Pendahuluan: Fondasi Akhlak Ekonomi Islam
Dalam khazanah ajaran Islam, Surah Al-Isra, yang juga dikenal sebagai Bani Isra'il, menempati posisi yang sangat penting. Surah ini memuat sejumlah perintah moral dan etika yang menjadi pondasi bagi kehidupan seorang Muslim, tidak hanya dalam urusan ibadah ritual, tetapi juga dalam interaksi sosial dan manajemen harta kekayaan. Salah satu ayat yang mengandung kebijaksanaan mendalam mengenai etika ekonomi dan perilaku finansial adalah ayat ke-29.
Ayat ini berfungsi sebagai kompas moral, menuntun umat manusia menuju jalan tengah (*wasathiyyah*) yang merupakan ciri utama ajaran Islam. Ia secara tegas melarang dua ekstrem yang sering menjerat manusia dalam urusan dunia: kekikiran yang membelenggu dan pemborosan yang menghancurkan. Memahami konteks, tafsir, dan implikasi praktis dari Al-Isra Ayat 29 adalah kunci untuk mencapai keberkahan, baik di tingkat individu maupun komunitas.
Islam mengakui fitrah manusia yang cenderung mencintai harta, namun pada saat yang sama, Islam juga menempatkan harta sebagai amanah. Bagaimana seorang Muslim mengelola amanah ini menentukan kualitas spiritualnya. Ayat 29 Surah Al-Isra memberikan batasan yang jelas, memastikan bahwa kekayaan tidak menjadi sumber kerusakan moral, tetapi justru menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan memberikan manfaat luas bagi kemanusiaan.
Kajian ini akan mengupas tuntas setiap frasa dalam ayat ini, menggali makna linguistik yang kaya, meninjau pandangan para mufassir terdahulu, serta merumuskan relevansinya dalam menghadapi tantangan ekonomi modern. Ayat ini adalah seruan abadi menuju moderasi, keseimbangan, dan tanggung jawab finansial yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan tertinggi.
Teks dan Terjemahan Surah Al-Isra Ayat 29
Untuk memulai pendalaman, marilah kita perhatikan lafaz suci dari ayat yang mulia ini:
Ayat ini menggunakan metafora yang sangat kuat dan mudah dipahami untuk menyampaikan pesan ekonomi yang mendalam. Tangan dalam konteks ini adalah representasi dari pengeluaran, pemberian, atau pengelolaan harta benda. Larangan yang disampaikan terbagi menjadi dua bagian yang simetris, membentuk konsep jalan tengah yang sempurna.
Analisis Linguistik dan Metafora Ayat
1. Larangan Pertama: Kekikiran (مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ)
Frasa وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ secara harfiah berarti "Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu." Kata kunci di sini adalah maghlulah (مَغْلُولَةً), yang berarti terbelenggu, terikat, atau terborgol. Secara metaforis, ini menggambarkan sikap kikir atau bakhil.
Orang yang tangannya terbelenggu ke lehernya adalah orang yang tidak bisa menggerakkan tangannya untuk memberi, mengeluarkan, atau membantu. Kekikirannya begitu kuat hingga seolah-olah lehernya dicekik oleh belenggu hartanya sendiri. Kikir bukan hanya menahan diri dari kewajiban (seperti zakat), tetapi juga menahan diri dari segala bentuk kebajikan, sedekah, dan pengeluaran yang diperlukan untuk diri sendiri maupun orang yang menjadi tanggungannya.
Belenggu ini bukan hanya penghalang fisik, tetapi juga penghalang spiritual. Harta yang seharusnya menjadi sarana kebaikan justru menjadi beban yang mencekik jiwa. Dalam pandangan Islam, kekikiran adalah penyakit hati yang merusak tali silaturahmi, memadamkan semangat gotong royong, dan menjauhkan pelakunya dari rahmat Ilahi. Kekikiran membuat harta tertumpuk dan tidak produktif, yang secara makroekonomi merugikan masyarakat.
2. Larangan Kedua: Pemborosan (وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ ٱلْبَسْطِ)
Frasa وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ ٱلْبَسْطِ berarti "Dan jangan pula engkau mengulurkannya (tanganmu) secara berlebihan." Kata tabsuṭhā (تَبْسُطْهَا) berasal dari akar kata *basaṭa*, yang berarti membentangkan atau mengulurkan. Ini adalah antonim dari ghulūl. Metafora ini menggambarkan seseorang yang membuka tangannya lebar-lebar tanpa batas, mengeluarkan harta secara sembarangan, tanpa perhitungan, dan tanpa tujuan yang jelas.
Pemborosan (*isrāf*) atau menghambur-hamburkan harta (*tabdhir*) adalah kebiasaan yang berlawanan dengan kikir, namun dampaknya sama-sama negatif. Orang yang boros sering kali mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, melampaui batas kebutuhan yang wajar, atau bahkan untuk pamer dan kesombongan. Jika kekikiran merusak jiwa pelakunya karena penumpukan, pemborosan merusaknya karena pengosongan yang tidak bijaksana.
Ayat ini secara spesifik menggunakan frasa *kulla al-basṭi* (secara keseluruhan/total pembentangan), yang menyiratkan larangan untuk mengeluarkan seluruh harta hingga tidak menyisakan apa pun untuk kebutuhan masa depan atau kebutuhan mendesak yang mungkin timbul. Ini adalah pelajaran penting dalam manajemen risiko finansial.
3. Konsekuensi Negatif (فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا)
Ayat ditutup dengan peringatan keras mengenai akibat dari kedua perilaku ekstrem tersebut: فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا, "agar engkau tidak menjadi tercela lagi menyesal."
- Malūmā (مَلُومًا): Tercela. Ini adalah celaan yang datang dari orang lain, terutama mereka yang seharusnya dibantu atau yang haknya diabaikan. Jika seseorang kikir, ia dicela masyarakat karena ketidakpeduliannya. Jika seseorang boros, ia dicela karena kebodohannya dalam mengelola rezeki, yang akhirnya merugikan diri sendiri dan keluarganya.
- Maḥsūrā (مَّحْسُورًا): Menyesal, lemah, atau putus asa. Kata ini sering dihubungkan dengan hewan yang kelelahan dan tidak mampu bergerak lagi. Ini menggambarkan kondisi finansial seseorang setelah ia menghabiskan seluruh hartanya. Ia akan duduk dalam keadaan bangkrut, lemah, tidak memiliki daya, dan dipenuhi penyesalan mendalam. Penyesalan ini muncul karena sadar bahwa ia telah menyia-nyiakan anugerah yang diberikan Allah SWT.
Ilustrasi metafora: Timbangan yang menunjukkan dua ekstrem (Kikir vs. Boros) dan titik tengah (Keseimbangan) yang dituntut oleh Al-Isra Ayat 29.
Tafsir dan Konteks Sejarah (Asbabun Nuzul)
A. Konteks Umum Surah Al-Isra
Surah Al-Isra diturunkan pada periode akhir Makkiyah, masa di mana tekanan terhadap Rasulullah SAW dan para sahabat semakin memuncak. Surah ini menekankan pada fondasi akidah, tauhid, dan serangkaian akhlak mulia yang dikenal sebagai 'Sepuluh Perintah' dalam Islam (meskipun lebih dari sepuluh, dimulai dari larangan menyekutukan Allah hingga kewajiban berbuat baik kepada orang tua). Ayat 29 berada dalam rangkaian perintah-perintah akhlak ini, menunjukkan bahwa manajemen harta adalah bagian integral dari kesalehan.
B. Latar Belakang Penurunan Ayat
Meskipun Al-Isra 29 bersifat universal, beberapa riwayat tafsir menyebutkan konteks spesifik yang mungkin melatarbelakanginya. Para mufassir seperti Al-Qurtubi dan At-Tabari menyinggung kisah-kisah di mana Rasulullah SAW sendiri menghadapi dilema dalam pengeluaran. Ada kalanya Rasulullah SAW sangat dermawan hingga hampir tidak menyisakan apa-apa untuk dirinya atau keluarganya, karena beliau yakin bahwa Allah akan memberikan rezeki esok hari.
Sebagian ulama menafsirkan bahwa ayat ini diturunkan untuk mengajarkan moderasi kepada Rasulullah SAW dan para sahabat agar pengeluaran amal tidak sampai mengorbankan kebutuhan asasi keluarga dan menimbulkan kesulitan di kemudian hari. Ayat ini pada dasarnya merupakan teguran halus sekaligus bimbingan dari Allah SWT bahwa kedermawanan harus disertai dengan kebijaksanaan, dan tawakal harus dibarengi dengan manajemen yang baik.
Ayat ini juga relevan dalam konteks kemiskinan dan ketidakadilan sosial di Mekkah. Ayat tersebut mengajarkan bahwa kekayaan yang ditahan (kekikiran) adalah kezaliman, dan kekayaan yang dihamburkan (pemborosan) adalah kebodohan, yang keduanya sama-sama menciptakan disfungsi sosial dan ekonomi.
Prinsip Keseimbangan Harta (Wasathiyyah)
Ayat 29 adalah salah satu perwujudan paling gamblang dari konsep Wasathiyyah (jalan tengah atau moderasi) dalam Islam. Moderasi di sini berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, termasuk pengeluaran harta. Ini bukan hanya masalah aritmatika (50% kikir, 50% boros), tetapi masalah kebijaksanaan (hikmah) dan prioritas (fiqh al-awlawiyyat).
1. Jalan Tengah Bukan Berarti Setengah-setengah
Keseimbangan yang dimaksud ayat ini bukanlah kompromi antara dua kesalahan, tetapi merupakan puncak dari kebenaran. Keseimbangan menuntut seorang Muslim untuk:
- Memenuhi Kewajiban: Mengeluarkan zakat, menafkahi keluarga, dan membayar utang. Tindakan menahan diri dari kewajiban ini sudah termasuk dalam kategori *maghlulah* (kikir).
- Menabung dan Berinvestasi: Menyisihkan untuk kebutuhan masa depan (ketahanan finansial), yang merupakan lawan dari *kulla al-basṭi* (menghabiskan semua).
- Berinfaq dan Bersedekah: Mengeluarkan kelebihan harta untuk kepentingan sosial dan amal, yang merupakan lawan dari *maghlulah*.
2. Batasan Kikir: Mengabaikan Hak
Kekikiran mencapai puncaknya ketika seseorang menahan hak-hak yang telah ditetapkan. Hak tersebut meliputi:
- Hak Allah (Zakat): Kewajiban utama yang jika ditahan, menjadikan seluruh hartanya tidak suci.
- Hak Keluarga (Nafkah): Kewajiban menafkahi istri, anak, dan orang tua yang menjadi tanggungannya. Kekikiran terhadap keluarga adalah kezaliman yang paling dilarang.
- Hak Diri Sendiri: Seseorang tidak boleh terlalu kikir hingga tidak memenuhi kebutuhan dasar dirinya sendiri, baik berupa makanan, pakaian, atau tempat tinggal yang layak, dengan alasan ingin menabung seluruhnya.
Kekikiran melahirkan sifat egoisme dan individualisme yang bertentangan dengan semangat kolektivitas dan ukhuwah Islamiyah.
3. Batasan Boros: Melampaui Kebutuhan
Pemborosan (*tabdhir* atau *israf*) terjadi ketika pengeluaran melampaui batas kebutuhan yang wajar dan dianjurkan agama. Batasan boros meliputi:
- Pengeluaran Tidak Bermanfaat: Mengeluarkan harta untuk sesuatu yang sia-sia, haram, atau hanya demi pamer (*riya'*).
- Mengorbankan Masa Depan: Menghabiskan seluruh aset sehingga jatuh miskin dan menjadi beban bagi masyarakat, yang merupakan definisi dari menjadi *maḥsūrā* (menyesal).
- Berlebihan dalam Hal Mubah: Bahkan dalam hal-hal yang diperbolehkan (mubah), berlebihan hingga mencapai tingkat kemewahan yang melalaikan adalah bentuk *israf*.
Al-Isra 29 menekankan bahwa mengelola harta adalah seni menahan diri dan memberi pada saat yang tepat. Jika tangan terlalu erat, harta menjadi racun. Jika tangan terlalu terbuka, harta menguap tanpa bekas, meninggalkan penyesalan.
Implikasi Spiritual dan Psikologis
Ayat ini tidak hanya mengatur masalah Fiqh (hukum) tetapi juga menyentuh aspek Tazkiyatun Nafs (pembersihan jiwa). Baik kikir maupun boros adalah manifestasi dari penyakit hati yang harus disembuhkan.
A. Menyembuhkan Kekikiran: Melatih Kedermawanan
Kekikiran adalah hasil dari kecintaan yang berlebihan terhadap dunia (*hubb ad-dunya*) dan ketakutan yang mendalam akan kemiskinan. Orang kikir tidak memiliki tawakal (berserah diri) yang sempurna kepada Allah SWT sebagai Pemberi Rezeki. Ayat 29 memerintahkan untuk membuka tangan agar jiwa terlepas dari belenggu ketakutan. Dengan memberi, seorang Muslim mempraktikkan tawakal, meyakini janji Allah bahwa harta yang diinfakkan tidak akan pernah mengurangi kekayaan, bahkan akan dilipatgandakan.
Dari sisi psikologis, kekikiran menciptakan isolasi sosial dan kecurigaan. Pelakunya selalu merasa khawatir hartanya akan berkurang dan cenderung tidak percaya kepada orang lain. Ayat ini mendorong pembentukan karakter yang murah hati, yang secara sosial menciptakan kepercayaan dan kasih sayang dalam masyarakat.
B. Menyembuhkan Pemborosan: Membangun Qana'ah
Pemborosan sering kali didorong oleh keinginan tak terbatas, mengikuti hawa nafsu, dan kurangnya rasa syukur (*qana'ah*). Orang boros berusaha mengisi kekosongan spiritual dengan pemenuhan materi yang instan, yang ironisnya, membuat mereka merasa *maḥsūrā* (menyesal dan putus asa) setelah harta habis.
Ajaran dalam Al-Isra 29 mengajarkan bahwa kebutuhan sejati manusia terbatas, sementara keinginan bisa tak terbatas. Dengan menahan diri dari pemborosan, seseorang melatih *qana'ah*, yaitu rasa puas dan cukup dengan apa yang dimiliki. Ini adalah kunci kebahagiaan sejati, karena kebahagiaan tidak bergantung pada jumlah harta, tetapi pada kualitas manajemen dan kepuasan batin.
C. Menghindari Celaka dan Penyesalan
Peringatan malūmā maḥsūrā memiliki dimensi ganda:
- Celaan Duniawi: Orang kikir dicela karena tidak membantu. Orang boros dicela karena gagal dan menjadi beban.
- Penyesalan Akhirat: Keduanya akan menyesali perbuatannya di Hari Akhir. Yang kikir menyesal karena tidak memanfaatkan hartanya untuk bekal, dan yang boros menyesal karena menggunakan rezeki Allah untuk hal yang sia-sia dan dilarang.
Maka, jalan tengah adalah jalan keselamatan, yang menjamin kehormatan di dunia (tidak dicela) dan ketenangan di akhirat (tidak menyesal).
Kaitannya dengan Ayat-ayat Lain
Konsep keseimbangan dalam pengeluaran ini diperkuat oleh ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an, yang menunjukkan bahwa ini adalah prinsip ajaran yang konsisten dan mendasar. Ayat ini dapat dilihat sebagai penjelas rinci dari konsep yang disajikan di tempat lain.
1. Surah Al-Furqan Ayat 67
Allah SWT memuji hamba-hamba-Nya yang sejati (Ibād ar-Raḥmān) dengan sifat moderasi finansial: "Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar." (Q.S. Al-Furqan: 67). Ayat ini menggunakan istilah *qaum* (berdiri tegak/wajar) untuk menggambarkan jalan tengah, sejalan dengan perintah dalam Al-Isra 29. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa moderasi adalah ciri khas orang-orang yang dicintai Allah.
2. Surah Al-Baqarah Ayat 219 (Kejelasan Mengenai Kelebihan Harta)
Ketika para sahabat bertanya tentang apa yang harus diinfakkan, Allah berfirman: "...Katakanlah: 'Yang melebihi dari keperluan'." (Q.S. Al-Baqarah: 219). Ayat ini memberikan panduan praktis untuk mencapai keseimbangan Al-Isra 29. Sebelum memberi, seorang Muslim harus memastikan kebutuhannya telah terpenuhi. Yang diinfakkan adalah kelebihan (*al-'afwu*). Jika seseorang menghabiskan seluruh hartanya (sebagaimana larangan *kulla al-basṭi*) padahal ia masih memiliki tanggungan, ia telah melanggar prinsip *al-'afwu*.
3. Peringatan terhadap Penumpukan Harta (Kikir)
Ancaman terhadap kekikiran sangat keras. Surah At-Taubah ayat 34-35 secara spesifik mengancam mereka yang menumpuk emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, bahwa harta itu akan menjadi setrika yang membakar mereka di Hari Kiamat. Ini adalah visualisasi hukuman bagi mereka yang memilih tangan *maghlulah* (terbelenggu).
Penerapan Kontemporer Al-Isra 29 dalam Kehidupan Modern
Bagaimana seorang Muslim yang hidup dalam masyarakat konsumtif yang penuh godaan iklan menerapkan prinsip Al-Isra 29? Prinsip ini melampaui sekadar sedekah, ia mencakup keseluruhan filosofi pengelolaan aset dan keuangan pribadi.
A. Etika dalam Konsumsi dan Pembelian
Dalam dunia modern, pemborosan seringkali terselubung di balik istilah "gaya hidup" atau "prestise." Ayat 29 menuntut kita untuk membedakan antara kebutuhan hakiki (*ḍarūriyyāt*) dan kemewahan yang tidak perlu (*kamāliyyāt*).
- Menghindari Utang Konsumtif yang Berlebihan: Pengeluaran yang melampaui kemampuan (utang kartu kredit untuk barang mewah) adalah bentuk modern dari *kulla al-basṭi* yang menjerumuskan seseorang pada penyesalan (*maḥsūrā*).
- Prioritas Pengeluaran: Memastikan kebutuhan primer (pangan, papan, sandang, pendidikan, kesehatan) terpenuhi sebelum mengalokasikan dana untuk hiburan atau barang-barang tersier.
B. Keseimbangan Antara Kedermawanan dan Ketahanan Finansial
Seorang Muslim dianjurkan untuk berinvestasi dan menabung (merencanakan masa depan). Ayat 29 mengajarkan bahwa menjaga stabilitas finansial keluarga adalah bagian dari kedermawanan yang bijaksana.
Syeikh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa kedermawanan yang sempurna adalah memberi tanpa harus membuat diri sendiri atau keluarga menjadi fakir di kemudian hari. Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menyerahkan seluruh hartanya, ini adalah tindakan yang spesifik dan diizinkan baginya karena tingkat tawakal dan keimanannya yang sangat tinggi, serta jaminan finansial yang dimiliki masyarakat saat itu. Namun, bagi Muslim awam, perintahnya adalah menjaga keseimbangan sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat 29.
Implementasi keseimbangan mencakup:
- Porsi Wajib: Zakat dan Nafkah (harus dipenuhi, atau tergolong kikir).
- Porsi Sunnah: Infak/Sedekah (harus dikeluarkan secara proporsional).
- Porsi Kebutuhan dan Tabungan: Dana darurat, investasi, dan dana pensiun (harus disisihkan untuk menghindari *maḥsūrā*).
C. Etika dalam Bisnis dan Investasi
Prinsip Al-Isra 29 juga berlaku di tingkat korporasi dan bisnis. Perusahaan dilarang keras untuk kikir (menahan hak karyawan, tidak membayar zakat perusahaan) dan dilarang boros (menghamburkan modal untuk proyek tidak realistis atau pengeluaran mewah yang tidak produktif).
Investasi yang dianjurkan adalah investasi yang moderat. Investasi yang terlalu berisiko, spekulatif, dan menghabiskan seluruh modal adalah bentuk *kulla al-basṭi* yang dapat mengakibatkan kebangkrutan dan penyesalan massal.
Pendalaman Lebih Lanjut: Analisis Tafsir Klasik
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk melihat bagaimana para ulama tafsir klasik menafsirkan nuansa dari ayat 29 ini, khususnya mengenai batasan antara kikir, boros, dan moderat.
A. Pandangan Ibn Kathir
Imam Ibn Kathir menekankan aspek peringatan dan pencegahan dari ayat ini. Beliau menjelaskan bahwa Allah SWT mengajarkan umat-Nya tentang jalan pertengahan dalam pengeluaran. Beliau menukil riwayat dari sahabat terkemuka yang menjelaskan bahwa larangan untuk mengulurkan tangan secara berlebihan berarti mengeluarkan semua harta hingga tersisa tanpa apa-apa, yang kemudian membuat orang tersebut duduk dalam keadaan menyesal, meminta-minta, dan tidak mampu menafkahi keluarganya.
Ibn Kathir juga menegaskan bahwa kedermawanan yang dianjurkan adalah yang didasarkan pada kemampuan, bukan dorongan emosi sesaat yang melupakan konsekuensi jangka panjang. Beliau mengaitkan *maghlulah* dengan orang yang terlalu menahan diri dari kewajiban infak sunnah, selain dari kewajiban zakat.
B. Pandangan Al-Qurtubi
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya memperluas makna *maghlulah* (kikir) menjadi orang yang menahan diri dari segala bentuk hak. Beliau juga membahas perbedaan antara *isrāf* (pemborosan) dan *tabdhir* (menghamburkan harta). Meskipun sering digunakan bergantian, sebagian ulama memandang *tabdhir* sebagai pengeluaran harta di jalan yang haram atau sia-sia, sementara *isrāf* adalah melampaui batas dalam hal yang mubah.
Inti dari pandangan Al-Qurtubi adalah bahwa kedua perilaku ekstrem tersebut merusak kehormatan diri. Orang yang kikir kehilangan rasa hormat karena kekerasannya, dan orang yang boros kehilangan rasa hormat karena kemiskinan yang ia ciptakan sendiri. Keselamatan terletak pada kehormatan dan kemandirian finansial yang dihasilkan dari jalan tengah.
C. Pandangan Fakhruddin Ar-Razi
Imam Ar-Razi mengambil pendekatan filosofis, menghubungkan ayat ini dengan konsep keadilan. Beliau menjelaskan bahwa keadilan (*al-adl*) dalam moral selalu berada di tengah antara dua keburukan. Dalam konteks finansial:
- Keburukan pertama adalah kikir (berlebihan dalam menahan).
- Keburukan kedua adalah boros (berlebihan dalam mengeluarkan).
- Kebaikan (*al-fadīlah*) adalah kedermawanan (*sakhā'*), yang merupakan titik tengah yang ideal.
Ar-Razi menekankan bahwa perintah ini bertujuan untuk menjaga sistem sosial agar tetap berfungsi. Jika semua orang kikir, masyarakat akan lumpuh. Jika semua orang boros, sumber daya akan habis dengan cepat. Keseimbangan adalah fondasi ketahanan sosial dan ekonomi.
D. Tafsir Modern: Hamka
Dalam tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan bahwa metafora tangan terbelenggu ke leher sangat kuat karena menggambarkan keadaan seseorang yang menahan harta hingga seolah-olah ia menderita penyakit leher kaku, tidak bisa menoleh, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara tangan yang terulur terlalu lebar diibaratkan sebagai keadaan tidak peduli, membiarkan harta mengalir tanpa batas.
Hamka menyimpulkan bahwa Islam tidak menolak kekayaan, tetapi menolak pengelolaannya yang salah. Kekayaan harus menjadi alat yang digunakan secara proporsional untuk kemaslahatan, bukan tujuan yang dikejar dengan fanatisme, baik melalui penahanan total maupun penghamburan total.
Memerangi Tabdhir (Pemborosan) di Era Modern
Ancaman *tabdhir* (menghamburkan harta) kini jauh lebih kompleks dibandingkan masa Rasulullah SAW. Globalisasi dan kapitalisme konsumtif menciptakan budaya yang memuliakan pemborosan dan hutang demi citra diri. Ayat 29 menjadi benteng spiritual melawan arus ini.
A. Konsumerisme dan Riba
Banyak pemborosan modern didanai melalui riba (bunga) dan utang yang berlebihan. Sikap *kulla al-basṭi* hari ini seringkali berarti membeli barang di luar kemampuan finansial melalui pinjaman berbunga tinggi. Ketika individu terjerat utang konsumtif, ia tidak hanya boros tetapi juga melanggar larangan riba, dan ujungnya adalah *maḥsūrā* (penyesalan dan kebangkrutan).
B. Etika Lingkungan dan Sumber Daya
Pemborosan tidak hanya terbatas pada uang, tetapi juga pada sumber daya alam. Menghamburkan air, listrik, makanan, atau energi adalah bentuk modern dari *israf* yang melanggar semangat Ayat 29. Islam mengajarkan bahwa alam semesta adalah amanah, dan pengelolaannya harus dilakukan secara hemat dan bertanggung jawab, sejalan dengan prinsip keseimbangan.
Rasulullah SAW bersabda, "Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan tanpa kesombongan." (HR. An-Nasa’i dan Ibn Majah). Hadis ini menggarisbawahi bahwa bahkan dalam hal-hal dasar yang diperbolehkan, berlebihan tetaplah terlarang karena termasuk dalam kategori *israf*, yang dekat dengan *kulla al-basṭi*.
C. Pengaruh Media Sosial
Media sosial sering mendorong perilaku pemborosan melalui perbandingan sosial. Individu merasa tertekan untuk menampilkan kemewahan (seolah-olah tangan mereka *mabsutah*), bahkan jika hal itu menghabiskan seluruh tabungan atau menimbulkan utang. Konsekuensi dari mengikuti tren ini adalah hilangnya fokus pada kebutuhan hakiki dan terjerumus ke dalam lingkaran *malūmā maḥsūrā*.
Integrasi Moralitas dan Ekonomi
Pesan utama dari Al-Isra Ayat 29 adalah bahwa tidak ada pemisahan antara moralitas dan ekonomi dalam Islam. Ekonomi yang sehat adalah cerminan dari hati yang sehat, dan hati yang sehat adalah hati yang seimbang.
A. Keseimbangan Menuju Kemandirian Umat
Jika setiap Muslim menerapkan prinsip *wasathiyyah* dalam harta, dampaknya pada komunitas akan sangat besar. Kekikiran diatasi dengan infak yang stabil, yang menjamin kebutuhan fakir miskin terpenuhi. Pemborosan diatasi dengan tabungan dan investasi yang bijaksana, yang menjamin modal umat tetap tersedia dan produktif.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa kekayaan bukanlah akhir, melainkan alat untuk mencapai ridha Allah. Cara kita membelanjakan harta mencerminkan apakah kita benar-benar memahami peran kita sebagai khalifah di bumi yang dituntut untuk berlaku adil dan moderat dalam setiap aspek kehidupan.
B. Keseimbangan dalam Memberi dan Menerima
Keseimbangan yang diajarkan Ayat 29 juga berlaku pada etika meminta. Orang yang terlalu kikir (tidak mau memberi) berpotensi menjadi orang yang meminta-minta, karena ia tidak punya cadangan. Orang yang terlalu boros (menghabiskan semua) pasti akan jatuh ke dalam posisi meminta-minta. Dalam kedua kasus, kehormatan diri hilang.
Maka, kedermawanan yang seimbang adalah pertahanan terbaik terhadap kemiskinan dan ketergantungan. Ia menjamin bahwa tangan di atas (pemberi) tetap kuat dan tidak jatuh menjadi tangan di bawah (penerima).
Sikap moderat dalam pengeluaran adalah manifestasi dari kesadaran akan tanggung jawab. Setiap pengeluaran harus melalui filter pertanyaan: "Apakah ini wajib? Apakah ini perlu? Apakah ini bermanfaat? Apakah ini seimbang dengan kemampuan dan kebutuhan masa depan?" Hanya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini secara jujur, seorang Muslim dapat memastikan tangannya terlepas dari belenggu kikir dan tidak terbentang terlalu lebar dalam boros.
Oleh karena itu, prinsip yang terkandung dalam Al-Isra Ayat 29 adalah cetak biru abadi untuk stabilitas finansial dan kesalehan pribadi. Ia mengajarkan kebijaksanaan tertinggi dalam mengelola anugerah duniawi, memastikan bahwa perjalanan kita menuju akhirat dilakukan dengan bekal yang cukup, tanpa penyesalan, dan jauh dari celaan.
Pengulangan dan pendalaman yang terus menerus atas ayat ini dalam hidup sehari-hari akan membentuk generasi yang secara finansial cerdas, secara spiritual kaya, dan secara sosial bertanggung jawab—sebuah umat yang benar-benar menerapkan nilai wasathiyyah dalam seluruh sendi kehidupannya.
Melalui penerapan yang konsisten terhadap larangan kekikiran dan pemborosan, seorang Muslim tidak hanya menyelamatkan harta bendanya dari kerusakan, tetapi yang jauh lebih penting, ia menyelamatkan jiwanya dari penyesalan yang mendalam dan celaan, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Ilahi.
Inti dari ajaran ini adalah kontrol diri, di mana nafsu keinginan harus tunduk pada akal dan syariat. Ini adalah jihad ekonomi yang harus diperjuangkan setiap hari: melawan dorongan untuk menimbun (kikir) dan melawan godaan untuk menghabiskan tanpa batas (boros). Keseimbangan ini adalah ibadah, dan ia adalah kunci menuju kehidupan yang berkah dan mulia.
Penyakit kikir dan boros adalah dua sisi dari mata uang kecintaan berlebihan pada dunia. Kikir mencintai dunia dengan cara menahannya; boros mencintai dunia dengan cara mengkonsumsinya tanpa batas. Keduanya gagal melihat hakikat harta sebagai sarana menuju kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan sementara. Mereka yang memilih jalan tengah, yang dermawan tanpa menghabiskan seluruhnya, adalah mereka yang benar-benar telah memenangkan pertarungan melawan hawa nafsu duniawi.
Sungguh, ayat ini adalah mukjizat pedagogis yang mengajarkan manajemen harta melalui metafora yang tak lekang oleh waktu. Ia menggarisbawahi bahwa keselamatan finansial dan spiritual terletak pada kebijaksanaan alokasi, dan bukan pada jumlah total aset. Kebijaksanaan tersebut adalah karunia yang harus diupayakan oleh setiap mukmin dalam setiap transaksi dan pengeluaran yang ia lakukan, demi menghindari status *malūmā maḥsūrā* yang merugikan di hadapan Allah SWT.