Ayat 44 menjadi pusat perdebatan tentang bentuk negara dan pemerintahan di era modern. Apakah sebuah negara yang menerapkan sistem hukum positif (*man-made law*) secara eksklusif, namun mayoritas penduduknya Muslim, termasuk dalam kategori yang dikafirkan? Jawabannya kembali pada pembedaan antara *Kufr I'tiqadi* dan *Kufr Amali*.
Jika para pembuat kebijakan dan penguasa meyakini bahwa sistem sekuler atau sistem hukum positif adalah sebuah *Tasyri' Kafir* (sistem hukum kafir) yang lebih unggul dari Syariat, atau jika mereka secara sadar menolak Syariat sebagai sumber hukum yang valid, maka ini adalah *Kufr Akbar*. Namun, jika mereka secara teoritis mengakui Syariat sebagai hukum terbaik, tetapi gagal atau menunda penerapannya karena kelemahan, ketakutan, atau alasan politik, maka mereka berada dalam dosa besar (*Kufr Duna Kufr*) dan kedzaliman, namun tidak serta merta keluar dari Islam kecuali jika disertai penolakan keyakinan.
Prinsip dasarnya tetap: Mengganti Syariat dengan sistem tandingan yang diyakini keunggulannya adalah kekafiran. Mengabaikan Syariat karena hawa nafsu adalah dosa besar yang mendekati kekafiran.
2. Kewajiban Individu
Ayat 44 tidak hanya ditujukan kepada penguasa. Setiap individu juga wajib berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dalam ruang lingkup pribadinya. Hal ini mencakup:
- Dalam Keyakinan: Wajib meyakini bahwa hukum Allah adalah yang paling adil dan paling benar.
- Dalam Konflik Pribadi: Wajib merujuk kepada Syariat (Al-Qur’an dan Sunnah) ketika terjadi perselisihan (baik dalam keluarga, bisnis, atau masalah pribadi lainnya).
- Dalam Penerimaan Hukum: Tidak boleh memilih-milih hukum Allah, menerima yang mudah dan menolak yang sulit (seperti yang dilakukan Bani Israil).
Jika seseorang Muslim, dalam kehidupan pribadinya, menolak hukum waris Islam karena ia menganggap hukum Barat lebih adil, atau menolak hukum pernikahan Islam karena ia menganggap adat lebih baik, maka ia telah jatuh ke dalam penolakan keyakinan (*Kufr I'tiqadi*) pada aspek tersebut.
3. Konsekuensi Psikologis dan Sosial
Ayat ini mengingatkan manusia akan bahaya menukar ayat Allah dengan "harga yang sedikit" (*tsamanan qalilan*). Harga yang sedikit ini merujuk pada segala bentuk keuntungan duniawi: kekuasaan, uang, popularitas, atau jabatan. Ketika seseorang menolak hukum Allah demi keuntungan sementara, ia telah menukarkan kebahagiaan abadi dengan kesenangan fana. Ini adalah manifestasi dari penyakit hati yang mendalam yang digambarkan sebagai kekafiran, kedzaliman, dan kefasikan.
Sikap takut kepada manusia (*falā takhsyawu an-nās*) daripada takut kepada Allah (*wakhsyawni*) adalah akar dari semua penyimpangan hukum. Allah memerintahkan para hakim (dan pemimpin) untuk berani menerapkan kebenaran, bahkan jika itu berarti melawan tekanan sosial, politik, atau kepentingan pribadi. Kegagalan dalam hal ini adalah langkah pertama menuju penyimpangan hukum yang berujung pada kekafiran praktis.