Surah Al-Isra (Perjalanan Malam) merupakan salah satu surah yang kaya akan makna dan petunjuk, terutama yang berkaitan dengan perjalanan spiritual Nabi Muhammad ﷺ dan sejarah kenabian yang mendahuluinya. Surah ini dibuka dengan peristiwa Isra’ Mi’raj, perjalanan malam yang agung dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Namun, segera setelah ayat pertama yang membahas mukjizat terbesar Nabi Muhammad, ayat kedua mengalihkan perhatian kita secara dramatis ke masa lalu, fokus pada Nabi Musa AS dan umatnya, Bani Israil.
Peralihan ini bukanlah kebetulan, melainkan penekanan teologis yang mendalam mengenai kesatuan risalah para nabi. Allah SWT ingin menegaskan bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ adalah puncak dari ajaran yang sama yang telah disampaikan kepada para utusan sebelumnya. Nabi Musa AS, sebagai nabi utama Bani Israil, berfungsi sebagai penanda sejarah kenabian yang menghubungkan masa lalu dengan wahyu terakhir. Ayat kedua Surah Al-Isra adalah jembatan yang menghubungkan keagungan Isra’ Mi’raj dengan fondasi hukum dan petunjuk yang telah ada.
Untuk memahami kedalaman ayat ini (17:2), kita perlu membongkar setiap komponen linguistik yang digunakan dalam bahasa Arab yang fasih, menunjukkan ketelitian dalam pemilihan kata oleh Allah SWT. Ayat ini terbagi menjadi tiga klausa utama yang saling berkaitan erat, masing-masing membawa beban makna teologis yang substansial.
Frasa pembuka ini memiliki makna yang sangat definitif. Kata kerja ‘Ātayna’ (Kami berikan) adalah bentuk jamak penghormatan (pluralis majestatis) yang menunjukkan kekuasaan mutlak Allah dalam memberikan anugerah. Penggunaan kata kerja lampau (perfect tense) menegaskan bahwa peristiwa pemberian Kitab ini adalah fakta sejarah yang sudah mapan dan tidak dapat diragukan lagi. Ini menekankan bahwa pemberian wahyu bukanlah suatu proses evolusioner manusia, melainkan tindakan langsung dan definitif dari Zat Yang Maha Kuasa.
Klausa kedua menjelaskan tujuan utama dari pemberian Kitab tersebut. Kata ‘Ja‘alnāhu’ (Kami menjadikannya) memiliki makna penciptaan fungsi atau penetapan peran. Allah tidak hanya memberikan Taurat, tetapi juga menetapkan fungsinya yang esensial.
Klausa ketiga adalah perintah inti, merupakan ringkasan tauhid yang terkandung dalam Kitab Taurat. Ini adalah pesan utama yang Allah ingin disampaikan kepada Bani Israil melalui Musa.
Para mufassir terdahulu melihat ayat 17:2 sebagai penegasan historis dan teologis. Mereka menyadari bahwa menghubungkan mukjizat Isra’ Mi’raj dengan kisah Musa dan Taurat memiliki tujuan ganda: memvalidasi kenabian Muhammad ﷺ dan memperingatkan Bani Israil tentang tanggung jawab mereka terhadap wahyu yang telah mereka terima.
Imam Ath-Thabari menekankan bahwa ayat ini merupakan kesinambungan kenabian. Setelah menyebutkan hamba-Nya Muhammad yang melakukan perjalanan malam, Allah mengingatkan bahwa Dia juga memberikan karunia besar kepada hamba-Nya yang lain, Musa. Thabari menjelaskan bahwa ‘Al-Kitāb’ di sini adalah Taurat, yang di dalamnya terdapat hukum-hukum Allah, termasuk perintah untuk tidak menyekutukan-Nya. Fungsi ‘Hudan’ (petunjuk) adalah untuk mengeluarkan Bani Israil dari kegelapan kebodohan dan kesesatan yang mereka warisi dari lingkungan Mesir Firaun menuju cahaya keesaan dan hukum Ilahi.
Ibn Kathir, dalam tafsirnya, menghubungkan ayat ini langsung dengan ayat sebelumnya. Ia berpendapat bahwa seolah-olah Allah berfirman: “Sebagaimana Kami berikan Kitab dan mukjizat kepada Musa, dan Kami jadikan dia seorang pemimpin bagi Bani Israil, demikian pula Kami menjadikan Muhammad sebagai pemimpin yang membawa Kitab (Al-Qur’an) yang lebih agung.” Penekanan ada pada prinsip Tauhid yang merupakan inti ajaran Musa. Pengingat ini berfungsi sebagai kritik halus kepada orang Yahudi pada masa Nabi Muhammad yang telah menyimpang dari Tauhid murni yang diamanatkan dalam Taurat, dengan mengambil penolong atau perantara selain Allah.
Al-Qurtubi memberikan perhatian lebih pada frasa ‘Allā Tattakhidhū min Dūnī Wakīlā’. Ia menafsirkan *Wakīlā* sebagai pelindung atau tuhan yang disembah selain Allah. Ayat ini menunjukkan bahwa inti dari Taurat adalah larangan syirik. Perintah ini datang langsung setelah pemberian Kitab karena tanpa tauhid yang murni, petunjuk hukum (Hudan) menjadi sia-sia. Dengan demikian, Al-Isra 17:2 menetapkan bahwa landasan hukum syariat mana pun haruslah monoteisme yang tegas.
Visualisasi Kitab sebagai Sumber Cahaya dan Petunjuk (Hudan).
Penyebutan Taurat sebagai ‘Hudan’ adalah kunci untuk memahami peran risalah Musa dalam sejarah manusia. *Hudan* tidak sekadar berarti informasi; ia adalah bimbingan transformatif yang mengubah masyarakat dari keadaan kacau menuju tatanan Ilahi. Ketika Taurat diturunkan, Bani Israil berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan struktur, identitas, dan moralitas pasca-perbudakan Firaun.
Taurat, sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an, membawa hukum-hukum praktis (syariat). Hukum ini mencakup peraturan tentang ibadah, muamalat (transaksi), perdata, dan pidana. Hukum-hukum tersebut berfungsi sebagai pondasi untuk membangun masyarakat yang adil di padang pasir, memberikan mereka kode etik yang membedakan mereka dari peradaban pagan di sekitarnya. Tanpa hukum ini, Bani Israil akan bubar menjadi suku-suku yang tidak terorganisir.
Hudan yang paling mendasar adalah petunjuk aqidah, yang dirangkum dalam klausa ketiga ayat ini: “Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku.” Ini adalah fokus utama. Semua hukum dan moralitas Taurat bermuara pada pengakuan mutlak terhadap Tauhid. Ini adalah pemurnian dari praktik politeistik yang mereka saksikan di Mesir, dan pembersihan dari pemikiran bahwa ada kekuatan lain yang bisa menjadi *wakil* (penjamin) selain Allah.
Ayat 17:2 menegaskan bahwa Taurat adalah bagian dari rantai bimbingan yang tak terputus. Setiap wahyu (Zabur, Injil, Al-Qur’an) datang sebagai penguat, penyempurna, dan penjaga dari *Hudan* yang telah diturunkan sebelumnya. Petunjuk yang diberikan kepada Musa bersifat universal dalam prinsip-prinsip dasarnya (Tauhid, keadilan), meskipun detail syariatnya mungkin disesuaikan untuk konteks waktu Bani Israil. Ini menunjukkan bahwa petunjuk ilahi selalu konsisten dan relevan, meskipun manusia sering menyimpangkannya.
Dalam konteks Surah Al-Isra, perbandingan antara Taurat dan Al-Qur’an tidak dimaksudkan untuk merendahkan Taurat, melainkan untuk menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu final yang mengintegrasikan semua *Hudan* sebelumnya dan menyempurnakannya bagi seluruh umat manusia. Kisah Musa dan Taurat menjadi pelajaran bagi umat Muhammad: jika Bani Israil menyimpang setelah menerima petunjuk yang begitu jelas, maka umat Muslim juga harus berhati-hati dan berpegang teguh pada Al-Qur’an.
Mengapa Surah Al-Isra, yang dinamai berdasarkan mukjizat Nabi Muhammad, segera beralih ke kisah Musa? Para ulama tafsir kontemporer dan klasik sepakat bahwa ini adalah strategi retorika Al-Qur’an untuk memperkuat kenabian Muhammad ﷺ melalui tiga jalur utama:
Jika Nabi Muhammad diberikan mukjizat Isra’ Mi’raj (perjalanan spiritual dan fisik yang agung), maka Nabi Musa juga diberikan mukjizat yang sangat besar: terbelahnya laut dan Kitab yang diturunkan dalam bentuk lempengan (Luhul Mahfuz). Keduanya adalah nabi yang menerima Kitab di tengah-tengah tantangan hebat. Musa berhadapan dengan Firaun; Muhammad berhadapan dengan Quraisy. Keduanya menghadapi penolakan keras dari kaum mereka sendiri setelah menerima wahyu.
Perjalanan Isra’ berakhir di Masjid Al-Aqsa, yang secara historis terikat dengan tanah para nabi, termasuk Musa dan Bani Israil. Dengan menyebutkan Musa dan Kitabnya, Al-Qur’an secara implisit menyatakan hak waris spiritual atas tempat suci tersebut. Kepemimpinan spiritual telah berpindah dari Bani Israil (yang telah menyimpang dari *Hudan* Taurat) kepada Umat Islam yang akan memelihara Tauhid murni yang dibawa oleh Musa.
Kisah Bani Israil—yang menerima Kitab dan *Hudan* yang jelas, namun kemudian jatuh ke dalam kesyirikan dan penyimpangan—berfungsi sebagai peringatan keras. Ayat 17:2 menjadi cermin bagi Umat Muhammad: Allah telah memberikan petunjuk kepada Bani Israil, tetapi mereka gagal dalam ujian Tauhid (*Allā Tattakhidhū min Dūnī Wakīlā*). Umat Muhammad harus memastikan mereka tidak mengulangi kesalahan fatal yang sama. Ini adalah transisi dari sejarah Bani Israil ke peran kepemimpinan Umat Islam global.
Frasa penutup ayat ini, ‘Allā Tattakhidhū min Dūnī Wakīlā’, bukan hanya sekadar larangan, tetapi merupakan prinsip sentral yang menjiwai seluruh syariat. Dalam bahasa Arab, *wakīl* memiliki beberapa dimensi makna yang relevan dengan Tauhid:
Makna paling murni dari *Wakīl* adalah Dzat yang diandalkan dan kepada-Nya segala urusan diserahkan (Tawakkul). Larangan dalam ayat ini menegaskan bahwa tidak ada entitas, baik malaikat, nabi, wali, maupun benda mati, yang memiliki otoritas untuk menerima penyerahan diri atau memiliki kemampuan untuk mengelola urusan kosmik selain Allah. Mengambil *wakil* lain berarti menafikan Tawakkul kepada Allah, yang merupakan esensi iman.
Dalam sejarah Bani Israil dan masyarakat pagan lainnya, banyak yang mengambil perantara (wakil) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ayat ini secara tegas melarang praktik semacam itu. Meskipun syafaat (pertolongan) itu ada, ia mutlak berada di bawah kehendak dan izin Allah semata. Syafaat yang dicari dari selain Allah adalah bentuk syirik yang ditentang oleh Taurat dan Al-Qur’an. Hukum ini adalah inti dari *Hudan* yang dibawa Musa.
Bani Israil, seiring berjalannya waktu, mulai mengambil ‘wakil’ yang menafsirkan hukum Allah sesuai hawa nafsu mereka, yaitu para rabi dan pendeta yang menyalahgunakan otoritas. Al-Qur’an dalam ayat-ayat lain mengkritik mereka yang menjadikan rabi-rabi dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. Dalam konteks ini, mengambil *wakilā* juga berarti memberikan otoritas legislatif tertinggi kepada manusia, yang seharusnya hanya dimiliki oleh Allah.
Peringatan keras ini, yang merupakan bagian integral dari Taurat, diturunkan kembali dalam Al-Qur’an melalui Surah Al-Isra 17:2, memastikan bahwa Umat Muhammad memahami bahwa penyimpangan terbesar dari petunjuk Ilahi selalu dimulai dari kompromi terhadap Tauhid Uluhiyah, baik dalam ibadah, tawakkul, maupun ketaatan hukum.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk melihat bagaimana Al-Qur’an di tempat lain memperkuat dan menjelaskan fungsi Kitab yang diberikan kepada Musa, yang disebut sebagai *Hudan* dalam Surah Al-Isra ini. Ayat-ayat Qur’an menunjukkan bahwa Taurat adalah fondasi hukum yang sangat dihargai sebelum kedatangan Injil dan Al-Qur’an.
Dalam Surah Al-An'am (6:91) dan Al-Ma'idah (5:44), Taurat dijelaskan sebagai *Nūr* (cahaya) dan *Hudan*. Al-Qur’an menegaskan bahwa Kitab tersebut adalah sumber petunjuk bagi Bani Israil. Ini menunjukkan bahwa ketika Taurat dipraktikkan sebagaimana aslinya, ia membawa keadilan dan kebenaran. Pengakuan Al-Qur’an terhadap Taurat menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya sumber hukum dan petunjuk yang konsisten.
Ayat 17:2 secara halus mengingatkan Bani Israil akan amanah yang sangat besar ini. Mereka diperintahkan untuk menjaga Kitab dan tidak menyekutukan Allah. Namun, sejarah mencatat penyimpangan demi penyimpangan. Penurunan Kitab Taurat bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari ujian berat ketaatan. Kegagalan mereka dalam menjaga *Hudan* inilah yang membuka jalan bagi penurunan Injil dan kemudian Al-Qur’an, sebagai wahyu yang akan dikawal oleh Umat Muslim hingga akhir zaman.
Surah Al-Isra diturunkan di Makkah, pada masa yang sulit bagi Nabi Muhammad ﷺ. Penegasan mengenai Musa dan Kitabnya berfungsi sebagai penghiburan (tasliyah) bagi Nabi dan para sahabat. Jika Allah telah membela Musa dan memberikan Kitab kepadanya meskipun ditolak Firaun, maka Dia pasti akan membela Muhammad dan memenangkan risalahnya. Ayat ini meyakinkan para pendengar bahwa apa yang mereka alami adalah bagian dari pola historis para nabi: penolakan sementara akan diikuti oleh kemenangan janji Allah.
Meskipun ayat ini terlihat membahas sejarah dan hukum, intinya terletak pada penyucian jiwa (*tazkiyah an-nafs*) melalui Tauhid yang tegas. Perintah ‘Allā Tattakhidhū min Dūnī Wakīlā’ adalah fondasi penyucian.
Konsep *Wakīlā* mencakup segala bentuk ketergantungan non-Ilahi yang mengikat jiwa manusia. Manusia cenderung mencari penolong dalam kekuasaan, kekayaan, atau bahkan figur spiritual yang dianggap memiliki kekuatan mandiri. Ayat 17:2 menuntut pembebasan total dari ketergantungan ini. Jiwa yang tersucikan adalah jiwa yang memahami bahwa satu-satunya *Wakīl* sejati adalah Allah, yang berarti seluruh kekuatan, rezeki, dan perlindungan berasal dari-Nya.
Bani Israil sebelum Taurat hanyalah sekelompok budak yang kehilangan identitas. Pemberian *Kitāb* dan *Hudan* memberikan mereka identitas baru: umat yang terikat oleh perjanjian suci dengan Allah. Ini mengajarkan bahwa identitas spiritual sejati—baik bagi Bani Israil maupun Umat Muhammad—tidak ditentukan oleh suku, kekayaan, atau kekuatan politik, melainkan oleh ketaatan mutlak kepada petunjuk Ilahi. *Hudan* adalah cermin yang memperlihatkan siapa kita di mata Tuhan.
Nabi Muhammad ﷺ dalam Isra’ Mi’raj mendapatkan pengalaman spiritual tertinggi, melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Keterkaitan dengan Musa di ayat 2 mengisyaratkan bahwa mencapai tingkatan spiritual yang tinggi harus didasarkan pada landasan hukum dan tauhid yang kokoh, sebagaimana yang diberikan kepada Musa. Pengalaman spiritual tanpa syariat (Hudan) bisa menjadi sesat, dan syariat tanpa spiritualitas menjadi kering. Ayat 17:2 memastikan bahwa Tauhid adalah jembatan antara keduanya.
Meskipun ayat ini berbicara tentang Nabi Musa dan Bani Israil, petunjuknya tetap abadi dan relevan bagi umat manusia di era modern, terutama dalam menghadapi tantangan spiritual dan ideologis.
Di dunia kontemporer, ‘wakil’ yang disembah mungkin bukan lagi berhala kayu, tetapi bisa berupa uang, teknologi, atau kekuasaan politik. Banyak orang modern meletakkan tawakkul mereka pada sistem keuangan atau kekuatan diri sendiri, melupakan bahwa semua itu hanyalah alat, bukan *Wakīl* sejati. Ayat 17:2 adalah seruan untuk mengoreksi kiblat tawakkul kita, mengembalikannya hanya kepada Sang Pencipta.
Sebagaimana Taurat adalah *Hudan* bagi Bani Israil, Al-Qur’an adalah *Hudan* yang sempurna bagi seluruh manusia. Relevansi ayat ini adalah mengingatkan Umat Muslim agar tidak memperlakukan Al-Qur’an (Kitab yang lebih agung dari Taurat) hanya sebagai ritual atau hiasan, melainkan sebagai sumber hukum, moral, dan spiritual yang harus diterapkan secara menyeluruh. Jika Bani Israil gagal dalam memelihara Kitab mereka, Umat Muhammad dituntut untuk mengambil pelajaran dari sejarah tersebut.
Ayat ini berfungsi sebagai alat dialog antaragama yang penting. Ia menegaskan bahwa meskipun syariat telah berevolusi, prinsip dasar Tauhid yang dibawa oleh Musa (dan dirangkum dalam larangan mengambil *Wakīl* selain Allah) adalah sama dengan prinsip yang dibawa oleh Muhammad. Ini mengajak semua umat beragama untuk kembali kepada sumber murni ajaran mereka, yang selalu berpusat pada Keesaan Allah.
Surah Al-Isra ayat 2 adalah sebuah ringkasan teologis yang padat, menghubungkan dua ujung risalah kenabian (Musa dan Muhammad) dalam satu tarikan napas. Ia menegaskan bahwa Allah adalah sumber segala petunjuk (*Hudan*), dan petunjuk ini selalu berpusat pada satu perintah mutlak: Tauhid—‘Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku’.
Kisah Musa dan Taurat bukan sekadar narasi sejarah; ia adalah studi kasus tentang bagaimana sebuah umat dapat menerima anugerah terbesar (Kitab Ilahi) namun gagal dalam ujian ketaatan. Bagi Umat Muhammad, ayat ini adalah amanah abadi: untuk memegang teguh *Hudan* Al-Qur’an dengan kesadaran penuh akan konsekuensi penyimpangan. Hanya dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya *Wakīl*, umat ini dapat meraih keberuntungan spiritual dan kemuliaan di dunia serta akhirat, meneruskan warisan petunjuk yang dimulai sejak Taurat diturunkan di kaki Gunung Sinai.