Surah Al Jasiyah: Menyingkap Tanda-Tanda Kekuasaan dan Hari Pengadilan
Surah Al Jasiyah (سورة الجاثية) merupakan surah ke-45 dalam mushaf Al-Qur’an, termasuk dalam kelompok surah Makkiyah, yang diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah. Nama 'Al Jasiyah', yang secara harfiah berarti 'Yang Berlutut' atau 'Yang Bersimpuh', diambil dari ayat ke-28, yang menggambarkan suasana dahsyat pada Hari Kebangkitan, di mana setiap umat akan melihat catatan amalnya dan bersimpuh di hadapan Allah SWT. Surah ini secara fundamental berfokus pada dua tema utama: penegasan kembali otoritas ilahi melalui tanda-tanda alam semesta (Ayaatullah) dan keadilan mutlak di Hari Pembalasan (Yaum Al Jaza').
Dalam konteks waktu penurunannya, Surah Al Jasiyah ditujukan kepada masyarakat Makkah yang sedang berada dalam puncak penolakan dan kesombongan terhadap kebenaran wahyu. Surah ini datang sebagai hujjah (bukti) yang tak terbantahkan, menghubungkan fenomena alam yang mereka saksikan sehari-hari dengan kekuasaan Pencipta, sekaligus memberikan peringatan tegas mengenai konsekuensi spiritual dari penolakan tersebut. Struktur surah ini bergerak secara dinamis, dimulai dengan pengenalan wahyu, perenungan alam, kritik terhadap penolakan materialistis, perbandingan historis melalui kisah Bani Israil, dan ditutup dengan pemandangan dramatis Pengadilan Akhirat.
I. Penegasan Wahyu dan Tanda-Tanda Kosmik (Ayat 1–6)
Surah Al Jasiyah dibuka dengan huruf-huruf tunggal (Huruf Muqatta’ah), yakni Ḥā Mīm (حم), diikuti dengan penegasan sumber Al-Qur’an. Ayat ini langsung menetapkan landasan teologis bahwa kitab suci ini adalah kebenaran yang diturunkan dari Allah, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Penempatan ini krusial karena ia menantang klaim kaum musyrikin yang meragukan atau menuduh Nabi ﷺ mengarang ayat-ayat tersebut. Keperkasaan Allah (Al-Aziz) dan Kebijaksanaan-Nya (Al-Hakim) menjamin otoritas dan kebenaran mutlak dari setiap firman yang terkandung di dalamnya.
A. Pengenalan Ayatullah (Tanda-Tanda Kekuasaan Allah)
Setelah pengantar wahyu, surah ini segera mengalihkan perhatian pembaca kepada alam semesta, mengajak refleksi yang mendalam tentang Ayaatullah yang tersebar luas. Ini adalah ciri khas surah Makkiyah, yang menggunakan observasi empiris sebagai jembatan menuju keyakinan metafisik. Allah berfirman:
Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan dirimu dan pada makhluk bergerak yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang meyakini. Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit, lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal. (Q.S. Al Jasiyah: 3-5)
Analisis Ayatullah di sini tidak sekadar menyebutkan keberadaan alam, tetapi menekankan dinamika dan keteraturan yang menunjukkan tujuan dan perancangan. Penciptaan langit dan bumi adalah dalil kosmik yang universal. Sementara itu, Surah Al Jasiyah secara khusus menyoroti beberapa fenomena vital:
- Penciptaan Manusia dan Hewan: Perhatian dialihkan dari makro-kosmos ke mikro-kosmos—penciptaan diri manusia sendiri dan makhluk hidup yang bergerak di bumi. Keanekaragaman hayati dan kompleksitas tubuh manusia adalah bukti bahwa penciptaan bukanlah kebetulan, melainkan hasil karya Dzat Yang Maha Tahu. Ini adalah tanda bagi 'kaum yang meyakini' (orang yang hatinya telah terbuka untuk kebenaran).
- Pergantian Malam dan Siang: Siklus yang teratur ini adalah fondasi waktu, istirahat, dan kegiatan. Keteraturan ini meniadakan konsep kekacauan dan menuntut adanya pengatur abadi.
- Siklus Hidup dan Mati Bumi: Hujan turun, menghidupkan bumi yang sebelumnya tandus. Ini adalah metafora utama bagi Hari Kebangkitan. Jika Allah mampu menghidupkan bumi yang mati, maka membangkitkan kembali manusia dari kubur adalah hal yang lebih mudah bagi-Nya.
- Perkisaran Angin: Angin membawa benih, menggerakkan awan, dan merupakan elemen vital bagi kehidupan. Gerakannya yang terarah, bukan acak, adalah tanda bagi 'kaum yang berakal' (mereka yang menggunakan akal budi untuk memahami koneksi).
Ayat keenam menyimpulkan bagian ini dengan retorika kuat: "Itulah ayat-ayat Allah yang Kami bacakan kepadamu dengan benar. Maka kepada perkataan manakah lagi mereka akan beriman setelah (kebenaran) Allah dan ayat-ayat-Nya?" Ayat ini menegaskan bahwa jika tanda-tanda nyata di alam semesta dan firman yang jelas tidak dapat meyakinkan, maka tidak ada lagi sumber kebenaran yang tersisa untuk dijadikan pegangan. Ini adalah tantangan langsung terhadap keraguan dan penolakan.
II. Kecaman Terhadap Pendusta yang Sombong (Ayat 7–11)
Bagian kedua surah ini beralih dari pengamatan alam ke kritik sosial dan psikologis terhadap kaum musyrikin yang menolak wahyu. Mereka disebut sebagai orang-orang yang 'banyak berdusta lagi sangat berdosa' (kullu affākin athīm). Ini adalah deskripsi tajam yang menunjukkan bahwa penolakan mereka bukan hanya karena ketidaktahuan, tetapi karena kesengajaan, didorong oleh keangkuhan dan dosa yang menumpuk.
Surah ini menggambarkan perilaku mereka ketika ayat-ayat Allah dibacakan kepada mereka. Reaksi mereka bukanlah keingintahuan atau keraguan rasional, melainkan penghinaan yang dipenuhi ejekan. Mereka digambarkan sebagai orang yang "mendengarkan ayat-ayat Allah yang dibacakan kepadanya, kemudian ia tetap sombong, seolah-olah dia tidak mendengarnya." (Q.S. 45: 8). Mereka bersikap angkuh dan berpaling seolah-olah wahyu itu adalah dongeng belaka. Sikap ini—mendengar tetapi menolak dengan sombong—adalah penyakit hati yang mencegah mereka dari melihat kebenaran yang jelas.
A. Pengaruh Hawa Nafsu dan Sikap Mencemooh
Sikap sombong ini berakar pada kecintaan mereka terhadap tradisi nenek moyang dan penolakan terhadap pembaruan moral yang dibawa oleh Islam. Mereka tidak hanya menolak, tetapi juga mencemooh, sebagaimana disebutkan dalam ayat 9, "Apabila ia mengetahui sedikit tentang ayat-ayat Kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok." Ini menunjukkan level permusuhan yang melampaui skeptisisme biasa, masuk ke ranah penghinaan aktif terhadap hal yang suci.
Surah Al Jasiyah meramalkan hasil dari sikap ini: bagi mereka disediakan azab yang menghinakan. Kontrasnya jelas: mereka sombong di dunia, maka mereka akan dihina di akhirat. Hukuman yang mereka terima tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis, yaitu azab yang melucuti martabat dan keangkuhan mereka.
Penting untuk dicatat perbandingan yang disajikan di ayat 10 dan 11: di hadapan mereka ada neraka Jahanam, dan apa pun yang mereka usahakan di dunia, termasuk penolong yang mereka anggap bisa menyelamatkan, tidak akan berguna. Kekayaan, status, dan kekuatan sosial mereka akan menjadi beban. Mereka dihadapkan pada dua kerugian besar: kerugian di dunia karena mereka menyia-nyiakan hidup dengan kebatilan, dan kerugian di akhirat karena mereka mendapat azab yang menyakitkan. Ayat ini menutup bagian peringatan dengan pesan bahwa Al-Qur'an adalah petunjuk, namun azab yang menyakitkanlah yang akan menimpa para pendusta yang menolak petunjuk tersebut.
III. Anugerah dan Kewajiban Manusia untuk Bersyukur (Ayat 12–15)
Setelah memberikan peringatan keras, surah ini kembali ke tema rahmat dan anugerah Allah, menekankan peran manusia di tengah semesta. Ayat 12 berfokus pada lautan:
Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu agar kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan perintah-Nya, dan agar kamu dapat mencari karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur. (Q.S. Al Jasiyah: 12)
Konsep 'menundukkan' (taskhīr) adalah kunci dalam teologi Islam. Ini berarti Allah telah merancang alam semesta dengan hukum-hukum fisik yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam, seperti navigasi di lautan. Lautan, yang secara alami berbahaya, menjadi jalur perdagangan dan penghidupan berkat rahmat Allah. Tujuannya jelas: "agar kamu bersyukur." Rasa syukur (syukr) adalah respons yang diminta dari manusia atas segala anugerah yang telah diberikan.
A. Segala Sesuatu Ditundukkan untuk Manusia
Ayat 13 memperluas konsep taskhīr dari lautan ke seluruh alam semesta. Allah telah menundukkan apa yang ada di langit (matahari, bulan, bintang, awan) dan apa yang ada di bumi (sumber daya alam, flora, fauna) untuk kepentingan manusia. Ini bukan sekadar penundukan fisik, melainkan penegasan posisi istimewa manusia sebagai khalifah di bumi.
Filosofi di balik penundukan ini adalah bahwa alam semesta dirancang untuk melayani tujuan manusia, dan sebagai imbalannya, manusia harus melayani tujuan yang lebih tinggi, yaitu ketaatan dan ibadah kepada Allah. Penundukan ini adalah tanda (ayat) yang harus diakui oleh kaum yang berpikir (qaumin yatafakkarūn). Ayat ini menetapkan perbedaan fundamental antara pandangan materialistik yang melihat alam sebagai kebetulan tak berjiwa, dan pandangan teologis yang melihat alam sebagai pemberian yang penuh makna.
B. Perintah untuk Memaafkan dan Konsep Pembalasan
Ayat 14 memberikan arahan moral yang penting kepada umat beriman (Nabi dan pengikutnya) di Makkah yang sedang menderita penganiayaan:
Katakanlah (Muhammad) kepada orang-orang yang beriman, hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tidak takut kepada hari-hari Allah (Hari Pembalasan), karena Dia akan membalas suatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Al Jasiyah: 14)
Perintah untuk memaafkan bukan muncul dari kelemahan, melainkan dari keyakinan pada keadilan ilahi. Mengapa memaafkan? Karena Allah sendiri yang akan mengurus pembalasan pada Hari Kiamat. Ini adalah strategi kesabaran dan manajemen konflik dalam konteks dakwah di mana umat beriman belum memiliki kekuasaan militer. Ini mengajarkan bahwa pembalasan yang paling sempurna adalah pembalasan yang datang dari Allah, di Hari Penghakiman yang tidak dapat dielakkan.
Ayat 15 menyimpulkan bagian ini dengan penegasan bahwa setiap perbuatan, baik maupun buruk, akan kembali kepada pelakunya. Amal kebaikan akan mendatangkan manfaat bagi jiwa, sementara kejahatan akan merugikan diri sendiri. Akhir dari segala sesuatu adalah kembalinya seluruh umat manusia kepada Tuhan mereka. Penekanan pada individu dan tanggung jawab pribadi ini mempersiapkan panggung untuk diskusi tentang keadilan historis dan Hari Pengadilan.
IV. Pelajaran dari Sejarah Bani Israil (Ayat 16–20)
Untuk memperkuat argumen tentang konsekuensi spiritual dari menolak wahyu, Surah Al Jasiyah menyajikan kisah historis Bani Israil sebagai contoh kasus (case study) bagi umat Muhammad. Allah telah memberikan anugerah besar kepada Bani Israil:
- Al-Kitab (Taurat): Kitab suci yang membawa hukum dan petunjuk.
- Al-Hukm (Kekuasaan/Kebijaksanaan): Kekuatan politik atau kemampuan untuk menegakkan syariat.
- Kenabian: Mereka menjadi mata rantai kenabian yang panjang.
- Rezeki yang Baik: Karunia materi dan kemudahan hidup.
- Keutamaan di Alam Semesta: Posisi istimewa di antara bangsa-bangsa pada masanya.
Semua anugerah ini diberikan sebagai ujian. Namun, setelah ilmu datang kepada mereka, mereka justru berpecah belah karena iri hati (baghyan baynahum). Ini adalah pelajaran pahit: ilmu dan petunjuk tidak serta merta menjamin ketaatan; seringkali, justru setelah ilmu datang, manusia mulai berdebat dan berpecah karena kedengkian dan ambisi duniawi.
A. Syariat dan Perpecahan
Allah kemudian menetapkan syariat bagi Nabi Muhammad ﷺ (Ayat 18), sebagai kelanjutan dan koreksi terhadap syariat sebelumnya. Perintah ini datang setelah peringatan Bani Israil:
Kemudian Kami jadikan kamu (Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah ia dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Q.S. Al Jasiyah: 18)
Ayat ini adalah titik balik penting dalam Surah Al Jasiyah. Ini menetapkan bahwa umat Islam memiliki jalur hukum dan petunjuk yang jelas (Syariat) dan harus menjauhkan diri dari mengikuti keinginan atau hawa nafsu orang-orang yang menentang (kaum musyrikin Makkah). Dengan demikian, Bani Israil dijadikan cermin: jika umat Muhammad melakukan kesalahan serupa—menolak wahyu, berpecah belah, dan mengikuti hawa nafsu—mereka akan mengalami nasib yang sama.
Ayat 19 menegaskan bahwa orang-orang yang menentang kebenaran (musyrikin) sama sekali tidak dapat menolong umat Islam dari azab Allah. Ini memperkuat pesan pemisahan yang ketat antara jalan kebenaran dan jalan kebatilan. Allah adalah Pelindung orang-orang yang bertakwa. Kontras yang tegas antara orang yang bertakwa dan orang yang mengikuti hawa nafsu menunjukkan bahwa pilihan hidup yang dilakukan di dunia ini memiliki konsekuensi abadi.
Bagian ini diakhiri dengan penegasan universalitas Al-Qur’an (Ayat 20). Kitab ini adalah bukti-bukti yang nyata bagi umat manusia secara keseluruhan, dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang meyakini. Surah ini terus-menerus mengulang frasa "bagi kaum yang meyakini," "bagi kaum yang berakal," atau "bagi kaum yang bertakwa," menegaskan bahwa wahyu ini efektif hanya bagi mereka yang telah mempersiapkan hati dan akalnya untuk menerima kebenaran.
V. Tantangan terhadap Pemuja Hawa Nafsu dan Penolak Kebangkitan (Ayat 21–26)
Bagian terpanjang dan paling intens dalam Surah Al Jasiyah ini berpusat pada penolakan terhadap Hari Kebangkitan (Akhirat) dan kritik terhadap materialisme yang menempatkan hawa nafsu sebagai tuhan.
A. Kontras Abadi: Mukmin dan Fasik
Ayat 21 mengajukan pertanyaan retoris yang mengecam nilai-nilai masyarakat Makkah yang berbasis kekayaan dan kekuasaan:
Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu mengira bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. (Q.S. Al Jasiyah: 21)
Pertanyaan ini menyingkap ketidakadilan fundamental jika tidak ada Akhirat. Jika orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat jahat mendapatkan hasil yang sama, maka kehidupan ini tidak memiliki makna moral. Kepercayaan pada Akhirat adalah prasyarat untuk keadilan. Allah menolak pandangan tersebut, menegaskan bahwa keadilan-Nya menuntut pemisahan total antara nasib orang yang saleh dan orang yang fasik.
Penciptaan langit dan bumi, yang ditekankan kembali di Ayat 22, adalah dengan 'kebenaran' (bil ḥaqq). Ini berarti penciptaan ini bukan tanpa tujuan, melainkan dibangun di atas prinsip keadilan. Jika alam diciptakan dengan kebenaran dan tujuan, maka pasti ada Hari Pembalasan untuk memastikan bahwa setiap jiwa dibalas sesuai dengan perbuatannya. Menyangkal Akhirat sama dengan menyangkal tujuan penciptaan itu sendiri.
B. Menghamba pada Hawa Nafsu
Ayat 23 menyajikan salah satu penggambaran terkuat dalam Al-Qur'an tentang kehinaan spiritual:
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan dibiarkan sesat oleh Allah berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya, serta meletakkan tutup di atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Q.S. Al Jasiyah: 23)
Orang yang menjadikan hawa nafsunya tuhan (ittakhadha ilāhahu hawāhu) adalah orang yang menolak otoritas eksternal (wahyu) dan hanya tunduk pada keinginan internalnya sendiri. Ini adalah puncak materialisme dan individualisme yang menyimpang. Hawa nafsu yang dimaksud di sini meliputi kesombongan, kecintaan pada harta, dan penolakan untuk berkorban demi kebenaran.
Konsep 'dibiarkan sesat oleh Allah berdasarkan ilmu-Nya' (aḍallahu ‘alā ‘ilm) sangat penting. Ini bukan berarti Allah secara paksa menyesatkan tanpa alasan, tetapi bahwa orang tersebut telah secara sadar dan berulang kali menolak kebenaran yang jelas baginya (berdasarkan ilmu yang dia miliki, baik melalui nalar maupun fitrah), sehingga Allah mengunci kemampuan spiritualnya untuk menerima hidayah. Itu adalah konsekuensi logis dari pilihan bebas manusia.
C. Penolakan Materialistik terhadap Akhirat (Dahr)
Inti perdebatan dengan kaum musyrikin adalah penolakan mereka terhadap kebangkitan. Dalam Ayat 24, mereka menyatakan:
Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa (Dahr).” Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja. (Q.S. Al Jasiyah: 24)
Pandangan ini dikenal sebagai *Dahrīyyah* (materialisme atau fatalisme waktu). Mereka meyakini bahwa segala sesuatu terjadi secara alami tanpa Pencipta, dan yang membinasakan hanyalah siklus waktu (masa/dahr). Ini adalah pandangan yang menafikan keberadaan ruh, Hari Kebangkitan, dan segala bentuk intervensi ilahi. Ini adalah ateisme murni pada masanya.
Al-Qur'an membantah klaim mereka dengan dua cara: Pertama, secara empiris, mereka tidak memiliki ilmu yang mendukung klaim ini; mereka hanya "menduga-duga" (yakhruṣūn). Kedua, secara teologis, Allah menantang mereka untuk membawa bukti nyata jika klaim mereka tentang tidak adanya kebangkitan itu benar. Tantangan ini (Ayat 25) menggarisbawahi kelemahan klaim materialisme: mereka hanya memiliki asumsi, sementara wahyu menyediakan bukti logis dan tanda-tanda alam semesta yang nyata.
Bagian ini diakhiri dengan ironi pedih: ketika kebenaran disampaikan, satu-satunya argumen mereka adalah tantangan untuk menghidupkan kembali nenek moyang mereka. Allah membalas dengan tegas bahwa Allah-lah yang menghidupkan dan mematikan, dan kepada-Nyalah semua akan dikembalikan pada Hari Kiamat. Ini bukan janji yang jauh, tetapi kepastian yang telah ditetapkan (Ayat 26).
VI. Puncak Surah: Hari Al Jasiyah (Ayat 27–37)
Paragraf penutup Surah Al Jasiyah beralih secara dramatis ke deskripsi kiamat dan pengadilan, yang merupakan momen yang memberi nama surah ini.
A. Kedatangan Kiamat dan Pengumpulan Umat
Ketika Saat (Kiamat) itu datang, mereka yang berbuat batil akan merugi. Kerugian itu adalah realisasi terlambat bahwa seluruh hidup mereka di dunia hanyalah kesia-siaan. Ayat 28 menyajikan pemandangan hari itu yang sangat khas:
Dan kamu akan melihat setiap umat bersimpuh (berlutut). Setiap umat dipanggil menuju Kitab (Catatan Amal)-nya. Dikatakan (kepada mereka), ‘Pada hari ini kamu diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.’ (Q.S. Al Jasiyah: 28)
Kata kunci di sini adalah jātsiyah (bersimpuh/berlutut). Dalam konteks Arab klasik, berlutut menunjukkan rasa takut, ketundukan total, dan penantian hukuman. Tidak ada lagi keangkuhan yang ditunjukkan oleh kaum musyrikin di dunia; kini semua jiwa, tanpa terkecuali, berlutut di hadapan Mahkamah Ilahi. Mereka dikumpulkan dalam kelompok-kelompok (umat) dan dipanggil untuk melihat catatan perbuatan mereka (Kitab/Book of Deeds).
Catatan amal tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Ayat 29, "Kitab Kami ini menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah mencatat apa yang telah kamu kerjakan." Catatan ini adalah bukti absolut, tak terbantahkan, yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun. Ini memastikan keadilan mutlak; tidak ada yang tersembunyi, dan tidak ada yang terlupakan. Ini adalah manifestasi dari janji Allah di Ayat 15, bahwa setiap amal akan dikembalikan kepada pelakunya.
B. Pengadilan dan Perbedaan Nasib
Surah Al Jasiyah membagi hasil pengadilan menjadi dua nasib yang kontras, sesuai dengan janji keadilan (Ayat 21):
- Orang-Orang Beriman (Ayat 30): Mereka yang beriman dan beramal saleh akan dimasukkan ke dalam rahmat Allah. Ini bukan sekadar tempat tinggal yang baik, tetapi masuk ke dalam 'kasih sayang' Ilahi. Kemenangan mereka adalah kemenangan yang nyata, mengakhiri penderitaan dan ujian dunia.
- Orang-Orang Kafir (Ayat 31–35): Kepada mereka dikatakan: "Bukankah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepadamu, lalu kamu menyombongkan diri dan kamu adalah kaum yang berdosa?" (Q.S. 45: 31).
Penghinaan terhadap kaum kafir berpusat pada penolakan mereka terhadap bukti yang jelas. Di dunia, mereka sombong; di Akhirat, mereka hanya bisa meratap. Mereka tidak dapat mengajukan alasan atau meminta kembali ke dunia untuk berbuat baik. Alasan mereka berbuat jahat hanyalah karena mereka menolak kebenaran dan menjadikan kehidupan dunia sebagai fokus tunggal mereka. Allah menutup pintu tobat mereka pada hari itu.
Ayat 34 dan 35 menyajikan dialog dramatis antara malaikat/Allah dengan orang-orang kafir. Mereka diabaikan hari itu, sebagaimana mereka mengabaikan pertemuan Hari Kiamat. Mereka meminta kembali, tetapi tidak ada jalan kembali. Tempat kembali mereka adalah Neraka, dan mereka tidak akan mendapatkan penolong atau maaf.
Perkataan yang menjadi penutup hukuman ini sangat kuat: “Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu selalu tertipu oleh kehidupan dunia.” (Q.S. 45: 35). Ayat ini meringkas akar dosa mereka: menghina wahyu dan tertipu oleh fatamorgana kehidupan fana.
C. Penutup Surah: Pujian dan Kemuliaan
Surah Al Jasiyah ditutup dengan pujian yang agung kepada Allah (Ayat 36 dan 37):
Maka bagi Allah segala puji, Tuhan (Pemelihara) langit dan bumi, Tuhan semesta alam. Dan bagi-Nyalah segala keagungan di langit dan di bumi. Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al Jasiyah: 36-37)
Kesimpulan ini berfungsi sebagai penegasan akhir atas kedaulatan Allah. Setelah seluruh drama alam semesta dan pengadilan individu dijelaskan, pujian kembali kepada Sang Pencipta. Dialah penguasa langit dan bumi (kosmos), dan hanya milik-Nyalah keagungan (al-kibriyā'). Penutupan ini merangkum seluruh pesan surah: otoritas mutlak Allah adalah realitas tertinggi, dan semua keadilan serta hukum kembali kepada-Nya.
VII. Tema dan Analisis Mendalam Surah Al Jasiyah
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk mengupas lebih lanjut beberapa tema utama yang dijalin Surah Al Jasiyah secara berulang-ulang, yang menjadikannya salah satu surah paling koheren dalam kritik terhadap materialisme.
A. Prinsip Keadilan (Al-Haqq) vs. Kebetulan (Al-Dahr)
Surah ini membangun argumen teologis melawan materialisme yang berpendapat bahwa alam semesta ini buta, tanpa tujuan, dan hanya diatur oleh waktu (Dahr). Al Jasiyah berulang kali menekankan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu 'dengan kebenaran' (bil ḥaqq). Ini berarti alam semesta memiliki moralitas bawaan, tujuan yang mulia, dan hukum-hukum yang adil.
Jika alam diciptakan dengan kebenaran, maka konsekuensinya adalah keadilan harus ditegakkan pada tingkat individual. Jika tidak ada Akhirat, maka kebenaran penciptaan akan runtuh, dan alam semesta menjadi lelucon. Oleh karena itu, Hari Kebangkitan bukan sekadar ancaman, melainkan kebutuhan logis dan keharusan moral yang dijamin oleh sifat Pencipta Yang Maha Adil.
B. Peran Akal (Aql) dan Hati (Qalb)
Surah ini menekankan bahwa tanda-tanda Allah hanya dapat dilihat oleh mereka yang menggunakan akal dan hati mereka. Frasa seperti "bagi kaum yang meyakini," "bagi kaum yang berakal," dan "kaum yang berpikir" menyoroti bahwa iman adalah proses yang membutuhkan partisipasi aktif dari fakultas intelektual dan spiritual manusia. Penolakan terhadap wahyu dalam Al Jasiyah digambarkan bukan sebagai kegagalan intelektual, tetapi sebagai kegagalan moral: kesombongan yang mengunci pendengaran dan hati.
Ketika seseorang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan, dia secara sukarela melepaskan peran akal dan hatinya sebagai penerima hidayah. Allah tidak mengambil hidayah tanpa alasan; manusia sendirilah yang 'mengunci' dirinya melalui kesombongan dan penolakan berulang. Ini memperkuat doktrin tanggung jawab pribadi (Ayat 15).
C. Syukur dan Taskhīr (Penundukan)
Hubungan antara taskhīr (penundukan alam) dan syukr (syukur) adalah poros etika lingkungan dalam surah ini. Allah menundukkan laut, langit, dan bumi. Ini bukan izin untuk eksploitasi tanpa batas, melainkan amanah. Penundukan ini seharusnya menghasilkan rasa syukur, yang diwujudkan melalui ketaatan dan penggunaan sumber daya secara bertanggung jawab. Jika manusia gagal bersyukur, mereka gagal memenuhi tujuan keberadaan mereka, dan hasilnya adalah kerugian total di Hari Berlutut.
D. Konsekuensi Psikologis Kebatilan
Surah Al Jasiyah sangat detail dalam menggambarkan konsekuensi psikologis dari kesesatan di dunia. Orang kafir digambarkan sebagai orang yang 'tertipu oleh kehidupan dunia' (Ayat 35). Penipuan (ghurūr) ini bukan hanya ilusi kekayaan, tetapi ilusi bahwa tidak ada konsekuensi atas perbuatan mereka. Mereka hidup dalam gelembung kenikmatan sementara, dan ketika realitas Akhirat menghantam, penipuan itu berubah menjadi penyesalan yang pedih. Penyesalan ini diperkuat oleh pemandangan di mana catatan amal mereka dibukakan dan mereka dipanggil berdasarkan perbuatan mereka sendiri.
Kondisi bersimpuh (al jasiyah) pada Hari Kiamat adalah antitesis dari kesombongan mereka di dunia. Di dunia, mereka berdiri tegak dan mencemooh; di Akhirat, mereka ditundukkan dan menanti penghakiman, menyadari bahwa semua yang mereka banggakan di dunia telah lenyap nilainya.
VIII. Relevansi Kontemporer Surah Al Jasiyah
Meskipun diturunkan pada abad ke-7 di Makkah, pesan Surah Al Jasiyah sangat relevan bagi masyarakat modern, terutama di era dominasi ilmu pengetahuan dan materialisme sekuler.
A. Tantangan Materialisme Modern
Pandangan kaum Dahrīyyah di Makkah, yang menyalahkan waktu dan kebetulan atas segala sesuatu, memiliki kemiripan mencolok dengan naturalisme filosofis modern. Surah ini memberikan kerangka untuk melawan narasi yang meniadakan tujuan (teleologi) dalam penciptaan. Ia mengajak manusia modern untuk melihat kembali sains dan alam bukan sebagai bukti kebetulan buta, tetapi sebagai "tanda-tanda" (ayat) dari perancang yang Maha Bijaksana.
Tantangan untuk "kaum yang berakal" (Ayat 5) menjadi seruan bagi ilmuwan dan intelektual untuk menghubungkan keteraturan kosmik dengan keesaan ilahi, bukan untuk memisahkan keduanya. Jika sistem semesta begitu teratur, maka harus ada yang mengaturnya; inilah logika yang ditawarkan oleh surah ini.
B. Kritik terhadap Tiran Hawa Nafsu
Ayat 23 yang mengkritik orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan adalah peringatan keras terhadap budaya yang didorong oleh konsumerisme dan pemuasan diri. Dalam masyarakat di mana 'hak' pribadi dan keinginan individual ditempatkan di atas nilai moral universal atau wahyu, manusia telah menobatkan dirinya sendiri. Surah Al Jasiyah menunjukkan bahwa ini bukanlah jalan menuju kebebasan sejati, melainkan jalan menuju kebutaan spiritual dan konsekuensi yang mengunci hati.
Surah ini mengajarkan bahwa kontrol diri dan ketaatan kepada Syariat (Ayat 18) adalah satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari perbudakan keinginan sendiri yang bersifat destruktif.
C. Etos Memaafkan dan Keadilan Global
Perintah untuk memaafkan orang-orang yang tidak takut kepada Hari Allah (Ayat 14) relevan dalam konteks konflik dan ketidakadilan global. Ayat ini menanamkan kesabaran dan keyakinan bahwa meskipun penjahat mungkin tidak mendapatkan hukuman di pengadilan duniawi, mereka pasti akan menghadapi keadilan yang sempurna di pengadilan akhirat. Prinsip ini memberikan kekuatan moral bagi orang-orang yang tertindas untuk menahan diri dari balas dendam destruktif, sambil tetap berpegang pada keyakinan teguh pada keadilan Allah.
IX. Kesimpulan: Konsekuensi dari Pilihan Spiritual
Surah Al Jasiyah adalah masterpiece retorika yang secara simultan menghadirkan keindahan alam semesta dan ketegasan pengadilan ilahi. Surah ini menekankan bahwa hidup adalah sebuah pilihan sadar. Manusia dihadapkan pada dua jalan yang jelas: jalan wahyu dan akal, yang mengarah pada syukur dan keselamatan; atau jalan hawa nafsu dan kesombongan, yang mengarah pada penolakan dan kerugian abadi.
Nama surah, Al Jasiyah, berfungsi sebagai titik fokus dan klimaks. Hari Berlutut adalah hari di mana setiap ilusi duniawi hancur, dan realitas otoritas Allah yang mutlak menjadi tak terhindarkan. Pada saat itu, tidak ada ruang untuk negosiasi atau penyesalan yang bermanfaat. Catatan amal (Kitab) akan berbicara dengan kebenaran, dan setiap jiwa akan melihat hasil dari pilihan spiritual yang dibuatnya selama hidup di dunia.
Pesan akhir Surah Al Jasiyah adalah undangan mendesak untuk merenung: renungkan tanda-tanda Allah yang ada di sekitarmu, terima wahyu dengan kerendahan hati, dan jangan biarkan kesombongan atau fatamorgana dunia menutup hati dan akalmu. Sebab, pujian dan keagungan hanya milik Allah, dan hanya dengan tunduk kepada-Nyalah manusia dapat menemukan kedamaian dan keadilan sejati.
Melalui perbandingan historis (Bani Israil), tantangan filosofis (Dahrīyyah), dan pemandangan eskatologis (Yaum Al Jasiyah), surah ini memastikan bahwa tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk menolak kebenaran. Pilihan telah disajikan, dan konsekuensi sudah ditetapkan dengan keadilan mutlak.
Keagungan Allah sebagai Penguasa dan Pengatur seluruh sistem kosmik, yang membuka surah, ditegaskan kembali di penutupnya: wa lahul kibriyā’u fis samāwāti wal arḍi – dan bagi-Nyalah segala keagungan di langit dan di bumi. Kesombongan yang ditunjukkan oleh penentang wahyu di dunia adalah suatu ironi tragis, karena pada akhirnya, hanya Allah yang layak memiliki keagungan itu, dan di hadapan-Nyalah semua harus berlutut.
Oleh karena itu, bagi setiap pembaca, Al Jasiyah adalah cermin. Ia meminta kita untuk memeriksa di mana letak tuhan kita: di hati yang tunduk pada Sang Pencipta, atau di dalam hawa nafsu kita sendiri yang sombong. Dan pada akhirnya, setiap jiwa akan berlutut.
X. Telaah Mendalam Konsep Kibriyā' (Keagungan Mutlak)
Penutup Surah Al Jasiyah dengan tegas menyebutkan al-kibriyā’u (keagungan, kemuliaan, atau superioritas mutlak) adalah milik Allah di langit dan di bumi. Konsep ini adalah respons teologis terhadap segala bentuk kesombongan atau arogansi manusia yang dibahas dalam ayat-ayat sebelumnya. Ketika kaum musyrikin menolak wahyu karena keangkuhan mereka—seolah-olah mereka lebih pintar atau lebih berhak—surah ini mengingatkan bahwa keagungan sejati, yang mutlak dan tak tertandingi, hanya dimiliki oleh Allah.
Keagungan Allah (Al-Kibriyā’) adalah sifat yang mencakup kekuasaan-Nya yang tak terbatas, kebijaksanaan-Nya yang sempurna, dan kedaulatan-Nya atas segala sesuatu. Dalam konteks Surah Al Jasiyah, Kibriyā’ berfungsi sebagai pengadilan akhir atas sifat istakbarū (mereka bersikap sombong) yang merupakan penyakit utama kaum pendusta. Di dunia, kesombongan dapat memberikan ilusi kekuasaan, tetapi di Hari Kiamat, ketika semua berlutut (Jasiyah), keagungan manusia runtuh dan hanya Kibriyā’ Allah yang tersisa, bersinar di langit dan bumi.
Penyebutan Kibriyā’ di akhir surah juga menguatkan pesan tauhid (keesaan). Karena hanya Allah yang memiliki sifat ini, maka segala bentuk pengagungan yang diberikan kepada selain Allah (berhala, pemimpin, kekayaan, atau bahkan diri sendiri) adalah batil dan akan sia-sia di hari itu. Keagungan Allah menjamin bahwa proses pengadilan akan adil, karena Dia tidak tunduk pada kepentingan atau bias apa pun. Dia Maha Perkasa (Al-Aziz) untuk melaksanakan hukuman dan Maha Bijaksana (Al-Hakim) dalam menetapkan syariat dan konsekuensinya.
XI. Analisis Retorika dan Struktur Surah
Struktur retorika Surah Al Jasiyah sangat efektif dalam menggerakkan emosi dan nalar pembaca. Surah ini menggunakan teknik kontras yang tajam dan perpindahan fokus yang cepat dari kosmos ke catatan amal, menciptakan dinamika ketegasan dan kasih sayang.
A. Transisi dari Tanda ke Ancaman
Surah ini memulai dengan kelembutan pengamatan alam (Ayat 3-5), mengajak pendengar untuk melihat keindahan dan keteraturan. Namun, transisi ke Ayat 7 (“Celakalah bagi setiap pendusta yang banyak berdosa”) sangat tiba-tiba. Perpindahan ini menunjukkan bahwa penolakan wahyu bukanlah respons yang netral terhadap kebenaran, melainkan dosa aktif yang layak mendapat celaan segera.
B. Penggunaan Huruf Muqatta’ah
Pembukaan dengan Ḥā Mīm (حم) adalah ciri khas sekelompok surah yang dikenal sebagai Ḥawāmīm (atau Al-Jasiyah termasuk dalam kelompok ini). Surah-surah ini seringkali fokus pada isu wahyu, tantangan, dan akhirat, dengan nada yang keras dan mendesak. Keberadaan huruf-huruf ini pada permulaan menantang kaum musyrikin: Al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf yang sama dengan bahasa mereka, namun mereka tidak dapat menghasilkan yang serupa. Ini adalah bukti keajaiban linguistik dan kebenaran wahyu itu sendiri.
C. Bahasa Keseharian dan Metafora
Surah Al Jasiyah memanfaatkan bahasa yang sangat visual dan sehari-hari, seperti "kapal-kapal berlayar" (Ayat 12) dan "bumi dihidupkan sesudah matinya" (Ayat 5). Metafora kebangkitan bumi yang tandus menjadi hidup setelah hujan adalah kunci untuk memahami konsep ba’ats (kebangkitan) yang disangkal oleh kaum materialis. Dengan menggunakan fenomena yang mereka saksikan, surah ini meniadakan alasan mereka untuk tidak percaya.
XII. Tafsir Ayat Kunci: Mengapa Mereka Tidak Beriman?
Ayat 6 menanyakan, "Maka kepada perkataan manakah lagi mereka akan beriman setelah (kebenaran) Allah dan ayat-ayat-Nya?" Pertanyaan retoris ini adalah inti dari debat Surah Al Jasiyah. Jika Allah telah menyediakan tanda-tanda yang tak terbantahkan (alam semesta) dan perkataan yang tak bercela (Al-Qur'an), apa lagi yang mereka tunggu? Jawaban surah ini tersirat: mereka menolak bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena kelebihan hawa nafsu dan kesombongan.
Ayat ini berfungsi sebagai pemisah yang tajam. Bagi orang yang berakal, tanda-tanda Allah sudah cukup. Bagi orang yang menolak, tidak peduli seberapa banyak mukjizat yang disajikan, mereka akan tetap mencari alasan untuk menolak, karena hati mereka telah dikunci oleh istakbarū (kesombongan). Dengan demikian, iman dalam Surah Al Jasiyah adalah hasil dari kerendahan hati dan penggunaan akal budi yang sehat, yang memungkinkan seseorang untuk menerima kebenaran ilahi.
Penekanan pada catatan amal (Kitab) di Hari Jasiyah (Ayat 29) melengkapi argumen ini. Pada hari itu, mereka tidak bisa lagi berdalih bahwa mereka tidak mengerti atau tidak diperingatkan. Catatan yang dibukakan itu adalah catatan yang "menuturkan terhadapmu dengan benar," mencerminkan semua yang telah mereka kerjakan. Ini adalah bukti yang tidak hanya eksternal (wahyu), tetapi juga internal (kesaksian perbuatan mereka sendiri).
XIII. Konsepsi Hari Al Jasiyah dalam Ilmu Eskatologi
Yaum Al Jasiyah adalah deskripsi spesifik tentang Hari Kiamat. Pemandangan umat yang bersimpuh memiliki resonansi teologis yang mendalam, membedakannya dari gambaran kiamat lainnya dalam Al-Qur'an (seperti Hari Kebisingan atau Hari Pemisah).
Kondisi berlutut (bersimpuh) menekankan tiga aspek: penantian, ketakutan, dan ketiadaan daya. Mereka bersimpuh, menantikan nama mereka dipanggil, dan menyaksikan Catatan Amal dibuka. Dalam posisi ini, mereka tidak lagi memiliki status sosial atau perbedaan duniawi; semua manusia sama-sama rentan di hadapan keadilan Tuhan.
Peristiwa ini menandai akhir dari pengabaian mereka terhadap 'Hari-hari Allah' (ayyāmillāh) yang mereka anggap remeh di dunia (Ayat 14). Hari-hari Allah adalah saat hukuman atau keadilan dilaksanakan, dan Hari Kiamat adalah Hari Allah yang paling utama. Ketika mereka akhirnya dipaksa untuk menghadapi Hari itu, mereka akan menyadari betapa fatalnya kesalahan mereka dalam mengabaikannya selama di kehidupan fana.
Diskusi tentang 'Kitab' atau catatan amal juga penting. Kitab ini bukanlah buku yang ditulis oleh malaikat secara pasif, tetapi sering dipahami sebagai rekaman otentik dari tindakan, niat, dan konsekuensi perbuatan manusia. Kehadiran catatan ini pada hari itu menghilangkan segala keraguan dan membuka kedok segala kepura-puraan yang mungkin dianut oleh orang-orang fasik di dunia.