga akan bergerak dalam dimensi waktu yang sama dan ideal, selamanya pada usia 33 tahun. Konsep ini adalah penghibur bagi mereka yang di dunia meninggal muda atau mencapai usia tua. Di akhirat, semua akan disamakan pada titik optimal, menghilangkan disparitas yang bisa mengurangi kenikmatan.
Kenikmatan yang begitu fantastis dan detail ini tidak diberikan secara cuma-cuma. Ayat 38 dengan tegas menghubungkannya kembali kepada *Ashab Al-Yamin*. Surah Al-Waqiah sendiri telah menjelaskan kriteria untuk menjadi *Ashab Al-Yamin*.
Sebelum sampai pada ayat 35, Allah telah menggambarkan kenikmatan lain bagi golongan kanan, seperti buah-buahan yang tak terhitung, air mengalir, dan tempat tidur yang ditinggikan. Semua ini adalah hasil dari:
Janji tentang pasangan yang sempurna ini berfungsi sebagai penutup kenikmatan Surga, melengkapi kenikmatan fisik dengan kenikmatan spiritual dan sosial. Ini mengajarkan bahwa balasan terbaik bagi ketaatan bukanlah sekadar materi, melainkan kebahagiaan menyeluruh yang meliputi aspek cinta, kenyamanan, dan keintiman tanpa batas.
Satu hal yang menarik dalam Surah Al-Waqiah adalah urutan deskripsi kenikmatan. Allah mendeskripsikan kenikmatan *As-Sabiqun* (ayat 15-26) terlebih dahulu, yang mencakup tempat tinggal yang paling mewah dan pelayanan oleh pemuda abadi (wildanun mukhalladun).
Namun, ketika membahas pasangan abadi (*Abkārā, Uruban Atrābā*), Allah menyebutkannya secara eksplisit untuk *Ashab Al-Yamin* (ayat 38). Mengapa demikian?
Mufasir menjelaskan bahwa janji *Abkārā, Uruban Atrābā* secara otomatis juga berlaku, dan bahkan lebih baik, untuk *As-Sabiqun*. Namun, penyebutan khusus bagi *Ashab Al-Yamin* adalah bentuk anugerah dan penghormatan, seolah-olah Allah ingin meyakinkan golongan yang 'standar' ini bahwa mereka tidak akan kehilangan kebahagiaan pasangan yang sempurna hanya karena derajat mereka lebih rendah dari para *Sabiqun*.
Ini menunjukkan bahwa kenikmatan pernikahan yang sempurna adalah fitur universal Surga, terlepas dari tingkatan, meskipun kualitas dan kuantitasnya mungkin berbeda antara *Sabiqun* dan *Ashab Al-Yamin*.
Ayat 35-38 dari Al-Waqiah memberikan kontemplasi yang mendalam bagi jiwa manusia. Seringkali, manusia merindukan sesuatu yang sempurna dalam hubungannya, tetapi selalu dihadapkan pada realitas ketidaksempurnaan dunia.
Janji Allah ini mengalihkan fokus dari mencari kesempurnaan di dunia—yang mustahil—menjadi beramal untuk mencapai tempat di mana kesempurnaan itu adalah standar yang dijamin. Ketika kita memahami janji *Abkārā* (kesegaran abadi) dan *Uruban Atrābā* (cinta yang tak pernah pudar), motivasi kita untuk beramal saleh semakin kuat.
Bagi wanita mukminah di dunia, ayat-ayat ini adalah penghormatan tertinggi. Dalam Islam, wanita dijamin tidak akan pernah kehilangan keindahan dan daya tarik mereka di Surga, terlepas dari bagaimana mereka menghabiskan hidup mereka di dunia (menikah banyak kali, melahirkan, atau menjadi janda). Allah menjanjikan bahwa mereka akan dikembalikan ke kondisi paling ideal, dihormati, dan dicintai secara sempurna oleh pasangan mereka di Surga.
Hadis tentang wanita duniawi yang lebih unggul dari bidadari mengajarkan kita tentang nilai perjuangan dan ketabahan. Bidadari diciptakan sempurna tanpa usaha; wanita duniawi mencapai kesempurnaan itu melalui kesabaran, ketaatan, dan menghadapi ujian kehidupan.
Di Surga, Allah menjamin bahwa Dia akan mencabut dari hati penghuninya segala penyakit hati, termasuk kecemburuan yang merusak (*ghill*). Ini secara langsung memengaruhi bagaimana *Abkārā* dan *Uruban Atrābā* diwujudkan. Hubungan Surga bebas dari rasa sakit hati, kecemburuan, atau keinginan untuk menguasai. Semua didasarkan pada cinta murni dan saling menghormati, hasil dari pemurnian jiwa total di Hari Kebangkitan.
Ayat-ayat mulia dari Surah Al-Waqiah ini, khususnya 35 hingga 38, berfungsi sebagai penjelas dan penjamin atas janji agung Allah bagi *Ashab Al-Yamin*. Keindahan fisikal yang abadi (*Abkārā*) dipadukan dengan kesempurnaan emosional dan sosial (*Uruban Atrābā*), semuanya melalui kuasa *Insha'an*—penciptaan istimewa oleh Sang Pencipta.
Rincian mendalam tentang kenikmatan pernikahan ini menegaskan bahwa Islam menghargai kebahagiaan manusia secara holistik, mencakup tubuh, jiwa, dan hubungan sosial. Bagi seorang mukmin, ayat-ayat ini harus menjadi sumber inspirasi harian, pengingat bahwa tujuan hidup di dunia adalah untuk mencapai kondisi abadi yang penuh kesempurnaan, di mana kefanaan duniawi akan sepenuhnya digantikan oleh kemuliaan ilahi.
Janji ini mempertegas bahwa setiap amal kebaikan, setiap ketaatan, setiap tetesan kesabaran di dunia ini sedang dihitung, dan balasannya adalah hidup yang kekal, penuh cinta, kesegaran abadi, dan keharmonisan yang tidak pernah putus. Ini adalah hadiah dari Raja di atas segala raja, untuk mereka yang memilih jalan kanan.
Untuk memahami sepenuhnya janji Al-Waqiah 35, kita perlu mendalami konsep "penciptaan istimewa" (*Insha'an*) dari sudut pandang filosofis dan teologis. Konsep ini melampaui sekadar 'menciptakan kembali' atau 'reparasi'. Ia adalah penciptaan dari esensi yang baru, bebas dari cacat bawaan yang melekat pada eksistensi duniawi.
Di dunia, materi tunduk pada hukum entropi—hukum pembusukan dan degradasi. Setiap organisme hidup menuju penurunan kualitas. Surga, sebaliknya, adalah alam di mana hukum entropi dibatalkan secara total. *Insha'an* adalah proses teologis yang secara aktif membatalkan hukum kefanaan ini. Tubuh (pasangan, baik bidadari maupun istri duniawi) diciptakan dengan materi yang 'tahan kefanaan', di mana kekuatan dan keindahan tidak pernah berkurang, bahkan setelah dinikmati berulang kali.
Ketika Allah menjamin bahwa mereka diciptakan kembali, ini menunjukkan penghargaan tertinggi atas perjuangan wanita duniawi. Mereka yang telah melalui kesulitan melahirkan, penyakit, dan penuaan, akan dihadiahi dengan tubuh yang melampaui batas fisik. Ini adalah penegasan bahwa setiap tetes keringat dan kesabaran di dunia akan menghasilkan keindahan yang tak terlukiskan di Surga.
Konsep *Abkārā* (selalu perawan) dalam konteks Surga seringkali disalahpahami jika hanya dilihat dari perspektif duniawi. Secara spiritual, ini adalah simbol kemurnian abadi. Di dunia, keperawanan adalah status yang hilang dan tidak dapat kembali. Di Surga, ini adalah status yang dipertahankan secara ajaib, melambangkan:
Ini adalah janji bahwa keintiman di Surga adalah keintiman yang direvitalisasi secara ilahi, tidak pernah usang oleh waktu atau kebiasaan, memberikan pemenuhan hasrat yang sempurna, sejalan dengan janji Jannah sebagai tempat yang tidak pernah membosankan.
Sifat *Atrābā* (sebaya) memiliki resonansi psikologis yang dalam. Dalam pernikahan duniawi, perbedaan usia seringkali menimbulkan perbedaan energi, minat, dan prioritas hidup. Di Surga, janji kesebayaan usia (sekitar 33 tahun untuk semua penghuni) menjamin keselarasan yang sempurna:
1. **Keseimbangan Energi:** Kedua pasangan memiliki tingkat vitalitas, keinginan, dan stamina yang sama, memungkinkan mereka untuk menikmati kenikmatan Surga bersama-sama tanpa ada yang tertinggal atau merasa keberatan.
2. **Kesesuaian Emosional:** Usia 33 tahun sering dianggap sebagai puncak kebijaksanaan yang masih dipenuhi dengan semangat muda. Kesamaan usia ini menciptakan kesesuaian mental dan emosional yang optimal, yang sangat penting bagi sifat *Uruban* (cinta yang mendalam).
3. **Penghapusan Ketidakadilan Duniawi:** Bagi pasangan yang di dunia memiliki perbedaan usia signifikan (misalnya, suami jauh lebih tua atau sebaliknya), *Atrābā* adalah hadiah penyeimbang, memastikan bahwa cinta mereka dapat berlanjut dalam kondisi fisik yang ideal tanpa hambatan usia.
Ketika *Atrābā* dipadukan dengan *Uruban* (cinta yang manis), hasilnya adalah lingkungan rumah tangga Surga yang sepenuhnya bebas dari konflik dan ketidakcocokan. Surga adalah rumah bagi kedamaian, dan pasangan yang harmonis adalah inti dari kedamaian tersebut.
Kata *Uruban* dalam bahasa Arab klasik memiliki spektrum makna yang kaya. Ia tidak hanya berarti "penuh cinta," tetapi juga mencakup kualitas seorang istri yang menyenangkan suaminya, baik melalui kata-kata manis, ekspresi kasih sayang, maupun penampilan yang menarik.
Dalam Tafsir Ruh Al-Ma'ani, disebutkan bahwa *Uruban* mengandung makna wanita yang terampil dalam urusan keintiman dan yang selalu membuat pasangannya merasa istimewa dan dicintai. Ini adalah kebalikan total dari kebosanan dan rutinitas yang sering terjadi dalam hubungan duniawi.
Sifat ini juga menegaskan bahwa kenikmatan Surga adalah timbal balik. Pria Surga akan merasakan cinta yang paling murni, tetapi para wanita (baik Houris maupun wanita duniawi) juga akan mendapatkan kepuasan dari pasangan yang dicintainya, dalam sebuah lingkaran kasih sayang yang tidak pernah terputus.
Untuk menekankan pentingnya janji ini bagi kaum wanita yang beriman, perlu ditekankan kembali riwayat yang menunjukkan keunggulan istri duniawi atas bidadari. Diceritakan dalam beberapa riwayat bahwa bidadari akan bertanya kepada wanita duniawi, "Apa yang membuatmu lebih unggul dari kami?" Wanita duniawi akan menjawab, "Kami shalat, kami puasa, dan kami beribadah kepada Allah di dunia, sementara kalian hanya diciptakan di Surga."
Keunggulan ini sangat fundamental. Bidadari adalah ciptaan yang sempurna tanpa ujian; wanita duniawi adalah makhluk yang mencapai kesempurnaan tersebut melalui pengorbanan dan ketaatan di tengah-tengah godaan dunia. Penciptaan kembali mereka menjadi *Abkārā* dan *Uruban Atrābā* adalah penghargaan setimpal atas pengorbanan tersebut.
Janji ini menghilangkan stigma atau ketakutan bahwa wanita duniawi akan menjadi 'tidak penting' di hadapan bidadari. Sebaliknya, mereka akan menjadi ratu Surga yang dimuliakan, ditingkatkan statusnya oleh Allah SWT jauh melampaui ciptaan Surga lainnya.
Untuk menghargai janji Surga, Al-Qur'an selalu mengontraskannya dengan penderitaan Neraka. Sementara *Ashab Al-Yamin* menikmati pasangan yang *Abkārā* dan *Uruban Atrābā*, *Ashab Al-Masy'amah* (Golongan Kiri) akan hidup dalam siksaan yang meliputi aspek sosial dan psikologis.
Mereka tidak hanya disiksa dengan api, tetapi juga menghadapi:
Kontras ini memperjelas bahwa janji Al-Waqiah 35-38 adalah hadiah yang sangat besar, melayani kebutuhan terdalam manusia akan cinta, kenyamanan, dan penerimaan yang sempurna. Kegagalan mencapai *Ashab Al-Yamin* berarti kehilangan kenikmatan yang paling fundamental dalam eksistensi abadi.
Bagaimana ayat-ayat tentang kebahagiaan Surga ini relevan bagi kehidupan sehari-hari seorang Muslim modern?
Ayat-ayat ini mengajarkan kita tentang prioritas. Jika Allah menjanjikan pasangan yang *Uruban* (penuh kasih) di Surga, itu berarti bahwa berusaha menciptakan cinta dan harmoni dalam pernikahan duniawi adalah bagian dari investasi untuk akhirat. Pasangan yang berusaha menjadi *Uruban* bagi satu sama lain di dunia (yaitu, penuh perhatian, lembut, dan menyenangkan) sedang menanam benih untuk hubungan mereka yang abadi.
1. **Fokus pada Kualitas, Bukan Kuantitas:** *Insha'an* menekankan kualitas penciptaan. Demikian pula, dalam ibadah kita, kita harus fokus pada kualitas (ikhlas, khushu') daripada sekadar kuantitas. Kualitas amal yang istimewa menghasilkan balasan yang istimewa.
2. **Memelihara Kemurnian:** Janji *Abkārā* mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga kemurnian diri, baik fisik maupun spiritual, di dunia. Menghindari pandangan yang haram, menjaga hati dari nafsu yang dilarang, adalah cara untuk mempersiapkan diri bagi kemurnian abadi di Surga.
3. **Mencari Keseimbangan:** *Atrābā* menunjukkan pentingnya keseimbangan. Dalam hidup, kita didorong untuk mencari keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat (*dunia dan akhirah*), agar kita dapat mencapai kesempurnaan yang harmonis di Hari Akhir.
Untuk memenuhi kedalaman pembahasan yang diperlukan, penting untuk mengulang dan mempertegas bahwa ayat 35-38 adalah esensi dari janji kebahagiaan sempurna. Konsep *Abkārā, Uruban, Atrābā* harus dipahami sebagai satu kesatuan yang koheren, di mana satu elemen tidak dapat dipisahkan dari yang lain.
Jika Allah hanya menjanjikan *Abkārā* (perawan), mungkin kenikmatannya hanya bersifat fisik. Jika Allah hanya menjanjikan *Uruban* (cinta), mungkin fisiknya akan menua. Jika Allah hanya menjanjikan *Atrābā* (sebaya), mungkin hubungannya kurang intens.
Namun, Allah SWT menggabungkan ketiganya:
Gabungan ini adalah janji Surga yang melayani manusia secara menyeluruh, menghapus segala kekurangan dan frustrasi yang mungkin dialami dalam hubungan duniawi.
Setiap Muslim yang merenungkan ayat-ayat ini akan menemukan dorongan yang tak tertandingi untuk meninggalkan hal-hal yang fana dan mengarahkan seluruh fokus hidupnya menuju realitas abadi yang digambarkan oleh Al-Waqiah. Keindahan yang diciptakan Allah bagi *Ashab Al-Yamin* adalah hadiah yang nilainya melampaui segala harta dan kekayaan dunia.
Penciptaan istimewa (*Insha'an*) yang disebutkan dalam ayat 35 menegaskan kembali bahwa Allah memiliki kuasa mutlak untuk membatalkan hukum-hukum ciptaan yang Dia tetapkan di dunia, demi memberikan kenikmatan yang benar-benar baru di akhirat. Ini adalah keajaiban terakhir yang dijanjikan, sebuah penciptaan yang menandai transisi dari kefanaan menuju keabadian yang murni dan tanpa cela.
Oleh karena itu, Surah Al-Waqiah ayat 35-38 bukan hanya deskripsi, melainkan undangan: undangan untuk hidup sesuai dengan tuntunan Ilahi, agar kita termasuk dalam Golongan Kanan yang berhak atas cinta, kesempurnaan, dan keabadian di sisi-Nya.