Pengantar Fiqh Salat dan Kedudukan Tahiyat
Salat adalah tiang agama, ibadah mahdhah yang tata cara pelaksanaannya harus mengikuti sunah Nabi Muhammad ﷺ secara rinci. Salah satu rukun dan kewajiban dalam salat adalah tasyahhud (tahiyat), baik tasyahhud awal maupun tasyahhud akhir. Posisi tasyahhud menjadi penentu sahnya salat, dan terdapat keragaman lafazh (bacaan) serta kaifiyah (tata cara) yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ.
Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, telah menetapkan panduan rinci mengenai tasyahhud yang didasarkan pada prinsip tarjih, yaitu memilih dalil yang paling kuat, paling shahih, atau paling lengkap di antara berbagai riwayat yang ada. Prinsip ini bertujuan untuk mencapai kemurnian ibadah (ittiba' kepada sunah) dan menghindari praktik yang tidak memiliki dasar kuat.
Kajian mendalam ini akan menguraikan secara komprehensif pilihan Muhammadiyah terkait lafazh tasyahhud, posisi duduk, serta gerakan jari telunjuk, didukung oleh analisis dalil-dalil dari sumber utama hadis sahih. Pemahaman yang utuh tentang dalil ini sangat penting bagi setiap muslim yang ingin memastikan salatnya sesuai dengan tuntunan Nabi.
Pemilihan Lafazh Tasyahhud (Teks Bacaan)
Dalam khazanah hadis, terdapat beberapa versi lafazh tasyahhud yang diajarkan oleh Nabi ﷺ kepada para sahabat. Beberapa versi yang terkenal adalah Tasyahhud Ibnu Mas’ud, Tasyahhud Ibnu Abbas, Tasyahhud Umar bin Khattab, dan Tasyahhud Abu Musa Al-Asy’ari. Muhammadiyah, setelah melakukan proses tarjih, menetapkan lafazh yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud sebagai panduan utama.
Dalil Utama: Tasyahhud Ibnu Mas’ud
Lafazh Tasyahhud Ibnu Mas’ud (رضي الله عنه) dipilih karena dianggap sebagai riwayat yang paling kuat dan paling konsisten diajarkan oleh Nabi ﷺ, sebagaimana terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim.
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Kami tidak tahu apa yang harus kami katakan pada setiap dua rakaat (tasyahhud awal), lalu Rasulullah ﷺ mengajarkan kami tasyahhud sebagaimana beliau mengajarkan surah dari Al-Qur’an.”
Artinya: Segala kehormatan, keberkahan, rahmat, dan kebaikan adalah milik Allah. Salam sejahtera atasmu wahai Nabi, beserta rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam sejahtera atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Analisis Fiqh Pemilihan Lafazh
Muhammadiyah memilih lafazh Ibnu Mas'ud karena didukung oleh argumen bahwa lafazh ini diajarkan oleh Nabi ﷺ dengan penekanan, diibaratkan seperti mengajarkan surah Al-Qur'an. Ini menunjukkan tingkat kepastian (tsubut) yang sangat tinggi. Selain itu, versi ini tidak mencantumkan lafazh tambahan yang dipertentangkan dalam riwayat lain.
Perbandingan dengan Riwayat Lain
Terdapat riwayat dari sahabat lain, seperti Ibnu Abbas, yang memuat lafazh serupa. Namun, ketika dilakukan perbandingan (muwazanah), riwayat Ibnu Mas'ud seringkali diprioritaskan karena konteks hadisnya menunjukkan bahwa Nabi ﷺ mengajarkannya secara langsung dan sistematis kepada sekelompok sahabat.
Salah satu poin penting dalam versi Ibnu Mas'ud adalah ia tetap menggunakan lafazh السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ (Salam sejahtera atasmu wahai Nabi). Walaupun terdapat riwayat dari Aisyah atau Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa setelah Nabi wafat, para sahabat mengubahnya menjadi السَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ (Salam sejahtera atas Nabi), Majelis Tarjih berpendapat bahwa yang utama adalah mempertahankan lafazh sebagaimana diajarkan oleh Nabi ﷺ (lafal Ibnu Mas’ud) karena dalam salat, kita berbicara langsung dalam konteks ibadah yang diajarkan, bukan dalam konteks percakapan biasa di dunia nyata.
Mayoritas ulama Hadis berpegang teguh pada versi asli sebagaimana diriwayatkan Ibnu Mas’ud karena hal ini berkaitan dengan tata cara ibadah yang telah ditetapkan (tauqifi). Jika Nabi ﷺ mengajarkannya dengan lafazh "alaika" (kepadamu), maka demikianlah yang harus diikuti, terlepas dari keberadaan fisik beliau. Ini adalah esensi dari menjalankan sunah.
Lafazh Shalawat Ibrahimiyah (Tahiyat Akhir)
Setelah tasyahhud (Asyhadu an laa ilaaha illallah...), dalam tasyahhud akhir diwajibkan membaca shalawat atas Nabi ﷺ (Shalawat Ibrahimiyah). Shalawat ini merupakan bagian integral dari tahiyat akhir, yang mana tanpa membacanya, salat dianggap tidak sempurna menurut banyak mazhab, termasuk pandangan yang diunggulkan oleh Muhammadiyah.
Artinya: Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berilah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
Hadis riwayat Ka’ab bin Ujrah (Shahih Bukhari dan Muslim), ketika para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu (tasyahhud), lalu bagaimana cara kami bershalawat kepadamu?” Maka Nabi ﷺ mengajarkan lafazh Shalawat Ibrahimiyah ini. Hal ini menunjukkan bahwa lafazh ini adalah tuntunan spesifik dan terbaik dari Nabi ﷺ untuk bershalawat dalam salat.
Muhammadiyah menegaskan pentingnya menggunakan lafazh ini secara lengkap, sebagaimana diriwayatkan, tanpa mengurangi atau menambahinya. Fokus utama adalah pada lafazh yang mencakup doa rahmat dan doa keberkahan (barakah) yang disandarkan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya (عليهما السلام).
Kaifiyah Duduk Tahiyat: Iftirasy dan Tawarruk
Tata cara duduk saat tasyahhud merupakan salah satu aspek kaifiyah salat yang memiliki keragaman riwayat. Terdapat dua jenis duduk utama yang dipraktikkan berdasarkan sunah: Iftirasy dan Tawarruk.
Duduk Iftirasy (Tasyahhud Awal)
Duduk Iftirasy dilakukan pada Tasyahhud Awal dan juga dalam semua duduk antara dua sujud. Caranya adalah dengan menegakkan telapak kaki kanan dan menjulurkan jari-jarinya ke arah kiblat, sementara kaki kiri dihamparkan dan diduduki. Punggung kaki kiri diletakkan di bawah pantat.
Dari Aisyah (رضي الله عنها), ia berkata, "Rasulullah ﷺ apabila duduk (antara dua sujud dan tasyahhud awal), beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya." (HR Muslim).
Duduk Tawarruk (Tahiyat Akhir)
Duduk Tawarruk (duduk bertumpu) dilakukan khusus pada Tahiyat Akhir, yaitu salat yang memiliki dua kali tasyahhud (Zuhur, Asar, Magrib, Isya). Caranya adalah dengan mengeluarkan telapak kaki kiri dari bawah betis kanan dan duduk bertumpu pada pinggul di lantai. Kaki kanan tetap ditegakkan dengan jari-jari mengarah ke kiblat.
Dari Abu Humaid As-Sa’idi (HR Bukhari), dalam menjelaskan salat Nabi, "Ketika beliau duduk pada rakaat terakhir, beliau mendahulukan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya, dan duduk di atas tempat duduknya (lantai)."
Muhammadiyah menganut pembedaan yang jelas ini: Iftirasy untuk tasyahhud awal dan Tawarruk untuk tasyahhud akhir, berdasarkan riwayat yang membedakan kaifiyah salat Nabi ﷺ antara tasyahhud awal dan tasyahhud akhir. Pembedaan ini berfungsi sebagai tanda pembeda ritual (syiar) dalam salat.
Gerakan Jari Telunjuk (Isyarah bi As-Sababah)
Salah satu ciri khas dan perbedaan praktik yang paling mencolok dalam tahiyat adalah masalah gerakan jari telunjuk. Jari telunjuk (jari syahadat) diangkat sebagai simbol tauhid (keesaan Allah) selama tasyahhud.
Ilustrasi posisi jari telunjuk saat tasyahhud.
Kapan Jari Diangkat dan Bagaimana Gerakannya?
Majelis Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa jari telunjuk diangkat sejak awal tasyahhud (sejak membaca At-Tahiyyat) dan tetap tegak lurus menunjuk ke arah kiblat hingga salam. Jari telunjuk diangkat sebagai lambang tauhid, dan keberadaannya yang tegak adalah doa yang berkesinambungan.
Dalil Pengangkatan Jari (Istiqamah/Tetap)
Pilihan Muhammadiyah didasarkan pada hadis yang menunjukkan konsistensi pengangkatan jari. Hadis Waa'il bin Hujr (HR Abu Dawud dan An-Nasa'i) menyebutkan bahwa Nabi ﷺ meletakkan tangan kanan di paha kanan dan mengangkat jari telunjuk, menggerakkannya (sebagai isyarat) dan berdoa dengannya. Namun, hadis lain lebih menekankan sifat *istiqamah* (tetap tegak) dan isyarat, bukan gerakan yang berulang-ulang.
Nabi ﷺ apabila duduk dalam salat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya, menggenggam semua jari, dan mengisyaratkan dengan jari telunjuknya, lalu meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.
Dalam riwayat yang sama, ada lafazh: "Beliau mengangkat jari yang berada di dekat jempol, berdoa dengannya." Pemahaman "berdoa dengannya" menunjukkan bahwa isyarat tersebut adalah bagian dari kekhusyukan dan konsentrasi doa, bukan gerakan yang harus diulang-ulang.
Analisis tentang Menggerakkan Jari (Tahrik)
Muhammadiyah menyadari adanya hadis yang menyebutkan 'menggerakkan' (يُحَرِّكُهَا / yuharrikuha), terutama dalam riwayat Za'idah dari Ashim bin Kulaib dari Waa'il bin Hujr. Namun, banyak ulama hadis yang menguatkan riwayat dari Waa'il bin Hujr tanpa menyebutkan kata 'menggerakkan', atau menafsirkan 'menggerakkan' di sini sebagai 'mengisyaratkan' (menegakkan) dan bukan gerakan naik turun yang berkelanjutan.
Pilihan untuk mempertahankan jari dalam posisi tegak (tetap menunjuk) adalah pilihan yang paling aman, menghindari gerakan berlebihan yang dikhawatirkan dapat membatalkan atau mengurangi kekhusyukan salat, dan lebih sesuai dengan interpretasi bahwa pengangkatan jari itu sendiri adalah simbol dan doa.
Penting untuk dicatat bahwa isyarat jari ini adalah simbol yang sangat kuat, mengingatkan pada hadis Nabi ﷺ: "Ia (jari yang diangkat) lebih berat atas setan daripada besi." Ini menegaskan bahwa isyarat tauhid ini memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa, terlepas dari apakah ia digerakkan atau hanya ditegakkan.
Pendalaman Dalil Tarjih (Perbandingan Hadis)
Proses tarjih di Muhammadiyah melibatkan perbandingan detail terhadap rantai sanad dan matan hadis. Berikut adalah rincian perbandingan yang mendukung panduan tahiyat ini:
I. Kajian Mendalam Lafazh Tasyahhud
Meskipun lafazh Ibnu Mas'ud dipilih, Majelis Tarjih juga mengakui keabsahan lafazh lain, namun Ibnu Mas'ud dianggap paling sempurna. Mari kita perhatikan kata per kata dari Tasyahhud:
- اَلتَّحِيَّاتُ لِلهِ (At-Tahiyyatu Lillah): Tahiyyat secara bahasa berarti penghormatan, salam, atau kehormatan kerajaan. Maknanya, semua jenis penghormatan hanya ditujukan kepada Allah.
- وَالصَّلَوَاتُ (Wash-Shalawatu): Diriwayatkan bahwa maknanya adalah semua ibadah yang mengandung doa, atau ibadah lisan dan amalan salat. Semua ibadah adalah milik Allah.
- وَالطَّيِّبَاتُ (Wath-Thayyibat): Segala kebaikan yang bersih, baik ucapan maupun perbuatan. Semua amal baik yang tulus adalah milik Allah.
- السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ (As-Salamu 'alaika Ayyuhan Nabiyy): Ucapan salam kepada Nabi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, penggunaan kata ganti orang kedua tunggal ('alaika) tetap dipertahankan karena bersifat tauqifi (sesuai tuntunan ritual) dan bukan percakapan biasa.
- السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ (As-Salamu 'alaina wa 'ala 'ibadillahish Shalihin): Ini adalah doa yang mencakup diri kita yang salat dan semua hamba Allah yang saleh, di langit maupun di bumi. Doa ini menunjukkan persatuan umat.
- أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (Asyhadu an laa ilaaha illallah): Syahadat tauhid, rukun Islam pertama, diucapkan pada saat transisi dari doa kepada Nabi dan orang saleh, menuju pengakuan keesaan Allah.
- وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (Wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh): Syahadat Rasul, menegaskan status Nabi Muhammad ﷺ sebagai hamba (sebagai penekanan bahwa beliau bukan Tuhan) sekaligus Rasul (utusan Allah).
Pemilihan lafazh ini adalah cerminan dari kaidah ushul fiqh: Jika terdapat beberapa riwayat yang sama-sama shahih, maka dipilih riwayat yang paling lengkap dan paling rinci (azwad) atau yang paling sering dipraktikkan oleh Nabi ﷺ.
II. Permasalahan Tambahan Doa Setelah Tasyahhud Akhir
Setelah selesai membaca Shalawat Ibrahimiyah, disunahkan untuk membaca doa perlindungan dari empat perkara sebelum salam. Doa ini sangat dianjurkan oleh Nabi ﷺ dan termasuk dalam kesempurnaan Tahiyat Akhir.
Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, serta dari kejahatan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal. (HR Muslim)
Muhammadiyah menganjurkan untuk memasukkan doa ini sebagai bagian standar dari Tahiyat Akhir, sebagaimana Nabi ﷺ memerintahkan para sahabat untuk membacanya. Bahkan, ada riwayat yang menempatkan doa ini sebagai perintah yang sangat ditekankan (wajib bagi yang mampu).
III. Analisis Penempatan Tangan
Terkait penempatan kedua tangan, hadis menunjukkan bahwa tangan diletakkan di atas paha (lutut). Namun, detailnya juga diperhatikan:
- Tangan Kiri: Dibentangkan di atas paha kiri, riwayat lain menyebutkan di lutut kiri. Fungsi utamanya adalah menopang.
- Tangan Kanan: Digenggam dengan pengecualian jari telunjuk yang diangkat. Bentuk genggaman ini memiliki beberapa variasi riwayat (misalnya, membuat lingkaran antara jempol dan jari tengah, atau menggenggam penuh lalu mengangkat telunjuk).
Muhammadiyah memprioritaskan bentuk genggaman yang membuat telapak tangan kanan seolah-olah menggenggam, sementara ibu jari disatukan dengan jari tengah membentuk lingkaran kecil atau ditekan ke telunjuk, dan telunjuk diangkat. Ini sesuai dengan riwayat yang paling sering dijelaskan dalam kitab-kitab sunan.
Keutamaan dan Kontinuitas Dalil (Istidlal)
Untuk memahami kedalaman pilihan Muhammadiyah, perlu dipahami bahwa Majelis Tarjih menggunakan metode Istidlal yang ketat. Ketika memilih antara dua riwayat yang sama-sama shahih (misalnya antara Tasyahhud Ibnu Mas'ud dan Tasyahhud Ibnu Abbas), Tarjih mempertimbangkan faktor Ashariyah (asal-usul) dan Mudawamah (keberlanjutan praktik Nabi).
Aspek Istiqamah dalam Jari Tauhid
Fokus utama dalam isyarat jari adalah simbolisme tauhid yang tidak boleh terputus selama tasyahhud berlangsung. Jika jari hanya diangkat saat mengucapkan "Laa ilaaha illa Allah" dan diturunkan, ini dianggap mengurangi kontinuitas simbol tauhid dalam ibadah. Dengan menjaga jari tetap tegak sejak awal Tahiyat hingga salam, seseorang secara fisik dan spiritual terus menegaskan keesaan Allah selama jeda doa tersebut.
Dia melihat Abdullah bin Umar sedang bermain kerikil (di salat) saat tasyahhud. Setelah selesai salat, Ibnu Umar ditegur dan berkata: “Jangan lakukan itu, karena itu dari setan. Tetapi lakukanlah sebagaimana Rasulullah ﷺ melakukannya.” Dikatakan: “Bagaimana Rasulullah ﷺ melakukannya?” Ibnu Umar menjawab: “Beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya, dan mengangkat jari yang berdekatan dengan ibu jari (telunjuk).” (HR Tirmidzi). Hadis ini mengindikasikan bahwa posisi jari tegak adalah posisi yang dianjurkan dan tidak boleh diganggu.
Pendapat yang menguatkan isyarat tetap ini berargumen bahwa kata 'menggerakkan' (yuharrikuha) yang ditemukan dalam sebagian riwayat Waa'il bin Hujr memiliki kelemahan interpretasi, atau bisa diartikan sebagai gerakan pertama kali mengangkat jari, atau gerakan sesekali sebagai penekanan, namun bukan gerakan yang berulang-ulang seperti main-main.
Kesempurnaan Tahiyat Akhir
Tahiyat Akhir memiliki kedudukan rukun yang tidak bisa ditinggalkan. Kesempurnaannya mencakup: Teks tasyahhud, shalawat ibrahimiyah, dan doa perlindungan dari empat perkara. Seluruh rangkaian ini harus dilakukan dengan tumaninah, duduk tawarruk, dan isyarat jari telunjuk yang tegak.
Jika salah satu bagian rukun ini ditinggalkan (misalnya, shalawat ibrahimiyah), maka salat tersebut dikategorikan tidak sah atau batal menurut pandangan yang paling kuat (rajih) dalam mazhab Syafi’i dan yang disepakati oleh Muhammadiyah sebagai keharusan dalam pelaksanaan sunah Nabi ﷺ. Mengapa? Karena Nabi ﷺ ketika ditanya bagaimana bershalawat, beliau mengajarkan lafazh spesifik. Jika beliau mengajarkan lafazh, maka pelaksanaannya menjadi kewajiban dalam konteks salat.
Keterangan detail dari hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa Tahiyat bukan sekadar jeda bacaan, melainkan suatu rangkaian penghambaan yang memiliki komponen lisan (doa), komponen fisik (duduk dan isyarat), dan komponen batin (khusyuk dan pengakuan tauhid). Semua elemen ini saling mendukung untuk mencapai salat yang sempurna.
Implikasi Fiqh Terhadap Kekhusyukan
Aspek kekhusyukan (khusyuk) sangat ditekankan dalam kaifiyah tahiyat. Duduk tawarruk pada tahiyat akhir, yang lebih stabil daripada iftirasy, membantu mengurangi gerakan yang tidak perlu. Demikian pula, memfokuskan pandangan pada jari telunjuk yang diangkat adalah bagian dari upaya menjaga kekhusyukan. Riwayat yang menganjurkan pandangan mata diarahkan ke jari telunjuk bertujuan untuk mencegah pandangan mata berkeliaran, yang dapat membatalkan atau mengurangi pahala salat.
Nabi ﷺ ketika duduk dalam tasyahhud, pandangannya tidak melampaui jari yang diisyaratkannya. (HR Abu Dawud dan An-Nasa'i). Hal ini menguatkan bahwa isyarat jari adalah pusat fokus pandangan selama tahiyat, mendukung kekhusyukan.
Kajian yang dilakukan oleh Majelis Tarjih selalu menyandingkan aspek legalitas (shahihnya dalil) dengan aspek spiritualitas (dampak pada khusyuk). Tata cara yang dipilih adalah yang paling mudah diikuti oleh umat, paling jelas dasar hukumnya, dan paling mendukung pencapaian kualitas salat.
Rangkuman Tata Cara Tahiyat Muhammadiyah
Untuk memudahkan praktik, berikut adalah rangkuman dari kaifiyah dan lafazh yang menjadi pilihan utama Muhammadiyah, didasarkan pada seluruh pembahasan hadis dan tarjih di atas:
Tahiyat Awal (Wajib)
- Duduk: Iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri, kaki kanan ditegakkan).
- Bacaan: Lafazh Tasyahhud Ibnu Mas’ud (sampai 'abduhu wa rasuluh).
- Jari: Tangan kanan menggenggam (atau bentuk lingkaran), jari telunjuk diangkat sejak awal bacaan dan tetap tegak (istiqamah) hingga berdiri ke rakaat berikutnya.
Tahiyat Akhir (Rukun)
- Duduk: Tawarruk (duduk bertumpu pada pinggul di lantai, kaki kiri dikeluarkan, kaki kanan ditegakkan).
- Bacaan: Tasyahhud Ibnu Mas’ud, dilanjutkan Shalawat Ibrahimiyah, dan ditutup dengan Doa Perlindungan dari Empat Perkara.
- Jari: Tetap tegak (istiqamah) sejak awal Tahiyat Akhir hingga salam.
Kepatuhan pada rincian kaifiyah ini merupakan wujud nyata dari upaya meneladani Rasulullah ﷺ secara paripurna. Setiap gerakan dan ucapan dalam salat adalah jembatan menuju Allah, dan kesesuaiannya dengan sunah adalah kunci penerimaannya.
Seluruh rincian tentang Tahiyat Muhammadiyah yang dijabarkan secara rinci ini, mencakup aspek lafazh, kaifiyah duduk, hingga gerakan jari, menunjukkan betapa hati-hatinya Majelis Tarjih dalam menetapkan ibadah, memastikan bahwa setiap rukun dan sunah dalam salat memiliki dasar yang kuat dan teruji dalam ilmu hadis. Ini adalah landasan utama dalam menjalankan gerakan pemurnian ibadah (tajdid) yang menjadi ciri khas Muhammadiyah.
Kajian mendalam ini secara terus menerus diperkuat oleh para ulama di Majelis Tarjih melalui kajian perbandingan matan dan sanad, memastikan bahwa tafsiran yang dipilih adalah yang paling mendekati maksud dan praktik Nabi ﷺ. Pemahaman ini penting agar umat tidak hanya melaksanakan salat sebagai rutinitas, tetapi sebagai ibadah yang bernilai tinggi, penuh makna, dan sesuai tuntunan syariat.
Analisis terhadap hadis-hadis Tahiyat menunjukkan kompleksitas dalam memilih riwayat yang paling kuat. Sebagai contoh, perdebatan tentang lafazh *as-salawat* (shalawat), beberapa ulama menafsirkannya sebagai doa, sementara yang lain menafsirkannya sebagai ibadah tertentu. Muhammadiyah memilih tafsir yang mencakup arti umum kebaikan dan ibadah, sejalan dengan makna *at-tahiyyat* dan *ath-thayyibat* yang juga bermakna umum. Pendekatan ini menunjukkan keterbukaan tafsir selagi tidak bertentangan dengan prinsip utama tauhid.
Pengulangan dan penekanan pada dalil-dalil tersebut, seperti hadis Waa'il bin Hujr dan Ibnu Mas'ud, adalah cara untuk mengokohkan keyakinan bahwa kaifiyah yang dipilih memiliki dukungan sunah yang tidak diragukan. Dalam fiqh, kepastian dalil (tsubut) lebih diutamakan daripada keraguan (ihtimal). Oleh karena itu, dalam hal tasyahhud, memilih riwayat yang paling sering diajarkan (seperti Ibnu Mas'ud) menjadi prioritas metodologis.
Akhirnya, tasyahhud dalam salat adalah dialog antara hamba dan Penciptanya, di mana hamba mengakui semua bentuk penghormatan dan kebaikan hanyalah milik Allah, memuji Nabi-Nya, dan mendoakan kebaikan bagi dirinya dan seluruh hamba yang saleh, sebelum akhirnya memohon perlindungan dari segala mara bahaya dunia dan akhirat. Pelaksanaan tasyahhud yang benar sesuai sunah adalah penyempurna seluruh rangkaian salat yang telah dikerjakan.
Seluruh diskusi mengenai detail duduk Iftirasy dan Tawarruk, serta perbedaan pendapat tentang kapan persisnya jari telunjuk harus diangkat (apakah sejak awal atau saat mengucapkan "illa Allah"), selalu dikembalikan kepada prinsip kehati-hatian dalam mengikuti Sunah. Muhammadiyah memilih kaifiyah yang menunjukkan konsistensi dan mencegah gerakan berlebihan. Kaki kanan yang harus selalu ditegakkan dalam Iftirasy maupun Tawarruk juga merupakan detail penting yang sering terlewat, namun memiliki landasan kuat dalam hadis Abu Humaid As-Sa’idi.
Penegasan bahwa doa setelah Shalawat Ibrahimiyah adalah bagian sunah yang sangat ditekankan juga merupakan bentuk istiqamah dalam mengikuti riwayat yang menganjurkan perlindungan menyeluruh. Ini bukan sekadar penambahan doa biasa, melainkan doa yang secara spesifik diajarkan oleh Nabi ﷺ untuk dibaca pada momen tersebut.
Dengan demikian, panduan Tahiyat Muhammadiyah merupakan hasil dari proses intelektual yang mendalam dan metodologis, yang bertujuan untuk menghasilkan praktik ibadah yang paling shahih dan paling sesuai dengan ajaran Rasulullah ﷺ.