Visualisasi Tiga Golongan dalam Surah Al-Waqi'ah
Surah Al-Waqi'ah adalah surah ke-56 dalam urutan mushaf Al-Qur'an. Nama 'Al-Waqi'ah' sendiri memiliki makna ‘Hari Kiamat’ atau ‘Kejadian yang Pasti Terjadi’, mencerminkan fokus utama dari keseluruhan surah ini.
Surah ini tergolong surah Makkiyah, yang berarti ayat-ayatnya diturunkan sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ dari Mekah ke Madinah. Ciri khas surah Makkiyah adalah penekanan kuat pada tiga pilar utama keimanan: tauhid (keesaan Allah), kenabian, dan khususnya, Hari Kebangkitan (Akhirat) serta ganjaran dan hukuman yang menyertainya.
Al-Waqi'ah, bersama dengan surah-surah lain seperti Surah Ar-Rahman dan Surah Al-Haqqah, membentuk satu kesatuan tematik yang luar biasa dalam mendeskripsikan secara rinci dan dramatis momen-momen genting Hari Kiamat, serta pemisahan abadi antara penghuni Surga dan Neraka.
Struktur Surah Al-Waqi'ah sangat sistematis dan dibagi menjadi tiga bagian besar yang saling menguatkan, meskipun seluruhnya fokus pada Al-Waqi'ah itu sendiri:
Surah ini dibuka dengan penetapan kebenaran mutlak: "Apabila terjadi hari Kiamat, tidak seorang pun dapat mendustakan kejadiannya." (Ayat 1-2). Ayat-ayat awal ini langsung menciptakan suasana ketegangan. Kiamat digambarkan sebagai peristiwa yang merendahkan (bagi orang-orang yang sombong di dunia) dan meninggikan (bagi orang-orang yang rendah hati dan beriman).
Allah ﷻ menggambarkan perubahan drastis pada bumi—gunung-gunung diguncang sekeras-kerasnya dan hancur lebur menjadi debu yang beterbangan (Ayat 4-6). Gambaran ini tidak hanya merusak fisik, tetapi juga psikologis, menunjukkan betapa tidak ada lagi tempat berlindung di hadapan keagungan Allah ﷻ.
Setelah kekacauan kosmik ini mereda, fokus beralih pada manusia. Ayat 7 memperkenalkan pembagian fundamental yang menjadi tema sentral surah:
“Dan kamu menjadi tiga golongan.”
Tiga golongan ini adalah fondasi penilaian kekal: Ashabul Maimanah (Golongan Kanan), Ashabush Syi’mah (Golongan Kiri), dan As-Sabiqun (Golongan yang Terdepan/Paling Dahulu).
Golongan ini adalah yang paling mulia, yang melampaui batas dalam kebaikan dan ketaatan di dunia. Mereka tidak hanya menjalankan kewajiban (fardhu), tetapi juga memperbanyak amalan sunnah dan bersegera menuju kebaikan tanpa menunda-nunda. Mereka adalah para nabi, siddiqin (orang-orang yang sangat jujur imannya), syuhada (para syahid), dan ulama yang mengamalkan ilmunya dengan sempurna.
Deskripsi ganjaran bagi As-Sabiqun sangatlah detail dan mewah. Mereka akan ditempatkan di Surga Na’im (Surga Kenikmatan).
Kenikmatan As-Sabiqun: Mereka akan berada di atas dipan-dipan yang bertahtakan permata, berhadap-hadapan, sambil bersandar. Mereka dilayani oleh anak-anak muda yang kekal (wildanun mukhalladun), yang beredar membawakan gelas-gelas berisi minuman dari mata air murni yang tidak memabukkan dan tidak menimbulkan sakit kepala. Mereka disuguhi buah-buahan dan daging burung yang lezat sesuai selera mereka.
Kenikmatan spiritual juga ditekankan: di sana mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia atau yang menimbulkan dosa, melainkan hanya ucapan: "Salam, salam" (Ayat 25-26). Ini menunjukkan kesempurnaan kedamaian dan ketenangan jiwa yang tidak terganggu oleh perselisihan atau kekejian duniawi. Perbedaan utama mereka dengan Ashabul Yamin adalah tingkat kedekatan (muqarrabin) dengan Allah ﷻ.
Mereka akan didampingi oleh sekelompok besar dari umat terdahulu (umat nabi-nabi sebelum Muhammad ﷺ) dan sekelompok kecil dari umat Nabi Muhammad ﷺ (Ayat 13-14). Penjelasan ini memberi harapan besar namun juga peringatan keras, bahwa mencapai tingkatan *Sabiqun* adalah capaian yang sangat sulit.
Ashabul Yamin adalah golongan yang memenuhi kewajiban mereka, menjauhi dosa besar, dan memiliki keimanan yang lurus, namun tidak mencapai tingkat kesempurnaan spiritual As-Sabiqun. Mereka adalah mayoritas dari umat yang selamat.
Kenikmatan Ashabul Yamin: Deskripsi tempat tinggal mereka lebih fokus pada keindahan alamiah dan kenyamanan materi yang tak terhingga.
Selain itu, terdapat deskripsi istimewa mengenai pasangan mereka di Surga. Wanita-wanita yang diciptakan kembali dalam keadaan perawan (tidak pernah disentuh), sangat mencintai suami mereka, dan sebaya usianya (Ayat 35-37). Ini menegaskan kesempurnaan hubungan dan keharmonisan di dalam Surga.
Berbeda dengan *Sabiqun* yang sekelompok kecil dari umat Nabi Muhammad ﷺ, *Ashabul Yamin* akan terdiri dari sekelompok besar dari umat terdahulu dan sekelompok besar dari umat akhir (umat Nabi Muhammad ﷺ) (Ayat 39-40). Hal ini memberikan penegasan bahwa mayoritas umat Nabi Muhammad ﷺ yang beriman akan mencapai tingkatan Surga ini.
Golongan Kiri adalah mereka yang mendustakan kebenaran Hari Kiamat dan Rasulullah ﷺ, tenggelam dalam kesenangan duniawi, serta bersikeras dalam kekafiran dan kemaksiatan.
Penderitaan Ashabush Shimal: Deskripsi tentang Neraka sangatlah kontras dan mengerikan. Mereka berada di tengah siksaan yang disebut Samum (angin yang sangat panas) dan Hammim (air yang sangat panas mendidih) (Ayat 42-43).
Allah ﷻ kemudian menyebutkan dosa utama mereka di dunia: mereka hidup berfoya-foya (mutrafin) dan tidak memedulikan nasib orang miskin, serta bersikeras mendustakan kebangkitan setelah kematian (Ayat 45-48). Mereka berkata dengan sombong, "Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan?" (Ayat 47).
Respons Allah ﷻ terhadap keraguan mereka sangat tajam (Ayat 49-56). Mereka, baik generasi terdahulu maupun yang akan datang, pasti akan dikumpulkan pada waktu yang telah ditetapkan. Di sana, mereka akan makan dari pohon Zaqqum (pohon yang tumbuh di dasar Neraka, buahnya pahit dan mengerikan), dan mengisi perut mereka dengannya, kemudian minum air mendidih seperti unta yang sangat kehausan. Ayat 56 menutup deskripsi ini dengan tegasan: "Itulah hidangan mereka pada hari pembalasan."
Setelah selesai mendeskripsikan secara rinci ganjaran dan hukuman, surah ini beralih ke argumentasi rasional untuk membuktikan bahwa Allah ﷻ mampu melakukan kebangkitan kembali, dan bahwa penolakan kaum kafir adalah hal yang irasional.
Allah ﷻ bertanya, "Maka apakah kamu memperhatikan nutfah (air mani) yang kamu pancarkan?" (Ayat 58). Manusia tidak memiliki kendali atas proses penciptaan awal mereka; Allah-lah yang menciptakan dan membentuk mereka dari cairan yang hina. Jika Allah mampu menciptakan manusia dari ketiadaan atau dari materi yang sangat sederhana, tentu Dia lebih mudah menghidupkan kembali tubuh yang sudah hancur lebur menjadi tanah. Argumentasi ini adalah tamparan keras bagi kesombongan manusia yang meragukan penciptaan kedua.
Allah ﷻ mengarahkan perhatian pada proses pertanian. "Maka apakah kamu memperhatikan benih yang kamu tanam?" (Ayat 63). Manusia hanya menanam benih, tetapi Allah yang menumbuhkannya, memberikannya kehidupan, dan membuatnya berbuah. Jika Allah berkehendak, Dia bisa membuat tanaman itu kering, hancur, dan tidak berbuah, sehingga manusia hanya bisa menyesal dan meratapi hutang-hutang mereka.
Konteks argumentasi ini sangat dalam: benih yang tampak mati di tanah dihidupkan kembali menjadi tanaman yang memberi kehidupan. Ini adalah representasi mikro dari kebangkitan setelah kematian.
Air adalah sumber kehidupan. Allah ﷻ bertanya, "Maka apakah kamu memperhatikan air yang kamu minum?" (Ayat 68). Manusia mengambil air dari langit atau sumber mata air, tetapi bukan mereka yang menjadikannya segar dan menghilangkan dahaga. Jika Allah berkehendak, Dia bisa menjadikannya asin atau pahit. Kenapa manusia tidak bersyukur atas karunia air tawar yang vital ini?
Air, yang turun dari awan tinggi, menantang akal manusia untuk memahami bagaimana ia bisa diangkat dan diturunkan dengan siklus yang sempurna. Ini membuktikan kendali ilahi total atas elemen dasar kehidupan.
Api digunakan untuk memasak, menghangatkan, dan proses industri. "Maka apakah kamu memperhatikan api yang kamu nyalakan?" (Ayat 71). Allah ﷻ mengingatkan bahwa Dia-lah yang menciptakan pohon tertentu (seperti pohon Marikh dan Afar di Arab) yang digunakan manusia untuk menghasilkan api melalui gesekan. Jika Allah berkehendak, Dia bisa memadamkan semua sumber api di dunia.
Allah menyatakan bahwa api itu dijadikan peringatan dan bahan pelajaran bagi musafir atau orang-orang yang merenung (Ayat 73). Api di dunia adalah pengingat kecil (tazkirah) tentang Neraka Jahanam yang jauh lebih besar.
Setelah keempat bukti ini, Allah ﷻ menutup bagian argumentasi dengan perintah untuk bertasbih memuji nama-Nya yang Maha Besar: "Maka bertasbirlah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Maha Besar." (Ayat 74).
Bagian penutup ini berfokus pada keagungan wahyu dan kepastian akhir kehidupan, menghubungkannya kembali dengan inti surah: kebenaran mutlak Hari Kiamat.
Allah ﷻ bersumpah: "Maka Aku bersumpah dengan tempat-tempat beredarnya bintang-bintang." (Ayat 75). Sumpah ini sangat agung dan menunjukkan betapa luasnya ciptaan yang berada di bawah kendali-Nya. Allah ﷻ bahkan menekankan, "Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar, kalau kamu mengetahui." (Ayat 76). Tujuan dari sumpah ini adalah untuk menegaskan kebenaran yang akan disampaikan, yaitu:
Bahwa Al-Qur'an ini adalah bacaan yang mulia (Koranun Karim), yang tersimpan dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuz), dan tidak disentuh kecuali oleh orang-orang yang disucikan (para malaikat). Ini membantah tuduhan kafir Quraisy bahwa Al-Qur'an adalah sihir atau syair buatan manusia.
Ayat 81-82 mengecam mereka yang menganggap remeh Al-Qur'an, yang justru dijadikan rezeki (sumber kehidupan) bagi mereka, namun mereka mendustakannya.
Surah ini kemudian beralih ke momen paling pribadi dan universal: Sakaratul Maut (saat roh ditarik dari tubuh).
"Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat," (Ayat 83-84). Pada momen ini, manusia tidak berdaya, bahkan orang-orang terdekat tidak bisa membantu. Allah ﷻ lebih dekat pada orang yang sekarat daripada siapa pun, namun manusia tidak menyadarinya.
Pemandangan ini berfungsi sebagai miniatur Kiamat pribadi, di mana nasib abadi seseorang ditentukan. Pada titik inilah terjadi pemilahan kembali, persis seperti pembagian besar di awal surah:
Surah Al-Waqi'ah ditutup dengan penegasan mutlak: "Sesungguhnya ini adalah suatu keyakinan yang benar." (Ayat 95). Dan sekali lagi, perintah untuk bertasbih: "Maka bertasbirlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar." (Ayat 96).
Pemahaman yang mendalam terhadap Surah Al-Waqi’ah memerlukan pembedaan yang jelas antara dua tingkatan penghuni Surga. Kedua golongan ini sama-sama kekal dalam kenikmatan, tetapi tingkat kemuliaan, kedekatan, dan jenis kenikmatan yang mereka terima berbeda secara signifikan.
As-Sabiqun (yang terdahulu) diterjemahkan sebagai Al-Muqarrabun (orang-orang yang didekatkan) dalam konteks tafsir. Keutamaan mereka didasarkan pada:
Sementara itu, Ashabul Yamin (Golongan Kanan) adalah Ahlul Maimanah, orang-orang yang diberkahi. Mereka adalah orang-orang saleh yang berhasil menjaga keseimbangan antara kewajiban dunia dan akhirat. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan fardhu, menjauhi dosa-dosa besar, dan mungkin terkadang luput dari kesempurnaan dalam ibadah sunnah, tetapi hati mereka tetap lurus dalam tauhid.
Dari segi kenikmatan di Surga, meskipun keduanya menikmati kedamaian dan kebahagiaan, As-Sabiqun mendapatkan tingkat yang lebih tinggi (Surga Na’im yang paling tinggi), dan kenikmatan mereka melibatkan interaksi yang lebih mendalam dan spiritual, khususnya terkait dengan melihat wajah Allah ﷻ (sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis lain), yang merupakan kenikmatan tertinggi.
Di kalangan umat Islam, Surah Al-Waqi'ah dikenal luas karena keutamaannya yang sering dikaitkan dengan rezeki dan kekayaan. Keutamaan ini bersumber dari sebuah riwayat hadis, meskipun perlu dipahami konteks dan derajat kesahihan riwayat tersebut.
Hadis yang paling terkenal terkait keutamaan surah ini adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud RA, di mana Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa membaca Surah Al-Waqi’ah setiap malam, maka dia tidak akan ditimpa kefakiran (kemiskinan) selamanya.”
Para ulama hadis, termasuk Imam Ahmad, menilai riwayat ini memiliki beberapa kelemahan dalam sanadnya (rantai perawinya), sehingga dikategorikan sebagai hadis dha’if (lemah). Namun, meskipun statusnya dha’if, surah ini telah diterima secara luas dan dipraktikkan oleh para salaf dan ulama, terutama karena keutamaan membaca Al-Qur'an secara umum sangat besar, dan keutamaannya ini termasuk dalam bab fadhail al-a'mal (keutamaan amal perbuatan).
Makna Spiritual dan Rezeki: Apabila hadis ini dipahami secara spiritual, artinya adalah bahwa barangsiapa yang merenungkan dan mengamalkan ajaran Surah Al-Waqi’ah, ia akan kaya secara spiritual, hatinya tidak akan fakir (miskin), dan ia akan merasa cukup dengan rezeki yang diberikan Allah ﷻ. Ketaatan terhadap ajaran surah ini—yaitu keyakinan teguh pada Akhirat dan menjauhi gaya hidup foya-foya (seperti Ashabush Shimal)—akan secara alami membawa pada keberkahan dan kecukupan materi.
Rezeki sejati bukanlah hanya kuantitas harta, melainkan ketenangan hati (al-qana'ah) dan keberkahan dalam hidup.
Tujuan utama Surah Al-Waqi'ah, terlepas dari isu rezeki, adalah penetapan keyakinan (Aqidah) pada Hari Akhir. Hikmah-hikmahnya meliputi:
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus melangkah lebih jauh ke dalam detail linguistik dan tafsir, terutama pada bagian deskripsi Surga, yang kaya akan istilah-istilah yang mendalam.
Tafsir klasik, seperti yang disusun oleh Imam Ibnu Katsir dan Imam Qurtubi, memberikan detail tambahan yang memperkaya visualisasi Surga:
1. Sarir Maurunah (Dipan Bertahtakan Permata) (Ayat 15-16): Kata Maurunah menunjukkan bahwa dipan-dipan tersebut tidak hanya dihiasi permata, tetapi juga dijalin atau dilapisi emas dan permata, memberikan kesan kemewahan yang melebihi segala sesuatu di dunia. Posisi "berhadap-hadapan" (mutaqabilin) mengindikasikan ketiadaan rasa iri, dengki, atau perselisihan; semua di Surga adalah saudara yang saling mencintai.
2. Wildanun Mukhalladun (Anak-anak Muda Kekal) (Ayat 17-18): Pelayan-pelayan Surga ini adalah anak-anak muda yang abadi, selalu dalam keadaan prima, tidak pernah tua, dan tidak pernah berubah. Mereka beredar dengan cangkir (akwab) dan cerek (abariq) serta gelas-gelas (ka's) berisi mata air yang murni. Penggunaan tiga jenis wadah menunjukkan variasi dan kesempurnaan pelayanan.
3. Sidr Makhdud dan Talh Mandhud (Ayat 28-29): Sidr Makhdud adalah pohon bidara yang telah dihilangkan durinya. Ini melambangkan kenikmatan Surga yang sempurna, di mana semua kekurangan dan hal yang menyakitkan (duri) telah dieliminasi. Talh Mandhud diartikan sebagai pohon pisang yang buahnya tersusun rapi dari bawah hingga atas. Ini kontras dengan pohon di dunia yang buahnya seringkali sulit dijangkau.
4. Furuh La Maqtu’ah wa La Mamnu’ah (Ayat 33): Buah-buahan yang tidak terputus dan tidak dilarang. Dalam kehidupan dunia, buah-buahan musiman, tetapi di Surga, suplai buah tidak pernah terhenti. Juga, tidak ada larangan untuk mengambilnya kapan saja, berbeda dengan larangan di dunia karena alasan kepemilikan atau musim.
Surah Al-Waqi'ah menggunakan air sebagai kontras yang tajam:
Kontras ini menekankan bahwa setiap elemen dasar kehidupan di dunia akan menjadi sumber kenikmatan mutlak bagi yang beriman, dan sumber azab mutlak bagi yang kafir.
Surah Al-Waqi'ah, dengan 96 ayatnya, menawarkan lebih dari sekadar deskripsi tentang Akhirat; surah ini adalah peta jalan menuju kesuksesan abadi. Membaca surah ini secara rutin, khususnya di malam hari (sebagaimana dipraktikkan oleh banyak umat Islam berdasarkan riwayat yang ada), berfungsi sebagai pengingat harian akan kepastian pembalasan.
Pengaruh terbesar surah ini dalam kehidupan seorang Muslim adalah membentuk mentalitas yang berorientasi pada kualitas amal (seperti As-Sabiqun) dan menolak mentalitas kesombongan serta gaya hidup boros (seperti Ashabush Shimal).
Keyakinan yang teguh bahwa setiap tindakan kita di dunia ini akan diklasifikasikan ke dalam salah satu dari Tiga Golongan pada Hari Al-Waqi'ah, adalah motivasi spiritual yang paling kuat. Surah ini mengajarkan bahwa meskipun kita tidak bisa menghindari kematian (sakaratul maut), kita memiliki pilihan untuk menentukan status kita ketika roh kita ditarik: apakah disambut dengan kedamaian dan Surga Na'im, ataukah dengan air mendidih dan api Neraka Jahim.
Oleh karena itu, Surah Al-Waqi'ah bukan sekadar bacaan untuk memohon rezeki materi, tetapi merupakan salah satu pilar fundamental dalam memperkuat iman terhadap Hari Akhir, yang pada gilirannya merupakan kunci menuju rezeki spiritual yang tak terbatas.
Maka, sungguh beruntunglah mereka yang mengambil pelajaran dari 96 ayat yang mendalam ini, menjadikannya pedoman, dan berusaha sekuat tenaga untuk masuk ke dalam golongan Ashabul Yamin, atau bahkan mengejar ketinggian spiritual As-Sabiqun.
Aspek keindahan Surah Al-Waqi’ah tidak hanya terletak pada deskripsi yang mendalam, tetapi juga pada keajaiban retorika (I’jaz) dan isyarat-isyarat ilmiah (I’jaz Ilmi) yang terkandung di dalamnya. Walaupun Al-Qur'an bukan kitab sains, penggunaan dalil-dalil empiris oleh Allah ﷻ untuk membuktikan kebangkitan menunjukkan relevansi universal surah ini bagi setiap zaman, termasuk zaman modern.
Surah ini menggunakan pengulangan dan penegasan yang kuat. Misalnya, pembukaan dengan tiga ayat (1-3) yang menegaskan bahwa Kiamat adalah peristiwa yang tidak dapat didustakan, disusul dengan deskripsi kehancuran gunung (Ayat 4-6). Transisi yang cepat dari kekacauan kosmik ke penggolongan manusia (Ayat 7) adalah teknik retorika yang efektif untuk mengejutkan dan menarik perhatian pendengar secara instan, menekankan bahwa di balik kehancuran total, ada perintah dan pengadilan yang tertata.
Pengulangan deskripsi tiga golongan di bagian akhir (Ayat 88-94) saat sakaratul maut berfungsi sebagai *ringkasan penutup*. Ini mengingatkan bahwa pemisahan abadi tidak hanya terjadi di padang Mahsyar, tetapi penentuan nasib sudah dimulai pada detik-detik terakhir kehidupan di dunia. Retorika ini memaksa pendengar untuk mempertanyakan, "Di golongan mana aku akan ditempatkan saat ini?"
Argumentasi yang diangkat dalam Surah Al-Waqi’ah (air mani, pertanian, air minum, api) adalah contoh-contoh yang sangat mendasar namun mengandung kompleksitas ilmiah yang luar biasa:
1. Nutfah (Ayat 58-62): Penggunaan istilah nutfah (setetes cairan) untuk menggambarkan asal usul manusia adalah pengingat yang merendahkan. Saat ini, kita tahu kompleksitas genetik yang terkandung dalam sel tunggal (zigot) yang terbentuk dari nutfah. Fakta bahwa Allah ﷻ menciptakan makhluk yang kompleks dan berakal dari titik awal yang sangat kecil ini adalah bukti kekuatan-Nya yang tak terbatas, dan oleh karena itu, membangkitkan kembali tubuh hanyalah masalah kehendak-Nya.
2. Mawqi’ An-Nujum (Tempat Beredarnya Bintang) (Ayat 75): Sumpah Allah ﷻ dengan ‘tempat beredarnya bintang-bintang’ (Mawqi’ An-Nujum) dipandang oleh sebagian mufasir modern sebagai isyarat kosmologis. Bintang-bintang yang kita lihat saat ini mungkin telah mati jutaan tahun yang lalu. Yang kita lihat adalah ‘tempat jatuhnya’ atau ‘tempat beredarnya’ cahaya mereka di masa lalu. Sumpah ini sangat agung karena merujuk pada ruang waktu yang tak terbayangkan. Jika Allah ﷻ bersumpah dengan entitas kosmik sebesar ini, maka apa yang disumpahkan (yaitu kebenaran Al-Qur'an dan Kiamat) pasti mutlak benar. Ini menunjukkan keagungan ilmu Allah ﷻ yang melampaui pengetahuan manusia pada masa pewahyuan.
Pembelajaran dari Surah Al-Waqi’ah tidak selesai hanya dengan mengetahui jumlah ayat dan deskripsi Surga atau Neraka. Ia harus diterjemahkan menjadi perubahan perilaku dan pembentukan karakter (akhlak) seorang Muslim.
Salah satu dosa utama Ashabush Shimal (Golongan Kiri) yang disorot adalah bahwa “Dahulu mereka hidup mewah” (Ayat 45). Istilah Arab Mutrafin tidak hanya berarti kaya, tetapi berarti tenggelam dalam kemewahan dan kesenangan, di mana harta menjadi tujuan akhir, bukan sarana. Mutrafin adalah orang-orang yang melupakan tujuan hidup mereka yang sebenarnya dan membiarkan harta merusak spiritualitas dan empati mereka.
Surah ini mengajarkan agar seorang Muslim, meskipun diberikan rezeki berlimpah (yang seharusnya ia yakini berasal dari Allah ﷻ), harus hidup sederhana, membumi, dan senantiasa ingat akan pertanggungjawaban. Kekayaan sejati adalah kekayaan hati, yang dimiliki oleh As-Sabiqun dan Ashabul Yamin, yang menggunakan harta mereka untuk mengumpulkan bekal di akhirat, bukan untuk berfoya-foya yang melalaikan.
Empat dalil penciptaan (air mani, pertanian, air, api) di Surah Al-Waqi’ah mengajarkan pentingnya syukur (Syukr). Setiap kali seorang Muslim minum air tawar, melihat tanaman tumbuh, atau menyalakan api, ia seharusnya mengingat kuasa Allah ﷻ dan hakikat kehidupan. Rasa syukur yang mendalam inilah yang membedakan mukmin dari Ashabush Shimal, yang hanya menggunakan nikmat Allah ﷻ untuk kesenangan sesaat tanpa merenungkan sumbernya.
Kekuatan Surah Al-Waqi’ah terletak pada kemampuannya untuk mengubah perspektif duniawi menjadi perspektif ukhrawi. Dengan 96 ayatnya, surah ini memberikan janji yang pasti bagi mereka yang mempersiapkan diri, dan peringatan yang keras bagi mereka yang lalai, menjadikannya salah satu surah paling penting dan sering dibaca dalam keseluruhan Al-Qur’an.
Setiap ayat Surah Al-Waqi'ah adalah cerminan dari keadilan dan rahmat Allah ﷻ yang tak terbatas. Keadilan terwujud dalam pembalasan bagi Ashabush Shimal yang mendustakan, sementara rahmat terwujud dalam ganjaran berlipat ganda bagi As-Sabiqun dan Ashabul Yamin, yang berjuang di dunia fana ini untuk meraih kehidupan abadi.
Oleh karena itu, mengetahui bahwa Surah Al-Waqi'ah terdiri dari 96 ayat hanyalah langkah awal. Langkah selanjutnya dan yang paling penting adalah merenungkan dan mengaplikasikan setiap deskripsi, setiap dalil, dan setiap janji yang terkandung di dalamnya.
Untuk melengkapi pembahasan 96 ayat Surah Al-Waqi’ah, penting untuk mengupas bagaimana para mufasir (ahli tafsir) secara tradisional mengklasifikasikan anggota dari Tiga Golongan ini, memberikan dimensi praktis pada identitas mereka.
Mufasir seperti Qatadah, Mujahid, dan Ibnu Abbas memiliki pandangan yang konsisten mengenai siapa As-Sabiqun:
Klasifikasi “sekelompok besar dari umat terdahulu dan sekelompok kecil dari umat akhir” (Ayat 13-14) sering ditafsirkan sebagai bukti bahwa ujian bagi umat akhir (umat Nabi Muhammad ﷺ) jauh lebih besar karena godaan duniawi yang melimpah, sehingga mencapai tingkat As-Sabiqun menjadi lebih sulit, meskipun peluangnya tetap ada bagi mereka yang bersungguh-sungguh.
Golongan ini adalah cerminan dari mayoritas kaum mukminin yang selamat. Mereka tidak hanya menjalankan kewajiban (fardhu) tetapi juga berhasil menjauhi dosa-dosa besar yang diancamkan Neraka. Mereka adalah orang-orang yang menjalani kehidupan beragama yang seimbang, berbuat salah, bertaubat, dan kembali ke jalan yang benar. Mereka dikenal dengan amal-amal baik berikut:
Mereka adalah golongan yang paling besar jumlahnya (Ayat 39-40), memberikan harapan yang luas bagi semua Muslim yang berusaha menaati perintah dasar Allah ﷻ.
Golongan Kiri adalah mereka yang secara fundamental mendustakan kebangkitan atau mengingkari keesaan Allah ﷻ (kafir), atau mereka yang mengaku beriman tetapi melakukan dosa besar secara terus-menerus tanpa taubat (fasiq dan munafik), khususnya dalam konteks:
Ke-96 ayat Surah Al-Waqi'ah ini berhasil memvisualisasikan secara sempurna konsekuensi abadi dari setiap pilihan yang kita buat di dunia fana ini, memberikan pesan bahwa kehidupan di dunia ini adalah ladang amal penentu nasib kekal di akhirat.
Surah Al-Waqi’ah diturunkan di Mekah pada periode pertengahan, ketika tekanan terhadap kaum Muslimin semakin meningkat, dan kaum Quraisy semakin gencar menolak konsep kebangkitan kembali. Konteks historis ini memperkuat mengapa surah ini harus sangat tegas dalam deskripsi Kiamat dan azab Neraka.
Pada periode Mekah, fokus utama dakwah Nabi Muhammad ﷺ adalah penetapan tauhid dan Hari Akhir, karena dua hal ini adalah fondasi moral dan spiritual. Masyarakat Quraisy sangat terikat pada tradisi leluhur dan kehidupan suku, sehingga mereka kesulitan membayangkan adanya pengadilan universal setelah kematian. Mereka hidup mewah dan merasa aman (karakteristik Mutrafin).
Surah Al-Waqi’ah datang sebagai penawar atas kesombongan ini, mengingatkan mereka bahwa sistem sosial dan hierarki kekayaan yang mereka agung-agungkan akan hancur lebur dalam sekejap (Ayat 1-6). Satu-satunya hierarki yang berlaku abadi adalah pemisahan menjadi Tiga Golongan berdasarkan amal, bukan keturunan atau harta benda.
Kajian mendalam tentang 96 ayat Surah Al-Waqi'ah menunjukkan bahwa ia bukan sekadar surah yang dibaca untuk mencari kekayaan duniawi, melainkan sebuah dokumen fundamental yang mengatur pandangan hidup seorang mukmin, memaksa kita untuk merenungkan akhir perjalanan kita, dan memotivasi kita untuk menjadi As-Sabiqun atau setidaknya Ashabul Yamin.