Surah Al-Baqarah: Pedoman Kehidupan dan Pilar Syariat Islam

Analisis Mendalam Ayat-Ayat Terpanjang dalam Al-Quran

Ilustrasi Al-Quran terbuka

Sumber Cahaya dan Petunjuk (Huda)

Pendahuluan: Identitas dan Keutamaan Al-Baqarah

Surah Al-Baqarah (Sapi Betina) merupakan surah kedua dalam susunan mushaf Al-Quran dan merupakan surah terpanjang dengan 286 ayat. Surah ini diturunkan setelah periode hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah (Madaniyah), sehingga ia memuat cetak biru lengkap bagi pembentukan masyarakat Islam yang terorganisir.

Periode Madaniyah ditandai dengan penetapan hukum-hukum syariat, etika sosial, dan fondasi pemerintahan. Al-Baqarah menjadi miniatur dari seluruh ajaran Islam karena mencakup tiga pilar utama: Aqidah (kepercayaan), Syariat (hukum), dan Sejarah (pelajaran dari umat terdahulu).

Keutamaan (Fadhilah) Surah Al-Baqarah

Dalam tradisi Islam, Al-Baqarah memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa membaca surah ini di rumah akan mengusir setan. Dua ayat terakhirnya (Ayat 285-286), yang dikenal sebagai Amanar Rasul, mengandung perlindungan dan permohonan ampunan yang besar. Sementara itu, Ayat Kursi (Ayat 255) dianggap sebagai ayat termulia dalam Al-Quran karena kandungannya yang murni tentang tauhid dan kekuasaan mutlak Allah SWT.

Struktur Al-Baqarah sangat simetris. Bagian tengah surah ini, yang berbicara tentang perubahan kiblat (Ayat 142), berfungsi sebagai poros yang menghubungkan pelajaran dari masa lalu (Bani Israil) dengan instruksi untuk masa depan (hukum-hukum umat Islam). Surah ini menawarkan keseimbangan yang sempurna antara dimensi spiritual dan dimensi praktis kehidupan.

Kategori Manusia dan Landasan Keimanan (Ayat 1-29)

Surah Al-Baqarah dibuka dengan tiga huruf muqatta’ah: Alif, Lam, Mim. Walaupun makna pastinya hanya diketahui oleh Allah, para ulama berpendapat ini menandakan tantangan dan keajaiban sastra Al-Quran. Setelahnya, Allah menegaskan bahwa Al-Quran adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya; ia adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (Al-Muttaqin).

Tiga Golongan Manusia

Ayat-ayat awal ini membagi umat manusia ke dalam tiga kategori besar yang menjadi penentu nasib mereka:

  1. Orang-orang Bertakwa (Ayat 2-5): Mereka memiliki enam ciri mendasar: beriman kepada yang ghaib (seperti surga, neraka, malaikat), mendirikan salat, menafkahkan rezeki, beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan, dan yakin akan adanya akhirat. Mereka inilah yang berada di atas petunjuk.
  2. Orang-orang Kafir (Ayat 6-7): Kelompok ini adalah mereka yang menolak petunjuk secara mutlak dan menutup diri dari kebenaran. Hati mereka telah dikunci, pendengaran mereka disumbat, dan pandangan mereka tertutup oleh penolakan yang keras kepala. Bagi mereka, peringatan ataupun tidak, hasilnya sama.
  3. Orang-orang Munafik (Ayat 8-20): Golongan ini mendapat porsi bahasan terpanjang karena bahaya mereka yang laten. Mereka mengaku beriman dengan lisan, tetapi hati mereka penuh keraguan dan permusuhan. Allah melukiskan keadaan mereka dalam dua perumpamaan yang kuat: (1) Seperti orang yang menyalakan api, namun setelah terang, api itu dipadamkan, meninggalkan mereka dalam kegelapan. (2) Seperti orang yang ditimpa hujan lebat disertai petir dan kilat; mereka menutup telinga karena takut mati, menunjukkan ketakutan mereka terhadap kebenaran yang datang dari langit. Kemunafikan adalah penyakit yang lebih berbahaya daripada kekafiran terbuka.

Analisis mendalam terhadap kategori-kategori ini memberikan pelajaran bahwa iman bukanlah sekadar klaim verbal, melainkan kondisi hati yang diekspresikan melalui tindakan, dan bahwa sikap ragu-ragu akan membawa dampak spiritual yang fatal.

Perintah Tauhid dan Kisah Penciptaan Adam (Ayat 21-39)

Fondasi Tauhid

Setelah mengkategorikan manusia, Al-Baqarah beralih kepada perintah dasar: Tauhid. Allah menyeru seluruh manusia untuk menyembah-Nya yang telah menciptakan mereka dan memberikan segala fasilitas hidup (Ayat 21). Ini adalah argumen rasional: Siapa yang memberi kehidupan dan rezeki, Dialah yang berhak disembah.

Tantangan keras kemudian diberikan kepada mereka yang meragukan kerasulan Muhammad ﷺ (Ayat 23): Jika kalian ragu terhadap Al-Quran, datangkanlah satu surah yang serupa. Tantangan ini menegaskan bahwa mukjizat Al-Quran terletak pada keindahan dan kedalaman isinya yang tak tertandingi.

Kisah Adam dan Iblis

Al-Baqarah kemudian menyajikan kisah penciptaan Adam (Ayat 30-39), sebuah narasi penting yang menetapkan peran sentral manusia di bumi. Ketika Allah memberitahu malaikat bahwa Ia akan menempatkan seorang khalifah (pemimpin) di bumi, para malaikat bertanya-tanya mengapa Allah menciptakan makhluk yang mungkin akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah. Ini bukan penolakan, melainkan pertanyaan tentang hikmah ilahi.

Allah menjawab dengan menunjukkan keunggulan Adam melalui ilmu pengetahuan. Adam diajari nama-nama segala sesuatu, sesuatu yang malaikat tidak ketahui. Ilmu pengetahuan, dalam konteks ini, adalah kunci kekhalifahan manusia. Hal ini mengajarkan bahwa kepemimpinan di bumi harus didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman mendalam.

Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah tentang Kepatuhan versus Keangkuhan. Ketika Allah memerintahkan para malaikat dan Iblis untuk bersujud kepada Adam (sebagai bentuk penghormatan, bukan ibadah), Iblis menolak karena kesombongan, merasa dirinya lebih baik diciptakan dari api, sementara Adam diciptakan dari tanah. Penolakan Iblis menjadi contoh abadi tentang bahaya keangkuhan yang berujung pada pengusiran dan penyesalan abadi.

Peringatan Sejarah: Pelajaran dari Bani Israil (Ayat 40-103)

Porsi terbesar dari bagian tengah Surah Al-Baqarah ditujukan kepada Bani Israil (keturunan Nabi Ya’qub), terutama mengenai sejarah mereka yang panjang dan kompleks dengan perjanjian Allah. Tujuan utama bahasan ini adalah mengingatkan umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan fatal yang dilakukan umat terdahulu, yaitu pengkhianatan terhadap janji dan legalisme yang berlebihan.

Simbol sapi betina dan teka-teki sejarah

Kisah Sapi Betina dan Ketaatan Berjenjang

Janji dan Pelanggaran

Allah mengingatkan Bani Israil tentang nikmat-nikmat yang telah Ia berikan: diselamatkan dari Firaun, diberi Manna dan Salwa, dan diangkat sebagai umat pilihan pada masanya (Ayat 49-61). Namun, setiap nikmat selalu diikuti dengan ujian dan perjanjian yang dilanggar: menolak kebenaran, membunuh para nabi, dan mengubah kitab suci.

Kisah Al-Baqarah (Sapi Betina)

Nama surah ini diambil dari kisah yang terdapat dalam Ayat 67-73. Kisah ini menggambarkan legalisme yang berlebihan (tannattu’). Ketika sebuah kasus pembunuhan terjadi dan pelakunya tidak diketahui, Nabi Musa diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih seekor sapi betina. Alih-alih langsung taat, Bani Israil malah mengajukan pertanyaan beruntun yang tidak perlu: bagaimana warnanya? Apa jenisnya? Berapa usianya?

Setiap pertanyaan memperketat persyaratan, membuat mereka kesulitan sendiri. Jika mereka menyembelih sapi apa pun di awal, mereka akan berhasil. Kisah ini mengajarkan bahwa ketaatan sejati adalah ketaatan yang sederhana dan segera, bukan ketaatan yang bertele-tele dan menyulitkan diri sendiri.

Sihir dan Pengingkaran

Bagian ini juga membahas fitnah sihir pada masa Nabi Sulaiman (Ayat 102). Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa sihir adalah praktik kufur yang dipelajari manusia dari dua malaikat di Babel, Harut dan Marut. Kedua malaikat tersebut hanya mengajarkan sihir sebagai ujian, dan selalu disertai peringatan bahwa sihir adalah kekufuran. Namun, manusia tetap memilih jalan kebatilan untuk menceraikan suami-istri, menunjukkan bahwa mereka lebih memilih kerugian dunia dan akhirat.

Perubahan Kiblat dan Ujian Umat Islam (Ayat 115-152)

Setelah meletakkan fondasi tauhid dan memberikan pelajaran sejarah, Al-Baqarah memasuki fase penetapan identitas umat Islam yang independen, yang mencapai puncaknya pada perintah perubahan arah shalat (kiblat) dari Baitul Maqdis (Yerusalem) ke Ka'bah (Mekah).

Simbol arah kiblat dan persatuan umat

Pusat Spiritual Umat Islam

Makna Perubahan Kiblat

Perintah ini (Ayat 142) adalah ujian keimanan yang besar. Saat itu, kaum Muslimin shalat menghadap Baitul Maqdis selama periode Mekah dan awal periode Madinah. Perubahan ini memicu cemoohan dari kaum Yahudi dan musyrikin. Allah menjelaskan bahwa kiblat bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya penanda arah; timur dan barat adalah milik Allah (Ayat 115). Tujuan utamanya adalah melihat siapa yang benar-benar taat kepada perintah Allah, tanpa terpengaruh pandangan orang lain.

Secara teologis, perubahan kiblat menandai kemandirian umat Islam (Ummatan Wasatan) dan pengembalian pusat spiritual Ibrahim, yang merupakan leluhur spiritual kedua belah pihak, kepada posisi aslinya di Ka'bah. Umat Islam diangkat sebagai umat yang adil dan seimbang, menjadi saksi atas kebenaran.

Perintah Bersabar dan Salat (Ayat 153-157)

Setelah ujian kiblat, Allah menetapkan dua pilar spiritual untuk menghadapi cobaan: sabar (ketahanan) dan salat (komunikasi dengan Ilahi). Kesabaran didefinisikan bukan sekadar menahan diri, tetapi sebagai keteguhan saat menghadapi kesulitan, kehilangan harta, dan hilangnya nyawa. Mereka yang sabar adalah mereka yang saat ditimpa musibah mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).

Allah menjanjikan bahwa orang-orang yang gugur di jalan-Nya tidak mati, melainkan hidup di sisi Allah (Ayat 154), menetapkan prinsip tinggi syahadah (kemartiran) dalam Islam.

Hukum-Hukum Fiqih dan Tatanan Sosial (Ayat 177-242)

Bagian ini adalah inti dari ajaran Madaniyah, yang menetapkan kerangka hukum bagi komunitas Muslim. Ayat 177, yang sering disebut Ayat Al-Birr (Kebajikan), berfungsi sebagai jembatan, mendefinisikan iman sejati bukan hanya berdasarkan arah shalat, melainkan pada kombinasi aqidah (iman), ibadah (shalat, zakat), dan muamalat (perilaku sosial, kasih sayang, menepati janji, dan sabar di masa sulit).

Hukum Qishash (Ayat 178-179)

Al-Baqarah menetapkan hukum qishash (pembalasan yang setimpal) dalam kasus pembunuhan, namun dengan penekanan kuat pada pengampunan. Tujuan qishash bukanlah balas dendam, tetapi untuk menjaga kehidupan: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal.” Hal ini karena mengetahui adanya hukuman berat akan mencegah orang melakukan pembunuhan, sehingga masyarakat menjadi aman.

Puasa (Shaum) Ramadhan (Ayat 183-187)

Perintah puasa diwajibkan (Ayat 183), dengan tujuan utama membentuk ketakwaan (la'allakum tattaqun). Puasa adalah periode pelatihan spiritual yang mengajarkan disiplin, empati, dan penguasaan diri. Ayat ini juga memberikan keringanan bagi orang sakit dan musafir, menunjukkan kemudahan (yusrun) dalam syariat Islam.

Puasa Ramadhan adalah kewajiban yang harus dipenuhi, menunjukkan betapa pentingnya kesadaran kolektif dalam ketaatan. Hukum yang detail mengenai waktu makan dan minum (sampai terbit fajar) juga diberikan di bagian ini.

Hukum Jihad dan Perang (Ayat 190-201)

Perintah perang diberikan dengan batasan yang ketat. Allah memerintahkan untuk memerangi mereka yang memerangi kaum Muslimin, tetapi melarang melampaui batas. Ayat ini menekankan etika perang: tidak menyerang warga sipil, tidak melakukan mutilasi, dan mengakhiri pertempuran jika musuh berhenti. Tujuan jihad adalah menghilangkan fitnah (kekacauan dan penindasan agama), bukan agresi teritorial.

Hukum Keluarga dan Perceraian (Ayat 221-242)

Surah Al-Baqarah memberikan rincian yang luas mengenai hubungan suami-istri, pernikahan, dan perceraian, menunjukkan betapa Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita dan stabilitas keluarga.

Seluruh bagian hukum ini diakhiri dengan peringatan umum: "Peliharalah semua salat dan peliharalah salat wustha (salat tengah)." Ini mengingatkan bahwa pelaksanaan syariat harus selalu diselaraskan dengan kesadaran spiritual melalui shalat.

Kisah Bukti Kekuasaan Ilahi dan Kehidupan Abadi (Ayat 243-260)

Bagian ini menyajikan narasi-narasi historis yang berfungsi untuk memperkuat keyakinan akan kebangkitan dan kekuasaan mutlak Allah, mendorong kaum Muslimin untuk berani berjuang di jalan-Nya.

Kisah Tsalut dan Jalut (Ayat 246-251)

Kisah tentang raja Tsalut (Saul) dan pertarungan melawan Jalut (Goliath) adalah pelajaran tentang kualitas kepemimpinan dan pentingnya jumlah kecil yang beriman kuat. Pasukan Tsalut diuji di tepi sungai. Sebagian besar gagal karena minum terlalu banyak, tetapi sejumlah kecil orang yang teguh (termasuk Nabi Daud yang masih muda) berhasil melewati ujian dan mengalahkan musuh yang jauh lebih besar.

Pelajaran utamanya adalah bahwa kemenangan bukan ditentukan oleh jumlah materi, tetapi oleh kualitas spiritual, kesabaran, dan keyakinan mutlak kepada Allah.

Kisah Kebangkitan (Ayat 259-260)

Untuk menguatkan iman terhadap kebangkitan setelah mati, Allah memberikan dua contoh:

  1. Pria yang Melewati Kota Runtuh (Ayat 259): Seorang pria melihat kota yang hancur dan bertanya, "Bagaimana Allah menghidupkan kembali ini setelah matinya?" Allah mematikan pria itu selama seratus tahun, lalu menghidupkannya kembali. Tujuannya adalah menunjukkan bahwa waktu bukanlah halangan bagi kekuasaan Allah.
  2. Nabi Ibrahim dan Empat Ekor Burung (Ayat 260): Ibrahim meminta kepada Allah untuk diperlihatkan bagaimana cara-Nya menghidupkan yang mati. Allah memerintahkannya mengambil empat ekor burung, mencincangnya, lalu meletakkan setiap bagian di puncak gunung yang berbeda. Setelah Ibrahim memanggil, burung-burung itu datang kepadanya dalam keadaan utuh dan hidup. Ini adalah bukti visual dari kemudahan kebangkitan bagi Sang Pencipta.

Ayat Kursi: Ayat Teragung (Ayat 255)

Di tengah kisah-kisah kekuasaan Ilahi, terselip Ayat Kursi, yang merupakan puncak dari teologi tauhid dalam Al-Quran. Ayat ini secara ringkas menjelaskan atribut-atribut Allah yang Maha Sempurna: Dia hidup, berdiri sendiri (Al-Qayyum), tidak pernah mengantuk atau tidur, memiliki segala sesuatu di langit dan bumi, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Ayat Kursi adalah penegasan tiada tanding akan keesaan dan kekuasaan Allah yang tidak terbatas.

Ekonomi dan Keadilan Sosial: Infaq dan Larangan Riba (Ayat 261-283)

Bagian akhir Surah Al-Baqarah membahas fondasi ekonomi dan etika muamalat (transaksi sosial dan keuangan), dengan fokus tajam pada Infaq (sedekah) dan larangan mutlak terhadap Riba (bunga/usury).

Keutamaan Infaq dan Niat Murni (Ayat 261-274)

Infaq yang diterima oleh Allah digambarkan dengan perumpamaan biji yang menumbuhkan tujuh bulir, dan setiap bulir menghasilkan seratus biji (700 kali lipat). Perumpamaan ini menekankan bahwa amal kebajikan tidak hanya berkembang secara kuantitas, tetapi juga kualitas, asalkan dilakukan dengan niat murni.

Al-Baqarah memperingatkan agar infaq dilakukan dengan cara yang terbaik:

Infaq, dengan demikian, adalah ibadah yang membersihkan harta dan jiwa. Ia adalah manifestasi praktis dari tauhid, menunjukkan bahwa kita percaya bahwa rezeki sejati berasal dari Allah.

Ilustrasi timbangan keadilan antara riba dan sedekah RIBA INFAQ

Kontras antara Riba dan Sedekah

Larangan Keras terhadap Riba (Ayat 275-281)

Ayat-ayat mengenai Riba adalah salah satu yang paling keras dalam Al-Quran. Allah menyatakan bahwa mereka yang memakan Riba akan bangkit pada hari Kiamat seperti orang yang kerasukan setan (Ayat 275). Larangan ini sangat tegas karena Riba menghancurkan keadilan sosial, menciptakan jurang antara si kaya dan si miskin, dan menggantikan etika kerja sama dengan eksploitasi.

“Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)

Ayat-ayat ini bahkan menyatakan perang dari Allah dan Rasul-Nya terhadap mereka yang tidak menghentikan praktik Riba setelah mengetahui larangannya. Namun, syariat memberikan keringanan; jika ada sisa hutang Riba, orang beriman hanya berhak atas modal pokok (pokok pinjaman), dan mereka harus melepaskan sisa bunganya.

Hukum Hutang Piutang (Ayat 282)

Ayat 282, yang dikenal sebagai Ayat Ad-Dain (Ayat Hutang), adalah ayat terpanjang dalam Al-Quran dan berisi instruksi rinci tentang bagaimana mencatat transaksi hutang-piutang. Ayat ini menetapkan prosedur hukum dan etika bisnis:

  1. Pencatatan: Hutang harus dicatat secara tertulis oleh juru tulis yang adil.
  2. Saksi: Diperlukan dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan (jika salah satunya lupa, yang lain dapat mengingatkan).
  3. Etika Juru Tulis: Juru tulis dilarang menolak menulis dan dilarang mengubah isi perjanjian.

Ayat ini adalah bukti perhatian Islam yang luar biasa terhadap transparansi, perlindungan hak, dan pencegahan konflik dalam hubungan ekonomi. Walaupun pencatatan hutang sangat ditekankan, Allah juga menyatakan bahwa jika dalam perjalanan (musafir) tidak ada juru tulis, maka barang jaminan (gadai) dapat dijadikan pengganti, asalkan pemberi hutang memegang amanah.

Penutup: Kekuasaan Allah dan Doa Umat (Ayat 284-286)

Surah Al-Baqarah ditutup dengan ayat-ayat yang merangkum kembali konsep Tauhid, pertanggungjawaban individu, dan permohonan kasih sayang Ilahi. Ayat-ayat penutup ini sering dibaca bersamaan sebagai pelindung dan penenang.

Pertanggungjawaban Individu (Ayat 284)

Ayat 284 menegaskan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, baik yang kita tampakkan maupun yang kita sembunyikan dalam hati. Ini adalah dasar dari konsep pertanggungjawaban (muhasabah), di mana setiap jiwa akan dihisab atas perbuatannya. Ayat ini mempertegas bahwa pikiran dan niat terdalam pun tidak luput dari pengawasan Ilahi.

Amanar Rasul dan Permohonan Umat (Ayat 285-286)

Dua ayat terakhir, Amanar Rasul, adalah deklarasi keimanan yang sempurna dan doa permohonan yang mendalam.

Ayat 285 adalah pengakuan iman: Rasul dan orang-orang beriman meyakini semua ajaran yang diturunkan, beriman kepada semua malaikat, kitab, dan rasul, tanpa membeda-bedakan di antara mereka. Pernyataan ini menyatukan sejarah kenabian menjadi satu rantai kebenaran.

Ayat 286 kemudian mengajarkan doa yang melambangkan kemanusiaan dan kerendahan hati: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (la yukallifullahu nafsan illa wus’aha). Ini adalah prinsip fundamental dalam syariat, menjamin bahwa hukum Islam tidaklah mustahil untuk dilaksanakan.

Doa yang diajarkan pada penutup ini adalah permohonan agar Allah tidak menghukum karena kesalahan yang tidak disengaja atau lupa, tidak membebani dengan beban seberat umat terdahulu (seperti beban Bani Israil), dan agar diberi kekuatan untuk menghadapi kesulitan.

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَا ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.

Penutup dan Relevansi Abadi

Surah Al-Baqarah, dengan cakupan yang sangat luas, adalah peta jalan lengkap bagi kehidupan seorang Muslim. Ia dimulai dengan prinsip-prinsip keimanan (ghaib), dilanjutkan dengan fondasi sejarah (Adam, Bani Israil), penetapan identitas unik umat Islam (Kiblat), dan diakhiri dengan tatanan hukum (puasa, keluarga, Riba) serta janji pertolongan Ilahi. Setiap Muslim yang mendalami Surah Al-Baqarah akan menemukan panduan komprehensif untuk setiap aspek kehidupan, menjadikannya bukan sekadar teks suci, tetapi konstitusi spiritual dan sosial yang berlaku sepanjang masa.

Inti dari surah ini adalah panggilan kepada umat Islam untuk menjadi ‘Ummatan Wasatan’ – umat pertengahan yang adil. Untuk mencapai status ini, diperlukan keteguhan dalam akidah, kejujuran dalam berinteraksi (muamalat), dan kesabaran (sabr) dalam menghadapi ujian dunia.

🏠 Kembali ke Homepage