Kajian Mendalam Surah Al-Maidah Ayat 2 dan 3: Fondasi Etika Sosial dan Penetapan Hukum Syariat
Pendahuluan: Konteks Surah Al-Maidah
Surah Al-Maidah (Hidangan) merupakan salah satu surah Madaniyah, diturunkan pada fase akhir kenabian setelah Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Surah ini kaya akan penetapan hukum (syariat), perjanjian (aqd), dan aturan-aturan yang mengatur interaksi sosial, ibadah, serta hal-hal yang berkaitan dengan makanan. Ayat-ayat dalam surah ini datang pada saat komunitas Muslim telah mapan dan memerlukan kerangka hukum yang detail untuk mengatur kehidupan negara dan masyarakat yang semakin kompleks. Ayat 2 dan 3 dari surah ini memiliki kedudukan yang sangat istimewa, mencakup perintah moral universal (etika gotong royong) dan deklarasi historis tentang penyempurnaan agama serta penetapan hukum pangan yang fundamental.
Kajian terhadap kedua ayat ini membawa kita pada pemahaman bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan vertikal (antara hamba dan Khaliq), tetapi juga hubungan horizontal (antar sesama manusia) dengan sangat detail. Ayat 2 menetapkan prinsip moralitas sosial, sementara Ayat 3 berfungsi sebagai tonggak sejarah dalam jurisprudensi Islam, menetapkan batasan-batasan yang definitif dan mengumumkan bahwa Risalah Ilahi telah mencapai puncak kesempurnaannya.
Bagian I: Analisis Surah Al-Maidah Ayat 2 – Pilar Ta’awun (Gotong Royong)
A. Kehormatan Syi'ar dan Bulan Haram
Ayat ini dimulai dengan peringatan keras terhadap pelanggaran simbol-simbol suci (Syi'arillah). Syi'ar Allah mencakup segala sesuatu yang dihormati dalam agama, mulai dari tempat, waktu, hingga tata cara ibadah. Pada konteks awalnya, ini sangat terkait dengan ibadah haji dan umrah. Larangan ini bertujuan untuk menjamin keamanan spiritual dan fisik para jamaah, serta menunjukkan pentingnya menghormati tatanan Ilahi.
1. Definisi Syi'arillah dan Aplikasinya
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa Syi'arillah mencakup:
- Bulan-Bulan Haram (Ash-hurul Hurum): Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Pada bulan-bulan ini, peperangan dan pertumpahan darah dilarang keras, menunjukkan prioritas perdamaian dan keamanan global.
- Hewan Kurban (Al-Hadyu): Hewan yang dikirim ke Baitullah untuk dikurbankan. Mengganggu atau merampasnya adalah pelanggaran serius.
- Orang-orang yang Berihram: Para peziarah yang menuju Ka’bah. Walaupun mereka mungkin berasal dari pihak yang sebelumnya memusuhi Muslim (seperti kaum Quraisy sebelum Fathu Makkah), mereka harus dijamin keselamatannya saat menunaikan ibadah.
- Al-Ithm (Dosa): Segala perbuatan yang melanggar hukum syariat, baik yang terkait dengan hak Allah (ibadah) maupun hak manusia. Contohnya adalah membantu orang lain melakukan maksiat seperti mencuri atau berbohong.
- Al-'Udwân (Permusuhan/Agresi): Melampaui batas, menzalimi orang lain, atau melanggar hak-hak mereka. Ini mencakup tindakan kekerasan, penindasan, dan ekstremisme.
Peringatan ini menunjukkan bahwa hukum Islam menjunjung tinggi etika perang dan konflik; bahkan dalam permusuhan, ada batasan suci yang tidak boleh dilanggar demi tujuan duniawi.
B. Prinsip Etika Sosial: Al-Birr, At-Taqwa, Al-Ithm, dan Al-'Udwân
Puncak pesan moral dalam Ayat 2 terletak pada perintah untuk berkolaborasi: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan (Al-Birr) dan takwa (At-Taqwa), dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa (Al-Ithm) dan permusuhan (Al-'Udwân).” Bagian ini membentuk fondasi etika sosial dalam Islam.
Visualisasi prinsip Ta'awun yang dibangun di atas dasar kebajikan (Al-Birr) dan ketakwaan (At-Taqwa).
1. Memahami Al-Birr dan At-Taqwa
Al-Birr (Kebajikan): Mencakup seluruh perbuatan baik yang tampak dan konkret, seperti beramal saleh, bersedekah, menunaikan hak-hak sesama, dan memperbaiki fasilitas umum. Ini adalah dimensi praksis dari keimanan.
At-Taqwa (Ketakwaan): Merupakan dimensi spiritual dan internal. Ini adalah kesadaran terus-menerus akan kehadiran Allah, yang mendorong seseorang untuk menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Taqwa adalah kendali batin yang memastikan amal (Birr) dilakukan dengan niat yang benar.
Ketika Allah memerintahkan Ta’awun (gotong royong) di atas kedua pilar ini, artinya kolaborasi sosial harus didasarkan pada tujuan yang baik dan didorong oleh motivasi spiritual yang murni.
2. Larangan Ta’awun dalam Al-Ithm dan Al-'Udwân
Sebaliknya, umat Islam dilarang keras untuk berkolaborasi dalam:
Prinsip ini sangat penting dalam hukum Islam (Fiqh). Ia menetapkan bahwa tujuan tidak pernah menghalalkan cara yang salah, dan solidaritas komunal harus selalu tunduk pada standar moral dan hukum syariat. Ulama berpendapat, jika seseorang mengetahui bahwa temannya akan menggunakan bantuannya (uang, tenaga, atau ide) untuk melakukan kezaliman atau dosa, haram baginya untuk memberikan bantuan tersebut.
C. Pelajaran Jurisprudensi dari Ayat 2
Ayat ini menyimpulkan bahwa kehidupan Muslim adalah kehidupan yang terikat oleh kontrak sosial dan spiritual yang menjamin keamanan, keadilan, dan perdamaian. Tiga poin utama Fiqh yang muncul dari Ayat 2 adalah:
1. Kewajiban Ta’awun Fardhi (Wajib Komunal): Menolong sesama dalam kebaikan adalah wajib kifayah (kewajiban komunal), yang menjadi wajib 'ain (wajib individu) jika hanya dia yang mampu melakukannya, atau jika kezaliman terjadi di depan matanya.
2. Hukum Membantu Kezaliman (I'anah 'Ala Al-Dzulum): Haram secara mutlak. Prinsip ini menjadi dasar hukum dalam mengharamkan segala bentuk dukungan terhadap sistem atau individu yang melakukan penindasan, korupsi, atau pelanggaran syariat.
3. Etika Keadilan Mutlak: Kalimat, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum... mendorongmu berbuat aniaya,” mengajarkan bahwa bahkan permusuhan di masa lalu (seperti pengepungan Masjidil Haram oleh kaum Musyrikin) tidak boleh menjadi alasan untuk membalas dendam yang melanggar hukum. Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang kasih atau benci.
Bagian II: Analisis Surah Al-Maidah Ayat 3 – Kesempurnaan Agama dan Batasan Pangan
A. Deklarasi Historis: Ikmal ad-Din (Kesempurnaan Agama)
Inti dari Ayat 3 adalah pernyataan abadi dan historis yang dikenal sebagai Ayat Ikmal ad-Din. Ayat ini diyakini diturunkan pada Hari Arafah, saat Haji Wada’ (Haji Perpisahan), merupakan wahyu terakhir yang berkaitan dengan penetapan hukum dan syariat.
1. Makna Tiga Kunci Ikmal ad-Din
Allah menyatakan tiga hal penting:
(1) الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ (Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu): Ini berarti semua prinsip dasar keimanan, ibadah, muamalah (interaksi), dan sanksi hukum yang diperlukan telah diturunkan. Syariat Islam kini lengkap dan tidak memerlukan penambahan atau pengurangan hukum fundamental.
(2) وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي (dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku): Nikmat yang dimaksud adalah nikmat hidayah dan risalah. Dengan sempurnanya agama, maka nikmat terbesar Allah, yaitu petunjuk yang jelas menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, telah paripurna diberikan kepada umat manusia.
(3) وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا (dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu): Ini adalah persetujuan Ilahi bahwa Islam dalam bentuknya yang final dan sempurna adalah satu-satunya jalan hidup (din) yang diterima oleh Allah. Hal ini menuntut umat Islam untuk berpegang teguh pada syariat ini tanpa mencari alternatif lain.
2. Keputusasaan Orang Kafir (Ya'is Al-Kuffar)
Penyempurnaan agama menyebabkan keputusasaan pada pihak-pihak yang menentang Islam. Mereka putus asa karena: (a) Mereka tidak lagi berharap agama Islam akan mati atau runtuh; (b) Mereka tidak mampu lagi memasukkan unsur-unsur asing atau bid’ah yang dapat merusak kemurnian syariat, karena batasan-batasan kini telah jelas; (c) Mereka tidak bisa mengalahkan umat Islam melalui ideologi, karena ideologi Islam telah final dan menang secara moral dan hukum.
B. Penetapan Hukum Pangan: Daftar Makanan yang Diharamkan
Bagian pertama dari Ayat 3 berisi daftar spesifik mengenai makanan dan praktik yang diharamkan. Daftar ini merupakan penyempurnaan dari hukum-hukum pangan yang telah diturunkan sebelumnya.
1. Tujuh Jenis Hewan yang Diharamkan (Selain Babi dan Disembelih Selain Nama Allah)
Hukum ini dirancang untuk melindungi kesehatan, martabat, dan kebersihan rohani (thaharah) umat Islam, serta memastikan bahwa penyembelihan dilakukan dengan cara yang paling manusiawi (berdasarkan syariat). Tujuh jenis bangkai yang diharamkan, meskipun mungkin awalnya halal, menjadi haram karena cara matinya yang tidak sesuai syariat:
- Al-Maytah (Bangkai): Hewan yang mati tanpa melalui proses penyembelihan syar'i. Ini berbahaya karena darah kotor (darah yang mengandung toksin) tidak dikeluarkan sepenuhnya. (Pengecualian: Ikan dan belalang, berdasarkan hadis sahih).
- Ad-Damm (Darah): Darah yang mengalir. Darah yang tertinggal di urat atau daging setelah penyembelihan yang halal dimaafkan.
- Lahm Al-Khinzir (Daging Babi): Diharamkan secara mutlak.
- Wa Mā Uhilla Li Ghayrillah Bihī (Disembelih atas nama selain Allah): Tindakan syirik. Makanan ini haram karena alasan akidah, meskipun proses penyembelihannya dilakukan secara fisik dengan baik.
- Al-Munkhaniqah (Yang tercekik): Hewan yang mati karena dicekik atau terperangkap, seperti terjerat tali.
- Al-Mawqūdhah (Yang dipukul): Hewan yang mati karena dipukul benda tumpul hingga mati.
- Al-Mutaraddiyah (Yang jatuh): Hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi (tebing, sumur, dll.).
- An-Naṭīḥah (Yang ditanduk): Hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lain.
- Mā Akala As-Sabu'u (Yang diterkam binatang buas): Hewan yang mati karena dimakan oleh singa, serigala, atau predator lain.
Pengecualian Penting: Illa Mā Dhakkaytum (Kecuali yang sempat kamu sembelih): Jika salah satu dari hewan yang disebutkan dalam poin 5-9 masih memiliki kehidupan (nyawa) yang layak untuk disembelih, dan sempat disembelih secara syar'i, maka hewan itu menjadi halal.
2. Haram karena Penyebab Syirik dan Praktik Jahiliyah
- Mā Dhubiḥa 'Ala An-Nuṣub (Yang disembelih untuk berhala): Nuṣub adalah batu atau altar tempat kaum Jahiliyah menyembelih untuk tuhan-tuhan mereka. Ini haram karena merupakan manifestasi syirik.
- An Tastaqsimū Bil-Azlām (Mengundi nasib dengan anak panah): Azlām adalah anak panah tanpa bulu yang digunakan untuk meramal nasib. Ini adalah praktik takhayul dan syirik kecil (menghubungkan nasib dengan selain Allah). Allah menyebut praktik ini sebagai Fisq (kefasikan).
C. Hukum Dharurah (Kondisi Darurat)
Ayat 3 diakhiri dengan klausul pengecualian yang menunjukkan rahmat Allah yang luar biasa: “Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ini adalah dasar dari prinsip Fiqh tentang darurat (Dharurah):
- Kondisi: Terpaksa (Idhtur), dalam keadaan kelaparan yang mengancam jiwa (Makhmasah).
- Batasan: Tidak bertujuan untuk berbuat dosa (Ghayr Mutajānifin Li Ithmin), artinya mengambil sekadar untuk mempertahankan hidup, bukan karena ingin menikmati yang haram, dan tidak berlebihan.
Dalam kondisi ini, memakan makanan yang biasanya haram (seperti bangkai atau babi) diperbolehkan sebatas yang diperlukan untuk bertahan hidup, menegaskan bahwa menjaga jiwa (hifz an-nafs) adalah salah satu tujuan tertinggi syariat (Maqashid Syariah).
Bagian III: Implikasi Fiqh dan Akidah dari Dua Ayat
Kedua ayat ini, meskipun tampak terbagi antara etika sosial (Ayat 2) dan hukum pangan/akidah (Ayat 3), saling melengkapi dalam membentuk masyarakat Muslim yang ideal: berpegang teguh pada keadilan dan kehalalan, serta bersatu dalam kebaikan.
A. Fiqh Ta'awun (Gotong Royong) dalam Muamalah Kontemporer
Prinsip Ta’awun (Ayat 2) melampaui sekadar bantuan fisik dan menjadi dasar untuk seluruh muamalah (transaksi) dan sistem sosial. Para Fuqaha (ahli hukum) menetapkan kaidah berdasarkan ayat ini:
1. Ta’awun Ekonomi (Tolong-Menolong Finansial)
Ayat 2 mengharuskan umat Islam membangun sistem ekonomi yang berbasis Ta’awun dan bukan eksploitasi. Ini termasuk larangan terhadap praktik riba (karena riba adalah eksploitasi, bertentangan dengan Al-Birr), dorongan terhadap zakat, sedekah, dan sistem bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) yang menekankan keadilan (birr) dan bukan permusuhan ('udwân).
2. Ta’awun Politik dan Administrasi
Dalam tata kelola negara, pemimpin dan masyarakat wajib bekerja sama dalam mewujudkan keadilan (Birr) dan tata kelola yang baik (Taqwa). Kolaborasi dalam korupsi, penindasan minoritas, atau ketidakadilan sistemik apa pun diklasifikasikan sebagai Ta’awun 'Ala Al-Ithm wa Al-'Udwân, yang dilarang keras. Ibnu Taimiyyah menekankan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk menegakkan Birr dan Taqwa.
B. Kedudukan Ayat Ikmal ad-Din dalam Usul Fiqh
Pernyataan kesempurnaan agama (Ayat 3) memiliki dampak mendasar pada Usul Fiqh (Metodologi Hukum Islam):
1. Penutupan Pintu Legislasi (Ijtihad): Setelah ayat ini turun, tidak ada wahyu lain yang akan mengubah atau menambah hukum dasar Islam. Ini menegaskan finalitas kenabian Muhammad ﷺ.
2. Ruang Lingkup Ijtihad: Meskipun syariat dasar sempurna, ijtihad (penalaran hukum) tetap diperlukan. Ijtihad berfokus pada: (a) memahami dan menafsirkan teks yang ada, dan (b) menerapkan prinsip-prinsip syariat yang sudah sempurna pada masalah-masalah baru (Nawazil) yang muncul seiring perubahan zaman, seperti isu bioteknologi atau keuangan modern. Ijtihad tidak boleh menciptakan hukum baru yang bertentangan dengan nash (teks) yang telah sempurna.
3. Kekuatan Hukum Pangan (Halal dan Haram): Deklarasi ini memberikan bobot hukum yang sangat berat pada daftar makanan yang diharamkan. Karena ini adalah hukum terakhir yang diwahyukan, status haramnya adalah definitif (qath’iy), tidak bisa dibatalkan atau direvisi oleh pendapat manusia.
C. Analisis Mendalam tentang Hewan Mati (Al-Maytah) dan Alasan Ilmiah
Mengapa Islam begitu detail dalam mengharamkan bangkai dan cara mati tertentu? Selain alasan spiritual, terdapat justifikasi yang sangat kuat dari sisi kesehatan dan etika:
- Pengeluaran Darah: Penyembelihan syar'i (Dhabh) yang memotong tiga saluran utama (kerongkongan, tenggorokan, dan dua pembuluh darah leher) memastikan sebagian besar darah keluar dari tubuh. Darah adalah medium bagi bakteri dan toksin.
- Kematian Stres: Hewan yang mati karena tercekik, jatuh, atau ditanduk (seperti yang dijelaskan dalam Ayat 3) mengalami stres yang hebat. Hal ini melepaskan hormon stres yang berbahaya dan asam laktat yang merusak kualitas daging. Selain itu, organ vital tidak berfungsi dengan baik untuk membersihkan tubuh sebelum mati.
- Pukulan/Tanduk: Hewan yang mati karena pukulan (Mawqudhah) sering mengalami pendarahan internal, yang bercampur dengan daging, membuatnya haram dan tidak sehat.
Dengan demikian, hukum makanan dalam Ayat 3 bukan hanya perintah dogmatis, tetapi juga merupakan sistem kebersihan dan etika yang canggih yang mendahului ilmu pengetahuan modern tentang higiene pangan.
Bagian IV: Kontinuitas Hukum dan Keutamaan Islam
Kedua ayat ini, bila dipandang sebagai satu kesatuan, menawarkan visi yang utuh mengenai kehidupan seorang Mukmin: berkomitmen pada keadilan universal (Ayat 2) dan tunduk pada batasan Ilahi yang jelas (Ayat 3).
A. Konsekuensi Ketakwaan dalam Ta’awun
Ayat 2 ditutup dengan peringatan, “Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Ini menggarisbawahi bahwa prinsip Ta’awun bukan sekadar saran sosial, tetapi sebuah perintah yang akan dipertanggungjawabkan. Kegagalan dalam membantu kebaikan atau keterlibatan dalam kezaliman membawa konsekuensi serius.
Ketakwaan (Taqwa) adalah jembatan antara Birr dan ketaatan terhadap Syi'arillah. Seorang yang bertakwa akan secara naluriah menjauhi permusuhan dan kezaliman, karena ia menyadari bahwa setiap bantuannya kepada dosa adalah pelanggaran terhadap janji Ilahi.
B. Kekuatan Keyakinan dalam Kesempurnaan
Pernyataan “Aku telah ridha Islam sebagai agamamu” memberikan keyakinan yang mendalam kepada umat Islam. Keyakinan ini melahirkan sikap moderat dan realistis dalam beragama, menjauhkan dari sikap ekstremisme yang ingin menambah atau mengurangi syariat (karena agama sudah sempurna) dan menjauhkan dari fatalisme (karena Allah telah mencukupkan nikmatnya).
Kesempurnaan Islam berarti bahwa sistem ini mampu menjawab seluruh tantangan zaman, bukan dengan mengubah dasar-dasar hukum, melainkan dengan menerapkan metodologi Ijtihad yang fleksibel dan berpegang pada Maqashid Syariah.
C. Prinsip Pengecualian dan Kemudahan Syariat
Prinsip darurat (Dharurah) pada akhir Ayat 3 adalah demonstrasi agung dari kemudahan (Yusr) dalam Islam. Walaupun hukum yang ditetapkan (haramnya makanan tertentu) sangat ketat, Allah menyediakan jalan keluar agar manusia tidak binasa. Kaidah Fiqh yang muncul adalah: “Ad-Dharuratu Tubiḥu Al-Mahzhurat” (Kondisi darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang). Namun, izin ini terikat oleh syarat: dilakukan tanpa kecenderungan untuk berbuat dosa, dan hanya sebatas menghilangkan kondisi darurat.
Kondisi darurat ini tidak hanya berlaku pada makanan, tetapi juga pada aspek hukum lainnya, misalnya dalam pengobatan atau penyelamatan jiwa. Namun, para fuqaha selalu mengingatkan bahwa ruang lingkup dharurah harus dijaga ketat agar tidak menjadi pintu masuk untuk menyepelekan hukum-hukum Allah.
Ilustrasi keseimbangan syariat, menunjukkan bahwa meskipun hukum haram itu ketat, kondisi darurat (Dharurah) adalah pengecualian rahmat Ilahi.
D. Tafsir Mendalam: Lima Inti Hukum dari Ayat 2 dan 3
Untuk memastikan pemahaman yang komprehensif, penting untuk mengidentifikasi lima pokok hukum utama yang ditekankan oleh para mufassir seperti Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir dari gabungan kedua ayat ini:
1. Tauhid dalam Etika (Ayat 2)
Larangan melanggar syi’ar Allah dan bulan haram adalah penekanan pada Tauhid Rububiyah (Ketuhanan) dan Uluhiyah (Ibadah). Ketaatan pada batas-batas suci ini adalah tanda kepasrahan kepada otoritas mutlak Allah, bukan otoritas manusia.
2. Supremasi Keadilan atas Emosi (Ayat 2)
Perintah untuk tidak membiarkan kebencian mendorong perbuatan aniaya adalah kaidah emas dalam hubungan internasional dan domestik. Ini adalah penegasan bahwa hukum (syariat) harus berdiri di atas sentimen pribadi atau komunal. Keadilan harus dilaksanakan bahkan terhadap musuh, sebuah standar moral yang tertinggi.
3. Penentuan Identitas Umat (Ayat 3)
Hukum pangan berfungsi sebagai penentu identitas umat. Makanan halal dan proses penyembelihan yang syar’i membedakan Muslim dari komunitas lain. Hal ini bukan hanya tentang kebersihan fisik, tetapi tentang kepatuhan total kepada Allah yang diridhai.
4. Keseimbangan antara Keteraturan dan Fleksibilitas (Ayat 3)
Penetapan hukum yang kaku (haramnya makanan) diimbangi dengan fleksibilitas yang luar biasa (hukum Dharurah). Syariat adalah teratur, tetapi tidak mematikan. Ia memberikan kemudahan saat manusia benar-benar tidak mampu melaksanakan ketaatan (rukhshah), menunjukkan rahmat (rahmah) Ilahi.
5. Kewajiban Menjaga Kemurnian Agama (Ayat 3)
Pernyataan kesempurnaan agama adalah perintah implisit untuk menjaga agama dari inovasi (bid’ah) dan penyimpangan. Karena Islam telah diridhai dan disempurnakan, segala upaya untuk menambahkan ritual atau hukum yang tidak berdasar adalah upaya untuk menganggap syariat belum lengkap, yang secara langsung bertentangan dengan Ayat Ikmal ad-Din.
E. Detail Lanjutan tentang Praktik Jahiliyah yang Dilarang
Ayat 3 mengharamkan ‘An Tastaqsimu Bil-Azlām’ (mengundi nasib dengan anak panah). Praktik ini sangat umum di zaman Jahiliyah. Mereka menggunakan tiga anak panah yang diberi tulisan: "Lakukan," "Jangan lakukan," dan satu yang kosong. Jika keluar 'Lakukan', mereka akan bertindak. Jika keluar 'Jangan lakukan', mereka akan menahan diri. Jika keluar yang kosong, mereka mengulang undian.
Larangan ini sangat penting karena menunjukkan bahwa keputusan hidup seorang Muslim harus didasarkan pada Tauhid, syariat (musyawarah, ijtihad, istikharah), dan bukan pada kebetulan atau praktik takhayul. Mengundi nasib dengan cara tersebut adalah bentuk Fisq (keluar dari ketaatan) karena menyerahkan kehendak kepada objek mati alih-alih kepada Allah.
Secara ringkas, Surat Al-Maidah Ayat 2 dan 3 adalah manual hidup yang komprehensif. Ayat 2 membangun masyarakat yang ideal melalui kolaborasi moral dan keadilan tanpa batas, sementara Ayat 3 menyempurnakan kerangka hukum dan spiritual, memberikan kepastian bagi umat Islam bahwa mereka berada di atas jalan yang diridhai Allah, lengkap, dan tidak terbantahkan.