Surah Al-Isra, yang juga dikenal sebagai Surah Bani Israil, adalah surah Makkiyah yang memiliki kedudukan fundamental dalam pembentukan moral dan etika seorang Muslim. Surah ini diturunkan pada fase kenabian yang sangat krusial, berfokus pada prinsip-prinsip tauhid, keadilan sosial, dan tata krama kehidupan yang menyeluruh. Salah satu fokus utama surah ini adalah serangkaian larangan dan perintah yang membentuk apa yang oleh para ulama disebut sebagai 'Sepuluh Perintah' dalam konteks Islam, meskipun jumlahnya sedikit berbeda dari Sepuluh Perintah Musa.
Dalam rangkaian perintah etis ini, Surah Al-Isra mengaitkan kewajiban kepada Allah (Tauhid) dengan kewajiban kepada sesama manusia (Muamalat), mulai dari berbakti kepada orang tua, menjaga harta anak yatim, hingga menjaga kesucian diri. Di antara larangan-larangan yang paling tegas dan detail disebutkan adalah larangan mendekati perbuatan Zina, yang diabadikan dalam ayat 32. Ayat ini bukan sekadar menetapkan larangan, tetapi juga memberikan justifikasi teologis dan moral yang mendalam mengenai mengapa perbuatan tersebut harus dijauhi.
Analisis terhadap lafaz Arab dalam ayat 32 memerlukan pemahaman yang komprehensif, tidak hanya terjemahan literal, tetapi juga implikasi dari setiap kata pilihan Allah SWT. Kata-kata yang digunakan dalam ayat ini, seperti *‘lā taqrabū’* (janganlah kamu mendekati) dan *‘fāḥisyatan’* (perbuatan keji), mengandung nuansa peringatan yang lebih kuat dibandingkan sekadar larangan melakukan perbuatan itu sendiri.
Artikel ini akan membedah secara rinci struktur linguistik, tafsir ulama klasik, serta hikmah hukum yang terkandung dalam Surah Al-Isra ayat 32, menggali kedalaman makna yang melampaui larangan sederhana, menjadikannya pilar utama dalam menjaga kehormatan dan tatanan masyarakat Islam.
Penting untuk memulai dengan memahami teks aslinya dalam bahasa Arab, karena kekayaan makna dan ketajaman pesan terletak pada susunan lafaznya yang indah dan presisi.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Ayat ini, meskipun ringkas, merangkum tiga komponen hukum dan moralitas utama: Larangan secara preventif, justifikasi hukum, dan peringatan akan konsekuensi sosial. Struktur gramatikalnya, khususnya penggunaan kata kerja negatif imperatif, memberikan penekanan yang mutlak.
Kata kunci pertama dan terpenting dalam ayat ini adalah *‘wa lā taqrabū’* (dan janganlah kamu mendekati). Perhatikan bahwa Allah SWT tidak hanya berfirman, *‘wa lā taznū’* (janganlah kamu berzina). Perbedaan ini memiliki implikasi hukum dan spiritual yang sangat besar.
Kata *taqrabū* berasal dari akar kata *q-r-b* (mendekat). Penggunaan negasi *lā* (jangan) dalam bentuk larangan (Nahi) ini menunjukkan bahwa larangan tersebut tidak hanya berlaku untuk perbuatan zina itu sendiri (yaitu penetrasi), tetapi mencakup segala perbuatan yang dapat menjadi *muqaddimah* (pendahuluan) atau sarana menuju zina. Ini adalah prinsip hukum Islam yang dikenal sebagai *Saddu adh-Dharā'i'* (menutup jalan/sarana menuju kejahatan).
Para ulama sepakat bahwa mendekati zina mencakup semua hal yang merangsang atau mengarahkannya, seperti:
Implikasi dari *lā taqrabū* adalah pencegahan total. Allah SWT, yang Maha Mengetahui kelemahan manusia dan dorongan hawa nafsu, memerintahkan kita untuk membangun benteng pertahanan spiritual yang kokoh, jauh sebelum kita mencapai batas perbuatan dosa besar tersebut.
*Az-zinā* secara bahasa merujuk kepada perbuatan hubungan seksual yang terjadi tanpa ikatan pernikahan yang sah menurut syariat Islam. Dalam konteks ayat ini, *zinā* diposisikan sebagai objek utama yang harus dijauhi segala pendahuluannya. Zinā bukan hanya dosa pribadi; ia adalah pelanggaran terhadap hak Allah, hak pasangan, hak keluarga, dan hak keturunan. Ketegasan larangan ini menunjukkan betapa besar dampak kerusakan yang ditimbulkannya.
Bagian kedua ayat ini memberikan pembenaran mengapa zinā dilarang: *‘Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.’*
Kata *Fāḥisyah* (فَٰحِشَةً) adalah istilah yang sangat kuat dalam bahasa Arab, yang berarti "kejahatan yang melampaui batas," "perbuatan yang sangat buruk," atau "kekejian yang jelas." Kata ini digunakan untuk menggambarkan dosa-dosa besar yang tingkat keburukannya sudah di luar batas wajar yang diterima oleh akal sehat yang murni (*fitrah*).
Ibnu Kathir menjelaskan bahwa *fāḥisyah* di sini merujuk pada kekejian yang nyata dari perbuatan tersebut. Ada beberapa dimensi kekejiannya:
Penggunaan kata *‘kāna’* (adalah/selalu menjadi) menunjukkan bahwa kekejian zina bukanlah hal yang baru, tetapi sifat inheren dan abadi dari perbuatan tersebut. Zina akan selalu, pada setiap zaman dan tempat, menjadi perbuatan yang keji dan tercela.
Ayat ditutup dengan penegasan, *‘Dan suatu jalan yang buruk.’*
Ungkapan *‘sā'a sabīlā’* (jalan yang buruk) menunjukkan bahwa perbuatan zinā tidak hanya buruk pada saat dilakukan, tetapi juga buruk dalam implikasinya dan konsekuensinya bagi kehidupan pelakunya di dunia dan akhirat. Zina bukan hanya titik akhir dosa, tetapi merupakan permulaan dari jalur keburukan yang panjang.
Jalan yang buruk ini mencakup:
Dengan demikian, Al-Qur’an menutup ayat ini dengan peringatan keras bahwa zina adalah pilihan jalan hidup yang pasti berakhir pada kehancuran dan penyesalan.
Para mufassir (ahli tafsir) dari berbagai mazhab telah memberikan perhatian khusus pada ayat 32 Al-Isra, karena ketegasannya yang unik. Penekanan mereka secara universal tertuju pada aspek preventif (*lā taqrabū*).
Imam Ibn Kathir dalam tafsirnya menekankan bahwa larangan mendekati zina lebih efektif daripada larangan melakukan zina itu sendiri. Beliau menjelaskan bahwa mendekati zina adalah segala perbuatan yang membawa kepada rangsangan dan peluang. Ibn Kathir mengutip pandangan ulama terdahulu yang menyatakan bahwa jika Allah melarang sesuatu, Dia juga melarang semua sarana yang mengantar kepada perbuatan tersebut.
“Dan janganlah kamu mendekati zina, yakni, janganlah kamu melakukan hal-hal yang dapat mengantar kepada zina, seperti pandangan yang haram, berkhalwat, dan perkataan yang membangkitkan syahwat. Karena siapa pun yang berinteraksi dengan hal-hal tersebut, dia hampir pasti akan jatuh ke dalam perbuatan zina itu sendiri. Oleh karena itu, Allah melarang pendahuluannya secara tegas sebagai benteng.”
Ibn Kathir juga menegaskan bahwa sifat *fāḥisyah* (kekejian) sangat jelas dalam zina karena ia merusak tatanan sosial yang didasarkan pada pernikahan sah. Ia mencemarkan kehormatan, merusak nasab, dan menghasilkan anak-anak tanpa ayah yang jelas, yang mana hal ini merupakan kerusakan struktural yang dahsyat bagi masyarakat.
Imam At-Tabari, yang dikenal dengan tafsirnya yang berbasis riwayat (Tafsir bil Ma'tsur), mengumpulkan berbagai pendapat Sahabat dan Tabi’in. Beliau menjelaskan bahwa makna *‘lā taqrabūz-zinā’* adalah larangan untuk bersekutu dalam perbuatan yang mengarah pada penyimpangan seksual, baik secara fisik maupun verbal.
At-Tabari mencatat bahwa perbuatan zina dikategorikan sebagai *fāḥisyah* karena ia mendatangkan aib yang besar dan hukuman yang berat, baik di dunia (cambuk atau rajam) maupun di akhirat. Beliau juga menafsirkan *‘sā'a sabīlā’* sebagai jalan yang membawa pada kehancuran moral, yang menjauhkan pelakunya dari petunjuk ilahi dan menjerumuskannya ke dalam kegelapan dosa berkelanjutan. Penekanan At-Tabari terletak pada keseriusan implikasi hukum dan sanksi duniawi yang ditetapkan syariat bagi pelaku zina, membuktikan betapa buruknya jalan yang dipilih tersebut.
Al-Qurtubi, seorang ulama mazhab Maliki, cenderung berfokus pada aspek hukum (fiqh) dari ayat tersebut. Beliau menggunakan ayat 32 Al-Isra sebagai dasar utama bagi prinsip *Saddu adh-Dharā'i'* (penghalang sarana). Menurut Al-Qurtubi, karena Allah melarang mendekati zina, maka semua tindakan yang secara naluriah dapat mengarahkan kepada zina menjadi haram, termasuk:
Al-Qurtubi juga memberikan dimensi psikologis pada larangan ini. Beliau menjelaskan bahwa mendekati zina dapat merusak hati dan jiwa, mengurangi rasa takut kepada Allah, dan secara bertahap menormalkan perbuatan maksiat dalam pandangan seseorang, sehingga benteng moral pelakunya runtuh sepenuhnya.
Beliau menyimpulkan bahwa *fāḥisyah* adalah dosa yang keji dan berat karena melibatkan pelanggaran ganda: melanggar hak Allah dan melanggar hak manusia (terutama hak privasi dan kehormatan keturunan).
Imam Ar-Razi, dengan pendekatan rasional dan filosofisnya, menganalisis mengapa Al-Qur'an menggunakan redaksi larangan yang begitu kuat. Beliau menyatakan bahwa syariat menempatkan benteng yang jauh untuk mencegah manusia jatuh ke jurang dosa. Ar-Razi berpendapat bahwa nafsu seksual adalah salah satu naluri terkuat manusia, dan jika tidak dikendalikan sejak awal, ia akan menjadi tidak terkendali.
Menurut Ar-Razi, perintah *lā taqrabū* adalah kebijakan ilahi yang mengatur interaksi sosial. Jika batas-batas interaksi dihapuskan, maka zina akan menjadi hal yang tak terhindarkan. Larangan ini menjaga masyarakat dari kekacauan seksual dan memastikan bahwa institusi pernikahan tetap menjadi satu-satunya jalur yang diakui dan terhormat untuk pemenuhan kebutuhan biologis.
Konsep *Saddu adh-Dharā'i'*—menutup jalan menuju keburukan—adalah prinsip fiqh yang paling jelas diimplementasikan dalam Surah Al-Isra ayat 32. Ayat ini menjadi dasar bagi banyak hukum preventif dalam syariat Islam yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan non-mahram. Hukum-hukum ini bertujuan untuk menjaga kesucian masyarakat.
Khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan non-mahram di tempat yang tersembunyi) dilarang berdasarkan hadis Nabi dan didukung oleh tafsir ayat 32. Larangan ini adalah manifestasi langsung dari *lā taqrabū*. Para ulama menetapkan bahwa jika seseorang berada dalam situasi khalwat, dorongan untuk mendekati zina meningkat secara eksponensial. Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali setan menjadi pihak ketiganya."
Perintah menundukkan pandangan bagi laki-laki maupun perempuan (sebagaimana ditegaskan dalam Surah An-Nur) berfungsi sebagai lapisan pertahanan pertama. Pandangan yang tidak terjaga adalah anak panah beracun dari iblis, dan seringkali menjadi pemicu pertama dari rangkaian perbuatan yang mengarah kepada zinā. Dengan menundukkan pandangan, seorang Muslim secara efektif memutus rantai menuju *muqaddimah* zinā.
Kewajiban menutup aurat secara menyeluruh bagi wanita dan aurat tertentu bagi pria juga berakar pada upaya pencegahan ini. Pakaian yang sesuai syariat bertujuan untuk mengurangi daya tarik seksual yang tidak sah dan mencegah timbulnya syahwat yang tidak terkendali, sehingga melindungi individu dari godaan untuk mendekati zina.
Prinsip *Saddu adh-Dharā'i'* ini menegaskan bahwa dalam menghadapi dosa besar seperti zina, syariat Islam tidak menunggu hingga dosa itu terjadi baru menghukumnya. Sebaliknya, ia menetapkan pagar yang tinggi dan jauh di sekeliling dosa tersebut, memastikan umat Muslim tetap berada di zona aman, jauh dari jurang kekejian.
Kajian mendalam terhadap teks Arab *lā taqrabū* menunjukkan bahwa keutamaan menjaga diri (iffah) harus dimulai dari pikiran dan mata, bukan hanya dari tindakan fisik. Inilah hikmah terbesar dari redaksi pilihan Allah SWT; menjaga kesucian adalah tanggung jawab proaktif, bukan reaktif.
Selain alasan teologis, larangan dalam Al-Isra ayat 32 membawa hikmah yang sangat jelas dalam konteks kemanusiaan, psikologi, dan sosial kemasyarakatan. Kekejian (fāḥisyah) yang ditimbulkan oleh zina mencakup kehancuran di berbagai tingkatan kehidupan manusia.
Tujuan utama dari pernikahan dalam Islam adalah untuk melestarikan keturunan yang sah dan jelas garis nasabnya. Zina secara langsung merusak prinsip ini. Ketika seorang anak lahir dari hubungan yang tidak sah, garis keturunan ayah menjadi kabur, yang memiliki konsekuensi besar dalam hal warisan, hak asuh, dan mahram. Kejelasan nasab adalah fundamental bagi stabilitas sosial dan psikologis individu. Larangan zina memastikan bahwa setiap anak memiliki identitas yang jelas dan hak yang terjamin dalam kerangka keluarga yang sah.
Keluarga adalah unit dasar masyarakat. Zina, baik yang dilakukan oleh orang lajang (perzinahan) maupun oleh orang yang sudah menikah (perselingkuhan), secara efektif menghancurkan kepercayaan, cinta, dan komitmen dalam pernikahan. Perselingkuhan merusak jiwa pasangan yang dikhianati dan menimbulkan trauma emosional yang mendalam pada anak-anak. Ayat 32 adalah perlindungan bagi pondasi pernikahan itu sendiri.
Secara historis, zina telah menjadi sarana penyebaran penyakit seksual mematikan. Aspek kesehatan ini termasuk dalam kategori *fāḥisyah*. Namun, kerusakan yang lebih besar adalah kerusakan moral. Ketika hubungan seksual dipisahkan dari tanggung jawab dan komitmen pernikahan, nilai-nilai seperti kesetiaan, pengorbanan, dan kesabaran akan luntur. Masyarakat yang melegalkan pergaulan bebas cenderung mengalami peningkatan masalah sosial, depresi, dan kekerasan domestik, mencerminkan *‘sā'a sabīlā’* (jalan yang buruk) yang telah dipilih.
Islam menempatkan rasa malu (*Al-Haya'*) sebagai cabang penting dari iman. Perintah *lā taqrabū* mengajarkan umat Islam untuk memelihara rasa malu ini. Ketika seseorang mengabaikan larangan mendekati zina, rasa malunya akan berkurang sedikit demi sedikit hingga akhirnya ia berani melakukan perbuatan keji itu sendiri. Menjaga batas-batas adalah latihan spiritual untuk memelihara rasa malu kepada Allah dan manusia.
Dengan demikian, Surah Al-Isra ayat 32 bukan hanya sebuah perintah agama; ia adalah cetak biru untuk masyarakat yang sehat, stabil, dan beradab. Larangan mendekati zina adalah perlindungan bagi hati, tubuh, jiwa, dan tatanan sosial secara keseluruhan.
Larangan zina dalam Al-Isra ayat 32 mendapatkan penegasan dan rincian lebih lanjut dalam surah-surah lain, menunjukkan konsistensi hukum Ilahi. Ayat ini seringkali diletakkan berdampingan dengan larangan membunuh jiwa yang diharamkan Allah (Al-Isra: 33), menggarisbawahi bahwa zina dan pembunuhan adalah dosa yang memiliki dampak sosial yang paling merusak.
Sementara Al-Isra 32 memberikan larangan preventif (*lā taqrabū*), Surah An-Nur (ayat 2-3) memberikan sanksi hukum yang jelas bagi pelaku zina. Surah An-Nur juga secara rinci membahas langkah-langkah pencegahan lainnya, seperti aturan hijab, menundukkan pandangan (An-Nur: 30-31), dan hukum *al-Qazf* (tuduhan zina tanpa empat saksi). Ini menunjukkan bahwa ayat 32 dari Al-Isra adalah landasan filosofis, sementara An-Nur adalah implementasi hukum praktis.
“Perintah untuk menundukkan pandangan dalam Surah An-Nur adalah tafsir praktis dari kalimat ‘wa lā taqrabūz-zinā’ dalam Surah Al-Isra. Keduanya adalah sistem yang saling melengkapi untuk menjaga kesucian umat.”
Menariknya, Al-Isra 32 adalah bagian dari serangkaian perintah etis yang mencakup: Tauhid (23), Birrul Walidain (23-24), larangan kikir dan boros (26-29), larangan membunuh anak karena takut miskin (31), larangan zina (32), larangan membunuh (33), dan menjaga harta anak yatim (34). Penempatan larangan zina di tengah-tengah perintah sosial-ekonomi menunjukkan bahwa menjaga moralitas seksual adalah sama pentingnya dengan menjaga stabilitas ekonomi dan hak hidup.
Para mufassir abad modern juga sering menyoroti penempatan ayat ini. Mereka menjelaskan bahwa kekejian (fāḥisyah) yang disebabkan oleh zina memiliki dampak kejiwaan yang setara dengan kekejian akibat pembunuhan. Zina membunuh moral dan nasab, sementara pembunuhan membunuh fisik. Keduanya sama-sama merusak esensi kemanusiaan.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu membedah lebih dalam setiap komponen Arab dalam ayat ini, menilik mengapa Allah SWT memilih diksi tersebut.
Ayat dimulai dengan *‘Wa lā...’* (Dan janganlah...). Huruf *Wawu* (dan) di awal ayat berfungsi sebagai penyambung (Athaf) yang mengaitkan larangan zina dengan perintah dan larangan sebelumnya (seperti perintah berbakti kepada orang tua dan larangan membunuh anak), menegaskan bahwa larangan ini adalah bagian tak terpisahkan dari sistem etika Islam yang holistik.
Partikel *‘lā’* (لا) di sini adalah *Lā an-Nāhiyah* (Lā larangan), yang digunakan untuk membentuk kata kerja negatif imperatif. Bentuk ini menunjukkan larangan yang mutlak dan mengikat secara hukum (hukum haram).
Kata kerja *Taqrabū* adalah bentuk kata kerja *fi’il mudhari’* (present/future tense) yang dinajezmkan oleh *lā an-Nāhiyah*. Kata ini adalah bentuk jamak, menunjukkan bahwa larangan ini ditujukan kepada seluruh komunitas Mukmin, bukan hanya individu. Tanggung jawab menjaga diri dari zina adalah tanggung jawab kolektif. Selain itu, menggunakan *fi’il mudhari’* menunjukkan keberlanjutan: janganlah kamu mendekati zina, sekarang, di masa depan, dan terus-menerus.
Seperti dijelaskan sebelumnya, *Fāḥisyatan* mengandung arti "kekejian yang berlebihan." Penggunaan bentuk *nakirah* (indefinite, ditandai dengan tanwin) pada kata ini (فَٰحِشَةً) menunjukkan penekanan yang luar biasa pada keburukannya. Ini bukan hanya sebuah kekejian, melainkan *kekejian* yang luar biasa, sehingga menunjukkan tingkat keparahan dosanya yang tidak tertandingi oleh banyak dosa lainnya, hanya setingkat di bawah syirik (menyekutukan Allah) dan membunuh jiwa.
Frasa *‘sā'a sabīlā’* menggunakan kata kerja *sā'a* (سَاءَ), yang berarti "betapa buruknya" atau "sungguh jahat." Ini adalah bentuk kata pujian/celaan yang kuat dalam bahasa Arab (*Af'al At-Ta'ajjub* atau *Fi'il Madh/Dzam*), tetapi dalam konteks negatif (cela). Kata ini berfungsi sebagai penekanan retoris yang kuat, mengakhiri ayat dengan peringatan yang tidak dapat disalahpahami: Zina adalah jalan hidup yang pasti membawa kehancuran dan merupakan pilihan terburuk yang dapat diambil oleh seorang Muslim.
Meskipun ayat ini diturunkan pada masa permulaan Islam, relevansinya tetap mutlak dalam konteks modern yang penuh dengan tantangan baru, terutama dari media digital dan kemudahan akses terhadap hal-hal yang merangsang nafsu.
Jika pada masa klasik mendekati zina diartikan sebagai khalwat fisik atau pandangan di pasar, di zaman ini, larangan *lā taqrabū* meluas ke ranah virtual. Semua bentuk interaksi, konten, atau media yang membangkitkan syahwat dan dapat mengarahkan seseorang pada perbuatan haram masuk dalam lingkup larangan mendekati ini.
Misalnya, mengakses pornografi, berinteraksi secara intim dan tidak perlu di media sosial dengan lawan jenis non-mahram, atau menonton konten yang merusak moral, semuanya dianggap sebagai *muqaddimah az-zinā* (pendahuluan zina) yang dilarang. Para ulama kontemporer menekankan bahwa benteng hati dan mata harus dijaga lebih ketat lagi karena godaan datang tanpa batas geografis.
Inti dari ayat 32 adalah mewujudkan *’Adl* (keadilan) dan *Ihsan* (kebajikan) dalam interaksi seksual dan moral. Keadilan terwujud ketika hubungan seksual hanya terjadi dalam kerangka yang menjamin hak dan martabat semua pihak, yaitu pernikahan. Kebajikan terwujud ketika seseorang menahan diri dari godaan, meskipun peluang untuk berbuat maksiat terbuka lebar. Menjaga kesucian adalah bentuk ibadah yang memerlukan perjuangan (Jihad An-Nafs) yang tiada henti.
Untuk mematuhi perintah *lā taqrabū*, masyarakat Muslim perlu secara proaktif mendidik generasi muda mengenai konsep *iffah* (kesucian) dan batas-batas interaksi yang halal. Pemahaman yang benar tentang Surah Al-Isra 32 adalah bahwa syariat tidak bermaksud menekan naluri, tetapi mengarahkannya ke saluran yang benar (pernikahan) sehingga naluri tersebut menjadi sumber pahala dan ketenangan (*Sakinah*), bukan sumber kekejian (*Fāḥisyah*).
Kesucian dalam Islam adalah simbol kekuatan spiritual, bukan kelemahan. Seorang Muslim yang mampu menjauhkan diri dari segala bentuk pendahulu zina adalah Muslim yang kuat imannya dan teguh pendiriannya.
Klasifikasi zina sebagai dosa besar (al-Kaba'ir) didasarkan pada penegasan ayat 32 Al-Isra. Dalam teologi Islam, dosa besar adalah perbuatan yang diancam dengan hukuman spesifik di dunia (Hadd) atau ancaman azab yang keras di akhirat, atau keduanya.
Dalam banyak riwayat dan tafsir, zina seringkali diletakkan setelah dosa syirik (menyekutukan Allah) dan pembunuhan. Nabi Muhammad SAW pernah ditanya, "Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?" Beliau menjawab, "Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia-lah yang menciptakanmu." Kemudian, "Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu." Kemudian, "Engkau berzina dengan istri tetanggamu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Urutan ini, meskipun tidak mutlak dalam setiap riwayat, menunjukkan betapa dekatnya kerusakan zina dengan kerusakan Syirik (pelanggaran hak Allah) dan pembunuhan (pelanggaran hak hidup). Zina adalah pelanggaran hak kehormatan (Hifzhul ‘Irdh) yang merupakan salah satu dari lima tujuan syariat (Maqashid asy-Syari’ah).
Fakta bahwa syariat Islam menetapkan hukuman yang sangat keras (*Hadd*) bagi pelaku zina (cambuk 100 kali bagi yang belum menikah, atau rajam bagi yang sudah menikah) adalah bukti definitif dari klaim Al-Qur'an bahwa zina adalah *fāḥisyah* (kekejian). Hukuman yang berat bertujuan untuk membersihkan pelaku di dunia dan mencegah penyebaran kejahatan ini di masyarakat. Keberadaan hukuman ini mempertegas bahwa zina bukanlah sekadar kesalahan pribadi, tetapi kejahatan terhadap tatanan umum.
Adapun penafsiran mengenai kalimat *kāna fāḥisyatan* (adalah suatu kekejian) seringkali dikaitkan dengan makna bahwa kekejian zina telah diakui oleh agama-agama samawi sebelumnya dan bahkan oleh akal sehat (*‘aql*) manusia yang tidak tercemar. Zina adalah pelanggaran universal terhadap moralitas, bukan hanya norma Islam semata.
Surah Al-Isra ayat 32, dengan lafaznya yang singkat namun padat, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًۭا, berfungsi sebagai fondasi etika seksual dalam Islam. Melalui analisis linguistik, kita memahami bahwa larangan Allah SWT bersifat preventif total (*lā taqrabū*), menuntut kita untuk menjauhi bukan hanya perbuatan itu sendiri, tetapi juga semua pendahulu dan jalannya.
Ketegasan dalam menyebut zina sebagai *fāḥisyah* (kekejian yang melampaui batas) dan *sā'a sabīlā* (jalan yang buruk) memberikan justifikasi moral dan sosial: zina adalah ancaman bagi nasab, keluarga, dan kehormatan, serta merupakan pilihan jalan hidup yang membawa pada konsekuensi buruk yang tak terhindarkan baik di dunia maupun di akhirat.
Bagi umat Islam di setiap zaman, ayat ini adalah seruan untuk memelihara *iffah* (kesucian) secara proaktif. Ini mengharuskan adanya kontrol diri, disiplin dalam interaksi sosial, dan perlindungan terhadap benteng mata, hati, dan pikiran. Memahami kedalaman lafaz Arab dalam Al-Isra ayat 32 adalah kunci untuk menerapkan ajaran Islam secara sempurna dan menjaga integritas spiritual serta kehormatan kolektif masyarakat Muslim.
Kepatuhan terhadap perintah *lā taqrabūz-zinā* adalah indikator keteguhan iman dan kebijaksanaan dalam menghadapi godaan dunia, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil adalah menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Dengan demikian, Al-Qur'an menawarkan lebih dari sekadar larangan; ia menawarkan perlindungan, kedamaian, dan tatanan yang menyeluruh. Hikmah dari larangan ini akan terus relevan dan menjadi pedoman utama dalam menghadapi setiap tantangan moralitas yang mungkin timbul.
Kajian mendalam terhadap teks ini terus menerus mengingatkan bahwa penjagaan terhadap kesucian adalah kewajiban yang berkelanjutan, sebuah pertahanan moral yang harus diperkuat setiap saat. Semakin jauh kita menjauhi pendahulu zinā, semakin kokoh benteng keimanan kita. Ini adalah inti dari pesan mendalam Surah Al-Isra ayat 32.
Refleksi atas setiap kata dalam ayat ini membuka wawasan bahwa Islam tidak pernah membiarkan umatnya tanpa panduan yang jelas dalam masalah etika yang paling sensitif. Dari pandangan mata hingga langkah kaki, semuanya harus diselaraskan dengan prinsip kesucian yang diajarkan oleh *lā taqrabū*.
Perenungan terhadap *sā'a sabīlā* seharusnya menjadi motivasi yang tak tergoyahkan bagi setiap Mukmin untuk memilih jalan yang lurus (*As-Sirath Al-Mustaqim*) dan meninggalkan semua jalan yang sesat, yang salah satunya ditandai oleh perbuatan keji yang melanggar batas kemanusiaan dan keimanan.