Analisis Komprehensif Surah Al-Maidah Ayat 44

Pedoman Hukum, Akidah, dan Konsekuensi Meninggalkan Syariat Allah

Pendahuluan: Gravitas Ayat Penentu Hukum

Surah Al-Maidah, ayat 44, merupakan salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang memiliki bobot teologis dan yuridis yang luar biasa. Ayat ini secara eksplisit membahas konsekuensi bagi mereka yang memutuskan perkara atau menjalankan sistem hidup tidak berdasarkan wahyu yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Redaksi ayat ini sangat tegas, mengaitkan tindakan meninggalkan hukum Allah dengan predikat kekafiran (*al-kufr*).

Dalam sejarah tafsir Islam, tidak ada ayat yang lebih sering menjadi fokus perdebatan antara mazhab-mazhab akidah selain ayat ini, khususnya dalam menentukan batasan antara dosa besar dan kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari lingkup Islam. Untuk memahami substansi ayat ini secara utuh, diperlukan penyelaman mendalam terhadap konteks pewahyuan (*Asbabun Nuzul*), pandangan ulama klasik dan kontemporer, serta implikasinya terhadap konsep iman (*Iman*) dan kekafiran (*Kufr*).

Ayat ini tidak hanya berbicara kepada para hakim atau penguasa, tetapi kepada seluruh umat Islam mengenai kewajiban mendasar untuk menjadikan Syariat Allah sebagai satu-satunya sumber otoritas hukum dan moral tertinggi. Analisis terhadap kata kunci seperti "apa yang diturunkan Allah" (*ma anzalallah*) dan "orang-orang kafir" (*al-kafirun*) akan membimbing kita menuju pemahaman yang moderat dan sahih sesuai metodologi *Ahlus Sunnah wal Jama'ah*.

Teks Arab dan Terjemahan

إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِن كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

(Terjemahan) Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi). Dengan Taurat itulah Nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah memutuskan perkara di antara orang-orang Yahudi, dan demikian juga ulama-ulama mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Meskipun ayat ini memiliki makna universal yang mencakup umat Islam, konteks awalnya ditujukan kepada Bani Israil, khususnya pada masa Rasulullah ﷺ di Madinah. Riwayat-riwayat tentang *Asbabun Nuzul* menunjukkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan keengganan beberapa kelompok Yahudi Madinah untuk menerapkan hukum Taurat yang asli.

Menurut banyak ahli tafsir, termasuk Ibnu Jarir At-Tabari, kasus yang melatarbelakangi adalah hukuman bagi perzinahan (*zina*). Dalam Taurat, hukuman bagi pezina yang sudah menikah adalah rajam (dilempari batu hingga meninggal). Namun, di Madinah, suku-suku Yahudi, terutama dari kalangan bangsawan (seperti Bani Nadir), merasa hukuman ini terlalu berat dan seringkali mereka hanya menjatuhkan hukuman cambuk atau mempermalukan. Ketika terjadi kasus perzinahan di kalangan mereka, mereka datang kepada Nabi Muhammad ﷺ, berharap beliau memberikan hukuman yang lebih ringan daripada rajam, sehingga mereka bisa menjadikan keputusan Nabi sebagai dalih untuk tidak menerapkan hukum Taurat yang berat itu.

Allah kemudian menegaskan bahwa Taurat telah diturunkan sebagai petunjuk, dan siapa pun (termasuk Nabi, Rabi, dan ulama mereka) harus berhukum dengannya. Peringatan di akhir ayat 44, “Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir,” merupakan teguran keras terhadap praktik memilih-milih hukum dan menyembunyikan kebenaran demi kepentingan duniawi atau menghindari kesulitan hukuman.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun konteks awalnya spesifik, kaidah dalam Ushul Fiqh menyatakan: "Al-Ibrah bi umumil lafzhi la bi khususis sabab" (Pelajaran diambil dari keumuman redaksi, bukan dari kekhususan sebab). Oleh karena itu, hukum yang terkandung dalam ayat 44 berlaku umum bagi siapa saja, dari umat mana pun, yang enggan berhukum dengan wahyu Allah setelah ia diturunkan kepada mereka.

Tafsir Mendalam dan Analisis Terminologi Kunci

1. Fokus pada: وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ (Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah)

Ayat ini secara eksplisit mengaitkan tindakan memutuskan perkara (*yahkum*) dengan hukum yang diturunkan Allah (*ma anzalallah*). Kata "hukum" di sini tidak hanya berarti keputusan pengadilan formal, tetapi juga mencakup seluruh sistem perundang-undangan, tata kelola, dan keyakinan yang memandu kehidupan individu dan kolektif. Hukum Allah mencakup seluruh syariat, baik dalam aspek ibadah (*ma'ruf*), muamalah, pidana (*hudud*), maupun tata negara.

Penolakan terhadap *ma anzalallah* bisa terjadi dalam dua bentuk utama yang akan menentukan tingkat kekafiran pelakunya:

  • Penolakan I'tiqadi (Keyakinan): Menolak validitas hukum Allah, menganggapnya usang, tidak relevan, atau berkeyakinan bahwa hukum buatan manusia lebih baik, adil, atau lebih sesuai zaman.
  • Penolakan Amali (Tindakan): Mengakui bahwa hukum Allah adalah benar dan terbaik, tetapi karena hawa nafsu, suap, atau kepentingan politik, ia sengaja memutuskan perkara yang bertentangan dengan hukum tersebut.

2. Analisis Kritis: فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir)

Inilah inti perdebatan. Apakah predikat "kafir" di sini selalu berarti *Kufr Akbar* (kekafiran besar yang mengeluarkan seseorang dari Islam) ataukah ia merujuk pada *Kufr Ashghar* (kekafiran kecil/dosa besar yang tidak mengeluarkan dari Islam)?

Pandangan Salaf dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (Kufr Duna Kufr)

Pandangan yang paling masyhur dan diterima oleh mayoritas ulama salaf, termasuk para sahabat, adalah bahwa kekafiran yang dimaksudkan dalam konteks pelanggaran praktis—yaitu berhukum tidak dengan hukum Allah karena mengikuti hawa nafsu atau demi kepentingan duniawi tanpa menolak Syariat—adalah *Kufr Duna Kufr* (kekafiran di bawah kekafiran). Ini berarti dosa besar, bukan kekafiran yang merusak iman.

Tokoh sentral dalam pandangan ini adalah Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما. Ketika ditanya mengenai ayat ini, beliau berkata: "Bukanlah kekafiran yang kalian pikirkan (yang mengeluarkan dari Islam). Akan tetapi, ia adalah *kufr duna kufr* (kekafiran yang lebih ringan daripada kekafiran [akbar]), kedzaliman di bawah kedzaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan." Pandangan Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh Al-Hakim, Ibnu Jarir At-Tabari, dan lainnya dengan sanad yang sahih.

Para ulama tafsir besar seperti Imam At-Tabari, Ibnu Katsir, Al-Baghawi, dan Al-Qurtubi menguatkan pandangan ini, membedakan secara tegas antara dua keadaan:

  1. Al-Juhud wa Al-Istihlal (Penolakan dan Penghalalan): Jika seorang penguasa atau hakim menolak hukum Allah, beranggapan bahwa hukum itu jelek atau lebih buruk daripada hukum buatannya sendiri, atau jika ia membuat undang-undang sekuler yang mutlak menggantikan Syariat sambil meyakini kebenarannya (penolakan i'tiqadi). Dalam kondisi ini, ulama sepakat bahwa pelakunya jatuh pada *Kufr Akbar* (kekafiran yang mengeluarkan dari Islam).
  2. Al-Hukmu bi Ghairi Ma Anzala Allah Ma'a I'tiqad Al-Haqlillah (Berhukum dengan selain hukum Allah namun mengakui kebenaran hukum Allah): Jika ia mengakui bahwa hukum Allah adalah wajib dan terbaik, namun karena dorongan hawa nafsu, kepentingan, atau takut kehilangan jabatan, ia memutuskan perkara yang bertentangan. Ini adalah dosa besar yang disebut *Kufr Duna Kufr* atau kekafiran praktis (*Kufr 'Amali*).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini mencakup Yahudi yang menolak hukum rajam yang ada di Taurat. Penolakan mereka adalah penolakan sebagian hukum Allah karena hawa nafsu, yang merupakan bentuk kekafiran, namun kekafiran yang paling fatal adalah penolakan total dan keyakinan bahwa hukum selain Allah lebih unggul.

Mizan Keadilan Ilahi Sebuah ilustrasi sederhana dari timbangan keadilan (Mizan), melambangkan hukum Allah sebagai standar utama.

Simbol Keadilan Ilahi (Mizan)

Implikasi Teologis dan Jurisprudensi Fiqh

Perbedaan Gradasi Kufr (Kekafiran)

Untuk memahami sepenuhnya Ayat 44, penting untuk melihatnya bersama dengan dua ayat berikutnya (Ayat 45 dan 47) yang membahas pelanggaran serupa namun menggunakan terminologi yang berbeda:

  • Ayat 44: *...maka mereka itu adalah al-Kafirun (orang-orang yang kafir).*
  • Ayat 45: *...maka mereka itu adalah ad-Dhalimun (orang-orang yang zalim/aniaya).*
  • Ayat 47: *...maka mereka itu adalah al-Fasiqūn (orang-orang yang fasik).*

Para mufassir menyatakan bahwa penggunaan tiga predikat berbeda (*Kafir, Dzalim, Fasiq*) untuk konteks yang secara umum sama (meninggalkan hukum Allah) menunjukkan adanya gradasi dosa dan niat. Jika seseorang meninggalkan hukum Allah:

  • **Dengan penolakan total (Juhud):** Kekafirannya sempurna (*Kufr Akbar*).
  • **Karena kesombongan/keserakahan (Isyarat Kedzaliman):** Ia melakukan *dzulum*.
  • **Karena kefasikan atau kelemahan iman (Isyarat Kefasikan):** Ia melakukan *fisq*.

Menurut Al-Qurtubi, Ibnu Abbas menjelaskan bahwa *Kufr* yang paling berat adalah bagi mereka yang menolak hukum Allah karena keyakinan. *Dzalim* adalah bagi mereka yang melakukan ketidakadilan dalam penerapannya, dan *Fasiq* adalah bagi mereka yang melanggar tetapi masih memiliki sisa iman.

Sikap Moderat Ahlus Sunnah (Melawan Khawarij)

Penafsiran *Kufr Duna Kufr* menjadi benteng akidah *Ahlus Sunnah wal Jama'ah* melawan pemahaman ekstremis, khususnya kelompok Khawarij (dan beberapa kelompok kontemporer yang menyerupai mereka) yang cenderung mengkafirkan (*takfir*) siapa saja yang melakukan dosa besar atau yang tidak menerapkan Syariat secara menyeluruh. Khawarij menafsirkan Ayat 44 sebagai dalil mutlak bahwa setiap penguasa yang tidak berhukum dengan Syariat adalah kafir akbar. Hal ini ditolak keras oleh mayoritas ulama karena mengabaikan niat dan keyakinan pelaku.

Aliran *Ahlus Sunnah* menekankan bahwa *Iman* adalah pengakuan (*I'tiqad*) di hati, ucapan (*Qaul*) lisan, dan perbuatan (*Amal*) anggota tubuh. Selama seseorang masih memiliki keyakinan dasar (I'tiqad) terhadap kebenaran Syariat, meskipun ia melanggarnya secara praktis (Amal), ia tetap seorang Muslim, meskipun berdosa besar.

Syarat Kekafiran Akbar (Kufr I'tiqadi)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan secara rinci kapan meninggalkan hukum Allah dapat dikategorikan sebagai *Kufr Akbar* (Kekafiran I'tiqadi):

  1. Al-Juhud (Penolakan): Menolak adanya hukum tersebut dalam Syariat.
  2. Al-Isti’jaz (Mencela): Mencela hukum Allah atau mengolok-oloknya.
  3. Al-Istihlal (Menghalalkan): Meyakini bahwa melanggar hukum tersebut adalah halal.
  4. At-Tabdil Al-Mutlaq (Penggantian Mutlak): Membuat sistem hukum tandingan yang menyeluruh dan menjadikan sistem itu sebagai satu-satunya sumber hukum yang wajib ditaati, sambil menyatakan bahwa ia lebih baik dari Syariat.
  5. At-Tasyri' Al-Am (Legislasi Umum): Berhukum dengan hukum buatan yang sifatnya umum dan menggantikan Syariat secara total, disertai dengan keyakinan bahwa ia memiliki otoritas penuh untuk legislasi, setara atau lebih dari Allah.

Jika penguasa atau hakim menerapkan hukum selain Syariat karena takut, karena suap, atau karena kekalahan politik, tanpa meyakini bahwa hukum itu lebih baik daripada hukum Allah, maka ini adalah dosa besar yang dapat menyebabkan ia disebut *Kafir Duna Kufr*, *Dzalim*, atau *Fasiq*, namun tidak otomatis keluar dari Islam.

Bahaya *At-Tasyri' Al-Muhallil*

Para ulama kontemporer menekankan bahaya besar dari *At-Tasyri' Al-Muhallil* (legislasi yang menghalalkan perkara haram secara umum). Misalnya, jika suatu negara secara resmi melegalkan perzinahan, riba, atau khamr (minuman keras) dan menjadikan legalisasi tersebut sebagai undang-undang yang mengikat, maka para pembuat undang-undang yang meyakini keabsahan undang-undang tersebut berada dalam bahaya besar *Kufr Akbar* karena mereka telah melampaui batas otoritas Tuhan dalam hal penetapan halal dan haram.

Penjelasan Para Imam Klasik tentang Makna Kufr

Pandangan Ibnu Katsir dan At-Tabari

Ibnu Jarir At-Tabari dalam tafsirnya, *Jami' al-Bayan*, memberikan porsi yang besar untuk menjelaskan konteks ayat ini. At-Tabari menegaskan bahwa ayat 44 ditujukan kepada umat Nabi Muhammad ﷺ sama halnya dengan umat Yahudi dan Nasrani yang sebelumnya telah diperingatkan. Ia juga mencatat adanya dua pendapat utama mengenai kekafiran yang dimaksud, namun memberikan bobot yang signifikan pada pandangan Ibnu Abbas (*Kufr Duna Kufr*). At-Tabari menjelaskan bahwa kekafiran tersebut berkaitan dengan ketidakmauan berhukum dengan hukum Allah karena kedengkian atau penolakan, bukan sekadar kelalaian.

Imam Ibnu Katsir, setelah mengutip pandangan Ibnu Abbas, memperkuat interpretasi tersebut. Ibnu Katsir menekankan bahwa barang siapa yang meninggalkan hukum Allah dan berhukum dengan hukum lain karena sengaja, ia berdosa. Namun, ia menjadi kafir akbar hanya jika ia meyakini bahwa hukum yang ia gunakan lebih baik, atau ia meyakini bahwa ia tidak perlu berhukum dengan Syariat. Ibnu Katsir juga mencatat riwayat yang menunjukkan bahwa orang-orang sebelum Islam yang berhukum dengan hukum-hukum adat atau buatan manusia (disebut *Jahiliyyah*) juga dikategorikan sebagai pihak yang meninggalkan hukum Allah.

Ulama Abad Pertengahan dan Kontemporer

Imam Az-Zahabi dan Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali juga memperingatkan bahaya simplifikasi dalam masalah *takfir* (pengkafiran) berdasarkan ayat ini. Mereka sepakat bahwa kekafiran dalam tindakan (praktis) berbeda dengan kekafiran dalam keyakinan. Kekafiran praktis adalah manifestasi dosa besar yang dapat diampuni, sedangkan kekafiran keyakinan adalah kerusakan total pada fondasi iman.

Di era modern, para ulama besar seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz, ketika membahas tafsir Al-Maidah 44, sangat berhati-hati. Mereka menjelaskan bahwa penguasa yang tidak berhukum dengan Syariat diklasifikasikan ke dalam lima tingkatan, dari yang paling ringan (melakukan karena takut atau malas, ini *fisq*) hingga yang paling berat (menolak Syariat secara total dan meyakini hukum buatan lebih baik, ini *kufr akbar*). Mereka menekankan pentingnya mengetahui kondisi hati dan *i'tiqad* (keyakinan) penguasa tersebut sebelum menjatuhkan vonis kekafiran.

Relevansi Ayat 44 dalam Konteks Kontemporer

1. Isu Penerapan Syariat dalam Negara Modern

Ayat 44 menjadi pusat perdebatan tentang bentuk negara dan pemerintahan di era modern. Apakah sebuah negara yang menerapkan sistem hukum positif (*man-made law*) secara eksklusif, namun mayoritas penduduknya Muslim, termasuk dalam kategori yang dikafirkan? Jawabannya kembali pada pembedaan antara *Kufr I'tiqadi* dan *Kufr Amali*.

Jika para pembuat kebijakan dan penguasa meyakini bahwa sistem sekuler atau sistem hukum positif adalah sebuah *Tasyri' Kafir* (sistem hukum kafir) yang lebih unggul dari Syariat, atau jika mereka secara sadar menolak Syariat sebagai sumber hukum yang valid, maka ini adalah *Kufr Akbar*. Namun, jika mereka secara teoritis mengakui Syariat sebagai hukum terbaik, tetapi gagal atau menunda penerapannya karena kelemahan, ketakutan, atau alasan politik, maka mereka berada dalam dosa besar (*Kufr Duna Kufr*) dan kedzaliman, namun tidak serta merta keluar dari Islam kecuali jika disertai penolakan keyakinan.

Prinsip dasarnya tetap: Mengganti Syariat dengan sistem tandingan yang diyakini keunggulannya adalah kekafiran. Mengabaikan Syariat karena hawa nafsu adalah dosa besar yang mendekati kekafiran.

2. Kewajiban Individu

Ayat 44 tidak hanya ditujukan kepada penguasa. Setiap individu juga wajib berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dalam ruang lingkup pribadinya. Hal ini mencakup:

  • Dalam Keyakinan: Wajib meyakini bahwa hukum Allah adalah yang paling adil dan paling benar.
  • Dalam Konflik Pribadi: Wajib merujuk kepada Syariat (Al-Qur’an dan Sunnah) ketika terjadi perselisihan (baik dalam keluarga, bisnis, atau masalah pribadi lainnya).
  • Dalam Penerimaan Hukum: Tidak boleh memilih-milih hukum Allah, menerima yang mudah dan menolak yang sulit (seperti yang dilakukan Bani Israil).

Jika seseorang Muslim, dalam kehidupan pribadinya, menolak hukum waris Islam karena ia menganggap hukum Barat lebih adil, atau menolak hukum pernikahan Islam karena ia menganggap adat lebih baik, maka ia telah jatuh ke dalam penolakan keyakinan (*Kufr I'tiqadi*) pada aspek tersebut.

3. Konsekuensi Psikologis dan Sosial

Ayat ini mengingatkan manusia akan bahaya menukar ayat Allah dengan "harga yang sedikit" (*tsamanan qalilan*). Harga yang sedikit ini merujuk pada segala bentuk keuntungan duniawi: kekuasaan, uang, popularitas, atau jabatan. Ketika seseorang menolak hukum Allah demi keuntungan sementara, ia telah menukarkan kebahagiaan abadi dengan kesenangan fana. Ini adalah manifestasi dari penyakit hati yang mendalam yang digambarkan sebagai kekafiran, kedzaliman, dan kefasikan.

Sikap takut kepada manusia (*falā takhsyawu an-nās*) daripada takut kepada Allah (*wakhsyawni*) adalah akar dari semua penyimpangan hukum. Allah memerintahkan para hakim (dan pemimpin) untuk berani menerapkan kebenaran, bahkan jika itu berarti melawan tekanan sosial, politik, atau kepentingan pribadi. Kegagalan dalam hal ini adalah langkah pertama menuju penyimpangan hukum yang berujung pada kekafiran praktis.

Penjelasan Lebih Lanjut tentang Dimensi Kekafiran (Kufr)

Dalam konteks teologi Islam, khususnya *Ilmu Kalam* dan *Ushul Fiqh*, istilah *Kufr* memiliki spektrum yang luas, dan Surah Al-Maidah 44 memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai spektrum tersebut. Para ulama membagi *Kufr* menjadi beberapa jenis, namun yang paling relevan di sini adalah pemisahan antara *Kufr I'tiqadi* dan *Kufr 'Amali*.

*Kufr I'tiqadi* (Kekafiran Keyakinan) adalah kondisi di mana hati seseorang menolak, mengingkari, meragukan, atau membenci prinsip-prinsip dasar Islam. Ini adalah kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari agama (*Al-Kufr Al-Akbar*). Contohnya adalah keyakinan bahwa hukum Allah tidak adil, atau keyakinan bahwa Syariat boleh diubah sesuka hati karena zaman telah berganti.

*Kufr 'Amali* (Kekafiran Perbuatan) adalah dosa besar yang disebut kekafiran, tetapi tidak merusak dasar tauhid dan iman seseorang. Ini adalah *Kufr Duna Kufr*. Contohnya adalah bersumpah atas nama selain Allah, mencela seorang Muslim (karena Nabi ﷺ bersabda, "Mencela seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran"), atau meninggalkan penerapan hukum Allah karena suap atau ketakutan. Dalam kasus-kasus ini, perbuatannya adalah perbuatan kafir, tetapi pelakunya masih dianggap Muslim yang berdosa, selama keyakinannya tidak rusak.

Ayat 44 seringkali menjadi titik picu bagi perdebatan politik. Kelompok yang tergesa-gesa dalam *takfir* seringkali gagal membedakan antara tindakan (Amali) dan keyakinan (I'tiqadi). Mereka mengabaikan kaidah yang ditetapkan oleh Ibnu Abbas. Penting untuk menggarisbawahi bahwa Syariat Islam sangat menjunjung tinggi kehati-hatian dalam menjatuhkan vonis kekafiran, sesuai dengan ajaran Nabi ﷺ yang melarang seseorang menuduh saudaranya kafir tanpa bukti yang sangat kuat dan jelas, karena risiko tuduhan itu kembali kepada penuduh.

Seorang hakim yang korup dan mengambil suap untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan hukum Allah adalah pelaku *Kufr Duna Kufr* dan *Dzulum* (kedzaliman). Ia sangat fasik dan berdosa besar, tetapi ia baru menjadi *Kafir Akbar* jika ia berkata: "Hukum riba lebih baik daripada hukum zakat" atau "Saya menolak hukum waris Islam karena usang." Dengan demikian, niat dan keyakinan hati menjadi pembeda yang fundamental dan mutlak dalam interpretasi ayat ini.

Kesimpulan: Panggilan untuk Integritas Syariat

Surah Al-Maidah Ayat 44 adalah fondasi etika hukum dalam Islam. Ayat ini menegaskan supremasi hukum Allah (*Syariat*) sebagai satu-satunya sumber keadilan yang sejati. Ia menggarisbawahi bahwa otoritas legislatif tertinggi semata-mata milik Allah SWT, dan manusia (baik pemimpin maupun rakyat biasa) dilarang keras menukarkan hukum-hukum-Nya dengan ambisi atau keuntungan duniawi yang fana.

Meskipun redaksi ayat ini sangat tegas dengan predikat "kafir", pemahaman yang benar dan moderat sesuai metodologi ulama salaf, yang diwakili oleh Ibnu Abbas, menetapkan bahwa kekafiran tersebut memiliki tingkatan. Kekafiran sempurna (*Kufr Akbar*) hanya terjadi apabila seseorang menolak Syariat Allah dengan hati dan keyakinan, menganggapnya buruk, atau menempatkan hukum buatan manusia di atasnya secara mutlak.

Namun, meskipun dosa meninggalkan hukum Allah karena hawa nafsu adalah *Kufr Duna Kufr*, hal ini tetap merupakan dosa yang sangat besar dan merupakan manifestasi dari kedzaliman dan kefasikan. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi umat Islam di setiap zaman untuk selalu menjaga integritas penerapan Syariat, baik dalam urusan publik maupun pribadi, dan memastikan bahwa ketakutan kepada Allah selalu melebihi ketakutan kepada tekanan dan keinginan manusia.

Oleh karena itu, kewajiban umat adalah berjuang untuk menegakkan hukum Allah di bumi, menjadikannya standar keadilan, sekaligus menghindari ekstremisme dalam *takfir*, dengan senantiasa merujuk kepada interpretasi yang hati-hati dan berbasis ilmu dari para ulama terkemuka *Ahlus Sunnah Wal Jama'ah*.

Penyelaman mendalam ini menegaskan bahwa setiap detail dari Syariat Islam adalah petunjuk dan cahaya (*huda wa nur*), yang harus dipelihara dan diaplikasikan tanpa kompromi keyakinan. Meninggalkan hukum Allah, bahkan dalam bentuk *Kufr Duna Kufr*, adalah penghinaan terhadap petunjuk tersebut dan pintu gerbang menuju kekacauan sosial dan moral. Hanya dengan berpegang teguh pada *ma anzalallah* lah keadilan sejati dapat terwujud di tengah umat manusia, sebagaimana yang telah diperintahkan-Nya kepada para nabi dan para ulama sejak Taurat diturunkan hingga Al-Qur'an disempurnakan.

🏠 Kembali ke Homepage