Memahami Surah Al-Isra Ayat 31: Pilar Etika Kehidupan
Surah Al-Isra (Perjalanan Malam) adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada fase kritis dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini kaya akan tuntunan moral, etika sosial, dan fondasi tauhid yang kokoh. Ayat-ayatnya mengatur hubungan vertikal antara hamba dan Penciptanya, sekaligus mengatur hubungan horizontal antar sesama manusia, termasuk larangan-larangan fundamental yang bertujuan melindungi kemanusiaan dari kehancuran moral dan material.
Di antara rangkaian perintah dan larangan yang sangat mendasar dalam surah ini, terdapat sebuah peringatan keras mengenai salah satu kejahatan sosial terbesar yang pernah dipraktikkan, yaitu pembunuhan anak. Peringatan ini tidak hanya melarang tindakan keji tersebut, tetapi juga secara eksplisit menyentuh akar permasalahan yang sering melatarbelakanginya: rasa takut akan kemiskinan. Ayat 31 dari Surah Al-Isra menjadi mercusuar yang menegaskan nilai mutlak kehidupan dan mengajarkan konsep mendalam tentang rezeki dan tawakal kepada Sang Pemberi Hidup.
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَٰقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيرًا“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa besar.”
Ayat ini adalah manifestasi langsung dari rahmat dan keadilan Ilahi. Ia datang untuk menghapuskan tradisi Jahiliyah yang gelap, di mana keputusasaan ekonomi seringkali berujung pada tindakan paling ekstrem: merenggut nyawa keturunan sendiri. Namun, makna ayat ini jauh melampaui konteks sejarahnya; ia memberikan pelajaran abadi mengenai keimanan, perencanaan hidup, dan hakikat rezeki yang menjadi milik mutlak Allah SWT.
Analisis Linguistik dan Teologis Ayat 31
Untuk memahami kedalaman pesan Al-Isra 31, kita perlu menelaah setiap komponen kata yang digunakan. Pilihan kata dalam Al-Qur'an selalu presisi dan sarat makna, memberikan implikasi hukum dan spiritual yang kompleks.
1. Larangan Mutlak: وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ (Wa Lā Taqtulū)
Penggunaan kata larangan (lā) diikuti oleh fi'il mudhari' (kata kerja yang sedang atau akan dilakukan) dalam bentuk jamak (taqtulū) menunjukkan larangan yang tegas dan universal. Ini adalah larangan langsung terhadap tindakan pembunuhan (qatl). Dalam konteks syariat Islam, pembunuhan adalah dosa terbesar setelah syirik, dan larangan ini secara spesifik ditujukan pada pembunuhan terhadap 'anak-anakmu' (awlādakum), baik laki-laki maupun perempuan, yang mana praktik penguburan anak perempuan hidup-hidup (wa'd) menjadi contoh historis yang paling menonjol.
Larangan ini mencakup setiap tindakan yang mengarah pada penghentian kehidupan, menegaskan bahwa kehidupan yang dianugerahkan oleh Allah memiliki nilai sakral sejak awal keberadaannya. Pembunuhan anak di sini tidak hanya merujuk pada pembunuhan fisik setelah kelahiran, tetapi para ulama juga memperluas maknanya untuk mencakup segala bentuk penghilangan nyawa yang didasari ketakutan akan beban ekonomi, termasuk, dalam beberapa interpretasi kontemporer, aborsi yang dilakukan murni atas pertimbangan finansial, kecuali dalam kondisi darurat medis yang sah.
2. Akar Ketakutan: خَشْيَةَ إِمْلَٰقٍ (Khashyata Imlāqin)
Ayat ini tidak sekadar melarang pembunuhan, tetapi juga mengidentifikasi motifnya: khashyata imlāqin, yang berarti 'karena takut kemiskinan'. Ini adalah poin psikologis yang sangat penting. Kata khashyah (takut) merujuk pada ketakutan yang disertai dengan pengetahuan atau penghormatan; dalam konteks ini, ketakutan akan masa depan finansial yang buruk.
Lebih jauh, kata imlāq memiliki arti yang lebih spesifik daripada sekadar kemiskinan (faqr). Imlāq merujuk pada kondisi kefakiran yang ekstrem atau menjadi sangat miskin (melarat) hingga kehabisan segala daya upaya. Ini menggambarkan kondisi psikologis putus asa yang dialami orang tua, di mana mereka melihat anak tambahan sebagai beban yang akan mendorong seluruh keluarga ke jurang kehancuran ekonomi total. Al-Qur'an secara langsung menangani rasa putus asa ini, menunjukkan bahwa sumber masalah bukanlah anak, melainkan ketidakpercayaan terhadap janji Allah.
Ketakutan ini, yang berakar pada kekhawatiran materialistis, dianggap sebagai motivasi yang batil dan tidak sah di hadapan keagungan Sang Pencipta. Ayat ini menggeser fokus dari keterbatasan sumber daya manusiawi menuju keluasan rezeki Ilahi yang tak terbatas. Menariknya, Allah tidak hanya mengutuk perbuatan tersebut, tetapi juga menyertakan solusi fundamental yang mengatasi sumber ketakutan itu sendiri.
3. Jaminan Ilahi: نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ (Naḥnu Narzuquhum wa Iyyākum)
Ini adalah inti teologis dari ayat tersebut, sebuah penegasan yang menghancurkan keputusasaan. "Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu." Penggunaan kata ganti 'Kami' (Naḥnu) secara eksplisit menegaskan bahwa Allah sendiri yang menjamin rezeki tersebut. Jaminan ini disampaikan dalam dua dimensi:
- Narzuquhum (Kami beri rezeki kepada mereka - anak-anak): Allah menegaskan bahwa rezeki anak itu sudah dijamin, terlepas dari kondisi orang tua.
- Wa Iyyākum (dan juga kepadamu - orang tua): Jaminan ini mencakup orang tua. Kehadiran anak tidak mengurangi rezeki orang tua; sebaliknya, seringkali anak membawa rezeki (barakah)nya sendiri. Ini menenangkan kekhawatiran bahwa rezeki yang ada akan terbagi habis.
Urutan penyebutan subjek rezeki sangat penting: 'mereka' (anak-anak) didahulukan daripada 'kamu' (orang tua). Hal ini menepis anggapan Jahiliyah bahwa anak adalah beban. Sebaliknya, ayat ini menggarisbawahi bahwa Allah adalah penyedia utama bagi semua makhluk-Nya, dan kekhawatiran orang tua adalah tidak berdasar karena rezeki bersifat universal dan berasal dari Sumber yang Maha Kaya.
4. Keseriusan Dosa: إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيرًا (Inna Qatlahum Kāna Khiṭ'an Kabīrā)
Ayat diakhiri dengan peringatan tegas mengenai konsekuensi spiritual dan moral dari tindakan tersebut: "Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa besar (khiṭ'an kabīrā)." Kata khiṭ'an (dosa, kesalahan besar) di sini menunjukkan bahwa tindakan tersebut bukan hanya kesalahan hukum, tetapi juga kesalahan moral yang memiliki bobot spiritual yang sangat berat. Penyifatan kabīrā (besar) menempatkannya dalam kategori dosa-dosa besar yang membutuhkan taubat yang sungguh-sungguh.
Ini menekankan bahwa pembunuhan anak, yang termotivasi oleh ketidakpercayaan terhadap janji Allah, menggabungkan dua kejahatan: perampasan hak hidup dan kurangnya keimanan mendasar. Keseriusan ini menunjukkan betapa Islam menjunjung tinggi hak hidup, bahkan bagi yang paling rentan, dan betapa bahayanya membiarkan ketakutan materi mendikte keputusan moral yang paling mendasar.
Visualisasi Perlindungan dan Jaminan Rezeki Ilahi
Melawan Tradisi Jahiliyah: Konteks Sejarah Pelarangan
Praktik membunuh anak, khususnya penguburan anak perempuan hidup-hidup (wa’d al-banat), adalah fenomena sosial yang menyakitkan di Jazirah Arabia pra-Islam (Jahiliyah). Praktik ini didorong oleh berbagai faktor, namun yang paling dominan adalah kekhawatiran ekonomi (imlāq) dan stigma sosial.
1. Tekanan Ekonomi dan Kelangkaan Sumber Daya
Wilayah Hijaz, tempat turunnya wahyu, sebagian besar merupakan daerah gersang dengan sumber daya yang terbatas. Konflik antar suku sering terjadi, mengganggu jalur perdagangan dan pertanian yang minim. Dalam lingkungan yang keras ini, anak perempuan dianggap sebagai beban ganda: pertama, mereka tidak dapat berkontribusi secara signifikan dalam peperangan atau mencari nafkah yang berat; kedua, mereka memerlukan mas kawin saat menikah. Ketakutan akan kewajiban finansial yang berkelanjutan inilah yang menjadi motivasi utama di balik tindakan keji tersebut.
Al-Qur'an datang untuk merombak mentalitas ini. Al-Isra 31 memberikan diagnosis yang tajam: masalahnya bukan pada sumber daya bumi, melainkan pada kurangnya keyakinan terhadap sumber daya langit. Ini adalah reformasi teologis yang mendasar. Islam mengajarkan bahwa sumber rezeki tidak terbatas pada apa yang dapat dilihat atau dihitung oleh manusia, tetapi berasal dari kebijaksanaan dan kemurahan Allah Yang Maha Pemberi. Dengan mengaitkan pelarangan pembunuhan langsung dengan janji rezeki, Islam menawarkan solusi bukan hanya etis, tetapi juga psikologis dan spiritual terhadap keputusasaan ekonomi.
2. Perbandingan dengan Surah Al-An'am (6:151)
Penting untuk dicatat bahwa larangan ini juga diulang dalam konteks yang sedikit berbeda dalam Surah Al-An'am, ayat 151:
قُلْ تَعَالَوْا۟ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُم مِّنْ إِمْلَٰقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ ...“... dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kemiskinan (min imlāqin), Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka...”
Perbedaan minor antara kedua ayat ini memberikan nuansa penting. Dalam Al-An'am 151, digunakan frasa min imlāqin ('dari/disebabkan kemiskinan'), sedangkan dalam Al-Isra 31 digunakan khashyata imlāqin ('karena takut kemiskinan').
- Al-An'am 151 (Min Imlāqin): Mengatasi kasus di mana kemiskinan (kekurangan) sudah terjadi.
- Al-Isra 31 (Khashyata Imlāqin): Mengatasi kasus di mana tindakan dilakukan karena proyeksi atau ketakutan akan kemiskinan di masa depan (potensi kesulitan).
Perbedaan ini menunjukkan bahwa Islam melarang pembunuhan anak, baik yang didorong oleh kemiskinan yang sudah ada maupun yang didorong oleh kekhawatiran akan kemiskinan yang mungkin terjadi. Kedua ayat ini bekerja secara sinergis untuk menutup semua celah pembenaran bagi tindakan merenggut nyawa karena alasan materi.
Kedalaman Tauhid dalam Jaminan Rezeki
Ayat Al-Isra 31 adalah pelajaran tauhid (keesaan Allah) yang mendalam. Ketika manusia berada dalam ketakutan ekstrem, ia cenderung mengambil keputusan yang paling irasional dan kejam. Ayat ini memaksa mukmin untuk kembali kepada prinsip dasar keimanan: hanya Allah lah Ar-Rāziq (Maha Pemberi Rezeki).
1. Mengatasi Keputusasaan (Al-Ya’s)
Keputusasaan ekonomi seringkali dianggap sebagai penyakit spiritual. Ketika seseorang meyakini bahwa rezekinya hanya bergantung pada kemampuannya, pengetahuannya, atau usahanya semata, ia akan merasa terancam saat menghadapi potensi kesulitan. Al-Isra 31 mengajarkan bahwa rezeki adalah hak prerogatif Ilahi. Anak yang terlahir membawa rezekinya sendiri, dan rezeki orang tua pun telah ditetapkan. Keyakinan ini adalah vaksin spiritual melawan keputusasaan yang mendorong kekejaman.
Mempercayai janji rezeki Allah bukan berarti berpangku tangan. Islam selalu menyeimbangkan antara tawakal (berserah diri) dan ikhtiar (usaha). Namun, tawakal harus menjadi fondasi utama yang mencegah tindakan ekstrem seperti pembunuhan. Orang tua tetap dituntut berusaha mencari nafkah, tetapi mereka diyakinkan bahwa usaha mereka tidak akan sia-sia dan hasilnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh keterbatasan duniawi, tetapi oleh ketetapan Allah yang Maha Luas.
2. Peran Manusia sebagai Wali (Penjaga), Bukan Pemilik
Ayat ini juga mendefinisikan kembali hubungan antara orang tua dan anak. Dalam pandangan Jahiliyah, anak (terutama anak perempuan) sering dilihat sebagai properti atau aset yang dapat disingkirkan jika menjadi beban. Islam menegaskan bahwa anak adalah amanah (titipan) dari Allah. Orang tua adalah wali atau penjaga, yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut, tetapi mereka bukanlah pemilik mutlak nyawa anak itu.
Pengakuan bahwa Allah yang memberikan rezeki kepada anak dan orang tua menghilangkan hak orang tua untuk mencabut kehidupan tersebut. Jika rezeki datang dari Allah, maka menghilangkan nyawa karena takut kehabisan rezeki adalah mempertanyakan kemahakuasaan dan janji Allah sendiri. Ini adalah bentuk syirik tersembunyi, yaitu menyandarkan keyakinan (dalam hal ini, kelangsungan hidup) kepada faktor materi duniawi alih-alih kepada Sang Pencipta materi itu sendiri.
Kajian mendalam para ahli tafsir selalu menyimpulkan bahwa jaminan rezeki dalam ayat ini adalah penawar paling ampuh terhadap rasa cemas. Mereka menjelaskan bahwa jaminan ini bersifat umum dan mutlak, mencakup segala kondisi dan zaman. Meskipun tantangan ekonomi mungkin berbeda antara gurun pasir di masa lampau dan hiruk pikuk kota modern, prinsip dasarnya tetap sama: takut akan kelaparan di masa depan tidak pernah bisa membenarkan pengorbanan nyawa yang tak berdosa.
Relevansi Kontemporer: Menjaga Kehidupan di Era Modern
Meskipun praktik penguburan anak hidup-hidup sudah lama hilang dari masyarakat Muslim, prinsip-prinsip yang diatur dalam Al-Isra 31 tetap relevan, bahkan mungkin lebih mendesak dalam konteks isu-isu modern seperti etika keluarga berencana, aborsi selektif, dan pengabaian anak.
1. Etika Keluarga Berencana dan Motivasi Ekonomi
Banyak ulama kontemporer membahas sejauh mana ayat ini berkaitan dengan keluarga berencana. Mayoritas ulama membolehkan pengaturan jarak kelahiran (azl atau kontrasepsi) jika motivasinya adalah untuk kesehatan ibu atau untuk memberikan pendidikan dan pengasuhan yang lebih baik bagi anak-anak yang sudah ada.
Namun, jika motivasi utama untuk mencegah kehamilan atau menghilangkan janin adalah murni karena ketakutan yang mendalam terhadap kemiskinan (khashyata imlāqin) — bahwa anak yang akan lahir akan membuat keluarga kelaparan — maka hal ini jatuh ke dalam larangan yang diisyaratkan oleh ayat tersebut. Ayat ini menargetkan keputusasaan dan ketidakpercayaan terhadap rezeki Allah. Oleh karena itu, perencanaan yang didasarkan pada pengelolaan sumber daya (seperti memastikan kualitas hidup) dibedakan dari perencanaan yang didasarkan pada ketakutan terhadap kelaparan dan kemiskinan absolut.
Ketika seseorang menolak memiliki anak karena yakin bahwa Allah tidak akan mampu menanggung rezeki anak tersebut, keyakinan ini bertentangan langsung dengan “Naḥnu Narzuquhum wa Iyyākum.” Ini adalah garis pemisah etis yang sangat halus namun krusial yang diuraikan oleh Surah Al-Isra 31.
2. Aborsi yang Dimotivasi Finansial
Dalam kasus aborsi, larangan dalam ayat ini menjadi landasan hukum yang sangat kuat. Meskipun ada perdebatan tentang kapan tepatnya ruh ditiupkan (sekitar 120 hari kehamilan), mayoritas madzhab melarang aborsi setelah periode tersebut, kecuali ada ancaman nyata terhadap nyawa ibu. Aborsi yang dilakukan semata-mata karena pertimbangan ekonomi—misalnya, karena hasil pemindaian menunjukkan janin memerlukan biaya perawatan yang tinggi atau karena keluarga tidak mampu membesarkan anak lagi—dianggap oleh banyak ulama modern sebagai perpanjangan dari praktik Jahiliyah yang dilarang dalam Al-Isra 31.
Ini adalah pembunuhan yang dimotivasi oleh kekhawatiran finansial (khashyata imlāqin), yang mana ayat tersebut secara eksplisit menyatakannya sebagai khiṭ'an kabīrā (dosa besar). Kehidupan, di mata syariat, harus dipertahankan. Jika ada kesulitan ekonomi, solusinya adalah bekerja keras, mencari pertolongan sosial, dan memperkuat tawakal, bukan menghilangkan nyawa.
3. Pengabaian dan Penelantaran Anak
Makna ayat ini meluas hingga ke tindakan pengabaian. Meskipun tidak secara langsung membunuh, menelantarkan anak hingga kelaparan atau meninggal karena kurangnya perawatan, yang didasari alasan 'tidak mampu secara finansial', merupakan pelanggaran berat terhadap janji rezeki Allah dan amanah hidup. Ayat ini mewajibkan orang tua tidak hanya untuk tidak membunuh anak mereka, tetapi juga untuk memelihara dan memenuhi hak hidup mereka, karena Allah telah menjamin rezeki keduanya.
Implikasi sosial dari ayat ini adalah pembentukan masyarakat yang saling menanggung. Jika orang tua kesulitan, masyarakat dan negara memiliki tanggung jawab kolektif untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang kehilangan nyawanya karena kemiskinan. Ayat ini, oleh karena itu, juga menjadi landasan bagi sistem zakat, infak, dan sedekah yang dirancang untuk mengatasi akar kemiskinan dan mencegah keputusasaan ekonomi yang dapat berujung pada kejahatan sosial.
Khiṭ'an Kabīrā: Dimensi Dosa Besar
Ayat 31 mengakhiri larangan ini dengan menyebut pembunuhan anak sebagai khiṭ'an kabīrā (dosa yang sangat besar). Mengapa dosa ini diklasifikasikan sedemikian rupa, bahkan di samping dosa-dosa besar lainnya yang disebutkan dalam rangkaian ayat Al-Isra?
1. Pelanggaran Terhadap Hak Mutlak Kehidupan
Dosa membunuh anak sangat besar karena ia melanggar hak paling mendasar yang diberikan oleh Allah kepada setiap makhluk hidup, yaitu hak untuk hidup. Kehidupan adalah anugerah suci, dan mencabutnya tanpa hak adalah intervensi keji terhadap ketetapan Ilahi. Ketika korban pembunuhan adalah anak, yang merupakan makhluk paling lemah dan tidak berdaya, bobot dosanya menjadi berlipat ganda karena melibatkan pengkhianatan terhadap amanah dan fitrah kasih sayang orang tua.
2. Pengkhianatan Terhadap Tawakal dan Janji Rezeki
Aspek yang membuat dosa ini "kabīrā" (besar) adalah motifnya: ketakutan akan rezeki. Ketika seseorang membunuh anaknya karena takut kelaparan, ia secara tidak langsung menyatakan bahwa rezeki hanya terbatas pada kemampuan dirinya sendiri, menafikan janji Allah yang tertulis jelas: "Naḥnu Narzuquhum wa Iyyākum." Ini adalah dosa yang berakar pada ketidakpercayaan, yang dapat merusak fondasi tauhid seseorang. Dosa besar ini adalah gabungan antara tindakan kriminal dan cacat keyakinan mendasar.
Para ulama tafsir menegaskan bahwa membunuh jiwa yang tidak bersalah adalah kejahatan yang tidak hanya menimbulkan sanksi dunia (hukum qisas atau diyat), tetapi juga ancaman hukuman akhirat yang sangat berat. Khususnya dalam konteks pembunuhan anak, kejahatan ini ditujukan kepada generasi penerus, menghancurkan potensi umat di masa depan, sehingga kerugiannya bersifat kolektif dan permanen. Ini bukan hanya masalah individu, melainkan erosi moralitas sosial.
Mewujudkan Spirit Al-Isra 31 dalam Kehidupan Sehari-hari
Surah Al-Isra Ayat 31 bukan hanya catatan sejarah tentang reformasi moral di masa lampau, melainkan pedoman hidup yang abadi. Ia menuntut umat Islam untuk memegang teguh keyakinan pada rezeki Allah (Rizqullah) sebagai solusi fundamental terhadap keputusasaan ekonomi.
Untuk mengamalkan ruh ayat ini, kita harus senantiasa melakukan refleksi mendalam: Apakah kekhawatiran materi kita saat ini telah membuat kita mengabaikan, menelantarkan, atau bahkan secara tidak langsung menghilangkan hak hidup anak-anak kita? Apakah tekanan ekonomi modern telah menyebabkan kita mengorbankan nilai-nilai etis demi kenyamanan finansial jangka pendek?
Prinsip utama yang diwariskan ayat ini adalah keberanian yang lahir dari keyakinan. Orang beriman harus berani menerima amanah kehidupan, bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun, karena mereka tahu bahwa Dzat yang menganugerahkan kehidupan juga telah menjamin bekalnya. Larangan ini adalah seruan untuk membela yang lemah, menghargai setiap titisan nyawa, dan membangun masyarakat yang didasarkan pada kepastian Ilahi, bukan pada ketakutan manusiawi yang fana.
Pada akhirnya, Al-Isra 31 adalah pengingat bahwa kekayaan sejati bukanlah pada harta yang kita miliki, melainkan pada keimanan yang kokoh bahwa Allah SWT adalah sumber segala rezeki. Jaminan-Nya terhadap kehidupan anak-anak kita adalah bukti dari Rahmat-Nya yang tak terbatas, menuntut kita untuk menjauhi dosa besar (khiṭ'an kabīrā) pembunuhan yang berakar pada kekhawatiran duniawi. Dengan berpegangan teguh pada janji ini, umat dapat berdiri tegak melawan badai kesulitan ekonomi, karena mereka tahu, rezeki mereka dan rezeki keturunan mereka sepenuhnya di bawah pengawasan dan jaminan Allah Yang Maha Kaya.
Implikasi filosofis dari ayat ini memperkuat pandangan bahwa konsep kemiskinan seringkali bersifat relatif dan subjektif. Sering kali, apa yang dianggap sebagai 'kemiskinan' yang menakutkan (khashyata imlāqin) bukanlah ketiadaan mutlak, melainkan ketidakmampuan untuk mempertahankan standar hidup yang diinginkan atau yang dianggap ideal oleh masyarakat. Dalam merespons ketakutan ini, Al-Qur'an mengajarkan pemurnian niat dan kalibrasi ulang prioritas. Hidup adalah prioritas tertinggi, dan kekayaan hanyalah sarana. Mempertaruhkan nyawa demi menjaga 'standar hidup' atau menghindari kesulitan adalah pertukaran yang sangat merugikan dalam timbangan spiritual.
Ayat ini berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir terhadap dehumanisasi. Di masa di mana nilai seseorang sering diukur dari kontribusi ekonominya, larangan ini menegaskan bahwa nilai kehidupan bersifat intrinsik dan tidak bergantung pada produktivitas atau potensi ekonomi anak tersebut. Anak yang belum lahir, anak yang baru lahir, atau anak yang memiliki keterbatasan—semuanya memiliki hak hidup yang sama dan rezeki yang telah dijamin. Sikap ini menanamkan fondasi kemanusiaan yang sangat kuat dalam peradaban Islam.
Pelajaran tentang tawakal, yang ditekankan melalui jaminan rezeki, harus diterjemahkan ke dalam kebijakan keluarga yang pro-kehidupan dan pro-kesejahteraan. Ini mendorong orang tua untuk tidak hanya sekadar bertahan hidup, tetapi juga berjuang secara aktif dalam mencari jalan rezeki yang halal, yakin bahwa setiap usaha yang disertai dengan ketaatan akan diberkahi. Kesulitan finansial bukan alasan untuk berbuat keji, tetapi pemicu untuk meningkatkan ketekunan dalam beribadah dan berusaha, serta memperluas jaringan dukungan sosial dan kemanusiaan. Inilah esensi dari janji Naḥnu Narzuquhum wa Iyyākum, yang menawarkan kedamaian batin di tengah badai kehidupan.
Pada akhirnya, ayat 31 Surah Al-Isra adalah pembersih spiritual. Ia membersihkan hati dari kotoran ketamakan yang bercampur dengan keputusasaan, menggantinya dengan harapan yang abadi dan keyakinan yang tak tergoyahkan pada kekuasaan Allah yang Mahabesar. Setiap muslim dituntut untuk memahami bahwa menjaga kehidupan adalah ibadah, dan keyakinan bahwa rezeki itu sudah dijamin adalah bukti kesempurnaan iman. Melalui lensa ayat ini, kita diajak untuk melihat anak bukan sebagai beban, tetapi sebagai pintu rezeki yang dititipkan oleh Allah Yang Maha Penyayang.
Ayat ini berulang kali menegaskan bahwa pembunuhan anak tidak dapat dimaafkan, bukan hanya karena tindakan itu sendiri, melainkan karena ia menyiratkan defisit keyakinan yang fundamental. Seorang hamba yang benar-benar mengenal Tuhannya tidak akan pernah takut akan kelaparan sampai taraf merenggut nyawa keturunannya sendiri. Rasa takut (khashyah) yang dilarang di sini adalah rasa takut yang mengalahkan iman. Sebaliknya, rasa takut yang seharusnya ada adalah khashyah kepada Allah, yang menghalangi seseorang dari berbuat dosa besar (khiṭ'an kabīrā).
Oleh karena itu, penekanan dalam ayat ini bersifat dualistik: larangan moral yang mutlak dan penegasan teologis yang menenangkan. Keduanya tak terpisahkan. Kepatuhan terhadap larangan moral hanya mungkin terjadi jika didukung oleh keyakinan teologis yang kuat terhadap janji Allah. Tanpa keyakinan tersebut, manusia akan selalu rentan terhadap godaan keputusasaan ekonomi. Inilah warisan abadi dari Surah Al-Isra Ayat 31 yang harus terus menerangi setiap generasi muslim.