Keadilan Mutlak: Tafsir Mendalam Surah Al-Maidah Ayat 8

Pilar Fundamental Iman: Keadilan di Atas Segala Rasa

Dalam khazanah ajaran Islam, Surah Al-Maidah ayat 8 berdiri sebagai salah satu fondasi etika dan moralitas tertinggi. Ayat ini bukan hanya sekadar anjuran, melainkan perintah tegas dari Allah SWT kepada kaum mukminin untuk menegakkan keadilan (al-qist), tanpa terkecuali, bahkan ketika hati diselimuti rasa kebencian atau permusuhan terhadap suatu kaum atau individu.

Ayat ini merumuskan prinsip universal yang melampaui batas-batas suku, agama, atau ideologi. Ia mengajarkan bahwa keadilan adalah suatu nilai objektif yang harus dipertahankan secara mutlak, terlepas dari perasaan subjektif yang mungkin memengaruhi penilaian manusia. Keadilan, dalam pandangan Islam, adalah manifestasi utama dari ketakwaan, dan inilah yang membuat ayat ini menjadi pembahasan yang sangat mendalam dalam disiplin tafsir dan fiqh.

Teks Suci dan Terjemahan

Untuk memahami kedalaman perintah ini, mari kita telaah lafazh suci dari Surah Al-Maidah ayat 8:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ilustrasi Timbangan Keadilan (Al-Qist) Sebuah timbangan mizan yang seimbang sempurna, melambangkan keadilan mutlak yang diperintahkan. AL-QIST

Tafsir Mendalam: Tiga Pilar Penegakan Keadilan

Para mufassir membagi ayat ini ke dalam tiga komponen perintah utama yang harus dipenuhi oleh setiap mukmin. Kepatuhan terhadap ketiga pilar ini menentukan kualitas keimanan seseorang dalam interaksi sosial dan hukum.

1. Pilar Pertama: Qawwamina Lillahi (Menegakkan Kebenaran Karena Allah)

Kata Qawwamina (قَوَّامِينَ) adalah bentuk mubalaghah (intensif) dari kata *qaa'im* (berdiri). Ini menunjukkan tindakan yang berkelanjutan, teguh, dan sungguh-sungguh. Ini bukan sekadar tindakan sesekali, melainkan sebuah sikap hidup, komitmen yang tak tergoyahkan.

2. Pilar Kedua: Shuhada'a Bil-Qishti (Menjadi Saksi dengan Adil)

Keadilan (Al-Qist) sering diartikan sebagai keseimbangan, proporsionalitas, dan pemberian hak kepada yang berhak. Dalam konteks kesaksian (*shuhada'a*), perintah ini menjamin integritas sistem hukum Islam.

3. Pilar Ketiga: Kontrol Atas Kebencian (Wala Yajrimannakum Shana'anu Qawmin)

Ini adalah inti etika revolusioner dari ayat 8. Allah melarang keras agar kebencian terhadap suatu kaum (shan’anu qawmin) tidak mendorong kita untuk bertindak tidak adil. Kata *shan’an* (شَنَآنُ) adalah bentuk kebencian yang mendalam, permusuhan yang berakar, sering kali timbul dari sejarah konflik atau perbedaan agama yang fundamental.

Larangan ini menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya emosi permusuhan dan konflik antar kelompok adalah realitas sosial. Namun, Islam menempatkan keadilan di atas emosi tersebut. Kebencian boleh ada sebagai perasaan, tetapi tidak boleh menjadi dasar atau pembenaran untuk penyimpangan hukum dan etika.

Sejumlah konteks historis yang diyakini melatarbelakangi turunnya ayat ini (Asbab al-Nuzul) berkaitan dengan konflik antara kaum Muslimin dan beberapa kabilah musyrikin yang telah berkhianat. Meskipun kaum Muslimin memiliki alasan kuat untuk membalas dendam atau bertindak curang, Allah memerintahkan mereka untuk tetap menegakkan keadilan, bahkan dalam situasi perang dan permusuhan yang paling intens sekalipun.

Puncak Etika: Adil Itu Lebih Dekat Kepada Takwa

Puncak dari perintah ini dirangkum dalam frasa yang sangat kuat: اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ (Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa).

Mengapa Keadilan Adalah Pintu Gerbang Takwa?

Keadilan (Al-Adl) adalah manifestasi eksternal dari Takwa (ketakutan atau ketaatan kepada Allah). Ketika seseorang mampu mengendalikan hawa nafsu dan kebenciannya demi menjalankan perintah Allah yang sulit—yaitu adil kepada musuh—saat itulah ia mencapai tingkat ketakwaan yang paling tinggi.

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ada dua jenis ketakwaan:

  1. Takwa Umum: Menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
  2. Takwa Khusus (Al-Qurb): Menjalankan perintah pada tingkat kesulitan tertinggi. Berbuat adil kepada sahabat adalah hal yang mudah; berbuat adil kepada musuh adalah ujian sejati ketakwaan.
Ketika seseorang mempraktikkan keadilan dalam situasi konflik, ia telah membuktikan bahwa ketaatannya kepada Allah lebih besar daripada loyalitasnya kepada kelompok atau perasaannya sendiri. Inilah yang menjadikan keadilan sebagai sifat yang 'paling dekat' dengan Takwa.

Ilustrasi Keseimbangan dan Ketegasan dalam Bersaksi Simbol seseorang yang berdiri tegak (Qawwamun) di atas fondasi yang kokoh, mengabaikan dorongan kebencian di sampingnya. Kebencian (Emosi) QAWWAMUN

Aplikasi Yuridis dan Jurisprudensi Fiqh

Perintah dalam Al-Maidah 5:8 tidak bersifat teoretis semata, melainkan memiliki implikasi hukum yang sangat konkret dalam fiqh (jurisprudensi Islam). Ayat ini menjadi dalil utama dalam berbagai bab hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum acara (Al-Qadha), hubungan internasional (Siyar), dan etika dagang.

1. Keadilan dalam Persidangan dan Kesaksian

Seorang hakim (qadhi) yang Muslim diwajibkan untuk menjatuhkan vonis berdasarkan bukti yang sah, tanpa memandang latar belakang terdakwa atau penggugat. Jika seorang Muslim dan non-Muslim bersengketa, keadilan harus ditegakkan seolah-olah kedua pihak adalah saudara seiman. Keengganan untuk bersaksi karena permusuhan pribadi atau kelompok dapat membatalkan validitas kesaksian tersebut.

Para fuqaha (ahli fiqh) dari berbagai mazhab sepakat bahwa jika seorang saksi memiliki permusuhan yang diketahui dan mendalam (al-'adawah), kesaksiannya terhadap musuhnya dapat ditolak, karena dikhawatirkan kebencian itu telah mengalahkan objektivitasnya, yang secara langsung melanggar perintah *Wala yajrimannakum shan’anu qawmin.*

2. Keadilan dalam Perang dan Hubungan Antar Negara (Siyar)

Prinsip keadilan tetap berlaku bahkan dalam kondisi peperangan. Ayat ini menolak konsep "tujuan menghalalkan cara."

3. Keadilan dalam Penilaian Ideologis dan Ilmiah

Dalam konteks modern, perintah adil juga berlaku dalam ranah intelektual. Ketika menilai pemikiran atau argumen dari kelompok yang berseberangan secara ideologis atau teologis (misalnya, aliran fiqh yang berbeda atau pandangan filsafat yang kontradiktif), seorang mukmin dilarang menolak kebenaran yang disampaikan hanya karena ia berasal dari pihak yang dibenci.

Sebagaimana pepatah Arab kuno: Al-Hikmah Dhalatul Mu’min (Hikmah adalah barang hilang milik mukmin); hikmah harus diterima dari siapapun datangnya, asalkan itu kebenaran. Ayat 5:8 memastikan bahwa dinding emosional tidak boleh menghalangi pengakuan terhadap kebenaran objektif.

Analisis Psikologis: Mengendalikan Shana'an (Kebencian)

Perintah untuk adil kepada musuh adalah salah satu perintah tersulit karena ia menantang kecenderungan alami psikologis manusia, yaitu bias kelompok (in-group bias). Manusia secara naluriah cenderung memihak kelompoknya dan mendiskreditkan kelompok lawan.

Sifat Dasar Shana'an

Kata Shana'an mengandung konotasi permusuhan yang berakar dan mendalam. Ini bukan sekadar ketidaksetujuan, melainkan kebencian yang kuat yang bisa mengaburkan akal sehat dan menggoyahkan prinsip kebenaran. Dalam situasi seperti ini, hati manusia mudah beralasan: "Karena mereka musuh Allah, kita boleh berlaku tidak adil terhadap mereka."

Ayat 5:8 secara tegas menutup pintu bagi rasionalisasi tersebut. Allah mengetahui bahwa kebencian memiliki kekuatan destruktif yang mampu menghancurkan fondasi moral masyarakat, sehingga Dia mewajibkan keadilan sebagai penawar tunggalnya.

Konflik Internal dan Ujian Iman

Ayat ini mengajarkan bahwa medan pertempuran utama bagi seorang mukmin bukanlah di luar, melainkan di dalam dirinya sendiri, dalam upayanya menaklukkan emosi negatif (kebencian) dengan perintah Ilahi (keadilan). Hanya dengan memenangkan pertarungan internal ini, keimanan seseorang menjadi sempurna dan mendekati ketakwaan.

Menurut para ahli tasawuf, ketaatan pada perintah ini adalah indikasi kualitas hati (qalbun salim). Seseorang yang mampu berlaku adil kepada orang yang membencinya atau orang yang dibencinya menunjukkan hati yang telah terbebas dari penyakit kedengkian, dan ia sepenuhnya tunduk pada iradah (kehendak) Allah.

Meluasnya Makna Al-Adl: Keseimbangan Kosmik

Konsep *Al-Adl* (Keadilan) yang diperintahkan dalam Al-Maidah 5:8 jauh lebih luas daripada sekadar keadilan di pengadilan. Keadilan mencakup tata kelola alam semesta (keseimbangan kosmik) hingga tata kelola diri sendiri.

1. Keadilan Terhadap Diri Sendiri (Adl Nafsi)

Meliputi pemenuhan hak-hak diri, seperti istirahat, kesehatan, dan menjaga spiritualitas, tanpa berlebihan atau meremehkan. Keadilan terhadap diri sendiri adalah menempatkan diri pada jalur yang dikehendaki Allah, yaitu jalan ketakwaan.

2. Keadilan Dalam Lingkungan Keluarga dan Sosial

Seorang suami harus adil terhadap istrinya, dan sebaliknya. Orang tua harus adil terhadap anak-anak mereka, tidak memihak satu anak atas anak lainnya. Dalam masyarakat, keadilan menuntut adanya kesetaraan hak di mata hukum dan distribusi sumber daya yang proporsional.

Mufassir kontemporer, Sayyid Qutb, menekankan bahwa keadilan sosial hanya dapat dicapai jika individu secara internal telah mencapai kesiapan moral untuk melepaskan kepentingan kelompok atau pribadi demi kebenaran. Jika keadilan ditegakkan bahkan terhadap musuh, maka keadilan terhadap sesama anggota masyarakat akan jauh lebih mudah tercapai.

Perbandingan Etika: Adl vs. Ihsan

Seringkali, Islam membedakan antara dua tingkat kebajikan: Al-Adl (Keadilan) dan Al-Ihsan (Kebaikan atau Keunggulan).

Meskipun Ihsan adalah tingkat spiritual yang lebih tinggi, Al-Maidah 5:8 menekankan pentingnya Adl karena Adl adalah fondasi masyarakat yang berfungsi. Tanpa Adl yang tegak, masyarakat akan runtuh. Ihsan adalah pilihan, tetapi Adl adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar. Ayat ini memastikan bahwa bahkan ketika kita tidak mampu mencapai Ihsan terhadap musuh, kita dilarang keras meninggalkan Adl.

Relevansi Kontemporer: Keadilan di Era Digital dan Polarisasi

Perintah Ilahi dalam Al-Maidah 5:8 relevan secara ekstrem dalam dunia yang ditandai oleh polarisasi ideologis, konflik politik, dan ‘perang’ informasi di media sosial.

Menghadapi Bias di Media Sosial

Di era digital, *shan’anu qawmin* (kebencian terhadap suatu kaum) termanifestasi dalam bentuk ‘echo chambers’ atau kamar gema, di mana informasi yang memojokkan kelompok lawan disebarkan tanpa verifikasi. Keadilan menuntut seorang mukmin untuk:

  1. Verifikasi (Tabayyun): Tidak menerima atau menyebarkan tuduhan terhadap kelompok lawan tanpa bukti yang kuat.
  2. Penilaian Objektif: Mengakui kebenaran atau prestasi yang dilakukan oleh pihak yang tidak disukai.
  3. Tuntutan Adil: Menuntut hukuman yang adil bagi pelanggar, terlepas dari apakah pelanggar tersebut berasal dari kelompok sendiri atau kelompok lawan.

Politik dan Kepemimpinan

Bagi pemimpin, keadilan adalah amanah terberat. Ia harus memastikan bahwa kebijakan dan keputusan yang dibuat tidak didasarkan pada balas jasa politik atau sentimen kelompok pendukung, melainkan pada prinsip kebenaran dan kesejahteraan umum (maslahah ‘ammah). Keadilan menuntut bahwa hak minoritas harus dilindungi, meskipun mereka adalah kelompok yang berseberangan secara pandangan mayoritas.

Mempertahankan Kedudukan Keadilan Ilahi

Surah Al-Maidah ayat 8 adalah pedoman etika yang bersifat abadi dan mengikat. Ayat ini menggarisbawahi beberapa poin penting yang harus dihayati oleh setiap Muslim:

Pertama, Keseimbangan Motif: Segala tindakan keadilan harus dilakukan lillahi. Begitu motif keadilan bergeser menjadi motif pribadi, politik, atau kepentingan duniawi, maka ia kehilangan nilai ketakwaannya.

Kedua, Kekuatan Emosi: Ayat ini mengakui adanya kebencian (shan’an) sebagai faktor psikologis, tetapi secara mutlak menolak kebencian tersebut menjadi pemandu tindakan hukum dan moral.

Ketiga, Definisi Takwa: Keadilan kepada musuh adalah penanda kedekatan spiritual tertinggi dengan Allah. Ini adalah tolok ukur sejati ketakwaan seseorang, yang melampaui ritual ibadah semata.

Dalam konteks global yang semakin kompleks, di mana narasi seringkali didominasi oleh bias dan permusuhan, perintah untuk "Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa" berfungsi sebagai mercusuar moral. Ia menantang kita untuk melampaui batasan emosi dan berdiri teguh sebagai penegak kebenaran objektif, meneladani sifat Al-Adl (Yang Maha Adil) milik Allah SWT.

Ketegasan dalam penegakan keadilan tanpa pandang bulu merupakan esensi dari tugas kenabian dan risalah Ilahi. Para Nabi diutus untuk menegakkan keadilan, dan Umat Muslim diperintahkan untuk melanjutkan tugas ini, menjadikan mereka umat yang berada di pertengahan (*ummatan wasathan*), yang bersaksi atas keadilan di hadapan seluruh umat manusia.

Kajian mendalam terhadap setiap kata dalam ayat ini, dari *qawwamun* (keteguhan intensif) hingga *aqrabu lit-taqwa* (puncak ketakwaan), memastikan bahwa tidak ada ruang abu-abu dalam masalah keadilan. Ia adalah hitam atau putih, ditegakkan atau ditinggalkan. Memilih untuk menegakkannya, bahkan ketika hati terasa berat oleh permusuhan, adalah jalan menuju keridhaan dan rahmat Ilahi.

🏠 Kembali ke Homepage