Melindungi satu kehidupan adalah melindungi seluruh kemanusiaan.
Surah Al-Maidah ayat 32 (5:32) merupakan salah satu pilar etika tertinggi dalam diskursus Islam mengenai nilai fundamental eksistensi manusia. Ayat ini, meskipun diturunkan dalam konteks sejarah Bani Isra'il, membawa pesan universal yang melampaui batas waktu dan geografi, menegaskan betapa sakralnya nyawa setiap individu. Ia menetapkan sebuah standar moral yang tak tertandingi, menghubungkan tindakan individual—baik itu penghancuran atau penyelamatan satu jiwa—dengan nasib kolektif seluruh umat manusia.
Prinsip yang terkandung dalam ayat ini adalah fondasi bagi seluruh sistem hukum dan moralitas sosial dalam Islam. Ayat ini tidak hanya mengharamkan pembunuhan, tetapi juga secara aktif mendorong perlindungan dan pemeliharaan kehidupan dalam segala bentuknya. Untuk memahami kedalaman makna ini, kita harus menyelami konteks, tafsir, dan implikasi yuridis serta sosialnya yang luas.
(... oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya ...)
Ayat ini diturunkan setelah kisah tragis Qabil dan Habil, anak-anak Adam, yang menjadi pelajaran pertama tentang kejahatan dan konsekuensi pembunuhan. Kisah ini berfungsi sebagai prolog dramatis untuk penegasan hukum ilahi: kejahatan yang paling fundamental adalah menghilangkan nyawa yang tidak berdosa. Dengan menyebut Bani Isra'il (yang juga menerima ajaran keras tentang larangan membunuh), Al-Qur'an mengaitkan prinsip ini dengan tradisi kenabian yang lebih tua, menunjukkan konsistensi ajaran ilahi tentang kesucian hidup.
Para mufasir, seperti Imam Ibnu Katsir dan Imam Al-Qurtubi, menjelaskan bahwa analogi "membunuh seluruh manusia" bukanlah pernyataan literal tentang dampak fisik, melainkan penekanan pada dampak moral dan spiritual. Ketika seseorang membunuh satu jiwa tanpa hak, ia telah menghancurkan prinsip kemanusiaan dalam dirinya sendiri. Ia telah melanggar perjanjian fundamental antara manusia dan Penciptanya, membuka pintu bagi kekacauan sosial yang tak terbatas.
Pembunuhan satu individu adalah pembunuhan terhadap potensi kemanusiaan yang utuh. Setiap manusia membawa genetik, potensi, dan peran sosial yang unik. Menghilangkan satu jiwa berarti memutuskan rantai keturunan, menghancurkan harapan keluarga, dan menghilangkan kontribusi unik yang seharusnya diberikan individu tersebut kepada peradaban. Dalam pandangan ini, kerugiannya adalah total, setara dengan kerugian yang ditimbulkan jika seluruh umat manusia musnah.
Secara hukum, pembunuhan yang tidak adil (tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat, seperti qisas atau hukuman untuk *fasad fil ardh*) adalah kejahatan terberat setelah syirik. Analoginya yang ekstrem ini bertujuan untuk menanamkan rasa takut dan penghormatan yang mendalam terhadap nyawa, sehingga mencegah kejahatan serupa terjadi di masyarakat. Jika satu orang dibiarkan membunuh tanpa konsekuensi moral yang berat, maka seluruh sistem sosial akan runtuh.
Ayat ini secara eksplisit memberikan pengecualian: pembunuhan yang terjadi "bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi." Dua pengecualian ini merujuk pada prinsip-prinsip syariah yang mengatur keadilan dan ketertiban sosial:
Pengecualian ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan distributif; perlindungan nyawa tidak berarti anarki mutlak, tetapi perlindungan nyawa yang dilaksanakan dalam kerangka hukum yang menghukum mereka yang merusak nyawa dan tatanan sosial secara sengaja.
Istilah Fasad fil Ardh adalah kunci untuk memahami etika Al-Maidah 32. Ini adalah konsep yang jauh melampaui pembunuhan fisik dan mencakup segala tindakan yang merusak keseimbangan alam, moralitas, ekonomi, dan sosial masyarakat. Kerusakan di muka bumi adalah antitesis dari tujuan syariah (Maqashid Shariah) itu sendiri.
Dalam interpretasi modern, Fasad fil Ardh mencakup perusakan lingkungan yang menyebabkan hilangnya sumber daya vital dan mengancam kehidupan generasi mendatang. Pencemaran besar-besaran, deforestasi tanpa batas, dan eksploitasi alam yang rakus dianggap sebagai bentuk kerusakan yang menghancurkan basis kelangsungan hidup manusia, dan oleh karena itu setara dengan kejahatan yang mengancam kehidupan massal.
Kerusakan yang paling serius adalah kerusakan sosial: korupsi sistemik, tirani, penindasan terhadap kaum lemah, penyebaran kebohongan yang menghancurkan integritas masyarakat, dan ketidakadilan ekonomi yang mengakibatkan kelaparan dan kemiskinan massal. Para ulama kontemporer sepakat bahwa rezim yang sengaja menelantarkan warganya atau melakukan penganiayaan struktural terhadap kelompok minoritas sedang melakukan Fasad fil Ardh, karena mereka secara sistematis menghilangkan "kehidupan" (dalam arti martabat dan hak dasar) banyak orang.
Maka, ayat ini menjadi landasan teologis untuk perjuangan melawan ketidakadilan struktural. Upaya untuk membersihkan masyarakat dari korupsi dan menegakkan pemerintahan yang adil adalah bentuk aktif dari "memelihara kehidupan seluruh manusia."
Bagian kedua dari ayat ini menawarkan antitesis yang kuat dan harapan yang besar: "Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya."
Makna 'memelihara' (Ih-ya') tidak hanya terbatas pada tindakan heroik menyelamatkan seseorang dari kematian yang sudah dekat (seperti pemadaman kebakaran atau pertolongan medis). Para ulama memperluas definisi ini untuk mencakup:
Setiap tindakan kecil yang menegakkan martabat manusia, melindungi haknya, dan memberinya kesempatan untuk hidup sehat dan bermakna, dianggap sebagai bentuk pemeliharaan kehidupan yang memiliki bobot setara dengan menyelamatkan seluruh umat manusia.
Mengapa menyelamatkan satu jiwa disamakan dengan menyelamatkan semua? Karena tindakan penyelamatan atau kebaikan menciptakan efek domino. Individu yang diselamatkan akan memiliki kesempatan untuk berkontribusi pada masyarakat. Ia akan menjadi orang tua, guru, inovator, atau pekerja. Tindakannya akan memengaruhi orang lain secara positif. Lebih penting lagi, tindakan penyelamatan tersebut menegaskan kembali nilai fundamental kehidupan di mata seluruh masyarakat, mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama, sehingga memperkuat pondasi moral kolektif.
Prinsip ini adalah panggilan untuk optimisme sosial. Ia mengajarkan bahwa keputusasaan kolektif tidak seharusnya menghentikan upaya kebaikan individual. Satu tindakan kebajikan memiliki daya ungkit yang tak terhingga.
Ayat ini berfungsi sebagai jantung dari Maqashid Shariah (Tujuan Hukum Islam), khususnya dalam perlindungan terhadap lima kebutuhan esensial manusia (Adh-Dharuriyyat Al-Khams). Ayat ini secara langsung berhubungan dengan perlindungan dua pilar utama:
Ini adalah perlindungan mutlak terhadap kehidupan fisik dan kesehatan. Ayat 32 memastikan bahwa perlindungan ini bersifat universal, tidak terbatas pada ras, agama, atau status sosial. Islam melarang bunuh diri, eutanasia, dan aborsi (kecuali dalam kondisi medis tertentu yang mengancam nyawa ibu), semua karena penegasan dari Hifzh An-Nafs yang diamanatkan oleh Al-Maidah 32.
Meskipun ayat ini fokus pada jiwa (An-Nafs), pembunuhan terhadap individu secara efektif juga membunuh haknya untuk menggunakan akalnya dan menghancurkan kehormatan keluarganya. Oleh karena itu, semua kejahatan yang merusak kapasitas berpikir (seperti narkoba) atau merusak martabat (seperti fitnah atau pelecehan) dapat dikategorikan sebagai bentuk kerusakan sosial yang secara tidak langsung melanggar semangat ayat 32.
Lebih jauh lagi, kegagalan negara dalam menyediakan pendidikan atau kesehatan yang memadai dapat diinterpretasikan sebagai kegagalan dalam memelihara kehidupan secara utuh, karena ia merenggut potensi dan martabat individu, yang merupakan esensi dari kehidupan yang layak.
Di era modern, prinsip Al-Maidah 32 relevan dalam menghadapi tantangan yang kompleks, jauh melampaui kasus pembunuhan sederhana. Ayat ini menawarkan kerangka etis untuk isu-isu global.
Dalam bidang kedokteran, ayat ini menempatkan nilai tertinggi pada upaya penyelamatan nyawa. Para profesional kesehatan dianjurkan untuk berjuang keras dalam mempertahankan kehidupan, bahkan dalam situasi kritis. Prinsip ini mendukung etika transplantasi organ (memberikan kehidupan kepada orang lain) dan menentang praktik yang meremehkan nilai kehidupan, seperti penelitian yang tidak etis terhadap manusia atau pemanfaatan teknologi untuk menciptakan senjata biologis.
Penyediaan akses kesehatan universal dan upaya pencegahan penyakit—sebuah tindakan "memelihara kehidupan" kolektif—menjadi kewajiban moral berdasarkan ayat ini. Seorang dokter yang menyelamatkan satu nyawa di ruang operasi telah memenuhi janji ilahi ini.
Ayat 32 merupakan dasar untuk etika perang (jihad) dalam Islam. Perang hanya dibenarkan sebagai pertahanan diri (menghindari fasad fil ardh yang dilakukan oleh musuh) dan harus tunduk pada aturan ketat. Larangan membunuh non-kombatan—wanita, anak-anak, orang tua, pendeta, dan petani—adalah manifestasi langsung dari upaya untuk menghindari "membunuh seluruh manusia." Pembunuhan tanpa pandang bulu, seperti yang dilakukan dalam terorisme, adalah contoh paling ekstrem dari fasad fil ardh dan secara tegas dikutuk oleh semangat Al-Maidah 32.
Dalam zona konflik, tindakan kemanusiaan—pengiriman makanan, obat-obatan, dan tempat berlindung—adalah pelaksanaan langsung dari "memelihara kehidupan seluruh manusia." Mereka yang mempertaruhkan hidup mereka untuk memberikan bantuan di zona bahaya adalah pahlawan moral yang diangkat derajatnya oleh ayat ini.
Dalam sistem peradilan, ayat ini menuntut kehati-hatian tertinggi dalam menjatuhkan hukuman, terutama hukuman mati. Karena membunuh satu jiwa secara tidak adil adalah membunuh semua, maka diperlukan standar pembuktian yang sangat tinggi untuk memastikan tidak ada kesalahan fatal (membunuh orang yang tidak bersalah). Prinsip dar'ul mafasid muqaddam 'ala jalbil mashalih (menghindari kerusakan didahulukan daripada mencari manfaat) sangat ditekankan di sini.
Upaya reformasi penjara yang bertujuan merehabilitasi narapidana dan mengembalikannya ke masyarakat sebagai anggota yang produktif juga merupakan bagian dari 'memelihara kehidupan', memberikan mereka kesempatan kedua untuk hidup bermartabat.
Ayat 5:32 tidak hanya merupakan perintah hukum, tetapi juga pernyataan filosofis tentang interkoneksi kemanusiaan. Konsep ini adalah landasan bagi doktrin tanggung jawab kolektif (Fardhu Kifayah dan Fardhu Ain).
Menurut pemikiran filosofis Islam, jiwa manusia (Nafs) adalah entitas yang mengandung benih kebaikan dan kejahatan yang universal. Ketika seseorang melakukan kejahatan ekstrem seperti pembunuhan yang tidak adil, ia telah menodai arketipe kemanusiaan itu sendiri. Sebaliknya, ketika seseorang berjuang menyelamatkan nyawa, ia menegaskan kembali dan memulihkan nilai universal dari eksistensi manusia.
Oleh karena itu, kejahatan pribadi tidak pernah hanya bersifat pribadi; ia selalu memiliki dimensi sosial dan kosmik. Pembunuhan yang tidak adil merusak hubungan seseorang dengan Tuhannya, dengan korbannya, dan dengan seluruh masyarakat yang seharusnya dilindungi oleh rasa aman.
Kewajiban untuk memelihara kehidupan sering kali jatuh ke dalam kategori Fardhu Kifayah—kewajiban kolektif. Jika satu kelompok dalam komunitas mengambil tanggung jawab untuk mendirikan rumah sakit, sistem keamanan, atau lembaga penegakan hukum yang adil, maka kewajiban tersebut gugur bagi yang lain. Namun, jika tidak ada satu pun yang melakukannya, seluruh komunitas berdosa karena gagal melindungi kehidupan. Ini adalah justifikasi teologis untuk pembangunan institusi yang menjamin kesejahteraan dan keamanan publik.
Dalam krisis, kewajiban ini dapat berubah menjadi Fardhu Ain (kewajiban individual) jika hanya satu orang yang memiliki kemampuan untuk bertindak. Jika seseorang melihat orang lain tenggelam dan ia mampu menyelamatkannya, kewajiban "memelihara kehidupan" menjadi kewajiban pribadinya.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk melihat bagaimana ulama sepanjang sejarah menafsirkan keunikan bahasa perumpamaan dalam ayat ini.
Al-Qurtubi menekankan bahwa perumpamaan "membunuh seluruhnya" terkait erat dengan dosa yang ditanggung. Ia menyatakan bahwa pembunuh yang tidak bertobat akan menerima dosa yang sama besarnya seolah-olah ia bertanggung jawab atas kematian seluruh keturunan Adam. Ini adalah peringatan keras tentang beratnya tanggung jawab di Hari Penghakiman.
Ar-Razi membedakan antara dampak spiritual dan dampak sosial. Secara spiritual, pembunuhan satu jiwa menunjukkan tidak adanya penghormatan kepada Tuhan yang menciptakan jiwa tersebut. Secara sosial, ia berpendapat bahwa siapa pun yang berani membunuh tanpa hak telah memutus jaring keamanan yang mengikat masyarakat. Keberaniannya untuk melanggar larangan terberat berarti ia siap membunuh siapa saja, oleh karena itu perilakunya mencerminkan ancaman terhadap seluruh umat manusia.
Ayat ini menjadi dasar utama untuk menetapkan qisas (hukuman setimpal). Tujuan qisas, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Baqarah 179, adalah "agar kamu mendapatkan kehidupan." Kontradiksi ini—bahwa hukuman mati dilakukan untuk menegakkan kehidupan—dijelaskan oleh Al-Maidah 32. Dengan menghukum satu orang yang telah membunuh secara tidak adil, masyarakat telah mencegah pembunuhan massal atau siklus balas dendam yang tak berujung, sehingga secara kolektif, kehidupan dilindungi.
Para fuqaha (ahli hukum Islam) menetapkan persyaratan yang sangat ketat untuk penerapan hukuman yang mematikan, menjamin bahwa aspek 'keadilan' (bukan karena ia membuat kerusakan di muka bumi atau membunuh orang lain) benar-benar ditegakkan. Keraguan sekecil apa pun harus mengarah pada pembebasan atau pengurangan hukuman, sejalan dengan prinsip perlindungan kehidupan yang ekstrem.
Perluasan konsep fasad fil ardh mencakup bidang ekonomi. Ekonomi yang tidak adil, yang menciptakan kesenjangan ekstrem dan kelaparan, dianggap melanggar semangat Al-Maidah 32 karena secara perlahan 'membunuh' individu melalui kemiskinan dan malnutrisi.
Penghapusan riba (bunga) dalam transaksi ekonomi adalah upaya untuk mencegah eksploitasi yang dapat merusak kehidupan finansial seseorang, yang pada gilirannya dapat mengarah pada kehancuran keluarga dan bahkan bunuh diri. Riba, dalam konteks ini, adalah benih kerusakan di muka bumi karena ia memperkaya segelintir orang sambil menghancurkan banyak orang.
Sistem zakat dan sedekah adalah mekanisme perlindungan kehidupan yang dilembagakan. Dengan memastikan distribusi kekayaan yang adil dan memberikan jaring pengaman bagi kaum miskin, masyarakat secara kolektif 'memelihara kehidupan' mereka yang rentan. Ayat ini memberikan bobot spiritual yang sangat tinggi bagi setiap kedermawanan yang mencegah seseorang jatuh ke dalam kehancuran.
Kegagalan komunitas kaya untuk menunaikan zakat mereka dapat dianggap sebagai kontribusi terhadap fasad fil ardh, karena mereka membiarkan kerentanan hidup terus berlanjut di tengah kelimpahan.
Surah Al-Maidah ayat 32 bukan sekadar pasal hukum pidana; ia adalah piagam etika universal. Ia menempatkan nilai tak terhingga pada setiap individu, menolak relativisme moral, dan menuntut tanggung jawab yang mendalam dari setiap anggota masyarakat.
Ayat ini mengajarkan dua pelajaran abadi:
Pada akhirnya, Al-Maidah 32 mengajak kita untuk menyadari bahwa setiap pilihan yang kita buat—apakah itu berupa kekerasan, korupsi, atau sebaliknya, empati dan keadilan—memiliki bobot kosmik. Kita adalah penjaga kehidupan, dan setiap tarikan napas yang kita lindungi, setiap martabat yang kita tegakkan, adalah kemenangan bagi seluruh kemanusiaan.
Prinsip ini menjadi landasan moral yang kokoh bagi peradaban yang berupaya mencari kedamaian sejati, di mana keselamatan seorang anak di sudut bumi mana pun terasa sama pentingnya dengan keselamatan diri kita sendiri. Nilai tertinggi dari kehidupan, menurut ajaran ilahi, terletak pada interkoneksi dan tanggung jawab kita satu sama lain.
Untuk melengkapi kedalaman kajian ayat yang memiliki implikasi luas ini, kita harus melihat bagaimana ia merasuk ke dalam disiplin ilmu lain. Ayat ini menjadi fondasi bagi studi sosiologi Islam, psikologi, dan bahkan teori tata negara (siyasah syar'iyyah).
Tanggung jawab utama seorang pemimpin (ulil amri) adalah menegakkan keadilan untuk mencegah fasad fil ardh dan menjamin ihya' an-nafs (pemeliharaan kehidupan). Pemerintahan yang gagal dalam fungsi dasarnya—seperti melindungi warganya dari kelaparan, penyakit, atau kekerasan eksternal—secara teologis gagal memenuhi amanat yang ditegaskan oleh Al-Maidah 32. Kedaulatan negara, dalam pandangan Islam, bersandar pada kemampuannya untuk menjadi pelindung tertinggi kehidupan individu.
Secara psikologis, ancaman pembunuhan atau ketidakamanan sosial dapat menghancurkan mental kolektif. Ayat 32 secara implisit menyerukan penciptaan lingkungan yang aman (Aman) di mana individu dapat merasa tenteram. Rasa aman ini adalah prasyarat untuk pertumbuhan spiritual dan intelektual. Sebaliknya, tindakan terorisme, yang merupakan bentuk fasad fil ardh, bertujuan merusak rasa aman ini, sehingga dampaknya dirasakan oleh semua orang, bukan hanya korban langsung.
Prinsip universalitas dalam ayat ini tidak membedakan agama, ras, atau keyakinan. Jiwa yang dilindungi adalah jiwa manusia (Nafs), tanpa kualifikasi. Hal ini memberikan landasan teologis yang kuat bagi perlindungan hak-hak minoritas dalam masyarakat Islam. Menghilangkan nyawa non-Muslim yang hidup damai dalam perlindungan negara Islam adalah sama buruknya dengan membunuh seorang Muslim, karena keduanya melanggar kesucian jiwa yang ditetapkan secara universal.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa Al-Maidah 32 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an yang membentuk pandangan dunia Islam terhadap kemanusiaan, keadilan, dan tata kelola sosial, menjadikannya sebuah seruan abadi untuk pembangunan peradaban yang didasarkan pada penghargaan tertinggi terhadap kehidupan.
Penegasan "bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi" adalah inti dari keadilan dalam hukum Islam. Frasa 'bi ghairi nafsin' (bukan karena satu jiwa) secara harfiah berarti membunuh tanpa dasar hukum yang sah. Ini menunjukkan bahwa yang dilarang keras adalah pembunuhan yang muncul dari nafsu, dendam pribadi, atau kesewenang-wenangan, bukan pembunuhan yang merupakan bagian dari proses hukum yang sah yang diizinkan untuk melindungi kehidupan yang lebih besar.
Dalam fiqh, pembunuhan yang dilakukan dalam keragu-raguan (syubhat) atau ketidaksengajaan memiliki kategori hukuman yang berbeda, seringkali diwajibkan membayar diyat (denda darah) daripada qisas. Hal ini karena prinsip Al-Maidah 32 menuntut kepastian niat jahat dan kesewenang-wenangan (al-baghyu) sebelum sanksi terberat diterapkan. Prinsip ini berfungsi sebagai katup pengaman sistem hukum untuk memastikan bahwa analogi 'membunuh seluruh manusia' hanya dikenakan pada kejahatan yang paling mengerikan dan disengaja.
Perluasan makna 'memelihara kehidupan' mencakup perlindungan kehidupan sejak tahap awal. Sementara ada perbedaan pendapat fiqhiyyah tentang kapan jiwa ditiupkan, mayoritas ulama sepakat bahwa merusak janin, kecuali ada alasan medis yang sangat darurat untuk menyelamatkan nyawa ibu, adalah tindakan yang berpotensi melanggar semangat ayat 32. Ini adalah upaya proaktif untuk memelihara potensi kehidupan yang akan datang.
Saat ini, tantangan terbesar adalah menghubungkan prinsip lokal (membunuh satu jiwa) dengan implikasi global. Fasad fil ardh modern sering kali bersifat transnasional.
Perdagangan manusia (human trafficking) adalah contoh jelas dari fasad fil ardh karena ia menghilangkan kemerdekaan dan martabat manusia, yang merupakan prasyarat untuk kehidupan yang utuh. Mereka yang terlibat dalam eksploitasi ini secara harfiah menghancurkan "kehidupan" (martabat, kebebasan, hak) dari individu yang tak terhitung jumlahnya. Upaya global untuk memberantas perbudakan modern adalah pelaksanaan kontemporer dari mandat 'memelihara kehidupan seluruh manusia'.
Di dunia yang memiliki sumber daya yang cukup untuk memberi makan semua orang, kelaparan massal adalah hasil dari ketidakadilan distribusi, konflik, dan korupsi. Jika kelaparan diakibatkan oleh penimbunan atau penahanan sumber daya secara sengaja oleh suatu entitas, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai fasad fil ardh yang mengakibatkan 'kematian' perlahan banyak orang. Oleh karena itu, diplomasi, bantuan internasional, dan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) adalah tugas agama yang diperintahkan oleh ayat 32.
Ayat Al-Maidah 32 berfungsi sebagai jembatan antara hukum positif (fiqh yang mengatur hukuman) dan moralitas universal (prinsip etika global). Ini memastikan bahwa hukum tidak pernah menjadi tujuan akhir, tetapi selalu tunduk pada tujuan moral yang lebih tinggi: perlindungan kehidupan.
Bahkan ketika hukuman qisas diterapkan, Islam menekankan bahwa hukuman tersebut harus dijalankan dengan cara yang paling manusiawi dan di bawah otoritas yang sah. Tujuan utama qisas bukanlah pembalasan yang kejam, melainkan penetapan nilai kehidupan melalui keadilan yang setara, mencegah warga negara mengambil hukum di tangan mereka sendiri, yang akan menimbulkan fasad fil ardh yang lebih besar.
Meskipun dosa membunuh sangat besar, Islam selalu membuka pintu taubat. Jika pembunuh yang melakukan kejahatan di luar kerangka hukum kemudian bertaubat dan memperbaiki diri, ini menunjukkan bahwa potensi untuk 'memelihara kehidupan' (yaitu, memelihara moralitas dan integritas dirinya sendiri) masih ada. Pemberian maaf (afw) oleh ahli waris korban, yang dianjurkan oleh syariah, adalah puncak dari implementasi semangat 'memelihara kehidupan'—menggantikan hukuman mati dengan denda darah, sehingga menyelamatkan jiwa si pembunuh, demi kedamaian sosial yang lebih besar.
Inilah yang membuat Al-Maidah 32 unik: ia menciptakan keseimbangan yang sulit antara penegakan hukum yang keras terhadap kejahatan ekstrem, dan promosi belas kasihan serta upaya kolektif yang tak henti-hentinya untuk menjaga martabat setiap manusia yang hidup.
Ayat ini menuntut transformasi dari konsep yang mulia menjadi tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam ranah hukum atau perang. Setiap individu bertanggung jawab untuk menghentikan kejahatan kecil dan mempromosikan kebaikan yang besar.
Menghancurkan reputasi seseorang, menyebarkan fitnah, atau memicu kebencian dapat dianggap sebagai bentuk pembunuhan karakter dan sosial. Kerusakan sosial yang diakibatkan oleh ujaran kebencian seringkali setara dengan, atau bahkan melebihi, kerusakan fisik dalam hal memutus ikatan masyarakat. Mengendalikan lisan dan keyboard adalah bentuk perlindungan kehidupan yang relevan di era digital.
Pendidikan yang berkualitas adalah salah satu bentuk terbaik dari Ihya' An-Nafs (memelihara kehidupan). Pendidikan membebaskan pikiran, memberikan keterampilan, dan mengeluarkan individu dari kemiskinan dan kebodohan. Seseorang yang terdidik memiliki kapasitas yang jauh lebih besar untuk menghindari fasad fil ardh dan berkontribusi positif pada kemanusiaan. Oleh karena itu, guru, pendidik, dan lembaga ilmu pengetahuan adalah garda terdepan dalam menjalankan amanat ayat ini.
Ayat 32 Al-Maidah tetap berdiri tegak sebagai kompas moral bagi umat manusia, mengingatkan kita bahwa keselamatan kita bersama terikat pada martabat individu yang paling rentan di antara kita.