Al-Qur'an dan Terjemahan: Memahami Kalamullah dalam Bahasa Kontemporer

Al-Qur'an, bagi umat Islam, bukanlah sekadar sebuah kitab suci atau kumpulan ajaran etika. Ia adalah Kalamullah (Firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai petunjuk paripurna, cahaya pembeda antara yang hak dan yang batil, serta konstitusi abadi bagi kehidupan di dunia maupun akhirat. Mempelajari dan memahami Al-Qur'an adalah kewajiban fundamental, sebuah proses spiritual dan intelektual yang tak pernah usai. Namun, karena Al-Qur'an diwahyukan dalam bahasa Arab klasik (fusha), peran terjemahan menjadi sangat vital—terutama bagi jutaan Muslim non-Arab, termasuk di Indonesia, agar dapat menyelami kedalaman maknanya tanpa harus menjadi ahli bahasa Arab.

Ilustrasi Wahyu dan Cahaya Al-Qur'an Sebuah buku terbuka yang memancarkan cahaya ke atas, melambangkan wahyu dan petunjuk ilahi.

I. Definisi dan Status Sakral Al-Qur'an

Secara etimologi, kata ‘Al-Qur’an’ berasal dari kata kerja bahasa Arab qara’a yang berarti membaca atau mengumpulkan. Secara terminologi syariat, Al-Qur'an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ secara berangsur-angsur, diawali di Gua Hira melalui perantara Malaikat Jibril, yang penukilannya bersifat mutawatir (diriwayatkan oleh banyak jalur yang mustahil sepakat berdusta), membacanya bernilai ibadah, dimulai dari Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas. Statusnya sebagai sumber hukum utama (mashdar tasyri') dalam Islam menempatkannya di posisi tertinggi, mendahului Hadis Nabi, Ijma' (konsensus ulama), dan Qiyas (analogi).

1. Hakikat I'jazul Qur'an (Kemukjizatan Al-Qur'an)

Al-Qur'an diakui memiliki sifat kemukjizatan (i'jaz) yang tak tertandingi, yang merupakan bukti otentisitasnya sebagai firman Ilahi. Kemukjizatan ini tidak hanya terletak pada kandungan informatifnya—seperti ramalan masa depan atau isyarat ilmiah—tetapi yang paling utama adalah pada aspek kebahasaan dan sastranya. Struktur kalimat, pilihan kata (diksi), ritme, dan kedalaman makna yang terkandung dalam bahasa Arab Al-Qur'an tidak pernah mampu ditiru oleh ahli bahasa Arab manapun, bahkan pada masa keemasan sastra Arab. Tantangan Allah (tahaddi) untuk membuat satu surah yang setara dengannya tetap berdiri tegak sejak diturunkan. Ini adalah alasan mendasar mengapa terjemahan, meskipun esensial, tidak akan pernah bisa sepenuhnya menggantikan teks aslinya.

2. Nama-nama Lain Al-Qur'an

Dalam teksnya sendiri, Al-Qur'an memiliki banyak nama, yang masing-masing menunjukkan fungsi dan perannya yang beragam dalam kehidupan manusia. Beberapa nama tersebut antara lain:

II. Sejarah Pembukuan dan Standarisasi Teks

Proses sejarah yang membentuk Al-Qur'an menjadi mushaf yang kita kenal saat ini adalah bukti kuat akan pemeliharaannya yang ketat. Proses ini melalui tiga fase utama yang krusial.

1. Fase Periode Nabi (Hafalan dan Catatan Lepas)

Pada masa Nabi Muhammad ﷺ, Al-Qur'an diturunkan secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun. Prioritas utama Nabi dan para Sahabat adalah menghafalnya (hifz). Namun, di samping hafalan, Nabi juga memerintahkan para penulis wahyu (seperti Zaid bin Tsabit) untuk mencatat ayat-ayat yang turun pada media yang tersedia saat itu, seperti pelepah kurma, batu pipih, tulang belikat unta, dan kulit binatang. Catatan-catatan ini belum terkumpul dalam satu buku yang utuh, melainkan berupa lembaran-lembaran yang tersimpan secara terpisah.

2. Fase Periode Abu Bakar Ash-Shiddiq (Pengumpulan Awal)

Titik balik dalam sejarah pembukuan terjadi setelah Perang Yamamah, di mana banyak penghafal (huffazh) Al-Qur'an gugur. Atas saran Umar bin Khattab, Khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk memimpin proyek pengumpulan semua catatan Al-Qur'an yang tersebar dan membandingkannya dengan hafalan para Sahabat yang tersisa. Zaid bin Tsabit memastikan setiap ayat yang dicatat harus memiliki minimal dua saksi yang mendengarnya langsung dari Nabi. Hasil dari pengumpulan ini adalah sebuah mushaf tunggal yang dinamakan Mushaf Ash-Shiddiq atau Suhuf, yang kemudian disimpan oleh Hafshah binti Umar.

3. Fase Periode Utsman bin Affan (Standarisasi dan Distribusi)

Ketika wilayah kekuasaan Islam meluas hingga ke daerah non-Arab, perbedaan dialek dan cara membaca (qira’at) mulai menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perselisihan. Khalifah Utsman bin Affan kemudian mengambil Suhuf yang ada pada Hafshah dan memerintahkan tim yang dipimpin Zaid bin Tsabit untuk menyalinnya menjadi beberapa salinan resmi. Salinan Utsmani ini ditulis dalam dialek Quraisy dan menjadi standar yang dikenal sebagai Rasm Utsmani. Mushaf-mushaf standar ini dikirimkan ke pusat-pusat peradaban Islam saat itu (Mekah, Madinah, Syam, Kufah, Basra) dan semua mushaf lain yang tidak sesuai dengan standar Utsmani dimusnahkan. Inilah yang menjamin keseragaman teks Al-Qur'an hingga hari ini.

III. Struktur, Komponen, dan Klasifikasi Ayat

Al-Qur'an tersusun secara sistematis yang memungkinkannya dibaca dan dipelajari dalam berbagai cara.

1. Surah, Ayat, dan Juz

2. Klasifikasi Makkiyah dan Madaniyyah

Ayat-ayat Al-Qur'an diklasifikasikan berdasarkan tempat dan waktu penurunannya, yang sangat penting untuk memahami konteks hukum (fiqh) dan sejarah. Pembagian ini bukan hanya geografis, tetapi juga periodik:

  1. Makkiyah: Ayat-ayat yang diturunkan sebelum hijrah ke Madinah (sekitar 13 tahun). Ciri-cirinya adalah fokus pada Tauhid (keesaan Allah), penetapan dasar-dasar akidah, kisah para nabi terdahulu, gaya bahasa yang kuat dan retoris, serta perdebatan dengan kaum musyrik Mekah.
  2. Madaniyyah: Ayat-ayat yang diturunkan setelah hijrah ke Madinah (sekitar 10 tahun). Ciri-cirinya adalah fokus pada pembentukan masyarakat Islam (umat), penetapan hukum-hukum syariat (fiqh) seperti puasa, zakat, haji, pidana, dan aturan pernikahan, serta perdebatan dengan kaum Munafik dan Ahli Kitab.

Pemahaman terhadap klasifikasi ini adalah kunci dalam ilmu Ulumul Qur'an karena ia membantu menentukan ayat mana yang lebih dahulu diturunkan dan bagaimana hukum syariat berkembang secara bertahap (tadarruj).

IV. Fungsi dan Peran Esensial Terjemahan Al-Qur'an

Meskipun teks Arab Al-Qur'an adalah sumber tunggal yang tak tergantikan, terjemahan berfungsi sebagai jembatan yang memungkinkan akses universal terhadap pesan Ilahi. Bagi Muslim yang tidak fasih berbahasa Arab, terjemahan adalah gerbang pertama untuk tadabbur (perenungan mendalam).

1. Mengapa Terjemahan Tidak Dapat Menjadi "Al-Qur'an"

Penting untuk selalu ditekankan bahwa terjemahan (tarjamah) adalah interpretasi makna, bukan replika otentik Firman Allah. Terjemahan selalu menjadi produk manusiawi dan intelektual, tunduk pada keterbatasan bahasa penerjemah dan konteks budaya mereka. Al-Qur'an memiliki aspek i'jaz yang hilang ketika diterjemahkan, termasuk aspek ritmis, kedalaman makna yang berlapis (polysemy), dan penggunaan tata bahasa Arab yang unik. Oleh karena itu, semua terjemahan harus dipandang sebagai tafsir ringkas (tafsir ijmali) dan bukan teks suci itu sendiri.

2. Jenis-jenis Terjemahan

Secara umum, terjemahan Al-Qur'an dibagi menjadi dua kategori utama, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya:

  1. Terjemahan Harfiah (Literal Translation): Berusaha mencocokkan setiap kata Arab dengan padanan kata dalam bahasa target. Kelemahannya adalah sering kali menghasilkan kalimat yang kaku, tidak natural, dan terkadang menyesatkan secara makna karena tidak memperhatikan konteks kultural atau sintaksis.
  2. Terjemahan Makna (Idiomatic/Interpretive Translation): Lebih mengutamakan penyampaian pesan atau makna umum dari ayat tersebut, bahkan jika susunan kalimatnya harus diubah secara drastis dalam bahasa target. Jenis ini lebih mudah dipahami oleh pembaca awam tetapi berisiko memasukkan unsur interpretasi (tafsir) penerjemah.

Sebagian besar terjemahan modern yang digunakan, termasuk yang diterbitkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI, cenderung menggunakan pendekatan terjemahan makna yang diperkuat dengan catatan kaki tafsir minimal, menjadikannya gabungan antara terjemahan dan tafsir ringkas.

Ilustrasi Proses Kompilasi Al-Qur'an Sebuah gulungan kuno terbuka dengan tulisan Arab yang kompleks dan pena, melambangkan proses pembukuan dan penulisan mushaf.

V. Sejarah Terjemahan Al-Qur'an di Nusantara

Sejarah penerjemahan Al-Qur'an di wilayah Nusantara—khususnya Indonesia dan Malaysia—adalah cerminan dari dinamika Islamisasi dan perkembangan intelektual di kawasan ini. Kebutuhan akan terjemahan muncul seiring dengan peningkatan jumlah Muslim yang tidak menguasai bahasa Arab, tetapi ingin memahami sumber ajaran mereka secara langsung.

1. Periode Awal (Tafsir Per Kata dan Interlinear)

Pada masa-masa awal, terjemahan Al-Qur'an sering kali muncul dalam bentuk interlinear (terjemahan di bawah setiap kata Arab) atau dalam karya-karya tafsir yang ditulis dalam bahasa Melayu klasik. Salah satu karya monumental tertua adalah Tafsir Tarjuman al-Mustafid (atau Tafsir Melayu) yang ditulis oleh Syekh Abdur Rauf Singkel (Aceh) pada abad ke-17. Meskipun ini lebih tepat disebut tafsir daripada terjemahan murni, karyanya menjadi acuan utama bagi Muslim berbahasa Melayu selama berabad-abad. Singkel menggunakan bahasa Melayu yang kaya kosakata Arab, sehingga masih membutuhkan tingkat pemahaman yang cukup tinggi.

2. Abad ke-20 dan Kebutuhan Modern

Pada abad ke-20, seiring dengan bangkitnya nasionalisme dan modernisasi, muncul tuntutan agar terjemahan disajikan dalam bahasa Indonesia modern yang lebih mudah diakses oleh masyarakat luas. Banyak ulama dan organisasi Islam (seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) mulai memproduksi terjemahan mandiri.

3. Proyek Nasional: Al-Qur'an dan Terjemahan Kemenag RI

Puncak dari upaya penerjemahan di Indonesia adalah proyek yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag). Proyek ini dimulai pada tahun 1965 dan melibatkan para ulama dan ahli bahasa terkemuka dari berbagai latar belakang. Tujuan proyek ini adalah menciptakan satu terjemahan standar yang diterima secara luas, akurat, dan netral secara mazhab.

Ciri Khas Terjemahan Kemenag:

Terjemahan Kemenag (yang dikenal sebagai Al-Qur'an dan Terjemahannya) menggunakan bahasa Indonesia baku dan telah melalui revisi berkala (terutama pada tahun 1989, 2002, dan 2019) untuk menyesuaikan dengan perkembangan bahasa dan kebutuhan interpretasi kontemporer. Kemenag berhati-hati dalam menerjemahkan ayat-ayat kontroversial atau yang membutuhkan penjelasan kontekstual, dengan menyertakan catatan kaki atau sisipan dalam kurung untuk membedakan antara teks asli Al-Qur'an dan penjelasan penafsir.

Status terjemahan Kemenag ini sangat penting karena ia menjadi acuan resmi di lembaga pendidikan, masjid, dan juga dalam diskursus publik di Indonesia, memastikan keseragaman pemahaman dasar di tingkat nasional.

VI. Ilmu-Ilmu Al-Qur'an (Ulumul Qur'an) dan Metode Studi Lanjutan

Terjemahan hanyalah langkah awal. Untuk memahami Al-Qur'an secara mendalam, Muslim harus menapaki jalur Ulumul Qur'an—sejumlah disiplin ilmu yang mempelajari segala aspek terkait teks suci tersebut.

1. Ilmu Tafsir (Exegesis)

Tafsir adalah upaya sistematis untuk menjelaskan, menafsirkan, dan mengungkap makna tersembunyi dari ayat-ayat Al-Qur'an. Karena bahasa Al-Qur'an sangat kaya dan multi-dimensi, tafsir menjadi keharusan. Ada berbagai metode tafsir:

Tanpa tafsir yang memadai, terjemahan harfiah bisa menyebabkan kesalahan fatal dalam penafsiran hukum atau akidah.

2. Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya Ayat)

Ilmu ini mempelajari konteks historis dan peristiwa spesifik yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau sekelompok ayat. Pemahaman Asbabun Nuzul mencegah penarikan kesimpulan yang terlalu umum atau terlalu spesifik dari ayat. Contohnya, mengetahui konteks ayat-ayat perang yang turun saat Muslim berada di bawah ancaman eksistensial membantu membatasi penerapan ayat tersebut agar tidak menjadi pembenaran untuk agresi tak berdasar.

3. Naskh wal Mansukh (Pembatalan dan yang Dibatalkan)

Ini adalah ilmu yang membahas tentang ayat-ayat hukum yang diturunkan kemudian untuk menggantikan (membatalkan) hukum yang diturunkan sebelumnya. Konsep ini mencerminkan kebijaksanaan Allah dalam menerapkan hukum secara bertahap, terutama dalam isu-isu sosial yang sensitif seperti larangan khamr (minuman keras). Ayat tentang larangan khamr diturunkan dalam beberapa tahap, mulai dari celaan, kemudian larangan shalat saat mabuk, hingga larangan total. Memahami Naskh sangat penting bagi ahli fiqh agar tidak menggunakan hukum yang telah dibatalkan (mansukh).

Namun, perlu dicatat bahwa ruang lingkup ayat-ayat yang mansukh (dibatalkan hukumnya) adalah subjek perdebatan sengit di antara para ulama, dengan beberapa ulama modern cenderung membatasi jumlahnya hanya pada segelintir ayat saja, sementara ulama klasik memiliki daftar yang lebih panjang.

4. Qira’at (Cara Membaca)

Meskipun teks Al-Qur'an (Rasm Utsmani) bersifat standar, ada variasi cara pembacaan (pengucapan huruf, panjang pendek, vokal) yang diturunkan secara mutawatir dari Nabi. Terdapat sepuluh Qira’at utama yang diakui, yang paling umum digunakan di dunia adalah Qira’at Hafs ‘an Ashim. Variasi ini umumnya tidak mengubah substansi hukum tetapi menambah kekayaan makna linguistik.

VII. Isu-isu Kontemporer dalam Studi Al-Qur'an dan Terjemahan

Di era modern, studi Al-Qur'an berhadapan dengan tantangan baru, terutama dalam menghadapi ilmu pengetahuan modern, hak asasi manusia, dan pluralisme.

1. Al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan (Scientific Exegesis)

Sejumlah Muslim modern berusaha mencari korelasi antara ayat-ayat Al-Qur'an dan penemuan ilmiah terbaru (seperti embriologi, astronomi, geologi). Upaya ini dikenal sebagai tafsir ilmiah (tafsir ‘ilmi).

Meskipun banyak ayat yang mendorong manusia untuk merenungkan alam semesta, para ulama tradisional dan sebagian besar sarjana modern memberikan peringatan keras terhadap upaya penafsiran ilmiah yang berlebihan. Alasannya:

  1. Al-Qur'an diturunkan sebagai kitab hidayah (petunjuk), bukan buku sains.
  2. Penafsiran Al-Qur'an yang didasarkan pada teori ilmiah yang masih tentatif dapat merusak kredibilitas Al-Qur'an jika teori tersebut kelak terbantahkan.

Pendekatan yang lebih aman adalah melihat ayat-ayat alam sebagai isyarat (isyarat ilmi) yang mengundang perenungan, bukan sebagai penjelasan saintifik yang detail.

2. Hermeneutika dan Kontekstualisasi Terjemahan

Tantangan terbesar bagi penerjemah kontemporer adalah bagaimana menerjemahkan konsep-konsep yang sangat spesifik pada abad ke-7 Arab ke dalam bahasa modern tanpa menghilangkan kedalaman aslinya. Misalnya, bagaimana menerjemahkan istilah jihad, ribat, atau istilah fiqh lainnya kepada pembaca abad ke-21 yang telah terkontaminasi dengan konotasi media massa Barat?

Para sarjana kontemporer sering menggunakan metode kontekstualisasi, di mana ayat hukum harus dibaca bersama dengan tujuan utama syariat (maqashid syari’ah), yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Penerjemahan harus mencerminkan semangat etika universal ini.

3. Penerjemahan Istilah Keagamaan dan Adat Istiadat

Dalam konteks Indonesia, tantangan lain muncul dari penerjemahan istilah agama yang sudah terserap ke dalam budaya lokal. Kata ‘shalat’, misalnya, diterjemahkan menjadi ‘sembahyang’ dalam terjemahan lama, yang secara historis memiliki konotasi ritual Jawa-Hindu. Kemenag kini cenderung mempertahankan istilah Arab (misalnya, shalat, zakat, haji) dan memberikan penjelasan, daripada menggunakan padanan lokal yang mungkin memiliki riwayat makna yang berbeda.

Perbedaan halus antara terjemahan yang berorientasi pada fikih (hukum) dan terjemahan yang berorientasi pada tasawuf (mistik) juga memengaruhi pilihan kata dalam bahasa Indonesia. Terjemahan tasawuf sering kali menekankan kata-kata seperti ‘cinta’ (mahabbah) dan ‘kedekatan’ (qurb), sementara terjemahan fikih fokus pada ‘kewajiban’ (fardhu) dan ‘hukuman’ (hudud). Keberagaman ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun terjemahan yang sempurna, dan pembaca dianjurkan untuk membandingkan beberapa versi.

Ilustrasi Kompas Petunjuk dan Kitab Sebuah kompas navigasi yang mengarah ke sebuah buku tebal, melambangkan Al-Qur'an sebagai pedoman arah hidup. القرآن N

VIII. Implementasi Praktis: Tadabbur dan Tajwid

Tujuan akhir dari terjemahan dan studi Al-Qur'an bukanlah hanya sekadar pengetahuan, tetapi implementasi dalam praktik spiritual dan kehidupan sehari-hari (tadabbur).

1. Pentingnya Tajwid dan Qira'at dalam Pembacaan

Membaca Al-Qur'an secara benar sesuai kaidah tajwid (ilmu tata cara pengucapan huruf) adalah kewajiban yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun terjemahan membantu makna, pembacaan yang benar memastikan bahwa teks Arab diucapkan sebagaimana diturunkan. Kesalahan dalam tajwid (misalnya memanjangkan yang seharusnya pendek, atau sebaliknya) dapat mengubah makna secara drastis, menjauhkan pembaca dari keotentikan Kalamullah.

2. Penerapan Tadabbur (Perenungan)

Tadabbur adalah proses merenungkan makna ayat, mencari hikmah di baliknya, dan mempertanyakan bagaimana pesan tersebut relevan dengan kondisi pribadi pembaca. Seorang Muslim yang membaca terjemahan harus selalu didorong untuk melakukan tadabbur, bukan sekadar membaca sekilas. Tadabbur mengubah Al-Qur'an dari teks sejarah menjadi panduan hidup yang aktif.

Langkah-langkah Tadabbur:

  1. Pahami Konteks: Gunakan terjemahan dan sedikit tafsir untuk memahami makna dasar.
  2. Pertanyaan Reflektif: Tanyakan, "Apa yang Allah inginkan agar saya lakukan setelah membaca ayat ini?" dan "Bagaimana ayat ini memperbaiki karakter saya?"
  3. Aplikasi Praktis: Tentukan satu tindakan konkret yang akan diambil sebagai hasil dari perenungan ayat tersebut.

IX. Mendalami Lebih Jauh: Perdebatan Metodologi dan Pluralitas Tafsir

Dalam komunitas ilmiah Islam, terdapat perdebatan metodologi yang terus berlangsung mengenai bagaimana seharusnya Al-Qur'an dipahami dan diterjemahkan, terutama di tengah tantangan globalisasi dan modernisme.

1. Tafsir Kontekstual vs. Tafsir Tekstual

Perdebatan utama berkisar pada sejauh mana konteks historis Nabi (abad ke-7 M) harus membatasi penerapan ayat Al-Qur'an. Kaum tekstualis berpendapat bahwa makna yang jelas (zhahir) dari teks harus diutamakan, dan konteks hanya boleh membatasi apabila terdapat dalil yang kuat (seperti Asbabun Nuzul). Di sisi lain, kaum kontekstualis modern berpendapat bahwa banyak hukum sosial Al-Qur'an (terutama yang berkaitan dengan perbudakan, posisi wanita, dan perang) harus dipahami sebagai bagian dari reformasi bertahap pada zamannya, yang kini harus diangkat ke prinsip moral universal (maqashid syari'ah) yang lebih tinggi.

Perbedaan pandangan ini sangat memengaruhi bagaimana sebuah kata diterjemahkan. Misalnya, bagaimana menerjemahkan kata daraba dalam Surah An-Nisa: 34, yang dapat berarti 'memukul', 'menghajar', atau 'memisahkan diri'. Pilihan kata dalam terjemahan ini merefleksikan posisi teologis dan sosiologis penerjemah.

2. Hermeneutika Al-Qur'an Kontemporer

Beberapa sarjana Muslim kontemporer mencoba menerapkan metode hermeneutika (ilmu interpretasi teks) yang berkembang di Barat untuk memahami Al-Qur'an. Tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman mengajukan pendekatan yang dikenal sebagai "double movement" (gerakan ganda), di mana mufasir harus bergerak dari teks ke konteks umum (abad ke-7) untuk memahami prinsip moral universalnya, dan kemudian bergerak kembali ke masa kini (konteks modern) untuk menerapkan prinsip tersebut secara kontekstual.

Meskipun pendekatan ini disambut baik oleh akademisi, ia sering menghadapi kritik dari ulama tradisional yang khawatir bahwa metode tersebut dapat merusak keabadian dan keotentikan makna teks. Dalam lingkungan penerjemahan resmi seperti Kemenag, pendekatan yang lebih hati-hati dan berbasis pada tradisi tafsir bi al-ma’tsur tetap menjadi arus utama, namun diperkaya dengan catatan kaki yang mempertimbangkan relevansi modern.

X. Kekuatan Bahasa Arab dalam Teks Al-Qur'an: Tantangan Tak Terlampaui bagi Penerjemah

Untuk benar-benar menghargai mengapa terjemahan hanyalah "peta" dan bukan "wilayah" itu sendiri, kita perlu memahami aspek unik dari bahasa Arab Al-Qur'an (Fusha).

1. Kedalaman Akar Kata (Tashrif)

Bahasa Arab adalah bahasa akar kata (triliteral). Setiap kata kerja atau benda berasal dari tiga konsonan dasar yang membentuk konsep inti. Hanya dengan mengubah pola vokal atau menambahkan huruf, makna kata dapat berubah secara drastis, tetapi tetap terhubung dengan akar kata aslinya. Misalnya, akar kata (K-T-B) terkait dengan 'menulis': kataba (dia menulis), kitab (buku), maktab (tempat menulis/kantor), katib (penulis). Al-Qur'an menggunakan sistem ini untuk menciptakan resonansi semantik antara ayat-ayat yang berbeda, sebuah nuansa yang mustahil dipertahankan dalam terjemahan.

2. Iltifat (Perubahan Sudut Pandang)

Salah satu fitur retorika tertinggi dalam Al-Qur'an adalah iltifat, yaitu perubahan mendadak dalam sudut pandang (dari orang ketiga ke orang kedua, atau sebaliknya) dalam tengah kalimat. Perubahan ini berfungsi untuk menarik perhatian pembaca, menekankan poin tertentu, atau menciptakan kedekatan emosional. Sebagai contoh, Allah mungkin mulai berbicara tentang Diri-Nya dalam bentuk Orang Ketiga (Dia/Huwa), dan tiba-tiba beralih ke Orang Pertama (Aku/Ana) atau Orang Kedua (Engkau/Anta) dalam ayat yang sama. Fenomena iltifat ini sangat sulit untuk dipertahankan dalam bahasa Indonesia tanpa membuatnya terdengar canggung atau tidak terstruktur.

3. Pola Qasam (Sumpah Ilahi)

Banyak surah Makkiyah yang dibuka dengan Qasam (sumpah), di mana Allah bersumpah atas nama ciptaan-Nya (misalnya, demi waktu subuh, demi matahari, demi kuda yang berlari kencang). Sumpah ini bukan sekadar penekanan, tetapi sering kali merupakan isyarat menuju topik utama surah tersebut. Dalam bahasa Indonesia, terjemahan 'Demi' sering kali terasa datar, padahal dalam konteks Arab, sumpah ini adalah pernyataan artistik yang kuat dan berlapis makna.

Mengingat kompleksitas ini, terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa apapun, termasuk bahasa Indonesia, harus dilihat sebagai upaya mulia untuk mendekatkan umat pada pesan dasar, sambil tetap mendorong mereka untuk mempelajari bahasa Arab dan Ulumul Qur'an untuk pemahaman yang paripurna.

XI. Al-Qur'an dan Etika Sosial: Membangun Peradaban

Terjemahan Al-Qur'an, terutama di Indonesia, tidak hanya berfungsi sebagai teks spiritual, tetapi juga sebagai pedoman etika dalam membangun masyarakat yang majemuk.

1. Prinsip Keadilan (Al-'Adl)

Salah satu tema sentral yang harus diangkat oleh setiap terjemahan adalah prinsip keadilan. Al-Qur'an berulang kali memerintahkan keadilan (al-'adl), bahkan terhadap musuh, dan memerintahkan umat Islam untuk menjadi penegak keadilan tanpa memandang kerabat atau kebencian pribadi (Q.S. Al-Maidah: 8). Penerjemahan ayat-ayat ini ke dalam bahasa Indonesia modern menekankan pentingnya supremasi hukum dan persamaan di mata hukum, sangat relevan dalam konteks negara Pancasila.

2. Ukhuwah dan Pluralisme

Ayat-ayat yang berkaitan dengan persaudaraan (ukhuwah) dan hubungan dengan non-Muslim (Ahli Kitab atau non-Ahli Kitab) menjadi fokus penting dalam terjemahan kontemporer Indonesia. Terjemahan harus mampu menjembatani pemahaman tradisional tentang loyalitas (wala’) tanpa menimbulkan eksklusivitas atau permusuhan, melainkan mendorong kerja sama antar-umat beragama dalam kebaikan (ta’awun ‘ala al-birr).

Dalam terjemahan Kemenag, misalnya, perhatian besar diberikan pada konteks ayat-ayat perang agar tidak disalahpahami sebagai ajakan agresi, melainkan sebagai izin membela diri atau merespons penganiayaan. Ini adalah contoh bagaimana terjemahan berperan aktif dalam membentuk narasi etika sosial yang damai.

Penutup: Terjemahan sebagai Jembatan menuju Tadabbur Sejati

Al-Qur'an dan terjemahan adalah dua entitas yang saling melengkapi. Terjemahan membuka pintu, menghilangkan hambatan bahasa, dan memungkinkan miliaran Muslim untuk mengakses pesan universal Islam. Namun, terjemahan juga harus dipandang sebagai undangan untuk melangkah lebih jauh: untuk mendalami bahasa Arab itu sendiri, untuk menelaah ilmu tafsir yang luas, dan yang terpenting, untuk menginternalisasi ajaran Al-Qur'an dalam setiap aspek kehidupan.

Di Indonesia, dedikasi terhadap penerjemahan yang akurat dan resmi oleh negara adalah pengakuan terhadap pentingnya akses pengetahuan agama bagi seluruh warga negara. Melalui terjemahan yang berhati-hati dan didukung oleh Ulumul Qur'an, Al-Qur'an tetap menjadi sumber petunjuk yang hidup, relevan, dan abadi bagi Muslim di seluruh dunia.

Membaca terjemahan harus selalu diiringi kesadaran bahwa keindahan dan kedalaman hakiki Kalamullah tersemat dalam teks Arabnya yang asli, sebuah mukjizat linguistik yang menantang batas-batas pemahaman manusia, dan yang menjamin bahwa upaya studi terhadapnya tidak akan pernah mencapai titik akhir.

🏠 Kembali ke Homepage