Ilustrasi Kekuasaan Ilahi Meliputi Langit dan Bumi (al isra ayat 55)
I. Pengantar Epistemologis dan Konteks Surah Al-Isra'
Surah Al-Isra’ atau dikenal juga sebagai Surah Bani Israil, adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada periode sulit dakwah Nabi Muhammad SAW. Secara tematik, surah ini berpusat pada penegasan fundamental tentang tauhid, penolakan syirik, pemuliaan akhlak, dan kisah-kisah kaum terdahulu sebagai pelajaran bagi umat Islam. Surah ini memiliki kedalaman filosofis yang luar biasa, terutama dalam menegaskan bahwa segala bentuk kekuasaan, keutamaan, dan pengaturan, baik di dimensi ghaib maupun syahadah, sepenuhnya berada di bawah kendali Allah SWT.
Ayat ke-55 dari surah yang mulia ini menyajikan sebuah penegasan akidah yang sangat krusial, menghubungkan dua konsep besar dalam teologi Islam: Tauhid Rububiyah (Ketuhanan dalam penciptaan dan pengaturan) dan konsep *Tafdhil* (pengutamaan atau perbedaan derajat) di antara makhluk-Nya. Ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan larangan syirik dan pengakuan mutlak atas hikmah Ilahi, yang melampaui batas pemahaman rasional manusia dalam menilai siapa yang paling utama.
Pemahaman yang komprehensif terhadap ayat 55 tidak hanya membutuhkan interpretasi linguistik yang cermat, tetapi juga peninjauan terhadap ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang larangan menyembah selain Allah dan ayat-ayat sesudahnya yang memperkuat otoritas risalah kenabian. Ayat ini memberikan landasan teologis bahwa penilaian terhadap keagungan dan derajat para nabi dan rasul adalah hak prerogatif mutlak Allah semata, bukan hasil subjektif dari pemujaan manusia.
Teks dan Terjemahan Ayat 55
“Dan Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang di langit dan di bumi. Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain), dan Kami berikan kepada Daud Zabur.”
Struktur ayat ini dibagi menjadi tiga klausa utama, yang masing-masing memiliki implikasi akidah yang mendalam: Pertama, penegasan pengetahuan Allah yang meliputi seluruh ciptaan (Langit dan Bumi). Kedua, penegasan bahwa Allah sendiri yang melakukan *tafdhil* (pengutamaan) di antara para nabi. Ketiga, penyebutan spesifik Nabi Daud AS dan pemberian kitab Zabur sebagai contoh nyata dari *tafdhil* tersebut.
II. Analisis Linguistik dan Makna Teologis
A. Klausa Pertama: Kedaulatan Pengetahuan Allah
Frasa awal, "وَرَبُّكَ أَعْلَمُ بِمَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ" (Dan Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang di langit dan di bumi), menegaskan sifat Allah, yaitu Al-'Alim (Yang Maha Mengetahui) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengenal). Penggunaan kata "أَعْلَمُ" (A’lamu – Paling Tahu atau Lebih Tahu) dalam bentuk superlatif, menegaskan bahwa tidak ada entitas lain, malaikat, jin, maupun manusia, yang dapat menandingi atau bahkan mendekati lingkup pengetahuan Ilahi.
Penyebutan "بِمَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ" (siapa yang di langit dan di bumi) merangkum seluruh ciptaan, baik yang berakal (malaikat, manusia, jin) maupun yang tidak berakal. Namun, dalam konteks ayat yang membahas tentang kenabian, fokus pengetahuan ini secara spesifik merujuk pada keutamaan dan tingkat keridhaan makhluk-makhluk yang berakal. Allah mengetahui betul kapasitas hati, keikhlasan niat, dan bobot amal setiap individu yang Dia ciptakan. Oleh karena itu, hanya Dia yang berhak menentukan siapa yang layak menduduki posisi kenabian atau rasul, dan siapa di antara mereka yang mendapatkan keutamaan lebih tinggi.
Pengetahuan Ilahi ini bersifat azali (tanpa awal) dan abadi, tidak terikat oleh waktu dan ruang. Ini berarti, ketika Allah menentukan keutamaan, penetapan itu didasarkan pada pengetahuan yang sempurna mengenai segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi pada diri nabi tersebut. Hal ini meniadakan adanya subjektivitas atau kesalahan dalam penetapan derajat, sebuah konsep yang harus diterima oleh akidah umat Muslim tanpa keraguan.
Klausa ini sekaligus menanggapi sikap kaum musyrikin yang mungkin menganggap bahwa mereka bisa menentukan atau memilih sendiri perantara ilahi mereka. Allah menegaskan bahwa hanya Dia yang memahami hierarki spiritual, dan intervensi manusia dalam menentukan urutan keutamaan tanpa wahyu adalah kesombongan teologis.
B. Klausa Kedua: Prinsip Tafdhil (Pengutamaan)
Bagian inti ayat ini adalah "وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّينَ عَلَىٰ بَعْضٍ" (Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian yang lain). Kata "فَضَّلْنَا" (Fadhdhalna) berasal dari akar kata *Fadhl*, yang berarti keutamaan, kemuliaan, atau pemberian yang lebih. Penggunaan kata kerja lampau ("قَدْ" yang menunjukkan penekanan dan kepastian) menunjukkan bahwa pengutamaan ini adalah ketetapan Ilahi yang telah terwujud.
Prinsip tafdhil ini menegaskan bahwa meskipun semua nabi memiliki derajat kenabian yang tinggi dan mulia, mereka tidak berada pada tingkatan yang setara. Perbedaan derajat ini, yang sepenuhnya di bawah pengetahuan Allah, didasarkan pada hikmah, ujian yang dihadapi, luasnya syariat yang dibawa, jumlah pengikut, dan kesabaran mereka dalam menghadapi kesulitan. Konsep ini kemudian diperjelas dalam Surah Al-Baqarah ayat 253, yang secara eksplisit menyebutkan Rasul-Rasul yang lebih utama (تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ).
Di antara pengutamaan yang paling dikenal adalah konsep Ulul Azmi, yaitu lima Rasul yang memiliki keteguhan luar biasa: Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW. Dalam konsensus ulama, Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai Sayyidul Anbiya wal Mursalin (Pemimpin Para Nabi dan Rasul) dan memiliki derajat tertinggi, yang merupakan puncak dari implementasi prinsip tafdhil yang disebutkan dalam Al-Isra 55 ini.
C. Klausa Ketiga: Spesifikasi Nabi Daud AS
Ayat ini mengakhiri dengan menyebutkan secara spesifik: "وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا" (dan Kami berikan kepada Daud Zabur). Penyebutan khusus Nabi Daud AS (David) setelah menetapkan prinsip umum tafdhil, memiliki beberapa makna penting:
- Ilustrasi Nyata: Nabi Daud adalah contoh yang sangat jelas dari pengutamaan. Ia adalah seorang nabi, seorang raja (pemimpin politik), dan dia juga dianugerahi kitab suci Zabur. Anugerah ganda ini—kekuatan duniawi dan otoritas spiritual—adalah bentuk kelebihan yang nyata.
- Relevansi Sejarah Bani Israil: Karena Surah ini berfokus pada Bani Israil, menyebutkan Daud, salah satu tokoh sentral dalam sejarah mereka, berfungsi sebagai pengingat akan nikmat Allah kepada nenek moyang mereka.
- Penghargaan Khusus: Kitab Zabur, yang terkenal berisi pujian, zikir, dan hikmah, menunjukkan pengutamaan Daud dalam aspek ibadah, suara merdu (yang bahkan mampu membuat gunung dan burung bertasbih bersamanya), dan kemampuan artistik spiritual.
Penyebutan Daud dalam konteks ini berfungsi untuk mengesahkan dan memvalidasi prinsip tafdhil. Jika bahkan dalam sejarah yang dikenal oleh audiens awal (Bani Israil dan bangsa Arab), terdapat nabi yang jelas-jelas dilebihkan dengan anugerah khusus (Zabur dan kerajaan), maka kebenaran prinsip perbedaan derajat ini menjadi tak terbantahkan.
III. Pandangan Mufasirin Klasik tentang Hikmah Tafdhil
Para ulama tafsir generasi awal dan klasik telah memberikan elaborasi mendalam tentang implikasi teologis dari Al-Isra ayat 55. Penafsiran mereka berakar kuat pada pemurnian tauhid dan penolakan terhadap pemujaan berlebihan terhadap makhluk, termasuk para nabi.
A. Tafsir Ibnu Katsir (Pengutamaan Atas Dasar Ilmu Allah)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa klausa pertama ayat 55 berfungsi sebagai penekanan bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan semua makhluk di langit dan bumi, dan Dia lebih mengetahui siapakah di antara mereka yang berhak mendapatkan kemuliaan. Tafsir ini sering dikaitkan dengan ayat-ayat yang menolak syirik, seperti perintah untuk tidak menyembah berhala yang tidak mampu mendatangkan manfaat maupun mudharat.
Menurut Ibnu Katsir, penyebutan tafdhil para nabi (termasuk Daud dan Zabur) diletakkan tepat setelah penegasan pengetahuan Allah sebagai bukti bahwa semua keutamaan datang dari Allah. Ini adalah penolakan terhadap pandangan bahwa makhluk bisa menentukan keutamaan nabi, atau bahwa keutamaan nabi bisa digunakan sebagai alasan untuk meninggikan mereka ke derajat ketuhanan, sebagaimana yang terjadi pada beberapa umat terdahulu (misalnya, terhadap Isa AS).
Beliau juga menyoroti bahwa walaupun ada tafdhil, hal ini tidak boleh menimbulkan pertentangan di kalangan umat. Umat Islam diperintahkan untuk mengimani semua rasul tanpa membeda-bedakan (seperti yang termaktub dalam Surah Al-Baqarah 285). Tafdhil adalah urusan Allah, sementara keimanan adalah kewajiban hamba.
B. Tafsir Al-Qurtubi dan Konsep Syafa'at
Imam Al-Qurtubi menghubungkan ayat 55 dengan ayat-ayat sebelumnya (51-53) yang membahas tentang permintaan pertolongan atau Syafa'at. Al-Qurtubi menjelaskan bahwa meskipun para nabi dan rasul memiliki derajat yang lebih tinggi, dan kelak akan diizinkan memberikan syafa'at, kekuasaan penuh untuk mengizinkan syafa'at itu tetap berada di tangan Allah.
Ayat 55 datang untuk menjelaskan: Mengapa Allah mengizinkan sebagian nabi untuk memberikan syafa'at dan yang lain tidak, atau mengapa derajat syafa'at mereka berbeda? Jawabannya: "وَرَبُّكَ أَعْلَمُ" (Tuhanmu lebih mengetahui). Kekuasaan dan pengetahuan Allah adalah penentu utama. Dengan demikian, jika seseorang ingin mencari syafa'at, ia harus mencari ridha Allah, bukan semata-mata mengagung-agungkan makhluk yang diutamakan tersebut secara berlebihan hingga melanggar batas tauhid.
C. Tafsir At-Tabari dan Keutamaan Wahyu
Imam At-Tabari menafsirkan keutamaan para nabi, khususnya Daud yang diberi Zabur, sebagai keutamaan yang berkaitan dengan jenis wahyu atau karunia spesifik yang mereka terima. Zabur, yang merupakan kumpulan zikir dan puji-pujian, memberikan Daud keutamaan dalam hal ibadah dan komunikasi spiritual yang mendalam, yang membedakannya dari nabi lain yang mungkin dianugerahi hukum syariat (seperti Musa) atau kekuasaan universal (seperti Muhammad SAW).
At-Tabari menekankan bahwa keutamaan ini diberikan berdasarkan hikmah Ilahiyah yang sempurna. Ini bukan keutamaan yang sembarangan, melainkan penetapan yang didasarkan pada peran yang telah ditetapkan Allah bagi nabi tersebut dalam rangkaian sejarah risalah.
IV. Implikasi Ayat 55 Terhadap Pemurnian Tauhid dan Akidah
Inti teologis dari Al-Isra ayat 55 adalah penegasan kedaulatan absolut (Tauhid Rububiyah) dan otoritas mutlak dalam ibadah (Tauhid Uluhiyah). Ayat ini secara halus namun kuat menyerang akar-akar syirik yang seringkali dimulai dari pengagungan makhluk yang saleh atau mulia.
A. Penolakan Teokrasi Manusia
Ayat ini mengajarkan bahwa hak untuk memberikan keutamaan, kemuliaan, dan derajat hanya milik Allah. Dalam konteks sosial dan teologis, ini berarti manusia tidak berhak mendirikan hierarki spiritual yang tidak didasarkan pada wahyu. Ketika Allah berfirman "Telah Kami lebihkan," ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut adalah tindakan Rububiyah (ketuhanan dalam mengatur), dan bukan tindakan Uluhiyah (ketuhanan dalam disembah) dari nabi yang bersangkutan.
Klausa ini membatasi potensi pengagungan berlebihan yang dapat mengarah pada kultus individu, suatu fenomena yang historisnya telah menyebabkan umat terdahulu terjerumus dalam kesyirikan. Ayat ini menjaga batas antara pengagungan yang sah (seperti mencintai Nabi Muhammad SAW) dan pengagungan yang terlarang (seperti menyembah Nabi Muhammad SAW).
Apabila Allah sendiri yang menyatakan bahwa Dia "lebih mengetahui" keutamaan mereka, maka bagaimana mungkin manusia yang terbatas pengetahuannya berani mengklaim bahwa nabi atau orang saleh tertentu layak dijadikan sekutu-Nya dalam ibadah atau perantara mutlak dalam urusan ghaib?
B. Keseimbangan Antara Tafdhil dan Persamaan Kenabian
Meskipun ayat ini menetapkan tafdhil (pengutamaan), hal ini tidak meniadakan kesamaan esensial di antara para nabi. Semua nabi dan rasul memiliki kesamaan dalam hal sifat maksum (terjaga dari dosa besar), menerima wahyu, dan menyampaikan risalah tauhid. Perbedaan (tafdhil) terletak pada tugas spesifik, luasnya syariat, dan tantangan yang mereka hadapi. Misalnya:
- Nabi Musa AS diutamakan dengan mukjizat interaksi langsung (Kalimullah).
- Nabi Ibrahim AS diutamakan sebagai Khalilullah (Kekasih Allah) dan bapak para nabi.
- Nabi Isa AS diutamakan dengan kemampuan menghidupkan orang mati dan penyembuhan ilahi.
- Nabi Muhammad SAW diutamakan dengan risalah universal, Al-Qur'an sebagai mukjizat abadi, dan kepemimpinan atas semua rasul.
Ayat 55 mengikat semua perbedaan ini kembali kepada sumbernya, yaitu Hikmah Ilahi yang hanya diketahui secara sempurna oleh Allah. Ini adalah pelajaran bahwa kita harus menerima hierarki spiritual ini sebagai bagian dari pengaturan kosmik yang sempurna, tanpa mencoba menguraikannya secara berlebihan hingga melahirkan perselisihan teologis yang tidak produktif.
C. Peran Hikmah dalam Penetapan Derajat
Konsep hikmah (kebijaksanaan) sangat sentral dalam memahami mengapa Allah memilih untuk mengutamakan sebagian nabi. Jika Allah menciptakan semua nabi setara, maka itu akan menyiratkan kurangnya variasi dalam rencana Ilahi. Namun, Sunnatullah (hukum alam dan agama) selalu menampilkan keanekaragaman dan tingkatan. Sebagaimana Allah menciptakan bintang yang berbeda kecerlangannya dan manusia yang berbeda karakternya, maka demikian pula nabi-nabi-Nya.
Keutamaan yang diberikan kepada Daud AS, misalnya, mengajarkan bahwa keutamaan dapat berupa kemampuan untuk memadukan spiritualitas tertinggi (Zabur) dengan tanggung jawab politik dan militer (kerajaan). Ini adalah model kepemimpinan yang utuh, yang merupakan keutamaan spesifik yang dibutuhkan pada masanya.
Oleh karena itu, tafdhil adalah cerminan dari kesempurnaan hikmah Allah dalam mengatur waktu, tempat, dan kebutuhan umat manusia. Setiap nabi diutus dengan keutamaan yang paling sesuai untuk misi spesifik mereka.
V. Kedalaman Kosmologis: Langit, Bumi, dan Hukum Ilahi
Klausa pembuka ayat 55, "Dan Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang di langit dan di bumi," memiliki dimensi kosmologis yang sangat luas. Ini bukan sekadar pernyataan geografis, melainkan pernyataan ontologis (keberadaan) dan metafisik yang mencakup seluruh eksistensi.
A. Kesatuan Eksistensi di Bawah Kekuasaan Rububiyah
Penyebutan "langit dan bumi" dalam Al-Qur'an sering kali digunakan untuk merangkum seluruh ciptaan. Ini mencakup:
- Langit (As-Samawat): Alam para malaikat, alam ghaib, dimensi spiritual, dan benda-benda angkasa yang berfungsi sebagai tanda-tanda kebesaran Allah.
- Bumi (Al-Ard): Alam manusia, jin, dan kehidupan material yang kita saksikan sehari-hari.
Dengan menegaskan bahwa Dia mengetahui semua yang ada di dua domain ini, Allah menegaskan bahwa otoritas-Nya bersifat menyeluruh dan tidak terbatas oleh dimensi material. Dalam konteks ayat yang membahas nabi, ini berarti pemilihan nabi (yang merupakan makhluk bumi) dan penentuan derajat mereka (yang memiliki dimensi surgawi/spiritual) sepenuhnya berada dalam lingkup pengetahuan dan kekuasaan-Nya.
Hal ini menafikan pemikiran dualisme, di mana mungkin ada kekuatan lain yang mengatur domain spiritual, atau kekuatan duniawi yang independen dari pengaturan Ilahi. Ayat 55 menancapkan Tauhid Rububiyah secara total: Allah adalah Penguasa mutlak seluruh semesta, dan keputusan-Nya dalam memilih hamba-hamba-Nya yang mulia adalah bagian dari ketetapan kosmik ini.
B. Keterkaitan antara Pengetahuan dan Penetapan Hukum
Karena Allah mengetahui secara sempurna seluruh ciptaan (baik yang tampak maupun tersembunyi), penetapan-Nya mengenai tafdhil para nabi secara otomatis menjadi penetapan hukum (syar’i) dan penetapan universal (kauni) yang harus diyakini. Jika Allah menetapkan bahwa Muhammad SAW adalah nabi termulia, penetapan ini adalah kebenaran universal yang tidak dapat diganggu gugat oleh interpretasi manusia.
Pengetahuan yang sempurna ini menjadi jaminan bagi umat manusia bahwa risalah yang disampaikan oleh para nabi, meskipun berbeda dalam detail syariat, semuanya berasal dari sumber yang sama, dan penyampaiannya diatur oleh Dzat yang Maha Sempurna Pengetahuannya. Ini memberikan rasa aman dan kepastian akidah bagi para pengikut risalah.
Keterangan yang berulang mengenai pengetahuan Allah atas seluruh alam semesta dalam konteks penetapan keutamaan berfungsi sebagai landasan epistemologis bagi seluruh ajaran Islam. Tanpa pengakuan absolut atas pengetahuan Allah, konsep seperti wahyu, kenabian, dan hari akhir akan kehilangan validitasnya. Ayat ini, oleh karena itu, adalah batu penjuru dalam memahami hubungan antara Dzat Yang Maha Tahu dan makhluk-makhluk pilihan-Nya.
Kita harus merenungkan kedalaman lautan ilmu Allah yang tak bertepi. Hanya pengetahuan yang tak terbatas itulah yang mampu menimbang keimanan, kesabaran, dan perjuangan batin seorang nabi selama masa risalahnya. Pengetahuan ini melingkupi setiap detik dari kehidupan Daud, Musa, dan Muhammad SAW, dari kelahiran hingga wafat, termasuk segala ujian yang tak terlihat oleh mata manusia biasa. Oleh karena itu, tafdhil adalah hasil dari kalkulasi Ilahi yang melampaui kemampuan nalar kita.
VI. Kontemplasi Mendalam Mengenai Konsep Tafdhil (Pengutamaan)
Isu tafdhil di antara para nabi sering kali memicu diskusi panjang di kalangan teolog (mutakallimin). Al-Isra 55 memberikan jawaban yang tegas: Penetapan ini adalah hak prerogatif Allah, namun pemahaman mendalam tentang apa yang dilebihkan perlu diuraikan.
A. Dimensi-dimensi Pengutamaan
Pengutamaan para nabi bukanlah semata-mata masalah perasaan atau kebanggaan umat, melainkan manifestasi dari hikmah dan perencanaan kosmik. Tafdhil dapat dilihat dari beberapa dimensi:
- Keutamaan Risalah (Syariat): Nabi Muhammad SAW membawa risalah yang paling sempurna dan universal, yang berlaku hingga akhir zaman, yang secara otomatis menempatkannya pada posisi tertinggi.
- Keutamaan Pengikut: Umat Muhammad SAW (Umatan Wasathan) secara kuantitas dan kualitas memiliki keutamaan, yang berkorelasi dengan derajat nabi mereka.
- Keutamaan Mukjizat: Meskipun semua mukjizat adalah luar biasa, mukjizat Al-Qur'an (yang diberikan kepada Muhammad SAW) memiliki sifat abadi dan tantangan intelektual yang unik, menjadikannya mukjizat terbesar.
- Keutamaan Kedekatan (Maqam): Seperti yang ditunjukkan oleh peristiwa Mi’raj (yang merupakan inti dari Surah Al-Isra’), Nabi Muhammad SAW mencapai kedekatan dengan Allah yang tidak pernah dicapai oleh nabi lainnya.
Ayat 55 mengajarkan bahwa pengutamaan ini bukanlah sesuatu yang statis. Pengutamaan Nabi Daud AS dengan Zabur, misalnya, menunjukkan bahwa keutamaan dapat berupa karunia spiritual yang spesifik. Para nabi diutamakan dalam aspek-aspek yang melengkapi rangkaian kenabian dari Adam hingga Muhammad SAW. Ini adalah jaringan kenabian yang saling mendukung, dengan Muhammad SAW sebagai penutup dan penyempurna.
B. Menghindari Fanatisme Subjektif
Salah satu bahaya teologis yang dihindari oleh ayat 55 adalah fanatisme subjektif terhadap nabi tertentu. Ketika suatu umat mulai meninggikan nabi mereka di atas batas kemanusiaan, mereka rentan jatuh ke dalam syirik. Dengan menyatakan bahwa Allah yang melebihkan, ayat tersebut mengarahkan ketaatan dan kekaguman kita bukan kepada nabi itu sendiri sebagai sumber kekuasaan, melainkan kepada Allah yang menganugerahkan kekuasaan dan keutamaan tersebut.
Seorang Muslim diwajibkan untuk mencintai dan menghormati semua nabi, tanpa membedakan status kenabian mereka. Namun, mereka juga harus mengakui hierarki spiritual yang telah ditetapkan oleh Allah. Mengakui tafdhil adalah bagian dari mengimani hukum Allah, sementara mencintai semuanya adalah bagian dari mengimani risalah.
C. Tafdhil dan Ujian Manusia
Mengapa pengetahuan tentang tafdhil ini penting bagi manusia? Karena hal ini berfungsi sebagai ujian. Ujian bagi para nabi yang diutamakan adalah bagaimana mereka menggunakan anugerah tersebut (seperti Daud dengan kerajaan dan Zabur). Dan ujian bagi umat adalah bagaimana mereka merespons risalah yang dibawa oleh nabi yang diutamakan tersebut, tanpa melanggar batas tauhid.
Jika kita memahami bahwa pengutamaan berasal dari ilmu Allah yang sempurna, maka kita akan menerima semua ketentuan yang dibawa oleh nabi yang diutamakan tersebut (terutama syariat Nabi Muhammad SAW) dengan keyakinan penuh, karena kita tahu bahwa dia adalah duta yang paling utama dan risalahnya adalah yang paling sempurna dan terjaga.
Pengutamaan ini bukan hanya sekedar gelar, melainkan beban tanggung jawab yang luar biasa. Semakin tinggi derajat kenabian, semakin berat pula ujian dan misi yang diembankan. Ini adalah pemahaman yang harus dihayati oleh setiap Muslim, bahwa keutamaan di sisi Allah selalu berbanding lurus dengan pengorbanan dan kesabaran yang tak terhingga.
VII. Al-Isra 55 dalam Rangkaian Kontinuitas Risalah Ilahi
Surah Al-Isra' berbicara tentang perjalanan malam Rasulullah SAW (Isra' Mi'raj), sebuah peristiwa yang secara simbolis menegaskan kepemimpinan beliau atas semua nabi. Ayat 55 diletakkan secara strategis di tengah surah ini untuk memperkuat tema tersebut, yaitu bahwa Nabi Muhammad SAW adalah puncak dari rangkaian nabi-nabi yang telah diutamakan oleh Allah.
A. Mi'raj sebagai Bukti Tafdhil
Peristiwa Mi'raj—perjalanan spiritual ke langit—secara faktual merupakan manifestasi paling jelas dari pengutamaan (tafdhil) Nabi Muhammad SAW. Dalam perjalanan itu, beliau menjadi imam shalat bagi semua nabi di Baitul Maqdis, dan kemudian melampaui batas-batas langit yang tidak pernah dicapai oleh nabi manapun. Ini adalah perwujudan praktis dari klausa "وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّينَ عَلَىٰ بَعْضٍ". Mi'raj membuktikan bahwa Allah telah memilih dan melebihkan beliau di atas yang lain, bukan karena kehendak manusia, melainkan berdasarkan ilmu Allah yang sempurna.
Dalam konteks ayat 55, penyebutan Nabi Daud dan kitab Zabur adalah contoh dari tafdhil yang terjadi di masa lalu. Sementara Mi'raj adalah contoh dari tafdhil yang terjadi di masa Nabi Muhammad SAW. Keduanya menunjukkan bahwa praktik pengutamaan adalah Sunnatullah yang konstan dalam sejarah risalah.
B. Kenabian dan Kerajaan (Kasus Daud AS)
Penyebutan Nabi Daud AS sebagai nabi yang diberi kerajaan dan Zabur memberikan pelajaran tentang harmonisasi antara kekuasaan spiritual dan kekuasaan temporal. Daud AS adalah model di mana fungsi kenabian tidak terpisah dari fungsi pemerintahan. Hal ini menentang pandangan dualistik yang memisahkan agama dari negara (sekularisme) dan menunjukkan bahwa seorang nabi yang diutamakan oleh Allah dapat memegang keduanya.
Keutamaan yang diberikan kepada Daud AS meluas pada anaknya, Nabi Sulaiman AS, yang bahkan dianugerahi kekuasaan yang lebih besar, termasuk mengendalikan jin dan angin. Rangkaian kenabian Daud-Sulaiman adalah demonstrasi yang kuat tentang bagaimana kekuasaan duniawi dapat digunakan untuk melayani Tauhid, asalkan penetapan keutamaan itu murni berasal dari kehendak Allah, seperti yang ditegaskan dalam ayat 55.
C. Fungsi Pemeliharaan dan Pengaturan Ilahi
Jika Allah telah bersumpah bahwa Dia yang melebihkan para nabi, maka kita harus yakin bahwa Dia juga yang memelihara keutamaan tersebut. Keutamaan Nabi Daud dengan Zabur terwujud dalam sejarah Bani Israil. Keutamaan Nabi Muhammad SAW dengan Al-Qur'an terwujud dalam pemeliharaan kitab suci tersebut dari segala bentuk perubahan dan intervensi manusia.
Ayat 55, dengan demikian, bukan hanya pernyataan historis, tetapi pernyataan keyakinan bahwa seluruh skema kenabian dari awal hingga akhir, termasuk penetapan siapa yang lebih unggul dalam tugas, adalah bagian dari pemeliharaan Allah yang tak terhindarkan. Penetapan ini adalah bukti bahwa Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana dalam distribusi karunia-Nya.
VIII. Aplikasi Praktis Ayat 55 dalam Kehidupan Muslim
Pemahaman teologis yang mendalam terhadap Al-Isra ayat 55 harus diterjemahkan menjadi perilaku dan sikap akidah sehari-hari bagi seorang Muslim. Ayat ini memberikan pedoman etis tentang bagaimana kita harus memandang makhluk-makhluk mulia pilihan Allah.
A. Mengutamakan Ketaatan di Atas Pemujaan Berlebihan
Karena keutamaan para nabi datang sepenuhnya dari Allah, fokus ketaatan kita harus diarahkan kepada Yang Memberi Keutamaan, yaitu Allah SWT, melalui ajaran nabi yang diutamakan tersebut (Nabi Muhammad SAW). Pemujaan yang berlebihan terhadap nabi atau wali, yang melampaui batas yang diizinkan syariat, adalah pengingkaran terhadap semangat ayat 55.
Ayat ini mendorong kita untuk merenungkan bahwa setiap anugerah, termasuk kenabian dan kitab suci (seperti Zabur), adalah murni pemberian Ilahi. Tugas kita adalah bersyukur atas anugerah tersebut dan mengikuti petunjuk yang dibawanya, bukan menjadikan sang pembawa anugerah sebagai objek ibadah.
B. Menerima Hikmah Perbedaan Derajat
Ayat 55 mengajarkan tentang keragaman (pluralitas) dalam hierarki kebaikan. Dalam kehidupan sosial, kita melihat perbedaan kemampuan, harta, dan jabatan. Ayat ini mengajarkan bahwa bahkan dalam derajat spiritual tertinggi (kenabian), perbedaan itu ada dan merupakan kehendak Allah.
Aplikasi praktisnya adalah menerima perbedaan status di antara sesama manusia dengan lapang dada, tanpa menimbulkan rasa iri atau ketidakpuasan terhadap penetapan Allah. Jika Allah berhak melebihkan nabi atas nabi lain, maka Dia juga berhak melebihkan sebagian hamba atas hamba yang lain dalam rezeki dan kedudukan di dunia, sebagai ujian bagi keduanya. Sikap tawadhu (rendah hati) adalah respons yang tepat terhadap realitas tafdhil ini.
C. Penguatan Keimanan melalui Kisah Daud AS
Penyebutan Daud AS secara spesifik berfungsi sebagai pendorong optimisme. Daud adalah seorang hamba yang melalui ujian berat sebelum mencapai puncak keutamaan. Ini mengajarkan bahwa pengutamaan spiritual bukanlah hasil dari latar belakang keturunan yang mulia semata, melainkan hasil dari perjuangan, kesabaran, dan ketekunan dalam ibadah dan zikir (yang tercermin dalam Zabur).
Bagi seorang Muslim, kisah Daud AS adalah motivasi bahwa pintu untuk meraih keutamaan di sisi Allah (bukan kenabian, yang telah ditutup) terbuka melalui amal saleh yang konsisten dan ketaatan yang tulus, sebagaimana Daud yang rajin bertasbih dan berpuasa.
Pada akhirnya, Al-Isra ayat 55 adalah pengingat yang indah namun tegas tentang kedaulatan Tuhan. Ayat ini menuntun hati manusia untuk hanya bergantung pada Allah semata, mengakui bahwa sumber segala keutamaan, baik di langit maupun di bumi, adalah Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengatur. Ini adalah pondasi akidah yang kokoh yang melindungi umat dari segala bentuk penyimpangan dan kesyirikan, dan sekaligus memperkuat keyakinan terhadap kesempurnaan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi yang paling utama di antara nabi-nabi yang telah diutamakan oleh Tuhan semesta alam.
Keseimbangan antara penghormatan terhadap para nabi dan kewaspadaan terhadap syirik adalah garis tipis yang harus dijaga. Ayat 55 berperan sebagai garis demarkasi yang jelas: hormatilah nabi karena Allah telah melebihkan mereka, tetapi sembahlah hanya Dzat yang telah melakukan pengutamaan tersebut. Ketaatan kepada Allah melalui ajaran nabi adalah manifestasi tertinggi dari pemahaman kita terhadap ayat yang agung ini.
Jika kita meninjau kembali rangkaian argumentasi yang dibangun oleh ayat ini, kita melihat adanya siklus teologis yang sempurna: Ilmu Allah yang absolut menentukan penetapan keutamaan, penetapan keutamaan terwujud dalam sejarah (contoh: Zabur kepada Daud), dan pengakuan terhadap keutamaan ini harus membawa kita kembali kepada pengakuan atas kedaulatan Ilmu Allah. Siklus ini menghalangi segala bentuk penyimpangan akidah yang mungkin timbul dari pengagungan makhluk.
Ayat ini mengajak seluruh umat manusia untuk merenungi betapa terbatasnya pengetahuan manusia dibandingkan dengan kedalaman ilmu Ilahi. Ketika kita melihat langit dan bumi, kita hanya melihat sekelumit kecil dari ciptaan-Nya. Namun, Allah, yang mengetahui seluruhnya, telah memilih hamba-hamba terbaik-Nya. Pengakuan ini melahirkan kerendahan hati yang esensial dalam beragama.
Maka, kita bersaksi bahwa setiap nabi yang diutus membawa cahaya, dan setiap keutamaan yang diberikan kepada mereka adalah pantulan dari Cahaya Ilahi itu sendiri. Pengutamaan adalah anugerah, bukan hak yang diperoleh secara mandiri, dan pengakuan atas sumber anugerah adalah puncak dari tauhid yang diajarkan oleh seluruh nabi dan rasul, dari Adam hingga penutupnya, Muhammad SAW.
Kesempurnaan penutup risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan konfirmasi tertinggi dari prinsip Tafdhil yang disebutkan dalam Al-Isra 55. Seluruh syariat, akhlak, dan petunjuk yang ditinggalkan oleh beliau adalah warisan dari nabi yang telah dilebihkan derajatnya secara paripurna, sebuah fakta yang harus diterima dengan keimanan penuh dan kepatuhan mutlak. Inilah cara kita menghargai dan mengamalkan hikmah yang terkandung dalam Surah Al-Isra ayat 55.
Oleh karena itu, setiap aktivitas ibadah, setiap zikir, dan setiap sunnah yang kita ikuti adalah bentuk pengakuan bahwa kita menempatkan ketaatan kepada Allah di atas segalanya, sambil mengakui kemuliaan para nabi yang telah dipilih-Nya dengan ilmu yang sempurna. Pengakuan ini adalah penegasan kembali terhadap sumpah Ilahi yang tercantum dalam ayat mulia tersebut.