Al-Maidah Artinya: Samudra Hukum, Etika, dan Perjanjian Abadi dalam Islam

Surah Al-Maidah (المائدة), atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai 'Hidangan' atau 'Jamuan Makan', adalah surah kelima dalam Al-Qur'an. Surah Madaniyah ini memiliki 120 ayat dan dikenal sebagai salah satu surah yang paling kaya akan penetapan hukum syariat, etika bermasyarakat, dan penegasan hubungan antara umat Islam dengan kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).

Penamaan surah ini diambil dari kisah ajaib di akhir surah (Ayat 112-115), di mana Nabi Isa AS memohon kepada Allah SWT untuk menurunkan sebuah hidangan dari langit sebagai tanda kekuasaan-Nya. Namun, kajian terhadap surah ini jauh melampaui kisah tersebut; ia berfungsi sebagai konstitusi yang mengatur hampir seluruh aspek kehidupan Muslim, mulai dari ritual ibadah hingga hukum pidana dan perjanjian sosial.

Timbangan Keadilan HUKUM & KEADILAN

Gambar 1: Al-Maidah mengandung banyak hukum (syariat), melambangkan keseimbangan dan keadilan.

I. Makna Filosofis dan Konteks Historis Surah Al-Maidah

Surah Al-Maidah diyakini turun pada periode akhir kenabian di Madinah, setelah Surah Al-Fath. Beberapa ulama bahkan menyebutkan bahwa surah ini mengandung ayat terakhir yang diturunkan, khususnya Ayat 3 yang membahas penyempurnaan agama (اليوم أكملت لكم دينكم - Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu). Ini menunjukkan pentingnya surah ini sebagai penyelesaian dan penutup terhadap kerangka hukum Islam.

A. Penyempurnaan Agama (Ayat 3)

...الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا...

Artinya: "...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu..." (QS. Al-Maidah: 3)

Ayat ini diturunkan saat Haji Wada’ (Haji Perpisahan), menandai bahwa seluruh kerangka hukum dasar, etika, dan dogma telah final. Para ahli tafsir menekankan bahwa setelah ayat ini, tidak ada lagi pengharaman atau kewajiban baru yang bersifat mutlak. Oleh karena itu, hukum-hukum dalam Al-Maidah bersifat permanen dan mengikat umat hingga Hari Kiamat. Al Maidah artinya tidak hanya Hidangan, tetapi juga Perjanjian Akhir (The Final Covenant).

B. Pilar-Pilar Utama dalam Surah Al-Maidah

Surah ini dapat dibagi menjadi beberapa blok tematik utama yang menjadi pondasi hukum:

  1. Akad dan Perjanjian (Ayat 1-2): Kewajiban memenuhi janji, baik janji kepada Allah maupun janji antar manusia.
  2. Hukum Makanan (Ayat 3-5): Detail mendalam mengenai yang haram (bangkai, darah, babi, sembelihan selain nama Allah) dan yang halal (termasuk sembelihan Ahli Kitab).
  3. Thaharah (Penyucian) (Ayat 6): Prosedur Wudu dan Tayamum.
  4. Keadilan dan Kesaksian (Ayat 8, 42): Prinsip keadilan mutlak, bahkan terhadap musuh.
  5. Kisah Bani Israil (Ayat 12-32): Pelajaran tentang pelanggaran janji dan kekufuran, termasuk kisah Habil dan Qabil.
  6. Hukum Pidana (Hadd) (Ayat 33, 38, 45): Hukuman bagi perampok, pencuri, dan hukum qisas.
  7. Kepemimpinan dan Loyalitas (Ayat 51): Larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin atau sekutu setia (konteks politik dan militer).
  8. Perjamuan Surgawi (Ayat 112-120): Klimaks surah, kisah Nabi Isa AS dan hidangan dari langit (Al-Maidah).

II. Detail Hukum Fiqih dalam Al-Maidah

Kepadatan hukum (fiqh) dalam surah ini menjadikannya rujukan primer dalam berbagai mazhab. Berikut adalah pembahasan mendalam mengenai beberapa ayat kuncinya.

A. Hukum Thaharah (Penyucian) – Ayat 6

Ayat ini adalah dasar utama bagi tata cara wudu dan tayammum. Ayat ini menegaskan bahwa sebelum ibadah salat, seorang Muslim wajib menyucikan diri. Ayat ini sangat detail dan mengatur urutan (tartib) pencucian:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ...

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki..." (QS. Al-Maidah: 6)

Poin-poin Fiqih dari Ayat 6:

Kedalaman hukum dalam Ayat 6 menunjukkan betapa sentralnya Surah Al-Maidah dalam praktik ibadah harian. Ia memastikan bahwa kondisi ritual harus dipenuhi untuk sahnya salat, menghubungkan kebersihan fisik dengan kesucian spiritual.

B. Etika dan Keadilan Mutlak – Ayat 8

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ...

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..." (QS. Al-Maidah: 8)

Ayat ini adalah salah satu pernyataan etika tertinggi dalam Al-Qur'an. Al Maidah artinya dalam konteks ini adalah landasan etika universal. Keadilan (al-qisṭ) tidak boleh dipengaruhi oleh sentimen pribadi atau kebencian terhadap lawan. Jika seseorang membenci musuhnya, ia tetap wajib memberikan hak-hak musuhnya sesuai hukum. Prinsip ini berlaku dalam kesaksian di pengadilan, keputusan politik, hingga interaksi ekonomi.

Ayat 8 mengajarkan bahwa keadilan adalah syarat mutlak ketakwaan (huwa aqrabu lit-taqwa). Tanpa keadilan, praktik ibadah ritual menjadi hampa di hadapan Allah. Keadilan harus ditegakkan bahkan jika itu merugikan diri sendiri, kerabat, atau komunitas Muslim sendiri.

III. Pelajaran dari Sejarah Umat Terdahulu

Sebagian besar Surah Al-Maidah mendedikasikan ruang yang luas untuk menceritakan kisah-kisah Bani Israil dan Nabi Isa AS. Tujuannya bukan sekadar narasi sejarah, tetapi sebagai peringatan dan perbandingan bagi umat Nabi Muhammad SAW.

A. Pelanggaran Perjanjian (Ayat 12-26)

Allah SWT mengambil perjanjian dari Bani Israil (keturunan Ya'qub) dan mengutus 12 pemimpin di antara mereka. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian tersebut. Akibatnya, mereka dikutuk, hati mereka menjadi keras, dan perselisihan timbul di antara mereka.

Pelajaran yang terkandung adalah bahwa janji (‘uqud) yang disebutkan di awal surah (Ayat 1) harus dijaga. Pelanggaran janji membawa konsekuensi sosial dan spiritual yang parah. Surah ini memperingatkan umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, yaitu mendustakan ayat-ayat Allah setelah diberikan nikmat berupa petunjuk dan nabi.

B. Kisah Dua Putra Adam: Habil dan Qabil (Ayat 27-32)

Kisah pembunuhan pertama di muka bumi disajikan sebagai penekanan atas kesucian nyawa manusia. Ketika Qabil membunuh Habil karena iri hati, Allah menetapkan hukum universal mengenai pembunuhan.

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا...

Artinya: "Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya..." (QS. Al-Maidah: 32)

Ayat 32 ini menjadi landasan etika kemanusiaan dalam Islam: pembunuhan yang tidak adil (bukan qisas atau hukuman atas perusakan) adalah kejahatan terbesar, setara dengan menghancurkan seluruh umat manusia. Sebaliknya, menyelamatkan satu jiwa setara dengan menyelamatkan seluruh kehidupan. Hukum ini berlaku secara universal, melintasi batas agama, dan merupakan inti dari ajaran konservasi kehidupan (hifz an-nafs) dalam Syariah.

IV. Penetapan Hukum Pidana (Had) dan Jinayat

Al-Maidah berfungsi sebagai sumber penting untuk hukum pidana Islam (jinayat), khususnya mengenai hukuman bagi pelaku kejahatan serius yang disebut hadd (hukuman yang kadarnya telah ditetapkan oleh syariat).

A. Hukum Pidana bagi Perampok dan Pembuat Kerusakan (Ayat 33-34)

Ayat 33 membahas hukuman bagi mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan (fasad) di bumi. Kerusakan ini termasuk perampokan di jalan, terorisme, atau pemberontakan bersenjata.

B. Hukum Pencurian (Sariqah) – Ayat 38

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ...

Artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah..." (QS. Al-Maidah: 38)

Ayat ini menetapkan hukuman potong tangan bagi pencuri. Namun, penerapan ayat ini dalam fiqih Islam sangat ketat dan penuh syarat. Para fuqaha (ahli hukum) menetapkan:

Penerapan hukum had adalah manifestasi dari keadilan yang keras namun bertujuan melindungi hak individu dan stabilitas masyarakat. Surah Al-Maidah memastikan bahwa hukum had harus diterapkan hanya setelah proses peradilan yang sangat teliti dan adil.

V. Loyalitas dan Pergaulan dengan Ahli Kitab

Salah satu bagian paling sensitif dan sering disalahpahami dari Al-Maidah adalah serangkaian ayat yang membahas hubungan Muslim dengan Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab).

A. Larangan Mengambil Pemimpin (Waliy) – Ayat 51

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ...

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin (wali); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka..." (QS. Al-Maidah: 51)

Kata kunci di sini adalah أَوْلِيَاءَ (Awliyā'), yang dapat diterjemahkan sebagai 'pemimpin,' 'sekutu dekat,' atau 'pelindung setia.' Ayat ini diturunkan dalam konteks historis Madinah, di mana umat Islam sedang berada dalam konflik eksistensial dengan kelompok-kelompok tertentu dari Ahli Kitab yang membelot dari perjanjian dan bersekutu dengan musuh Mekkah.

Tafsir Kontemporer: Para ulama modern membedakan antara:

  1. Pergaulan Sosial (Birr): Diperbolehkan, bahkan dianjurkan (Ayat 8, 42). Muslim boleh berdagang, berinteraksi, dan bersikap baik kepada non-Muslim.
  2. Loyalitas Politik/Militer (Waliy): Inilah yang dilarang keras. Ayat 51 melarang loyalitas yang mengarah pada pengkhianatan terhadap komunitas Muslim atau menempatkan diri di bawah kepemimpinan non-Muslim yang bertujuan merusak kepentingan Islam dan Muslim. Ini adalah perintah yang berhubungan dengan kedaulatan negara dan identitas politik, bukan larangan bersosialisasi.

B. Batasan Halal dan Haram dalam Pernikahan dan Makanan – Ayat 5

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ...

Artinya: "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal (pula) bagi mereka. Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu..." (QS. Al-Maidah: 5)

Ayat ini adalah salah satu yang paling liberal dalam hal interaksi antar-agama:

Ayat 5 dan Ayat 51 bersama-sama menciptakan keseimbangan: keintiman sosial dan kerukunan diizinkan (makanan/pernikahan), tetapi loyalitas politik atau militer yang berpotensi merugikan komunitas Muslim dilarang.

VI. Hukum Sumpah, Kaffarah, dan Larangan (Ayat 87-108)

Al-Maidah juga merinci hukum-hukum terkait sumpah (sumpah) dan penebusannya (kaffarah), serta larangan terhadap hal-hal yang dapat merusak akal dan harta.

A. Larangan Berlebihan dan Penghalalan yang Baik (Ayat 87-88)

Ayat 87 melarang orang beriman mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah. Ini adalah teguran terhadap praktik-praktik asketisme atau pengekangan diri yang berlebihan (seperti menjauhi makanan tertentu, atau menolak menikah) yang dilakukan oleh beberapa komunitas agama lain, termasuk beberapa sekte Kristen atau bahkan beberapa sahabat Nabi yang ingin beribadah secara ekstrem. Islam mendorong keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi.

B. Pengharaman Khamr dan Judi (Ayat 90-91)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Maidah: 90)

Ayat ini merupakan tahap final pengharaman alkohol (khamr) dan perjudian (maysir). Dalam fiqih, Ayat 90 ini mutlak dan bersifat permanen. Khamr dan judi diletakkan sejajar dengan perbuatan syirik (menyembah berhala) karena potensi kerusakan besar yang ditimbulkannya terhadap akal, harta, dan hubungan sosial (Ayat 91).

Hukum yang ditetapkan oleh Surah Al-Maidah ini melindungi lima kebutuhan dasar (maqāṣid al-sharī‘ah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

C. Hukum Sumpah dan Kaffarah (Ayat 89)

Jika seseorang melanggar sumpah (sumpah yang disengaja), ia wajib membayar kaffarah (penebusan). Al-Maidah secara spesifik menetapkan kaffarah tersebut, yaitu memilih salah satu dari tiga opsi:

  1. Memberi makan 10 orang miskin.
  2. Memberi pakaian 10 orang miskin.
  3. Memerdekakan satu budak.

Jika tidak mampu melakukan salah satu dari tiga hal di atas, barulah ia diperbolehkan berpuasa selama tiga hari. Ini menekankan prioritas amal kebajikan dan bantuan sosial di atas ibadah ritual jika terkait pelanggaran hak dan perjanjian.

VII. Klimaks Surah: Kisah Hidangan dari Langit (Al-Maidah)

Akhir surah ini kembali kepada kisah Nabi Isa AS dan para hawariyyun (murid-murid setianya), yang merupakan asal muasal penamaan surah ini.

A. Permintaan Mukjizat dan Ketegasan Syarat (Ayat 112-115)

Para hawariyyun meminta kepada Nabi Isa agar Allah menurunkan hidangan (al-maidah) dari langit sebagai penguat iman dan kesempatan bagi mereka untuk makan darinya. Nabi Isa awalnya ragu dan takut, tetapi permintaan tersebut akhirnya dipenuhi oleh Allah SWT.

Hidangan Al-Maidah Hidangan dari Langit (Al-Maidah)

Gambar 2: Nabi Isa AS memohon diturunkannya hidangan dari langit (Al-Maidah) sebagai mukjizat.

Namun, Allah memberikan peringatan yang sangat keras: jika ada yang ingkar setelah melihat mukjizat hidangan tersebut, maka mereka akan ditimpa azab yang tidak pernah ditimpakan kepada umat manapun. Al Maidah artinya dalam konteks ini adalah ujian keimanan yang final, di mana Allah menyediakan bukti tak terbantahkan, tetapi menuntut konsekuensi yang setimpal bagi yang menolaknya.

B. Penutupan Kisah Isa AS dan Penegasan Tauhid (Ayat 116-120)

Ayat-ayat penutup surah ini mencakup dialog yang sangat penting antara Allah SWT dan Nabi Isa AS di Hari Kiamat. Allah bertanya kepada Isa, "Apakah engkau berkata kepada manusia, 'Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah'?"

Nabi Isa menafikan klaim tersebut dan bersaksi bahwa ia hanya menyampaikan perintah untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Bagian ini berfungsi untuk mengoreksi doktrin trinitas yang berkembang di kalangan Nasrani, menekankan bahwa Nabi Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, bukan tuhan. Ini mengukuhkan prinsip Tauhid (keesaan Allah) sebagai fondasi yang menyatukan semua ajaran nabi, termasuk ajaran Nabi Isa AS.

VIII. Analisis Mendalam dan Implementasi Hukum Al-Maidah

Karena kandungan hukum yang sangat padat, Al-Maidah sering disebut sebagai ‘surah perjanjian’ (Surat Al-'Uqūd). Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai implikasi hukum dan sosialnya.

A. Fiqih Makanan dan Konsep Thayyib (Ayat 1-5)

Hukum makanan dalam Al-Maidah tidak hanya berkutat pada halal dan haram, tetapi juga menekankan konsep thayyib (baik/suci). Haram adalah bangkai (maitah), darah (dam), daging babi (lahm al-khinzir), dan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah (ma ūhilla li-ghayri Allāh bihi). Pengecualian penting adalah air laut dan hasil buruan laut.

Dalam konteks modern, ulama menggunakan ayat-ayat ini untuk menetapkan hukum mengenai makanan hasil rekayasa genetika (GMO) atau produk yang mengandung gelatin/enzim turunan babi. Prinsipnya tetap: jika ada keraguan (syubhat) mengenai kehalalan, maka harus dihindari, sejalan dengan perintah dalam Ayat 1 untuk memenuhi perjanjian dan menjauhi yang haram secara definitif.

B. Syarat Kaffarah dan Hukum Zihar (Pembedahan Konteks)

Meskipun Surah Al-Maidah mengatur kaffarah sumpah (Ayat 89), penting untuk dicatat bahwa konsep penebusan juga berlaku dalam surah lain (misalnya Al-Mujadilah untuk Zihar, atau An-Nisa untuk pembunuhan tidak sengaja). Ayat 89 di Al-Maidah berfungsi sebagai model dasar tentang bagaimana penebusan dosa atau pelanggaran janji harus diwujudkan, yaitu dengan berbuat baik kepada sesama manusia (memberi makan/pakaian) sebelum beralih ke ibadah murni (puasa).

C. Peran Taurat dan Injil (Ayat 44-50)

Al-Maidah secara tegas mengakui bahwa Taurat (di tangan Nabi Musa) dan Injil (di tangan Nabi Isa) adalah petunjuk dan cahaya. Ayat 44, 45, dan 47 bahkan memerintahkan Ahli Kitab untuk memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan dalam kitab mereka.

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Artinya: "Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah: 44)

Tiga ayat (44, 45, 47) menggunakan istilah yang berbeda untuk orang yang menolak hukum Allah (kafirun, zalimun, fasiqūn). Meskipun konteks awalnya adalah teguran keras terhadap Ahli Kitab yang menyembunyikan atau mengubah hukum ilahi dalam kitab mereka, para ulama sering memperluas maknanya untuk mencakup umat Islam yang secara sadar menolak Syariah. Al Maidah artinya dalam konteks ini adalah supremasi hukum ilahi, di mana Al-Qur’an (dan Sunnah) adalah penentu akhir yang menyempurnakan semua syariat sebelumnya.

Kesimpulan: Fungsi Sentral Al-Maidah

Surah Al-Maidah adalah salah satu pilar legislatif Islam. Dari perintah thaharah sebelum salat hingga hukum pidana yang ketat; dari keharusan adil terhadap musuh hingga kebolehan mengonsumsi sembelihan Ahli Kitab dan menikah dengan mereka. Surah ini menetapkan batas-batas (hudud) antara yang halal dan haram, dan antara loyalitas keimanan dan toleransi sosial.

Melalui pelajaran dari Bani Israil dan kisah mukjizat Nabi Isa AS, Al-Maidah menyerukan konsistensi, pemenuhan janji, dan penegakan keadilan tanpa kompromi. Ia memastikan bahwa setelah turunnya surah ini, agama Islam telah sempurna, menyediakan panduan komprehensif untuk mencapai keselamatan di dunia dan akhirat.

Memahami al maidah artinya berarti memahami bukan hanya kisah hidangan surgawi, tetapi juga seluruh konstitusi yang mengatur masyarakat yang beriman dan adil.

IX. Ekstensi: Tafsir Ayat-Ayat Kunci (Implikasi Hukum Fiqih Lanjutan)

A. Tafsir Mendalam Ayat 4: Buruan dan Pendidikan Hewan

Ayat 4 membahas mengenai buruan (sayd) yang halal, khususnya hasil buruan dari binatang pemburu yang telah terlatih (kalb atau falcon). Ayat ini memiliki implikasi besar dalam fiqih berburu:

1. Syarat Hewan Pemburu: Hewan haruslah terlatih (mu'allimin). Artinya, hewan tersebut harus patuh pada perintah pemiliknya dan tidak memakan buruan itu sendiri. Jika hewan pemburu memakan sebagian buruan, maka sembelihan tersebut menjadi haram, karena diduga ia berburu untuk dirinya sendiri, bukan untuk tuannya.

2. Prosedur: Ketika hewan pemburu dilepas dengan menyebut nama Allah (Bismillah), dan ia berhasil menangkap buruan, buruan tersebut halal meskipun buruan mati sebelum sempat disembelih secara ritual (jika kematian disebabkan oleh gigitan/cakar hewan pemburu yang terlatih).

3. Pentingnya Niat: Jika seorang pemburu melempar atau menembak tanpa menyebut Bismillah, maka buruan itu haram, bahkan jika ia adalah Ahli Kitab. Ini menegaskan bahwa ritual keagamaan (Basmalah) adalah kunci untuk membedakan antara yang halal dan yang haram dalam sembelihan.

B. Hukum Perang dan Fasad (Ayat 33-34) – Studi Kasus Pemberontakan

Ayat 33, mengenai hukuman bagi mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berbuat fasad (kerusakan) di bumi, menjadi dasar bagi hukum Hirabah (Perampokan atau Terorisme). Para ulama membedakan hukuman berdasarkan jenis kejahatan yang dilakukan oleh kelompok perampok/teroris:

Hukum ini memiliki implikasi sosial yang mendalam: penegasan keamanan publik adalah prioritas syariat. Namun, Ayat 34 memberikan jalan keluar, menegaskan bahwa jika pelaku kejahatan ini bertaubat dan menyerahkan diri sebelum ditangkap, hukuman had (pidana keras) gugur, meskipun hak korban (harta atau qisas) tetap harus dipenuhi.

C. Ancaman Kafir, Zalim, Fasiq (Ayat 44, 45, 47)

Trilogi ayat ini, yang sering disalahpahami sebagai satu hukuman tunggal, sebenarnya menjelaskan tiga tingkatan dosa bagi mereka yang menolak hukum Allah:

1. Kafirun (Orang Kafir): Diberlakukan pada Ayat 44. Ini adalah tingkat tertinggi, yang diinterpretasikan sebagai penolakan total dan keyakinan bahwa hukum Allah tidak relevan atau lebih rendah daripada hukum buatan manusia. Ini adalah penolakan berdasarkan keyakinan (iktikad).

2. Zalimun (Orang Zalim/Aniaya): Diberlakukan pada Ayat 45 (terkait hukum Qisas). Ini merujuk pada ketidakadilan dalam penerapan hukum, di mana hakim mengetahui hukum Allah tetapi sengaja menerapkan hukum yang menzalimi, misalnya memberi keringanan kepada kerabat atau orang kaya.

3. Fasiqūn (Orang Fasik/Melanggar Batas): Diberlakukan pada Ayat 47. Ini merujuk pada pelanggaran yang disebabkan oleh hawa nafsu atau kelalaian dalam menjalankan hukum, tanpa menolak keabsahan hukum itu sendiri. Tingkatannya lebih ringan dari kekafiran iktikadi.

Para ulama seperti Ibn Abbas dan ulama Salaf lainnya menegaskan bahwa kekafiran dalam Ayat 44 bukanlah kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam (kufr akbar) kecuali ia meyakini bahwa hukum selain Allah itu lebih baik. Jika ia meyakini Syariah itu wajib tapi tidak menerapkannya karena malas atau korupsi, ia jatuh ke kategori zalim atau fasiq.

D. Kewajiban Menjaga Amanah dan Saksi (Ayat 106-108)

Bagian akhir Al-Maidah kembali ke tema perjanjian dan kesaksian, memberikan panduan hukum yang sangat spesifik mengenai wasiat yang dibuat saat menjelang kematian, terutama saat bepergian.

1. Dua Saksi dari Kalangan Muslim: Wasiat harus disaksikan oleh dua orang Muslim yang adil.

2. Saksi Non-Muslim (Darurat): Jika wasiat dibuat saat dalam perjalanan dan tidak ada saksi Muslim yang tersedia, diperbolehkan mengambil dua saksi dari non-Muslim (Ahli Kitab atau lainnya). Ini menunjukkan pragmatisme hukum Islam untuk memastikan hak waris dan wasiat terlindungi.

3. Sumpah atas Saksi: Jika ada kecurigaan bahwa saksi non-Muslim tersebut berbohong atau berkhianat, mereka harus disumpah setelah salat di hadapan publik (Ayat 107), menekankan keseriusan sumpah di tempat ibadah.

Bagian ini menyimpulkan Surah Al-Maidah dengan penekanan pada perlindungan hak harta dan jiwa, bahkan dalam kondisi terdesak, dengan memastikan bahwa setiap transaksi dan perjanjian harus dicatat dan disaksikan secara jujur.

X. Konsekuensi Sosial dan Spiritual Al-Maidah

Al-Maidah bukan hanya kumpulan hukum, melainkan peta jalan untuk membangun masyarakat ideal (madani) yang diidamkan Rasulullah SAW di Madinah.

A. Konsep Ummatan Wasatan (Umat Pertengahan)

Dengan menyeimbangkan antara larangan ekstrem (asketik) dan permisivitas tanpa batas, Al-Maidah memposisikan umat Islam sebagai Ummatan Wasatan (umat pertengahan). Ia menolak ekstremisme agama (seperti rahib yang berlebihan dalam ibadah) dan pada saat yang sama melarang dekadensi moral (khamr, judi, pembunuhan).

Perintah untuk tidak mengharamkan yang baik-baik (Ayat 87) adalah manifestasi dari penolakan terhadap pemisahan total antara spiritualitas dan kehidupan duniawi. Umat Islam diizinkan menikmati karunia Allah selama dalam batas-batas yang ditetapkan (halalan thayyiban).

B. Perlindungan Kaum Minoritas (Dzimmi)

Meskipun Surah Al-Maidah memberikan peringatan keras tentang loyalitas politik (Ayat 51), konteks hukum yang lebih luas yang ditetapkan dalam surah ini justru menjamin hak-hak Ahli Kitab. Perintah untuk bersikap adil (Ayat 8) dan membolehkan interaksi personal (Ayat 5) memastikan bahwa komunitas non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam (Dzimmī) dijamin keamanannya, keadilan hukumnya, dan hak sosialnya.

Ketika Ayat 42 menyebutkan bahwa Rasulullah harus memutuskan perkara di antara Ahli Kitab dengan adil (in hakamta fahkum baynahum bil-qisṭ), ini menegaskan bahwa keadilan adalah prinsip utama, tidak peduli apa pun keyakinan pihak yang berperkara.

C. Pelajaran dari Keterlambatan dan Tahapan Hukum (Khamr)

Proses pengharaman khamr (alkohol) mencapai puncaknya di Ayat 90 Al-Maidah. Sebelumnya, ada tahapan teguran di Surah An-Nisa dan Al-Baqarah. Ini mengajarkan metodologi hukum Islam (Usul Fiqih): hukum sosial yang mengakar kuat harus diubah secara bertahap. Al-Maidah menandai fase finalisasi, di mana komunitas Muslim telah siap secara spiritual dan sosial untuk menerima hukum yang bersifat mutlak dan permanen.

Oleh karena itu, ketika kita memahami al maidah artinya, kita tidak hanya merujuk pada hidangan makanan, tetapi pada hidangan petunjuk ilahi yang lengkap, sebuah konstitusi yang mencakup ritual, moralitas, dan yurisprudensi sipil dan pidana.

Surah ini, yang merupakan salah satu surah terakhir yang diturunkan, menutup bab kenabian dengan memberikan kerangka hukum yang kokoh, menjadikannya rujukan utama bagi setiap Muslim yang ingin memahami kedalaman dan kesempurnaan Syariat Islam.

XI. Telaah Kontinu Ayat-Ayat Hukum dalam Fiqih Klasik

Warisan hukum dari Al-Maidah tidak pernah berhenti ditelaah oleh para mujtahid. Kita akan menguraikan implikasi lebih lanjut dari beberapa ketentuan yang menjadi perdebatan sengit dalam sejarah fiqih Islam.

A. Hukum Sembelihan Ahli Kitab (Dhabīḥat Ahl al-Kitāb)

Ayat 5 secara jelas membolehkan sembelihan Ahli Kitab, menimbulkan diskusi penting:

  1. Syarat Kehalalan: Sembelihan mereka halal selama memenuhi dua syarat: 1) mereka adalah Yahudi atau Nasrani, dan 2) mereka menyembelih untuk tujuan konsumsi dan bukan untuk persembahan dewa.
  2. Perbedaan Pendapat: Mazhab Hanafi dan Maliki cenderung lebih longgar, menganggap sembelihan Ahli Kitab halal asalkan diketahui mereka menyembelih. Mazhab Syafi'i lebih ketat, mensyaratkan bahwa penyembelihan harus sesuai dengan cara yang disyariatkan (memotong urat leher dan tenggorokan).
  3. Implikasi Kontemporer: Dalam konteks industri makanan modern, isu ini menjadi krusial. Apakah daging yang diproses oleh perusahaan non-Muslim (Ahli Kitab) di negara Barat otomatis halal? Konsensus modern seringkali kembali menekankan keharusan menyebut nama Allah atau setidaknya tidak menyebut nama selain Allah saat penyembelihan.

B. Hukum Qisas dan Diyat (Ayat 45)

Ayat 45 memuat prinsip Qisas (balasan yang setimpal) dalam konteks pembunuhan dan luka fisik, mengutip dari Taurat: jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, dan seterusnya. Ini adalah prinsip kesetaraan absolut.

Namun, Islam memperkenalkan unsur fleksibilitas yang tidak ada dalam Syariat Musa, yaitu Afu (pemaafan) dan Diyat (denda/kompensasi). Ayat 45 menyatakan: "Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu menjadi penebus dosa baginya." Ini mengubah Qisas dari sekadar hukuman menjadi hak yang dapat ditukar dengan pemaafan atau uang darah (diyat), menekankan nilai kemanusiaan dan rekonsiliasi.

C. Ancaman terhadap Pelanggaran Janji (Ayat 52-53)

Ayat 52-53 membahas perilaku orang-orang munafik yang tergesa-gesa mencari perlindungan atau persekutuan dengan Ahli Kitab karena takut ditimpa bencana. Allah menegur mereka dengan mengatakan bahwa semua urusan adalah milik Allah; ketika pertolongan Allah datang, orang-orang munafik ini akan menyesal atas persekutuan mereka.

Implikasinya: Muslim harus memiliki keyakinan penuh kepada Allah sebagai Pelindung utama. Kebutuhan akan sekutu (dari non-Muslim) tidak boleh mengalahkan prinsip-prinsip keimanan, terutama jika sekutu tersebut menunjukkan permusuhan tersembunyi terhadap Islam.

XII. Penutup: Al-Maidah sebagai Manifestasi Rahmat Allah

Surah Al-Maidah, dengan segala ketegasan hukumnya, adalah wujud rahmat Allah. Hukum yang jelas adalah rahmat karena ia mencegah kekacauan (anarki) dan memberikan kepastian, memastikan bahwa manusia memiliki batasan yang pasti untuk mencapai kesejahteraan (falah).

Dari pengurusan air (wudu) hingga pengurusan negara (hukum had), Al Maidah artinya adalah petunjuk sempurna yang diturunkan pada akhir kenabian untuk memastikan bahwa umat Muhammad memiliki pondasi hukum yang tidak dapat digoyahkan.

Mematuhi Surah Al-Maidah adalah perwujudan dari rasa syukur atas kesempurnaan nikmat Islam yang diberikan Allah, sebagaimana diikrarkan dalam ayat penutup penyempurnaan agama: ...وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا...

D. Hukum Buruan (Sayd) dan Etika Lingkungan

Ayat-ayat Al-Maidah terkait buruan (Ayat 94-96) juga memberikan landasan bagi etika lingkungan dalam Islam. Selama keadaan ihram (haji atau umrah), berburu di darat dilarang keras, dan bagi yang melanggarnya diwajibkan membayar denda berupa hewan ternak yang setara, yang kemudian disembelih dan dagingnya diberikan kepada fakir miskin di sekitar Ka’bah.

Larangan ini menunjukkan bahwa tempat suci (Haram) dan waktu suci (Ihram) harus dihormati dengan menahan diri dari tindakan kekerasan, bahkan terhadap hewan liar. Fiqih menetapkan bahwa perburuan yang diizinkan di luar ihram pun harus dilakukan secara etis, tidak berlebihan, dan hanya untuk kebutuhan makan.

E. Fungsi Kaffarah dalam Hukum Pidana (Tambahan Fiqih)

Kaffarah (penebusan) yang dijelaskan dalam Al-Maidah (Ayat 89) untuk sumpah, berfungsi sebagai mekanisme pembersihan dosa. Prinsip ini berbeda dari Diyat (ganti rugi korban). Kaffarah adalah hak Allah, sementara Diyat adalah hak individu. Dalam konteks sumpah, kaffarah harus dibayar karena janji yang dilanggar melukai ikatan spiritual dengan Allah. Dalam seluruh Surah Al-Maidah, kita melihat pola ini: setiap pelanggaran hukum (had) selalu diiringi dengan seruan untuk bertaubat (Ayat 34, 39, 74) atau penetapan kaffarah, menekankan bahwa pintu pengampunan selalu terbuka selama ada penyesalan dan perbaikan.

Secara keseluruhan, Surah Al-Maidah menjadi cermin bagi umat Islam. Ia menuntut kejujuran dalam berinteraksi (Akad), ketulusan dalam beribadah (Thaharah), keberanian dalam menegakkan kebenaran (Keadilan), dan kebijaksanaan dalam berpolitik (Loyalitas). Inilah makna sejati dari Al Maidah artinya: Hidangan Hukum dan Kehidupan yang paripurna.

🏠 Kembali ke Homepage