Surah Al-Mulk, yang berarti "Kerajaan", merupakan surah ke-67 dalam Al-Qur'an dan termasuk dalam golongan Surah Makkiyah. Surah ini secara tegas berpusat pada hakikat kekuasaan Allah SWT yang mutlak atas seluruh alam semesta—baik yang tampak maupun yang gaib. Dari ayat pertama hingga ayat terakhir, Al-Mulk menyajikan rangkaian argumen logis dan peringatan keras yang bertujuan untuk menanamkan tauhid dan kesadaran akan hari pertanggungjawaban.
Kajian mendalam Surah Al-Mulk adalah pintu gerbang menuju pemahaman hakiki tentang tujuan hidup, karena surah ini secara eksplisit menjelaskan bahwa kehidupan dan kematian diciptakan sebagai sarana ujian untuk mengetahui siapakah di antara manusia yang paling baik amal perbuatannya. Surah ini berfungsi sebagai pengingat abadi akan kerapuhan eksistensi manusia di hadapan keagungan Sang Pencipta.
Pembukaan surah ini diawali dengan kata تَبَارَكَ (Tabarak), yang mengandung makna keberkahan yang berlimpah, keagungan yang tak terbatas, dan ketinggian yang kekal. Kalimat ini bukan hanya pujian, tetapi pernyataan kebenaran fundamental: Allah adalah sumber dari segala kebaikan dan kekuasaan. Frasa "yang di tangan-Nyalah segala kerajaan (Al-Mulk)" menekankan bahwa seluruh kekuasaan, pemerintahan, dan otoritas, baik di langit maupun di bumi, berada di bawah kendali tunggal-Nya.
Konsep *Al-Mulk* dalam ayat ini meliputi tidak hanya kekuasaan politik atau fisik, tetapi juga kontrol penuh atas nasib, takdir, dan proses alam semesta. Ini menolak klaim kekuasaan absolut oleh siapa pun selain Allah. Kekuasaan-Nya bersifat *Qadir* (Mahakuasa), artinya tidak ada batas, tidak ada pengecualian, dan tidak ada halangan bagi kehendak-Nya. Pengulangan tema kedaulatan ini di awal berfungsi sebagai fondasi teologis untuk semua argumen berikutnya dalam surah.
Ayat ini adalah inti filosofis Surah Al-Mulk. Allah secara eksplisit menyatakan bahwa *kematian* diciptakan sebelum *kehidupan*, atau setidaknya disebutkan lebih dahulu. Beberapa penafsir menafsirkan urutan ini sebagai petunjuk bahwa kematian adalah akhir mutlak bagi kehidupan duniawi dan awal dari kehidupan abadi, atau bahwa konsep kematian (ketiadaan) adalah prasyarat bagi kehidupan (keberadaan). Kedua keadaan ini—hidup dan mati—adalah mekanisme ujian ilahi.
Tujuan utama dari ujian ini adalah untuk mengetahui أَحْسَنُ عَمَلًا (Ahsanul Amala), yaitu siapa yang paling baik amalnya. Ini bukan hanya tentang kuantitas amal, melainkan kualitas, yang didefinisikan oleh ketulusan (ikhlas) dan kesesuaian dengan syariat (ittiba'). Amal yang paling baik adalah amal yang dilakukan semata-mata karena Allah, dengan cara yang benar, dan dengan kesadaran penuh akan pengawasan-Nya.
Penyebutan *Al-'Aziz* (Mahaperkasa) menunjukkan bahwa Dia memiliki kekuasaan penuh untuk menetapkan ujian ini dan memberikan balasan. Sementara *Al-Ghafur* (Maha Pengampun) memberikan harapan, menunjukkan bahwa meskipun ujian itu berat, pintu taubat dan ampunan selalu terbuka bagi mereka yang berusaha memperbaiki amal mereka.
Konsep 'amal yang terbaik' melampaui sekadar ketaatan ritual. Ia mencakup etika, moral, kejujuran dalam berinteraksi sosial, konsistensi dalam ibadah, dan kesabaran dalam menghadapi cobaan. Jika manusia memahami bahwa setiap detik kehidupan adalah bagian dari ujian untuk mencapai kualitas amal tertinggi, maka seluruh tindakannya—dari yang terbesar hingga yang terkecil—akan termotivasi oleh kesadaran ilahi. Ini adalah inti dari perjuangan eksistensial manusia di dunia fana ini, di mana waktu yang diberikan adalah modal yang harus diinvestasikan dengan bijaksana.
Ayat 3 dan 4 menantang akal dan indra manusia untuk mencari cela dalam karya agung Allah. Penciptaan tujuh langit berlapis-lapis (*thibaqan*) menunjukkan struktur kosmik yang teratur dan berlapis. Poin utamanya adalah penekanan bahwa dalam ciptaan *Ar-Rahman* (Yang Maha Pengasih)—disebutkan secara spesifik untuk menunjukkan bahwa keteraturan ini adalah manifestasi kasih sayang-Nya—tidak ada تَفَاوُتٍ (Tafawut), yaitu ketidakseimbangan, kekurangan, atau ketidaksempurnaan.
Perintah untuk mengulangi pandangan, "Kemudian ulangi pandangan(mu) sekali lagi dan berkali-kali," adalah tantangan retoris. Ini menuntut manusia untuk menggunakan kemampuan observasi dan nalar secara maksimal. Namun, hasilnya sudah ditetapkan: pandangan manusia akan kembali khasi’an (gagal) dan hasir (letih). Keletihan mata ini bukan karena penglihatan yang lemah, melainkan karena frustrasi dan kegagalan total dalam menemukan celah atau ketidaksempurnaan. Keajaiban kosmos menjadi bukti nyata keesaan dan kesempurnaan Kekuasaan Allah.
Setelah menantang manusia untuk menemukan kekurangan, Allah menjelaskan dua fungsi utama benda-benda langit. Pertama, bintang-bintang berfungsi sebagai "perhiasan" (masabih) bagi langit dunia (lapisan langit terdekat yang dapat kita lihat). Ini menekankan estetika dan keindahan yang diciptakan Allah, yang seharusnya menginspirasi kekaguman dan refleksi.
Fungsi kedua bersifat metafisik dan peringatan: bintang dijadikan "alat-alat pelempar setan" (*rujuman lisshayatin*). Ini merujuk pada perlindungan terhadap batas-batas alam gaib, di mana setan-setan yang mencoba mencuri berita dari langit akan dihalau. Penghalauan setan ini menghubungkan kekuasaan di langit dengan perjuangan spiritual di bumi. Ini adalah peringatan bahwa jika bahkan entitas gaib yang mencoba melanggar batas mendapat hukuman, apalagi manusia yang melanggar hukum-hukum-Nya.
Pergeseran fokus dari keagungan penciptaan kepada konsekuensi pendustaan sangat tajam. Ayat 6 menetapkan nasib bagi mereka yang kafir: Neraka Jahannam, yang digambarkan sebagai "seburuk-buruk tempat kembali" (bi’sal mashir).
Ayat 7 memberikan gambaran indrawi yang menakutkan tentang neraka. Neraka digambarkan memiliki syahiq (suara hirupan nafas yang berat, mengerikan) dan tafur (mendidih dan bergejolak). Suara ini menunjukkan penderitaan dan keganasan yang tak terbayangkan.
Ayat 8 lebih jauh mempersonifikasikan neraka, menyatakan bahwa ia "hampir terpecah karena marah" (*takadu tamayyazu minal ghaiz*). Ini adalah hiperbola untuk menunjukkan intensitas kemarahan neraka terhadap penghuninya. Bagian paling kritis dalam ayat ini adalah dialog interogasi. Penjaga neraka bertanya kepada setiap kelompok yang dilemparkan ke dalamnya: "Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan (nadzir)?" Pertanyaan ini menegaskan prinsip keadilan ilahi: tidak ada seorang pun yang diazab tanpa terlebih dahulu diberikan kesempatan untuk mengenal kebenaran dan peringatan.
Dialog ini menyoroti konsep *hujjah* (bukti). Allah tidak akan menghukum umat manusia kecuali setelah Dia mengutus para Rasul dan Nabi untuk menyampaikan ajaran dan peringatan yang jelas. Pertanyaan penjaga neraka ini berfungsi sebagai dakwaan: kegagalan mereka bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena penolakan yang disengaja terhadap peringatan tersebut. Ini adalah refleksi mendalam tentang tanggung jawab pribadi atas pilihan spiritual yang diambil di dunia.
Ayat-ayat ini adalah klimaks dari pengakuan di akhirat. Para pendusta tidak dapat menyangkal bahwa peringatan telah datang. Mereka mengakui bahwa mereka tidak hanya mendustakan, tetapi juga menuduh para Rasul dan pemberi peringatan berada dalam "kesesatan besar." Ini menunjukkan keangkuhan yang ekstrem dan penolakan yang mendalam terhadap kebenaran ilahi.
Ayat 10 menunjukkan penyesalan yang mendalam atas kegagalan mereka menggunakan dua karunia terpenting yang diberikan Allah: mendengarkan (nasma') dan memikirkan (na'qil). Mendengarkan di sini berarti menerima petunjuk dengan hati terbuka, dan memikirkan berarti menggunakan akal untuk merenungkan bukti-bukti nyata (seperti yang dijelaskan dalam ayat 3-5). Kegagalan mereka bukanlah kegagalan akal secara mekanis, tetapi kegagalan untuk mengaktifkan akal budi mereka dalam mencari kebenaran.
Pengakuan ini adalah penutup dari debat mereka: "Maka mereka mengakui dosa mereka." Pengakuan ini tidak membawa manfaat lagi. Penutupnya adalah kutukan ilahi: "Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka Sa'ir itu."
Ayat 10 memberikan pelajaran krusial tentang instrumen pengetahuan. Allah memberi kita telinga untuk mendengar wahyu (informasi dari luar) dan akal untuk memproses, memvalidasi, dan memahami wahyu tersebut (refleksi internal). Apabila kedua alat ini diabaikan terhadap kebenaran, konsekuensinya adalah kehancuran abadi. Surah Al-Mulk mengajarkan bahwa keimanan yang sejati adalah produk dari akal dan hati yang digunakan secara maksimal.
Setelah kontras yang mengerikan dengan nasib para pendusta, ayat ini memberikan gambaran yang cerah tentang orang-orang mukmin. Fokusnya adalah pada *Khauf bil Ghaib* (takut kepada Tuhan yang Gaib/tidak terlihat). Ini adalah puncak dari keimanan. Ketakutan yang dimaksud di sini bukanlah ketakutan yang melumpuhkan, melainkan penghormatan dan kesadaran mendalam yang mendorong seseorang untuk taat, bahkan ketika tidak ada pengawasan manusia.
Berbuat baik di hadapan umum mudah, tetapi mempertahankan keikhlasan dan menjauhi maksiat saat sendirian—ketika hanya Allah yang melihat—itulah standar *Khauf bil Ghaib*. Imbalannya adalah dua hal fundamental: maghfirah (ampunan) atas dosa-dosa masa lalu, dan ajrun kabir (pahala yang besar), yaitu Surga.
Ayat ini menekankan bahwa ujian hidup (Ayat 2) dimenangkan oleh mereka yang beribadah berdasarkan keyakinan pada hal yang gaib. Mereka menjalani hidup seolah-olah Allah senantiasa mengawasi mereka, meskipun mata jasmani mereka tidak melihat-Nya. Inilah yang membedakan kualitas amal mereka dari orang-orang yang hanya melakukan amal demi pujian atau pengakuan manusia.
Ayat 13 berfungsi sebagai penekanan yang kuat atas konsep *Khauf bil Ghaib*. Baik manusia berbisik menyembunyikan perkataan (sirr) atau menyatakannya secara terang-terangan (jahr), semuanya sama di hadapan Allah, karena Dia 'Alimun bidzatis Shudur (Maha Mengetahui segala isi hati/pikiran). Tidak hanya perbuatan dan perkataan yang dicatat, tetapi niat terdalam di balik semua itu juga diketahui sepenuhnya.
Ayat 14 memuat pertanyaan retoris yang mendalam: "Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui?" Jawabannya jelas: mustahil Sang Pencipta tidak mengetahui segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Ini adalah bukti logis atas *Ilmu* (pengetahuan) Allah yang meliputi segala sesuatu.
Ayat ditutup dengan dua nama Allah yang agung: Al-Lathif (Maha Halus) dan Al-Khabir (Maha Mengetahui). *Al-Lathif* berarti pengetahuan-Nya begitu halus dan mendetail sehingga Dia mengetahui hal-hal yang paling tersembunyi, yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau indra manusia (misalnya, gerakan atom atau niat tersembunyi di hati). *Al-Khabir* menegaskan pengetahuan-Nya yang menyeluruh dan sempurna.
Ayat-ayat ini adalah fondasi bagi keikhlasan. Karena Allah mengetahui niat yang tersembunyi (Al-Lathif) dan seluruh isi hati (bidzatis Shudur), maka manusia tidak perlu berupaya mencari pujian dari makhluk. Satu-satunya motivasi sejati haruslah keridhaan Allah, yang merupakan manifestasi dari *Khauf bil Ghaib*.
Ayat ini kembali membawa perhatian kepada tanda-tanda kekuasaan Allah yang dekat, yaitu Bumi. Kata kunci di sini adalah ذَلُولًا (Dzalulan), yang berarti patuh, tunduk, atau mudah dijinakkan. Bumi telah diciptakan sedemikian rupa sehingga memungkinkan manusia untuk hidup, bertani, membangun, dan berlayar di atasnya. Jika bumi ini keras, beku, atau selalu bergejolak, kehidupan manusia tidak akan mungkin stabil.
Perintah "berjalanlah di segala penjurunya" adalah dorongan untuk bekerja, berdagang, meneliti, dan mengambil manfaat dari sumber daya yang tersedia. Ini adalah penegasan terhadap prinsip kerja keras dan pencarian rezeki yang halal. Namun, ayat ini ditutup dengan pengingat yang menyatukan seluruh surah: "Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan (An-Nushur)." Kenikmatan duniawi dan usaha mencari rezeki tidak boleh melupakan tujuan akhir: kebangkitan dan pertanggungjawaban.
Ayat-ayat ini menyajikan peringatan yang menakutkan, menunjukkan bahwa stabilitas bumi (Dzalulan) yang dijelaskan pada Ayat 15 adalah kemurahan, bukan hak. Allah mengajukan dua pertanyaan retoris yang menggugah: Apakah manusia merasa aman dari dua jenis bencana, dari bawah dan dari atas?
1. Ancaman dari Bawah (Ayat 16): Bencana penenggelaman ke dalam bumi (*yakhsifa bikumul ardh*), yang terjadi tiba-tiba dan bumi menjadi bergoncang (*tamur*). Ini merujuk pada gempa bumi, tanah longsor, atau bencana geologis yang tiba-tiba menelan kehidupan.
2. Ancaman dari Atas (Ayat 17): Badai batu (*hasiban*). Ini merujuk pada hukuman yang turun dari langit, seperti yang menimpa kaum-kaum terdahulu (misalnya, kaum Luth).
Kedua ancaman ini mengingatkan bahwa Dia yang menciptakan keteraturan jugalah yang mampu mengubahnya menjadi kehancuran seketika. Ayat 17 ditutup dengan ancaman: "Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat) peringatan-Ku (kyafa nadzir)." Ayat 18 menegaskan bahwa hukuman ini bukanlah ancaman kosong; kaum-kaum terdahulu yang mendustakan telah menyaksikan betapa hebatnya *Nakir* (kemurkaan dan hukuman) Allah.
Ayat 19 kembali kepada pengamatan alam. Burung yang terbang di udara, mengembang dan mengatupkan sayapnya, adalah mukjizat gravitasi dan aerodinamika yang dijaga oleh *Ar-Rahman*. Kekuatan yang menahan burung di udara adalah manifestasi dari pemeliharaan Allah, yang menunjukkan betapa mudahnya bagi-Nya untuk menahan atau melepaskan segala sesuatu. Ini menekankan bahwa keteraturan kosmik sepenuhnya bergantung pada kehendak-Nya.
Ayat 20 dan 21 mengajukan dua tantangan politik dan ekonomi kepada kaum musyrik:
Ironi terbesar adalah, meskipun bukti kekuasaan Allah begitu jelas, mereka "terus-menerus dalam kesombongan (utuww) dan menjauhi (nufur)" kebenaran. Mereka keras kepala dan lari dari hidayah, bahkan ketika sumber rezeki mereka terancam oleh Yang mereka ingkari.
Ayat 22 menggunakan perumpamaan yang kuat. Orang kafir diumpamakan sebagai orang yang berjalan "terjungkal di atas mukanya" (*mukibban 'ala wajhih*). Ini melambangkan kesulitan, kebingungan, dan ketidakmampuan melihat ke depan—hidup tanpa tujuan, terus-menerus jatuh dalam dosa dan kesesatan. Sementara itu, orang mukmin berjalan "tegak di atas jalan yang lurus" (*siraathim mustaqim*), yang melambangkan kejelasan tujuan, konsistensi moral, dan petunjuk yang pasti.
Perbedaan antara keduanya sangat kontras: yang satu dipenuhi kegagalan dan kekacauan (seperti yang ditunjukkan dalam nasib penghuni neraka), yang lain memiliki stabilitas dan arah yang benar, yang merupakan karunia dari petunjuk ilahi.
Ayat 23 mengingatkan manusia pada asal mula penciptaan (*ansha'akum*) dan karunia tiga indera dasar yang esensial untuk memperoleh hidayah: As-Sam'u (pendengaran, untuk menerima wahyu), Al-Abshar (penglihatan, untuk mengamati tanda-tanda alam), dan Al-Af’idah (hati/akal, untuk memahami dan merasakan). Sayangnya, Allah mencela manusia di akhir ayat: "Amat sedikitlah kamu bersyukur." Rasa syukur yang minim ini adalah akar dari pendustaan dan kesombongan mereka.
Ayat 24 menutup rangkaian tanda-tanda ini dengan merangkum siklus kehidupan: Allah menciptakan manusia dan membuatnya berkembang biak (*dzara'akum*) di bumi, dan akhirnya, hanya kepada-Nyalah mereka akan dikumpulkan (*tuhsyarun*). Ini mengulang tema pertanggungjawaban dari Ayat 2, menekankan bahwa penyebaran di bumi hanyalah fase sementara menuju hari pengumpulan yang abadi.
Ayat 25 mencatat ejekan kaum musyrik yang menanyakan waktu kedatangan Hari Kiamat. Pertanyaan ini sering diajukan bukan karena ingin tahu, melainkan sebagai bentuk penolakan dan keraguan terhadap kebenaran wahyu.
Jawaban dalam Ayat 26 tegas dan lugas: pengetahuan tentang waktu Kiamat mutlak milik Allah (Innamal 'ilmu 'indallah). Tugas Rasulullah SAW hanyalah Nadzirum Mubin (pemberi peringatan yang nyata). Ini mengajarkan prinsip teologis bahwa fokus manusia seharusnya bukan pada waktu, melainkan pada persiapan, karena kedatangannya adalah pasti.
Ayat 27 memberikan gambaran dramatis tentang kedatangan hari yang dinanti-nanti. Ketika mereka melihat hukuman (Zulfah—sudah dekat), wajah mereka berubah si'at wujuh (menjadi muram, gelap, dan dipenuhi kesedihan yang mendalam). Ejekan mereka di dunia berbalik menjadi kenyataan pahit di akhirat, di mana mereka disindir: "Inilah yang dahulu kamu tuntut-tuntut." Penyesalan tidak lagi berguna.
Ayat ini adalah tantangan yang menunjukkan bahwa nasib Rasul dan orang mukmin (hidup atau mati, diberi rahmat atau tidak) sepenuhnya berada di tangan Allah. Namun, yang paling penting bagi orang kafir bukanlah nasib Rasul, melainkan nasib mereka sendiri. Bahkan jika Allah mematikan Rasul-Nya, tidak ada satu pun kekuatan yang dapat Yujiru (melindungi atau menyelamatkan) orang kafir dari azab yang pedih. Ini kembali menekankan kelemahan dan ketidakberdayaan mereka di hadapan kekuasaan Allah.
Ayat ini adalah deklarasi keimanan yang tegas. Orang mukmin tidak bersandar pada kekuatan fisik atau rencana duniawi, melainkan pada *Ar-Rahman*—Yang Maha Pemurah, yang mengatur seluruh alam semesta. Dua pilar keimanan disebutkan: Iman (Kami beriman kepada-Nya) dan Tawakal (kepada-Nya kami berserah diri). Tawakal adalah tindakan hati yang mempercayakan semua urusan kepada Allah setelah berusaha keras (sesuai dengan prinsip *Ahsanul Amala*). Kontrasnya akan segera terbukti: di akhirat nanti, akan jelas siapa yang sesat dan siapa yang berada di atas kebenaran.
Surah ini ditutup dengan tantangan yang sangat praktis dan mendasar bagi kehidupan: air. Air adalah sumber kehidupan, dan di daerah gurun seperti Mekah, air adalah lambang rezeki dan keberlangsungan hidup (Ayat 21). Allah meminta manusia untuk merenungkan: jika sumber air tawar mereka (*ma'ukum ghauran*) tiba-tiba hilang, meresap ke dalam tanah dan tidak dapat diakses, siapakah yang dapat mengembalikan air yang mengalir (*ma'in ma'in*)?
Tantangan ini menyimpulkan seluruh tema surah. Kekuasaan Allah tidak hanya tecermin dalam menciptakan langit yang agung dan sempurna, tetapi juga dalam hal-hal terkecil yang menopang kehidupan sehari-hari manusia. Hanya Dia yang memiliki kedaulatan atas air, rezeki, hidup, dan mati. Ayat ini memaksa manusia untuk menyadari ketergantungan mutlak mereka kepada Sang Pencipta. Jika mereka tidak mampu menyediakan kebutuhan paling dasar (air), bagaimana mungkin mereka menyangkal kedaulatan Yang Mahakuasa?
Surah Al-Mulk dari ayat 1 hingga 30 adalah sebuah perjalanan spiritual dan logis yang komprehensif. Ia dimulai dengan deklarasi kedaulatan, menetapkan ujian kehidupan sebagai tujuannya, menyajikan bukti keagungan melalui kesempurnaan kosmos, memberikan peringatan keras tentang nasib para pendusta, dan memuji keutamaan mereka yang beribadah berdasarkan *Khauf bil Ghaib*.
Surah ini berulang kali menghubungkan ciptaan yang agung (langit dan bintang) dengan rezeki yang mendasar (bumi dan air), memastikan bahwa manusia tidak dapat melarikan diri dari kesimpulan logis bahwa hanya ada satu Tuhan yang berhak disembah dan diandalkan. Tujuan utama kajian ini adalah untuk membawa pembaca kepada kesadaran yang terus-menerus akan pengawasan ilahi, mendorong mereka untuk mencari *Ahsanul Amala*, dan mempersiapkan diri untuk hari kebangkitan yang kedatangannya tidak dapat dihindari.
Kekuatan Surah Al-Mulk terletak pada kesimpulan mutlaknya: Kerajaan hanyalah milik Allah, dan kesuksesan sejati adalah ketakutan yang tulus kepada-Nya di setiap waktu dan tempat.