Hari al jumu ah, atau hari Jumat, memegang posisi yang sangat istimewa dan sentral dalam kalender spiritual umat Islam. Ia bukan sekadar hari keenam dalam pekan, melainkan disebut sebagai ‘Sayyidul Ayyam’—penghulu segala hari. Keistimewaan ini ditegaskan secara eksplisit dalam nash-nash syariat, menjadikannya puncak peribadatan mingguan, momen berkumpulnya kaum Muslimin untuk mendengarkan khutbah, dan melaksanakan salat wajib berjemaah yang memiliki ketentuan hukum unik.
Kajian mendalam mengenai hari mulia ini mencakup berbagai dimensi, mulai dari keutamaan yang bersifat spiritual, rincian hukum fikih yang mengatur pelaksanaannya, hingga implikasi sosial dan etika yang ditimbulkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Memahami al jumu ah secara komprehensif adalah memahami salah satu pilar utama identitas kolektif Muslim.
Secara bahasa, ‘Jumu’ah’ berasal dari akar kata jama’a, yang berarti mengumpulkan atau menghimpun. Hari ini dinamakan demikian karena pada hari inilah umat Islam berkumpul di masjid-masjid besar (masjid jami’) untuk melaksanakan salat wajib bersama-sama, yang menggantikan salat Zuhur bagi mereka yang wajib melaksanakannya.
Keutamaan hari Jumat jauh melebihi hari-hari lainnya. Dalam berbagai riwayat sahih, Nabi Muhammad ﷺ menegaskan bahwa Jumat adalah hari terbaik di mana matahari terbit. Keutamaan ini tidak hanya bersifat kultural, tetapi bersandar pada peristiwa-peristiwa kosmik dan historis yang krusial:
Pelaksanaan salat Jumat yang sempurna, disertai dengan kesungguhan dalam menjalankan sunnah-sunnahnya, berfungsi sebagai pembersih dosa-dosa kecil yang terjadi antara Jumat yang satu dengan Jumat berikutnya. Ini adalah rahmat besar yang diberikan Allah kepada umat ini, menawarkan siklus pemurnian mingguan yang memperbarui ikatan spiritual seorang hamba.
Disunnahkan memperbanyak salawat dan salam kepada Nabi Muhammad ﷺ pada hari al jumu ah dan malamnya. Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jumat. Maka perbanyaklah salawat kepadaku pada hari itu, karena salawat kalian akan diperlihatkan kepadaku.” Ini adalah kesempatan emas untuk menguatkan hubungan dengan Rasulullah ﷺ dan mendapatkan syafaatnya.
Salat Jumat adalah kewajiban individual (fardu ‘ain) bagi setiap Muslim laki-laki yang memenuhi syarat tertentu. Ia merupakan pengganti dari salat Zuhur. Karena pentingnya, ulama fikih (fuqaha) telah merinci dengan sangat detail mengenai syarat wajib, syarat sah, dan tata cara pelaksanaannya.
Tidak semua Muslim diwajibkan menghadiri salat Jumat. Mereka yang wajib adalah yang memenuhi kriteria berikut:
Jika seseorang tidak memenuhi syarat wajib di atas, maka gugurlah kewajibannya, dan ia diwajibkan melaksanakan salat Zuhur.
Agar salat Jumat yang dilaksanakan dianggap sah secara syar’i, ia harus memenuhi syarat-syarat berikut. Syarat-syarat ini berlaku untuk pelaksanaannya itu sendiri, bukan pada individu yang melaksanakannya:
Ini adalah poin perdebatan paling intens di antara mazhab-mazhab fikih utama:
Di Indonesia, yang mayoritas mengikuti Mazhab Syafi’i, pandangan 40 orang sering dijadikan patokan. Namun, demi kemaslahatan umum di daerah yang sulit mencapai jumlah tersebut, beberapa ulama kontemporer cenderung mengikuti pandangan yang lebih longgar.
Salat Jumat harus dilaksanakan di tempat yang dikhususkan untuk salat dan berada di tengah pemukiman, seperti masjid jami’ atau lapangan terbuka di dalam batas kota/desa. Tidak sah melaksanakannya di padang pasir atau ladang yang jauh dari jangkauan pemukiman, kecuali jika tempat tersebut dibutuhkan untuk menampung jemaah yang sangat banyak.
Waktu pelaksanaan Jumat sama dengan waktu Zuhur, yaitu sejak tergelincir matahari (zawwal) hingga bayangan suatu benda sama panjangnya dengan bendanya. Jika waktu habis sebelum salat diselesaikan, maka salat Jumat batal dan harus diganti dengan salat Zuhur. Sebagian Mazhab Hanbali membolehkan pelaksanaan sebelum zawwal (sebelum masuk waktu Zuhur), tetapi mayoritas berpendapat harus tepat waktu Zuhur.
Syarat sah yang paling krusial adalah salat Jumat harus didahului oleh dua khutbah yang memenuhi rukun-rukun tertentu, yang akan dijelaskan lebih lanjut di bagian berikutnya. Jika khutbah tidak ada, salat Jumat tidak sah.
Khutbah Jumat bukanlah sekadar pidato atau ceramah biasa; ia adalah bagian integral dari ibadah salat Jumat. Kedudukannya setara dengan dua rakaat salat yang ditinggalkan (salat Jumat hanya dua rakaat, sedangkan Zuhur empat rakaat). Oleh karena itu, khutbah memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Rukun adalah bagian esensial yang tanpanya khutbah dianggap tidak sah. Lima rukun khutbah yang harus dipenuhi dalam kedua khutbah (kecuali yang kelima hanya pada khutbah pertama):
Selain rukun, khutbah juga harus memenuhi syarat-syarat pelaksanaan:
Jemaah diwajibkan untuk memperhatikan dan mendengarkan khutbah dengan seksama. Berbicara, bermain-main, atau melakukan hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi adalah makruh tahrirn (hampir haram), bahkan dapat menghilangkan pahala Jumat. Jika seseorang berbicara saat imam sedang khutbah, ia telah melakukan perbuatan sia-sia. Hal ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan khutbah.
Hari Jumat dikelilingi oleh banyak amalan sunnah yang jika dilaksanakan dapat melipatgandakan pahala. Amalan-amalan ini tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga melibatkan persiapan fisik dan mental.
Terdapat beberapa zikir dan doa spesifik yang dianjurkan pada hari al jumu ah:
Salah satu aspek unik dari hukum Jumat adalah larangan melakukan transaksi jual beli setelah azan kedua (atau azan yang dikumandangkan setelah khatib naik mimbar) dikumandangkan. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Jumu'ah ayat 9:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Larangan ini berlaku mutlak bagi mereka yang diwajibkan melaksanakan salat Jumat. Maksud dari 'meninggalkan jual beli' adalah menghentikan semua bentuk transaksi yang dapat menyibukkan seseorang dari persiapan atau pelaksanaan salat Jumat. Jika transaksi tetap dilakukan, mayoritas ulama (Mazhab Syafi’i dan Hanbali) menilai transaksi tersebut sah secara hukum duniawi, namun pelakunya berdosa besar (haram).
Larangan ini bersifat sementara. Setelah salat Jumat selesai, Allah membolehkan umat-Nya untuk kembali menyebar di muka bumi dan mencari karunia-Nya.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai melakukan perjalanan jauh (safar) setelah masuk waktu subuh pada hari Jumat. Jika seseorang memulai safarnya setelah azan subuh, dan ia tahu bahwa dengan safar itu ia tidak akan bisa melaksanakan salat Jumat, maka ini makruh, bahkan bisa haram jika dilakukan tanpa alasan darurat menurut sebagian ulama, karena safar tersebut menyebabkan hilangnya kewajiban Jumat. Namun, jika ia memulai safarnya sebelum subuh, maka hal itu dibolehkan, karena kewajiban Jumat belum tiba.
Pentingnya hari Jumat bukan hanya terletak pada ritual mingguan, tetapi juga pada koneksi historisnya dengan sejarah kenabian dan akhir zaman.
Salat Jumat pertama yang dilaksanakan secara resmi setelah hijrah Nabi ke Madinah terjadi di perkampungan Bani Salim bin Auf. Ketika itu, Nabi sedang dalam perjalanan menuju Madinah. Salat Jumat di tempat itu menunjukkan bahwa ibadah ini ditetapkan sebagai salah satu ciri utama dari komunitas Muslim yang berdaulat.
Sebagaimana disebutkan, hari Kiamat akan terjadi pada hari Jumat. Ini memberikan dimensi eskatologis yang mendalam pada hari tersebut. Setiap Jumat adalah pengingat mingguan akan akhirat. Para malaikat, bahkan hewan, menyadari keagungan dan potensi hari itu.
Al jumu ah adalah manifestasi nyata dari persatuan umat. Jutaan Muslim di seluruh dunia, pada waktu yang hampir bersamaan (disesuaikan zona waktu), berkumpul di masjid, mendengarkan khutbah yang seringkali mengangkat isu-isu kontemporer atau petuah moral universal, dan berdiri dalam satu saf. Ini menghilangkan sekat status sosial dan ekonomi, menciptakan kesetaraan mutlak di hadapan Allah SWT. Khutbah menjadi sarana edukasi, motivasi, dan kohesi sosial yang efektif.
Dalam kondisi tertentu, seorang Muslim yang seharusnya wajib Jumat ternyata tidak bisa melaksanakannya, atau tidak diwajibkan melaksanakannya. Dalam kasus ini, ia wajib melaksanakan salat Zuhur empat rakaat.
Beberapa kondisi yang menggugurkan kewajiban Jumat adalah:
Bagi mereka yang memiliki uzur syar'i ini, mereka tidak berdosa karena tidak melaksanakan Jumat, namun mereka tetap diwajibkan melaksanakan salat Zuhur pada waktunya, dilaksanakan secara munfarid (sendirian) atau berjemaah di rumah.
Meskipun salat Jumat menggantikan Zuhur, ada perbedaan mendasar dalam pelaksanaannya:
Khatib (orang yang menyampaikan khutbah) memegang peran yang sangat strategis. Ia bukan hanya sekadar pembaca naskah, tetapi juga pemimpin spiritual dan intelektual mingguan bagi jemaah.
Meskipun rukun khutbah bersifat tetap (Hamdalah, Salawat, Wasiat Takwa, Doa), konten yang disampaikan khatib harus relevan. Khutbah yang ideal mencakup:
Para fuqaha menekankan pentingnya khatib untuk tidak terlalu memanjangkan khutbah, agar jemaah tidak merasa bosan. Nabi ﷺ bersabda bahwa panjangnya salat dan singkatnya khutbah adalah tanda kefakihan (pemahaman) seseorang.
Seorang khatib harus memenuhi adab-adab tertentu, seperti:
Pensyariatan hari al jumu ah tidak hanya bertujuan untuk ritual semata, melainkan memiliki hikmah yang lebih besar dalam membangun individu dan masyarakat Muslim.
Kehidupan sehari-hari seringkali menyibukkan manusia dengan urusan dunia (duniawi). Jumat berfungsi sebagai 'titik balik' mingguan, di mana seseorang melepaskan diri sejenak dari kesibukan materi untuk fokus sepenuhnya pada Sang Pencipta. Mandi, memakai pakaian terbaik, dan fokus mendengarkan nasihat adalah upaya pembersihan diri secara fisik dan mental.
Khutbah Jumat adalah madrasah mingguan. Melalui khutbah, jemaah secara kolektif mendapatkan ilmu, diingatkan tentang kewajiban, dan dibimbing untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih baik. Ini memastikan bahwa pemahaman agama terus diperbarui dan relevan dengan tantangan zaman.
Berkumpulnya penduduk dari berbagai penjuru kota atau desa memperkuat ikatan persaudaraan (ukhuwah islamiyah). Di masjid, mereka saling menyapa, mengetahui kabar, dan menguatkan jaringan sosial. Ini adalah fondasi penting dalam konsep umat yang satu.
Seiring perkembangan zaman dan perubahan tatanan masyarakat, muncul beberapa isu fikih yang memerlukan ijtihad dan penetapan hukum kontemporer terkait pelaksanaan al jumu ah.
Dalam kota-kota besar modern, seringkali salat Jumat dilaksanakan di lantai dasar (basement) pusat perbelanjaan atau di auditorium gedung perkantoran. Mazhab Syafi’i dan Hanbali mensyaratkan bahwa salat Jumat harus dilaksanakan di bangunan yang saling berhubungan atau di area yang terhitung sebagai satu wilayah (misalnya, di dalam batas kota). Selama tempat-tempat tersebut masih terintegrasi dalam area pemukiman, pelaksanaan di gedung bertingkat atau basement umumnya dianggap sah, meskipun lokasi di permukaan tanah lebih utama.
Menurut pandangan Mazhab Syafi’i, tidak dibolehkan adanya lebih dari satu salat Jumat dalam satu wilayah perkampungan atau kota, kecuali jika ada kebutuhan yang mendesak, seperti:
Dalam konteks perkotaan modern yang padat, pandangan yang membolehkan Ta’addudul Jumu’ah (berbilangnya Jumat) menjadi lebih dominan karena kebutuhan nyata untuk menampung jutaan penduduk yang tersebar luas.
Terkait kemajuan teknologi, muncul pertanyaan apakah seseorang yang tidak bisa hadir di masjid dapat dianggap telah melaksanakan salat Jumat dengan mendengarkan khutbah secara daring (live streaming). Secara ijma’ (konsensus) ulama, salat Jumat adalah ibadah fisik yang memerlukan kehadiran di lokasi salat dan pelaksanaan salat berjemaah. Mendengarkan khutbah secara daring tidak menggugurkan kewajiban hadir dan salat Zuhur tetap harus dilaksanakan empat rakaat jika tidak hadir di masjid.
Al jumu ah adalah anugerah terbesar bagi umat Muhammad ﷺ. Ia adalah hari di mana amal saleh dilipatgandakan dan dosa-dosa dihapuskan. Namun, keutamaan ini hanya akan didapatkan oleh mereka yang benar-benar menghormati hari tersebut.
Penghormatan terhadap hari Jumat tidak hanya sebatas pelaksanaan ritual, tetapi juga melalui peningkatan kualitas spiritual di hari-hari lainnya. Apabila seorang Muslim melaksanakan sunnah-sunnah Jumat dengan sempurna, memahami rukun dan syarat sahnya, serta mengaplikasikan pesan-pesan takwa dari khutbah dalam kehidupannya sehari-hari, maka ia akan mendapatkan cahaya (nur) yang dijanjikan, tidak hanya di dunia, tetapi juga di hari akhir.
Pelaksanaan salat Jumat yang terstruktur dan teratur merupakan cerminan dari disiplin spiritual umat Islam. Ia menjadi penanda mingguan bagi Muslim untuk mengkalibrasi ulang prioritas hidupnya, memastikan bahwa fokus utamanya senantiasa tertuju kepada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk merinci lebih jauh mengenai teknis pelaksanaan salat dan konsekuensi hukum dari kelalaian dalam ibadah al jumu ah ini. Ini mencakup isu tentang ketinggalan rakaat dan bagaimana seseorang mengganti salatnya.
Seorang masbuq adalah orang yang datang ke masjid ketika imam sudah memulai salat (setelah ruku’ pertama, atau bahkan sedang tasyahhud). Hukum fikih mengenai masbuq dalam salat Jumat sangat penting karena menentukan apakah ia harus melanjutkan salat Jumat atau beralih ke salat Zuhur.
Terdapat dua kali azan pada hari Jumat. Azan pertama (untuk mengingatkan jemaah) dan azan kedua (ketika khatib sudah naik mimbar, yang menandai dimulainya kewajiban segera meninggalkan jual beli). Ulama menekankan bahwa bersegera yang diperintahkan dalam Al-Qur'an dimulai sejak azan kedua. Menunda keberangkatan tanpa uzur syar'i, bahkan setelah azan pertama, adalah perbuatan yang mengurangi keutamaan dan pahala.
Nilai-nilai spiritual yang dipetik dari al jumu ah harus diinternalisasi dalam enam hari sisanya. Jumat adalah hari refleksi, dan enam hari berikutnya adalah hari implementasi.
Semangat kebersamaan yang terjalin saat berdiri rapat dalam saf salat harus diterjemahkan menjadi aksi nyata dalam membantu sesama Muslim yang membutuhkan, baik di lingkungan masjid maupun di komunitas yang lebih luas.
Wasiat takwa yang diulang dua kali dalam khutbah harus menjadi motivasi. Takwa bukan hanya diucapkan, tetapi diterapkan dalam kejujuran berbisnis, keadilan dalam berinteraksi, dan kesabaran dalam menghadapi cobaan.
Penekanan pada Ghusl dan kebersihan pada hari Jumat seharusnya memicu kesadaran Muslim untuk menjaga kebersihan fisik dan spiritual setiap hari. Islam adalah agama kebersihan, dan Jumat adalah puncaknya.
Secara keseluruhan, hari al jumu ah adalah hari yang ditata secara syar’i untuk memaksimalkan potensi spiritual dan sosial umat. Ia adalah hadiah dari Allah, yang menuntut pengamalan yang tulus dan pemahaman yang mendalam terhadap setiap aspek hukum dan sunnahnya.
Mandi Jumat (Ghusl Jumu'ah) adalah salah satu sunnah yang paling ditekankan. Terdapat pembahasan fikih mengenai kapan waktu terbaik untuk melaksanakannya, yang menunjukkan perbedaan antara mazhab.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu Ghusl dimulai sejak terbitnya fajar Shadiq (masuk waktu Subuh) pada hari Jumat. Mandi yang dilakukan sebelum waktu Subuh, meskipun bertujuan untuk Jumat, tidak dihitung sebagai Ghusl Jumu'ah yang disunnahkan.
Terdapat perbedaan pandangan mengenai waktu yang paling utama:
Karena Ghusl Jumu'ah hukumnya sunnah muakkadah, jika seseorang meninggalkannya, salat Jumatnya tetap sah. Namun, ia kehilangan pahala sunnah yang besar dan tidak sepenuhnya mendapatkan keutamaan penuh dari hari itu. Pentingnya mandi ini ditekankan oleh Nabi ﷺ yang bersabda, "Barang siapa mandi pada hari Jumat seperti mandinya junub, kemudian pergi pada awal waktu, maka seakan-akan ia berkurban seekor unta."
Membaca Surah Al-Kahfi adalah sunnah yang sangat ditekankan, baik pada malam Jumat (setelah Magrib hari Kamis) maupun pada hari Jumat itu sendiri (sampai Magrib hari Jumat). Surah ini mengandung kisah-kisah penting yang sarat pelajaran, termasuk kisah Ashabul Kahfi, dua pemilik kebun, Nabi Musa dan Khidir, serta Dzulqarnain.
Keutamaan yang dijanjikan bagi pembaca Al-Kahfi adalah 'cahaya' (nur). Cahaya ini diyakini akan menerangi pembacanya hingga Jumat berikutnya, baik cahaya di dunia (petunjuk) maupun cahaya di akhirat. Surah ini juga disarankan untuk dibaca sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal, yang merupakan fitnah terbesar yang akan dihadapi manusia menjelang Kiamat.
Meskipun membaca seluruh surah adalah yang paling utama, beberapa riwayat juga menyebutkan keutamaan membaca sepuluh ayat pertama atau sepuluh ayat terakhir. Jemaah dianjurkan memanfaatkan waktu luang pada hari Jumat untuk menyempurnakan pembacaan Surah Al-Kahfi, menjadikannya rutinitas mingguan.
Penemuan waktu mustajab pada hari al jumu ah menjadi fokus pencarian spiritual bagi banyak Muslim, karena ia menawarkan peluang unik di mana doa tidak tertolak.
Nabi ﷺ bersabda: "Sesungguhnya pada hari Jumat itu terdapat satu saat, tidaklah seorang hamba Muslim berdiri salat meminta kebaikan kepada Allah pada saat itu, kecuali Allah akan memberikannya."
Sebagaimana disebutkan, ulama terbagi menjadi dua pandangan utama, yang keduanya memiliki dalil kuat dari hadis Nabi ﷺ:
Karena keragaman pendapat ini, cara paling aman bagi seorang Muslim adalah memperbanyak doa dan zikir di kedua waktu tersebut (saat khutbah dan setelah Ashar) dan sepanjang hari Jumat, berharap doanya bertepatan dengan saat yang tepat.
Karena statusnya sebagai kewajiban (fardu ‘ain) yang sangat ditekankan, meninggalkan salat Jumat tanpa alasan yang sah (uzur syar’i) memiliki konsekuensi yang serius dalam Islam.
Hadis tegas menyebutkan ancaman bagi mereka yang meremehkan dan meninggalkan salat Jumat. Nabi ﷺ bersabda, “Barang siapa meninggalkan tiga kali Jumat karena meremehkannya, maka Allah akan mengunci hatinya.” Penguncian hati di sini diartikan sebagai hilangnya hidayah dan rahmat Allah dari hatinya. Ini menunjukkan bahwa meninggalkan Jumat bukanlah sekadar dosa kecil, melainkan indikasi dari melemahnya iman.
Meninggalkan Jumat tanpa uzur dianggap sebagai maksiat besar. Pelakunya wajib bertaubat dan mengqadha’ salat Zuhur (karena ia tidak menggugurkan kewajiban Zuhur). Namun, qadha’ ini hanya mengganti kewajiban salatnya; ia tetap kehilangan keutamaan dan pahala Jumat.
Ibadah al jumu ah seharusnya dipersiapkan sejak hari Kamis malam. Seorang Muslim yang serius memaksimalkan hari Jumatnya akan melakukan persiapan mental, bukan hanya fisik.
Dengan persiapan yang matang dan pemahaman yang mendalam terhadap semua aspeknya, hari al jumu ah benar-benar dapat menjadi hari raya mingguan yang membawa berkah, ampunan, dan peningkatan derajat di sisi Allah SWT.