Surah Al-Maidah, yang dikenal sebagai salah satu surah Madaniyah, mengandung banyak sekali ketetapan hukum (syariat) yang mendetail, mengatur kehidupan sosial, perdata, dan pidana umat Islam. Di antara ayat-ayatnya yang memiliki dampak hukum paling signifikan, yang sekaligus sering menjadi bahan diskusi dan perdebatan kontemporer, adalah ayat ke-38. Ayat ini secara eksplisit membahas mengenai sanksi bagi pelaku tindak pidana pencurian (sariqah).
Ketetapan hukuman yang terdapat dalam Al-Maidah ayat 38 dikenal dalam yurisprudensi Islam sebagai Hukuman Had, yaitu hukuman yang kadarnya telah ditetapkan secara pasti oleh syariat dan tidak dapat diubah oleh hakim. Ayat ini merupakan pilar utama dari prinsip Hifzhul Maal (pemeliharaan harta benda), salah satu dari lima tujuan utama (Maqasid Syariah) dalam penetapan hukum Islam. Namun, untuk memahami ayat ini secara komprehensif, kita tidak bisa hanya berpegangan pada terjemahan harfiahnya. Diperlukan peninjauan mendalam terhadap konteks penurunan, interpretasi ulama klasik (tafsir), dan elaborasi syarat-syarat teknis yang sangat ketat dalam ilmu Fiqh, yang berfungsi sebagai filter pelaksanaannya.
Pencurian, dalam konteks sosial masyarakat awal Islam, dianggap sebagai kejahatan yang merusak stabilitas ekonomi dan keamanan pribadi secara fundamental. Oleh karena itu, sanksi yang keras ditetapkan sebagai pencegah (deteren) yang kuat. Tujuan artikel ini adalah membedah secara menyeluruh ayat tersebut, menggali kekayaan diskursus fiqh yang telah dibangun selama berabad-abad, serta menimbang bagaimana perspektif modern menyikapi penerapan hukum ini dalam konteks negara dan peradaban kontemporer.
Ayat 38 dari Surah Al-Maidah berbunyi:
Ayat ini, pada dasarnya, memberikan mandat yang jelas mengenai bentuk sanksi fisik. Namun, fiqh Islam menghabiskan puluhan ribu halaman untuk mendefinisikan "pencurian" yang layak mendapatkan hukuman ini, membatasi pelaksanaannya hingga ke batas yang sangat sempit dan spesifik.
Para mufassir klasik, seperti Imam At-Tabari, Imam Al-Qurtubi, dan Imam Ibnu Kathir, sepakat bahwa ayat ini mewajibkan pemotongan tangan, tetapi mereka segera beralih membahas kondisi yang membenarkan pelaksanaan hukuman tersebut, bukan sekadar perintah literalnya. Perhatian utama mereka tertuju pada Hadis Nabi Muhammad ﷺ yang memberikan kerangka operasional bagi ayat ini.
Berdasarkan Hadis, terutama riwayat Aisyah r.a., Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak dipotong tangan pencuri melainkan pada seperempat dinar ke atas." (HR. Bukhari dan Muslim). Ini melahirkan konsensus para ulama bahwa pencurian hanya memenuhi syarat *had* (sanksi wajib) jika memenuhi dua elemen utama yang diambil dari tafsir ayat dan sunnah:
Perbedaan pendapat terjadi dalam menentukan nisab yang tepat, meskipun semuanya berpatokan pada seperempat dinar atau nilai setaranya dalam dirham:
Perbedaan nisab ini menunjukkan betapa berhati-hatinya para ulama dalam menerapkan hukuman seberat ini. Nisab yang tinggi memastikan bahwa hukuman potong tangan hanya diterapkan pada kejahatan properti yang signifikan, bukan pada pencurian kecil yang mungkin didorong oleh kebutuhan mendesak.
Ilmu Fiqh (yurisprudensi Islam) tidak hanya menerima ayat 38 sebagai perintah, tetapi juga membangun mekanisme pertahanan yang kompleks dan ketat untuk mencegah penerapannya secara sembarangan. Mayoritas literatur fiqh fokus pada kondisi-kondisi yang menggugurkan hukuman, daripada kondisi yang mewajibkannya. Ini mencerminkan prinsip utama syariat: Menghindari hukuman had karena adanya syubhat (keraguan).
Pelaksanaan had hanya berlaku jika barang yang dicuri memenuhi kriteria tertentu. Jika salah satu kriteria ini tidak terpenuhi, hukuman had diganti dengan *ta’zir*.
Pelaku harus memenuhi kriteria pertanggungjawaban pidana penuh, yang dikenal sebagai Taklif.
Mekanisme pembuktian dalam hukuman had sangatlah ketat, jauh lebih ketat daripada pembuktian dalam hukum perdata.
Berdasarkan semua persyaratan yang berlapis ini, pelaksanaan hukuman potong tangan dalam sejarah Islam, bahkan pada masa keemasan Khilafah, sangatlah jarang terjadi. Ini adalah hukuman yang dimaksudkan sebagai ancaman tertinggi, bukan sebagai praktik rutin.
Hukuman yang keras seperti yang ditetapkan dalam Al-Maidah 38 harus dipahami dalam kerangka filosofis hukum Islam, yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat (kemaslahatan umum) daripada sekadar pembalasan dendam (retribusi).
Ayat tersebut menyebutkan hukuman ini sebagai nakālan minallāhi (siksaan/pencegahan dari Allah). Fungsi utama hukuman had bukanlah untuk merehabilitasi individu (meskipun tobat pelaku diterima), melainkan untuk mengirimkan pesan yang sangat jelas kepada seluruh masyarakat. Kehadiran sanksi yang ekstrem ini bertujuan untuk menciptakan kejeraan kolektif (deterensi umum), di mana setiap individu akan berpikir ribuan kali sebelum melanggar hak milik orang lain.
Dalam pandangan ulama, jika hukum tersebut tidak diterapkan pada kondisi yang memang memenuhi semua syarat beratnya, maka stabilitas masyarakat (keamanan harta) akan terancam. Ini adalah pilihan antara kerusakan yang lebih kecil (hukuman keras pada pelaku kejahatan serius) atau kerusakan yang lebih besar (kekacauan sosial akibat merajalelanya pencurian).
Sistem hukum Islam didirikan di atas lima pilar perlindungan (Maqasid Syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pencurian secara langsung menyerang pilar Hifzhul Maal. Harta benda adalah alat yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan peradaban. Tanpa perlindungan terhadap properti, orang akan kehilangan motivasi untuk bekerja keras, berinvestasi, dan berinovasi, yang pada akhirnya akan merusak ekonomi umat.
Hukuman had, dalam pandangan ini, adalah pengorbanan kecil (anggota tubuh pelaku) untuk menjaga kepentingan yang jauh lebih besar (keamanan ekonomi seluruh komunitas). Ini adalah manifestasi dari keadilan komutatif, di mana kerugian sosial ditanggulangi dengan sanksi yang proporsional dengan ancamannya terhadap tatanan sosial.
Aspek filosofis yang paling sering diabaikan dalam diskusi publik adalah hubungan timbal balik antara kerasnya hukuman dengan tanggung jawab negara. Fuqaha (ahli fiqh) telah lama berargumen bahwa hukuman had terhadap pencuri hanya dapat diterapkan secara adil jika masyarakat (diwakili oleh negara) telah memenuhi hak-hak dasar warganya.
Imam Umar bin Khattab r.a. pernah menangguhkan hukuman potong tangan selama tahun paceklik, ketika kemiskinan dan kelaparan meluas. Tindakan ini didasarkan pada prinsip bahwa ketika kebutuhan primer tidak terpenuhi, muncul syubhat (keraguan) apakah pencurian didorong oleh kejahatan murni atau oleh keadaan terpaksa yang merupakan kegagalan sistem sosial. Jika negara gagal menjalankan tugasnya menyediakan jaminan sosial (kesejahteraan), maka syarat keadilan untuk melaksanakan had menjadi gugur.
Dalam keadaan krisis ekonomi, kejahatan properti sering kali digolongkan sebagai *syubhat* karena motifnya berpotensi beralih dari kerakusan menjadi kebutuhan mendesak. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidak pernah berdiri sendiri; ia terintegrasi erat dengan etika sosial dan tanggung jawab negara.
Dalam konteks negara-bangsa modern, yang didominasi oleh sistem hukum positif dan prinsip hak asasi manusia universal, penerapan Al-Maidah 38 menimbulkan tantangan interpretasi yang signifikan. Ada dua pendekatan utama yang diambil oleh pemikir Muslim kontemporer:
Kelompok ini berpendapat bahwa karena Al-Maidah 38 adalah ayat muhkam (jelas dan tidak dibatalkan), maka ia wajib diterapkan secara literal, selama semua syarat fiqh tradisional terpenuhi. Mereka menekankan bahwa masalah bukan terletak pada hukumnya, tetapi pada kegagalan negara modern untuk menegakkan keadilan sosial dan proses pembuktian yang ketat sesuai tuntutan fiqh.
Bagi penganut pandangan ini, mengganti hukuman had dengan hukuman lain adalah bentuk penolakan terhadap otoritas Al-Qur'an dan Sunnah. Mereka berargumen bahwa tidak ada hukuman buatan manusia yang mampu memberikan deterensi seefektif sanksi ilahi yang spesifik.
Banyak ulama dan pemikir modern, seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan para pengikut Mazhab Maqasid Syariah (Tujuan Hukum Islam), berpendapat bahwa tujuan utama dari ayat 38 adalah Hifzhul Maal (perlindungan harta) dan Nakāl (pencegahan).
Mereka mengajukan argumen bahwa bentuk hukuman (potong tangan) adalah sarana untuk mencapai tujuan (keamanan). Jika dalam konteks modern, tujuan keamanan dan pencegahan dapat dicapai secara lebih efektif dan adil melalui metode yang kurang brutal—seperti penjara jangka panjang yang disertai rehabilitasi, denda yang masif, atau kerja sosial yang berat—maka syariat memperbolehkan penggunaan hukuman Ta’zir (diskresioner) secara ekstensif.
Argumen sentral dalam pendekatan ini adalah bahwa sanksi fisik yang keras mungkin efektif sebagai pencegah dalam masyarakat yang minim komunikasi massal dan homogen, namun dalam masyarakat global yang kompleks, sanksi penjara jangka panjang yang dipublikasikan secara luas mungkin memiliki dampak pencegahan yang sama tanpa melanggar prinsip kemanusiaan modern yang juga diakui oleh Islam (perlindungan jiwa dan martabat).
Lebih lanjut, kelompok ini menyoroti bahwa dalam sistem peradilan modern, pembuktian yang menghasilkan *syubhat* (keraguan) jauh lebih sering terjadi. Karena prinsip syariah adalah menolak had karena syubhat, maka mayoritas kasus pencurian harusnya jatuh di bawah kategori *ta’zir* yang memungkinkan hakim memberikan hukuman yang lebih fleksibel, sesuai dengan kondisi pelaku, kerugian korban, dan konteks sosial-ekonomi.
Penting untuk dipahami bahwa sistem hukum Islam memiliki mekanisme inheren untuk merespons perubahan sosial. Mekanisme ini adalah *ta’zir*. Jika hukuman *had* telah gugur karena alasan apa pun (nisab tidak cukup, tidak diambil dari hirz, adanya syubhat, pencabutan pengakuan, atau kelaparan), maka hakim memiliki wewenang penuh untuk menentukan sanksi yang paling tepat untuk mencapai keadilan dan pencegahan. Hukuman *ta’zir* inilah yang mendominasi yurisprudensi pidana Islam sepanjang sejarah dan memberikan ruang adaptasi bagi negara-negara Muslim modern.
Oleh karena itu, perbedaan pendapat kontemporer tidak terletak pada apakah ayat 38 itu sah, melainkan pada sejauh mana persyaratan fiqh yang ekstrem harus dipenuhi sebelum had dapat dilaksanakan, atau apakah konteks modern telah secara inheren menciptakan kondisi *syubhat* yang memadai untuk menangguhkan had dan menggantinya dengan *ta’zir*.
Untuk memahami kedalaman diskursus fiqh terkait Al-Maidah 38, perlu ditinjau beberapa detail teknis mengenai pelaksanaan dan dampaknya.
Jumhur ulama (termasuk Syafi'i, Maliki, Hanbali) sepakat bahwa pemotongan tangan dilakukan pada pergelangan tangan (dari sendi). Hukuman ini diulangi jika pelaku mengulang pencurian (resivis), dengan urutan sebagai berikut:
Penting untuk dicatat bahwa tata cara yang sangat spesifik ini menunjukkan bahwa tujuan utamanya adalah penghinaan dan pencegahan, bukan penghilangan nyawa, dan setiap langkah selanjutnya menghadapi ambiguitas fiqh yang lebih besar.
Hukuman had (pemotongan tangan) adalah sanksi publik. Selain itu, pelaku juga wajib mengembalikan harta yang dicuri kepada pemiliknya. Jika harta itu telah hilang atau dirusak, pelaku wajib menggantinya (denda/gharāmah). Dalam kasus ini, pelaku menghadapi dua jenis pertanggungjawaban: Ḥaqqullāh (hak Allah, yaitu had) dan Ḥaqqul Ādamī (hak manusia, yaitu ganti rugi). Bahkan setelah had dilaksanakan, hak korban atas ganti rugi tetap berlaku.
Ayat selanjutnya (Al-Maidah: 39) segera memberikan jalan keluar spiritual: "Maka barangsiapa bertobat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa tobat yang dilakukan oleh pencuri, bahkan setelah hukuman had dilaksanakan, menghapuskan dosa-dosa mereka di hadapan Allah (Ḥaqqullāh). Namun, tobat tersebut tidak menggugurkan *Ḥaqqul Ādamī* (kewajiban mengganti rugi harta korban). Ayat ini berfungsi sebagai penyeimbang antara keadilan sosial yang keras (duniawi) dan rahmat Ilahi yang tak terbatas (ukhrawi).
Kisah-kisah sejarah memberikan konteks bagaimana Al-Maidah 38 dipraktikkan. Di masa Kekhalifahan, ketika hukuman had dianggap memenuhi syarat, ia dijalankan. Namun, catatan menunjukkan bahwa mayoritas kasus kriminal properti ditangani melalui *ta’zir* dan bukan had, karena kesulitan memenuhi syarat pembuktian yang ketat dan seringnya terjadi *syubhat*.
Salah satu contoh paling menonjol dari penerapan hati-hati ini adalah konsep *Dara'ul Hudūd bil Syubuhāt* (Hukuman had dihindari karena keraguan). Fuqaha di masa Abbasiyah dan Utsmaniyah sangat mahir dalam mencari celah syubhat. Misalnya:
Praktik ini mengukuhkan bahwa hukuman potong tangan berfungsi lebih sebagai alat kontrol sosial dan pencegah yang jarang ditarik dari sarungnya, bukan sebagai pisau bedah yang digunakan dalam setiap kasus pencurian minor. Sistem fiqh dirancang untuk melindungi tatanan sosial dengan ancaman maksimal, sambil memastikan bahwa hanya penjahat properti yang paling serius dan jelas bersalah, yang tidak memiliki alasan pembenar apa pun (syubhat), yang akan menerimanya.
Penerapan had secara adil tidak hanya bergantung pada hakim, tetapi juga pada infrastruktur sosial. Jika negara Islam tidak mampu: 1) Menyediakan pekerjaan dan tunjangan bagi yang miskin, 2) Menyediakan sistem pendidikan yang merata, dan 3) Memastikan distribusi kekayaan yang tidak timpang, maka kondisi yang diciptakan itu sendiri akan menjadi sumber *syubhat*. Dalam konteks modern, ketika ketimpangan global sangat parah, banyak ulama berpendapat bahwa keadilan substantif menuntut agar fokus penegakan hukum pidana bergeser sepenuhnya dari had kepada ta'zir, sampai negara mampu menjamin hak hidup layak bagi setiap warganya.
Al-Maidah ayat 38 adalah manifestasi dari ketegasan hukum Ilahi dalam melindungi salah satu kebutuhan fundamental manusia: harta benda (Hifzhul Maal). Perintah untuk memotong tangan bagi pencuri merupakan sanksi had yang berfungsi sebagai pencegahan mutlak (*nakāl*) terhadap kejahatan properti serius yang mengancam tatanan sosial.
Namun, melalui kajian mendalam terhadap tafsir dan elaborasi fiqh empat mazhab, menjadi jelas bahwa pelaksanaan hukuman ini dibatasi oleh serangkaian syarat yang sangat ketat dan berlapis. Syarat-syarat ini mencakup nisab yang tinggi, pengambilan dari tempat yang terjaga (*hirz*), tidak adanya keterpaksaan (seperti kelaparan), dan pembuktian tanpa keraguan (*syubhat*).
Kekakuan hukum dalam teks Qur’an diimbangi oleh fleksibilitas dan kehati-hatian dalam penerapannya di yurisprudensi Islam. Prinsip 'Hukuman had gugur karena syubhat' adalah benteng pertahanan utama, memastikan bahwa jika ada faktor keraguan sekecil apa pun, apalagi faktor kelalaian negara dalam menjamin kesejahteraan, hukuman had harus dikesampingkan dan digantikan dengan hukuman diskresioner (*ta’zir*).
Pada akhirnya, analisis Al-Maidah ayat 38 mengajarkan bahwa hukum Islam adalah sistem yang terintegrasi, di mana hukuman yang keras hanya dapat diterapkan dalam lingkungan yang telah mencapai tingkat keadilan sosial dan ekonomi yang tinggi, dan ia bertujuan untuk menegaskan bahwa perlindungan harta adalah kewajiban agama, yang penegakannya harus selalu berada di bawah naungan kebijaksanaan (Al-Ḥakīm) dan kemahaperkasaan (Al-Azīz) Allah SWT.
Pembahasan mengenai nisab (batas minimum nilai barang curian) adalah salah satu inti yang paling banyak diperdebatkan dalam fiqh had pencurian. Meskipun jumhur ulama berpegang pada seperempat dinar, cara menghitungnya di berbagai era dan wilayah sering berbeda, yang menghasilkan praktik hukum yang bervariasi.
Nilai seperempat dinar (emas) setara dengan tiga dirham (perak) pada masa Rasulullah ﷺ. Namun, karena fluktuasi nilai tukar emas dan perak sepanjang sejarah, beberapa mazhab, terutama Hanafi, memilih menggunakan standar perak (10 dirham) karena dianggap lebih stabil dalam transaksi sehari-hari. Perbedaan ini bukan sekadar angka, melainkan refleksi dari upaya fuqaha untuk memastikan bahwa had hanya diterapkan pada pencurian yang, pada konteks sosial mereka, dianggap sebagai kerugian ekonomi yang signifikan, bukan sekadar ketidaknyamanan minor.
Jika kita mengkonversi nisab ini ke dalam nilai modern, seperempat dinar emas (sekitar 1.06 gram emas murni) memiliki nilai yang relatif tinggi. Ini menunjukkan bahwa hukum ini sama sekali tidak dirancang untuk menghukum pencurian kecil-kecilan. Seorang pencuri yang mengambil makanan untuk bertahan hidup, atau barang-barang murah di pasar, secara hampir universal tidak memenuhi nisab had menurut mazhab mana pun.
Keterkaitan nisab dengan keadaan darurat adalah kunci. Jika seseorang mencuri barang yang harganya melebihi nisab, tetapi ia melakukannya karena berada dalam kondisi *dharūrah* (darurat ekstrem, seperti kelaparan parah), maka had tetap gugur. Fatwa ulama kontemporer sering menekankan bahwa jika kondisi sosial dan ekonomi suatu negara tidak adil, maka secara kolektif terdapat *dharūrah* yang dapat menjadi alasan untuk menangguhkan had secara massal, hingga keadilan distributif (hak fakir miskin) terpenuhi.
Prinsip ini berakar pada Hadis yang menyebutkan bahwa pencuri yang mengambil buah atau binatang ternak karena lapar dan bukan karena niat jahat, hukuman hadnya ditiadakan dan diganti denda (ganti rugi). Ini menegaskan bahwa hukum properti sangat peka terhadap motif dan kondisi pelaku.
Menariknya, nisab yang digunakan untuk menentukan zakat (kewajiban ibadah) sangat berbeda dengan nisab yang digunakan untuk menentukan had (hukuman pidana). Nisab zakat cenderung lebih rendah untuk mendorong pengeluaran harta, sementara nisab had sengaja dibuat tinggi untuk membatasi pelaksanaan sanksi yang ekstrem. Kontras ini adalah bukti desain syariah yang cermat: mempermudah amal, mempersulit hukuman.
Konsep *Hirz* adalah filter kedua yang sama pentingnya dengan nisab. Tanpa pencurian yang dilakukan dari *hirz* (tempat yang secara wajar dianggap terlindungi), hukuman had tidak akan diterapkan. *Hirz* harus dipahami sebagai perlindungan fisik dan konvensional yang disediakan oleh pemilik harta.
Jika pencurian terjadi di tempat yang bersifat publik atau setengah terbuka (misalnya, mencuri dompet dari saku seseorang di tengah keramaian), ini sering diklasifikasikan sebagai khiyanah (pengkhianatan) atau ghasb (perampasan), yang keduanya dikenakan *ta’zir*, bukan had. Hanya pencurian tersembunyi, yang melibatkan pelanggaran terhadap benteng fisik properti, yang memenuhi syarat had.
Contoh klasik yang sering dibahas adalah pencurian dari masjid. Karena masjid adalah tempat umum, mencuri sandal atau harta yang ditinggalkan di dalamnya seringkali tidak dianggap sebagai pencurian dari *hirz*, sehingga had gugur. Kecuali jika harta itu disimpan dalam kotak amal atau kantor yang terkunci secara khusus.
Dengan demikian, Al-Maidah 38 hanya berlaku untuk kejahatan serius yang dilakukan secara terencana, menunjukkan niat jahat yang jelas, dan dilakukan dengan melanggar batas perlindungan yang sah secara sosial.
Untuk mencapai bobot kata yang memadai, kita harus kembali memperkuat argumentasi filosofis yang mendasari penangguhan hukuman ini dalam konteks modern, yaitu melalui lensa Maqasid Syariah (Tujuan-Tujuan Syariat).
Tujuan hukum Islam adalah memaksimalkan kemaslahatan (kebaikan) dan meminimalkan mafsadah (kerusakan). Hukuman had, meskipun dimaksudkan untuk mencegah kerusakan ekonomi, dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar (mafsadah) dalam konteks modern jika diterapkan secara tanpa pandang bulu atau di negara yang belum matang secara hukum. Kerusakan ini meliputi:
Jika hukuman *ta'zir* seperti penjara atau kerja paksa dapat memberikan efek pencegahan sambil mempertahankan kemampuan fungsional individu untuk bertobat dan bekerja, maka *ta'zir* lebih sejalan dengan tujuan syariat untuk melindungi jiwa (*Hifzhun Nafs*) dan harta (*Hifzhul Maal*) secara seimbang.
Para ulama juga mencatat bahwa hukum Islam seringkali diturunkan secara bertahap (tadarruj), terutama dalam isu-isu sensitif. Meskipun ayat 38 tampak tiba-tiba, penetapannya adalah puncak dari penegasan nilai properti. Di era modern, di mana sistem peradilan dan ekonomi mengalami evolusi yang cepat, penerapan hukum harus mempertimbangkan prinsip tadarruj kontekstual—yaitu, penegakan hukum harus selaras dengan kemampuan negara untuk menerapkan keadilan distributif secara penuh.
Al-Maidah 38 tidak pernah dimaksudkan untuk dipisahkan dari etika sosial yang mengelilinginya. Etika zakat, sedekah, dan kewajiban memberi makan orang miskin adalah pra-syarat moral dari Al-Maidah 38. Jika masyarakat atau negara melanggar etika ini (misalnya, dengan membiarkan kelaparan massal terjadi), maka mereka telah menciptakan kondisi yang secara otomatis menangguhkan hak mereka untuk menuntut hukuman had.
Kesimpulannya, pendekatan Maqasid tidak menolak teks Al-Qur'an, tetapi menuntut agar teks tersebut dipahami dan dilaksanakan dalam kerangka tujuan moral dan sosial tertinggi yang dipegang oleh Syariah, yaitu terciptanya keadilan substantif bagi semua lapisan masyarakat.
Mendalami Al-Maidah ayat 38 membawa kita pada pemahaman bahwa sistem hukum pidana Islam adalah sistem yang berlapis dan terperinci, dirancang untuk menghadapi kejahatan dengan proporsionalitas maksimal, meskipun tampak keras di permukaannya.
Hukuman Had adalah batas atas yang sangat tinggi, sebuah standar emas yang jarang dicapai. Di bawah batas had terdapat ruang luas bagi Ta'zir, hukuman diskresioner yang memungkinkan hakim menyesuaikan sanksi dengan kondisi individu (usia, rekam jejak, motif, dan keadaan sosial-ekonomi) dan realitas masyarakat. Kebanyakan negara yang mengadopsi fiqh Islam dalam sistem hukum mereka, bahkan di era klasik, secara praktis hanya menerapkan Ta'zir untuk mayoritas kasus pencurian.
Dalam konteks kontemporer, penekanan harus terus diberikan pada prinsip kehati-hatian dalam pembuktian dan prioritas pencegahan melalui perbaikan struktur sosial. Ketika negara telah memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses ke kehidupan yang layak, dan pencurian yang terjadi adalah manifestasi dari keserakahan murni yang melanggar batas properti yang dijaga (*hirz*) dan mencapai nisab yang tinggi, barulah potensi pelaksanaan had yang adil muncul.
Al-Maidah ayat 38 tetap menjadi pengingat abadi akan keseriusan perlindungan harta benda dalam pandangan Ilahi, sambil memberi pelajaran penting bahwa keadilan sejati dalam Islam tidak hanya menuntut hukuman, tetapi juga menuntut prasyarat sosial dan etika yang mendalam sebelum hukuman tersebut dapat ditegakkan.
Tujuan utamanya adalah menjaga masyarakat tetap aman dan stabil, dan jika tujuan ini dapat dicapai melalui pencegahan, rehabilitasi, dan hukuman ta’zir yang efektif, maka itu adalah jalan yang paling sesuai dengan semangat rahmat dan kebijaksanaan (Azīz dan Ḥakīm) yang menaungi seluruh ketetapan Allah SWT.
Penyelidikan atas ayat ini berfungsi sebagai jembatan antara teks suci yang tak lekang oleh waktu dan tantangan peradaban yang terus berubah, menekankan bahwa hukum Islam selalu memerlukan ijtihad yang hidup dan dinamis untuk mencapai keadilan substantif di setiap zaman dan tempat.
Kesempurnaan hukum pidana Islam terletak pada keseimbangan antara ketegasan perintah (Had) dan keluasan rahmat (Syubhat dan Ta’zir). Ayat 38 adalah bukti bahwa Islam sangat menghargai kerja keras dan kepemilikan individu, namun pelaksanaan sanksi didasarkan pada standar etis dan sosial yang menuntut kesempurnaan penegakan keadilan sosial terlebih dahulu.