Surah Al-Isra, yang juga dikenal sebagai Bani Isra'il, menempati kedudukan penting dalam Al-Qur'an karena memuat prinsip-prinsip etika dan syariat yang fundamental. Di antara sekian banyak ajaran yang terkandung di dalamnya, ayat ke-23 adalah salah satu ayat paling mendasar yang membahas secara eksplisit dua kewajiban terpenting bagi setiap Muslim: mentauhidkan Allah SWT dan berbakti kepada kedua orang tua (Birrul Walidain).
Ayat ini tidak sekadar perintah, melainkan sebuah deklarasi universal mengenai hirarki moralitas dan spiritualitas. Penempatan perintah berbakti kepada orang tua langsung setelah perintah Tauhid menunjukkan betapa agungnya kedudukan Birrul Walidain di mata syariat, menjadikannya kunci pembuka bagi kebahagiaan dunia dan keselamatan akhirat. Artikel yang mendalam ini akan mengupas tuntas makna, tafsir, hukum, dan implikasi praktis dari Al-Isra ayat 23, menganalisis setiap frasa demi mencapai pemahaman yang komprehensif atas kewajiban mulia ini.
Ayat ini merupakan bagian dari serangkaian ayat dalam Surah Al-Isra yang dikenal sebagai ‘Ayat-ayat Wasiat’, di mana Allah SWT memberikan sejumlah instruksi moral yang harus ditaati umat manusia, dimulai dari Tauhid dan diakhiri dengan larangan kesombongan.
Konteks penempatan perintah berbakti ini segera setelah perintah untuk mengesakan Allah bukanlah suatu kebetulan, melainkan penetapan prioritas spiritual dan etika. Secara teologis, hak Allah SWT untuk disembah tanpa sekutu adalah hak mutlak (Haqqullah). Sementara itu, hak kedua orang tua diletakkan sebagai hak manusiawi tertinggi setelah hak Allah (Haqqul 'ibad). Para mufassir sepakat bahwa ini menunjukkan bahwa rasa syukur kepada Allah harus diikuti dengan rasa syukur kepada orang tua, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Luqman (31): 14.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dikehendaki syariat, kita harus membedah setiap frasa dalam ayat ini, karena setiap kata mengandung instruksi yang sangat spesifik dan menyeluruh.
Kata ‘Qada’ di sini memiliki makna yang sangat kuat, berbeda dengan sekadar ‘memerintahkan’ (Amara). 'Qada' berarti menetapkan, memutuskan, mewajibkan, dan menentukan secara pasti. Ini mengindikasikan bahwa perintah ini bukan anjuran biasa, melainkan ketetapan Ilahi yang bersifat final dan mengikat. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa 'Qada' dalam konteks ini adalah penetapan syariat yang tidak dapat diubah, menjadikan Tauhid dan Birrul Walidain sebagai kewajiban mutlak (fardhu 'ain).
Penetapan ini meliputi dimensi teologis, moral, dan hukum. Siapa pun yang melanggar ketetapan ini, khususnya dalam hal Tauhid, telah melanggar perjanjian tertinggi dengan Sang Pencipta. Sementara melanggar hak orang tua, meskipun bukan syirik, dianggap sebagai salah satu dosa besar (Kabirah) yang paling merusak ikatan sosial dan spiritual.
Ini adalah pondasi utama Islam, yaitu Tauhid rububiyyah dan uluhiyyah. Perintah ini memastikan bahwa ibadah, ketaatan, harapan, dan ketakutan hanya ditujukan kepada Allah semata. Kaitan perintah Tauhid dengan Birrul Walidain adalah pengingat bahwa meskipun orang tua memiliki hak besar, hak mereka harus selalu berada di bawah hak Allah. Ketaatan kepada orang tua gugur seketika jika mereka memerintahkan anaknya untuk melakukan syirik atau maksiat.
Frasa ini menggunakan kata ‘Ihsan’, yang jauh melampaui sekadar ‘berbuat baik’ (khayr) atau ‘adil’ (adl). Ihsan berarti melakukan kebaikan dengan kualitas terbaik, kesempurnaan, dan keikhlasan, seolah-olah kita melihat Allah, atau setidaknya menyadari bahwa Allah melihat kita. Dalam konteks Birrul Walidain, Ihsan mencakup:
Ihsan adalah puncak tertinggi akhlak. Mufassir Al-Qurtubi menjelaskan bahwa Ihsan mencakup semua aspek ketaatan kepada orang tua selama tidak bertentangan dengan syariat, termasuk menafkahi mereka, memenuhi janji mereka, dan mendoakan mereka bahkan setelah mereka wafat. Kualitas Ihsan inilah yang membedakan Birrul Walidain dari sekadar melaksanakan kewajiban sosial yang biasa.
Ayat ini secara spesifik menyoroti fase paling kritis dalam kehidupan orang tua dan anak, yaitu usia lanjut (Al-Kibar). Mengapa fase ini disoroti? Karena masa tua seringkali disertai dengan:
Ayat ini menetapkan bahwa merawat orang tua di masa tua, ketika mereka paling rentan dan memerlukan kesabaran ekstra, adalah puncak dari Birrul Walidain. Frasa ‘Indaka’ (dalam pemeliharaanmu) menunjukkan tanggung jawab langsung dan personal anak, menekankan bahwa tugas ini tidak boleh didelegasikan atau diabaikan hanya karena kesibukan pribadi.
Inilah inti larangan negatif dalam ayat ini. Kata ‘Uff’ (أُفٍّ) adalah interjeksi (kata seru) yang menunjukkan rasa jengkel, bosan, atau tidak sabar. Ini adalah ungkapan ketidaknyamanan yang paling ringan dalam bahasa Arab.
Pelarangan terhadap kata yang paling ringan sekalipun memberikan pelajaran mendalam:
Mufassir modern sering menginterpretasikan ‘Uff’ dalam konteks kontemporer sebagai segala bentuk sikap atau ucapan yang menunjukkan kejengkelan, seperti mendesah keras, memutar mata, atau menunjukkan ekspresi wajah yang meremehkan saat orang tua sedang berbicara atau meminta bantuan. Semua ini termasuk dalam kategori ‘Uff’ yang dilarang.
Setelah melarang ungkapan ketidaknyamanan internal ('Uff'), ayat ini melarang tindakan lisan yang agresif: membentak, menghardik, atau meninggikan suara. Membentak menunjukkan hilangnya rasa hormat dan dominasi yang tidak pantas ditunjukkan kepada orang tua.
Bahkan dalam kondisi orang tua melakukan kesalahan atau meminta sesuatu yang tidak masuk akal, respon anak harus tetap tenang dan penuh adab. Jika harus menolak permintaan mereka, penolakan itu harus disampaikan dengan cara yang paling santun dan tanpa nada menghakimi atau merendahkan.
Ayat ini tidak berhenti pada larangan (Negatif Command), tetapi memberikan perintah positif (Positive Command) yang harus dilakukan: mengucapkan "perkataan yang mulia" (Qaulan Karima).
‘Qaulan Karima’ berarti:
Al-Hasan Al-Basri, salah seorang Tabi’in, menafsirkan Qaulan Karima sebagai perkataan yang mengandung janji kebaikan dan doa. Ini adalah kebalikan mutlak dari sikap 'Uff' dan bentakan, menekankan bahwa kualitas komunikasi lisan adalah barometer utama Birrul Walidain.
Ihsan yang diperintahkan dalam ayat 23 adalah konsep yang luas, mencakup dimensi fisik, psikologis, dan spiritual. Para ulama fiqh dan tafsir merincikannya menjadi beberapa pilar utama yang harus dipenuhi oleh seorang anak.
Ketaatan kepada orang tua adalah wajib, kecuali dalam hal maksiat. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq." Namun, di luar maksiat, ketaatan anak harus didahulukan, termasuk dalam urusan non-formal seperti memilih pekerjaan atau tempat tinggal, selama hal itu tidak menyebabkan kesulitan besar yang tidak tertahankan bagi anak.
Ketaatan ini juga meliputi mendahulukan keinginan mereka di atas keinginan pribadi, terutama keinginan yang berkaitan dengan kenyamanan dan kebutuhan mereka sehari-hari. Konflik sering timbul ketika anak telah menikah; dalam kasus ini, kewajiban Birrul Walidain tetap mendahului hak-hak non-esensial pasangan, meskipun anak juga wajib memenuhi kebutuhan pasangannya. Namun, hak ibu seringkali diletakkan tiga kali lebih tinggi daripada hak ayah, sesuai hadis Nabi SAW.
Jika orang tua membutuhkan dukungan finansial dan anak memiliki kemampuan, menafkahi mereka adalah kewajiban mutlak (fardhu) dan merupakan salah satu bentuk Ihsan tertinggi, bahkan jika orang tua memiliki penghasilan pensiun yang cukup. Menyediakan nafkah harus dilakukan dengan kerelaan, tanpa mengungkit-ungkit, dan tanpa membuat orang tua merasa terbebani atau berhutang budi.
Imam Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa anak wajib menafkahi orang tua yang fakir. Bahkan, beberapa ulama menyatakan bahwa harta anak dianggap sebagai harta orang tua, meskipun ini tidak menafikan hak kepemilikan anak. Maksudnya adalah, orang tua berhak meminta tanpa perlu merasa malu, dan anak wajib memberi dengan lapang dada.
Ini adalah aspek yang paling ditekankan dalam larangan 'Uff' dan 'Tanharhuma'. Penjagaan emosional melibatkan:
Perkataan yang mulia (Qaulan Karima) berfungsi sebagai balsem untuk jiwa mereka, memastikan mereka merasa aman dan dicintai hingga akhir hayat.
Ayat Al-Isra 24, yang datang segera setelah ayat 23, memerintahkan doa yang masyhur:
Perintah ini mewajibkan kerendahan hati ('Janahaz Dzull' - sayap kerendahan hati) dan doa. Doa ini adalah pengakuan bahwa balasan atas jasa orang tua adalah mustahil dilakukan oleh anak, sehingga pertolongan Allah melalui Rahmat-Nya lah yang diharapkan dapat membalas kebaikan mereka.
Doa ini harus dilakukan secara terus-menerus, bahkan setelah orang tua meninggal dunia. Hadis-hadis Nabi SAW menegaskan bahwa di antara amal yang tidak terputus adalah doa anak yang saleh bagi kedua orang tuanya. Ini menunjukkan bahwa Birrul Walidain melampaui batas kehidupan dunia.
Sebaliknya, melanggar ketetapan Ilahi dalam Al-Isra 23, yang dikenal sebagai ‘Uquq al-Walidain’ (durhaka kepada orang tua), diklasifikasikan sebagai salah satu dosa besar (Kabair) yang paling merusak.
Nabi Muhammad SAW menempatkan Uquq al-Walidain (kedurhakaan) setelah syirik (menyekutukan Allah). Ini ditegaskan dalam banyak hadis, menunjukkan bahwa hukuman bagi pelaku dosa ini sangat berat, bahkan di dunia. Allah seringkali menunda hukuman bagi dosa-dosa lain hingga Hari Kiamat, tetapi kedurhakaan kepada orang tua termasuk dosa yang dapat dipercepat balasannya di dunia.
Uquq melingkupi segala sesuatu yang bertentangan dengan Ihsan dan melanggar perintah dalam Al-Isra 23, di antaranya:
Setiap tindakan ini, yang bermula dari sikap 'Uff' internal dan berkembang menjadi pembentakan, adalah pelanggaran langsung terhadap ketetapan Allah yang diabadikan dalam ayat 23 ini. Uquq menciptakan keretakan dalam rantai kasih sayang yang seharusnya mengalir dari anak kepada sumber kehidupannya.
Sebagaimana ditekankan dalam ayat 23, masa tua adalah fokus utama Birrul Walidain. Pemahaman mendalam tentang tantangan di masa ini sangat penting untuk dapat melaksanakan Ihsan secara sempurna.
Seiring bertambahnya usia, orang tua mengalami proses kemunduran (regression) fisik dan mental. Mereka kembali menjadi rentan seperti anak kecil, membutuhkan bimbingan, kesabaran, dan perawatan tanpa syarat. Perintah Allah untuk tidak mengatakan 'Uff' sangat relevan di sini karena anak harus berhadapan dengan keterbatasan orang tua dalam hal kecepatan, pemahaman, atau kesehatan.
Perawatan di masa Al-Kibar menuntut transformasi peran. Anak yang dulunya dirawat, kini menjadi perawat. Transformasi ini harus dilakukan dengan penuh keikhlasan, tanpa rasa terpaksa, karena rasa terpaksa adalah bibit dari ‘Uff’.
Banyak penyakit di masa tua, seperti demensia, Alzheimer, atau penyakit kronis, seringkali mengubah karakter orang tua. Mereka mungkin menjadi lebih agresif, pelupa, atau tidak mengenali anak mereka. Dalam kondisi ini, Birrul Walidain mencapai level tertinggi. Ihsan bukan lagi sekadar ketaatan, tetapi manifestasi kasih sayang tak terbatas yang meniru Rahmat Ilahi.
Para ulama kontemporer sepakat bahwa dalam merawat orang tua dengan kondisi mental yang menurun, segala bentuk tindakan sabar dan pelayanan, termasuk mengganti pakaian kotor, memandikan, atau mengulangi instruksi, memiliki pahala yang sangat besar, melampaui pahala amal ibadah sunnah lainnya.
Bagaimana menerapkan "perkataan mulia" ketika orang tua sudah sulit diajak berkomunikasi atau bertindak tidak rasional? Qaulan Karima dalam situasi ini berarti:
Perintah Birrul Walidain dalam Al-Isra 23 diperkuat dan dijelaskan lebih lanjut oleh ayat-ayat dan hadis lainnya, menunjukkan konsistensi ajaran Islam mengenai hak orang tua.
Ayat ini secara eksplisit menghubungkan rasa syukur kepada Allah ('Syukur kepada-Ku') dengan rasa syukur kepada orang tua ('Syukur kepada dua orang ibu-bapakmu'). Syukur kepada orang tua di sini adalah sinonim dengan Ihsan yang diperintahkan dalam Al-Isra 23. Ayat ini juga memberikan justifikasi historis mengapa Birrul Walidain begitu penting, yaitu karena penderitaan ibu saat mengandung dan menyusui selama dua tahun penuh, menekankan hak ibu yang lebih besar.
Ayat ini fokus pada masa-masa penting dalam kehidupan seorang anak, dari mengandung hingga dewasa, dan bagaimana anak harus berdoa memohon kebaikan bagi dirinya dan orang tuanya saat mencapai usia baligh dan kekuatan penuh (Asyaddahu). Ayat ini mengajarkan bahwa Birrul Walidain adalah proses seumur hidup, bukan hanya saat orang tua sudah tua, tetapi juga saat anak mencapai puncak kematangan.
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, "Siapakah yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?" Nabi menjawab, "Ibumu." Laki-laki itu bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Nabi menjawab, "Ibumu." Ia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Nabi menjawab, "Ibumu." Baru pada pertanyaan keempat Nabi menjawab, "Ayahmu."
Hadis ini memberikan penegasan bahwa meskipun perintah dalam Al-Isra 23 menyebutkan kedua orang tua (Walidain), hak ibu secara emosional dan secara pengorbanan adalah tiga kali lipat. Ini tidak berarti mengabaikan ayah, tetapi menggarisbawahi keutamaan ibu, terutama dalam aspek pelayanan dan kelembutan.
Meskipun ayat ini diturunkan di abad ke-7, relevansinya tetap utuh dalam menghadapi tantangan modern seperti globalisasi, individualisme, dan migrasi. Penerapan Ihsan dan menghindari 'Uff' membutuhkan kesadaran khusus di era digital dan mobilitas tinggi.
Ketika anak tinggal jauh dari orang tua, Birrul Walidain tidak gugur. Sebaliknya, kewajiban ini bertransformasi menjadi kewajiban komunikasi yang intens dan dukungan logistik. Menghindari 'Uff' di era modern berarti:
Banyak anak dewasa menghadapi dilema antara tuntutan karier yang seringkali mengharuskan relokasi atau kerja berlebihan, dengan kewajiban merawat orang tua. Ayat 23, khususnya frasa 'Indakal Kibar' (dalam pemeliharaanmu), menyiratkan bahwa kewajiban Birrul Walidain seringkali harus mendahului ambisi pribadi yang bersifat non-wajib.
Beberapa ulama bahkan berpendapat bahwa jika perawatan orang tua membutuhkan pengorbanan besar, seperti meninggalkan pekerjaan yang jauh atau mengurangi jam kerja, maka itu adalah kewajiban yang harus dipertimbangkan, asalkan tidak menjerumuskan keluarga sendiri ke dalam kemiskinan ekstrem. Pelayanan langsung kepada orang tua dianggap sebagai jihad non-tempur (Jihad al-Walidain).
Ihsan juga berlaku dalam urusan keuangan dan warisan. Seorang anak yang berbuat Ihsan tidak akan serakah terhadap harta warisan orang tua, dan tidak akan menekan orang tua untuk mendapatkan warisan sebelum waktunya. Ia juga wajib memastikan bahwa orang tua menikmati sisa hidup mereka tanpa kekhawatiran finansial, bahkan jika harus mengorbankan sebagian warisan demi perawatan mereka.
Konsep Ihsan adalah kunci untuk memahami mengapa Birrul Walidain diletakkan pada posisi kedua setelah Tauhid. Ihsan adalah level tertinggi ketaatan. Ketika Allah memerintahkan Ihsan kepada orang tua, Dia tidak hanya meminta ketaatan formal, tetapi juga kualitas spiritual yang mendalam.
Pengakuan atas jasa orang tua adalah wajib. Jasa ini bukan hanya biologis (melahirkan dan membesarkan), tetapi juga spiritual (mengenalkan anak kepada Allah). Ihsan adalah cara anak membalas jasa tersebut dengan kesempurnaan, meskipun balasan hakiki (membayar lunas semua jasa) adalah mustahil.
Para mufassir menekankan bahwa jasa terbesar orang tua, khususnya ibu, adalah pada saat-saat kelemahan yang ekstrem (mengandung, melahirkan, dan menyusui). Oleh karena itu, Ihsan harus ditampilkan secara maksimal pada saat orang tua kembali ke kondisi kelemahan ekstrem (masa tua/Al-Kibar).
Seorang yang berbuat Ihsan melakukan kebaikan bukan karena takut dosa, melainkan karena cinta dan kesadaran spiritual. Ini adalah antitesis dari 'Uff' yang timbul dari keterpaksaan atau kejengkelan. Ihsan memastikan bahwa pelayanan kepada orang tua dilakukan dengan wajah berseri, perkataan yang manis, dan hati yang tulus.
Apabila pelayanan dilakukan dengan terpaksa, meskipun tindakan fisiknya terpenuhi (misalnya, memberi makan), unsur 'Uff' (kejengkelan internal) tetap ada, dan ini merusak kesempurnaan Birrul Walidain yang dikehendaki oleh ayat 23. Perasaan tulus adalah syarat mutlak untuk mencapai derajat Ihsan.
Ketaatan penuh yang dituntut dalam Ihsan seringkali menciptakan dilema, terutama ketika orang tua memiliki harapan yang berbeda dari kenyataan anak (misalnya, menuntut profesi tertentu). Ihsan dalam konteks ini adalah menemukan keseimbangan, di mana anak tetap menghormati keinginan orang tua sambil menjelaskan kondisi riil dengan 'Qaulan Karima'. Ihsan bukan berarti menuruti setiap permintaan buta, melainkan melayani mereka dengan kerendahan hati terbesar, bahkan ketika harus menolak suatu permintaan yang melanggar syariat atau menyebabkan bahaya serius pada diri anak.
Ayat Al-Isra 23 dan artinya memberikan cetak biru moralitas yang sangat jelas: ibadah sejati kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari etika tertinggi terhadap orang tua. Kedua perintah ini—Tauhid dan Birrul Walidain—adalah fondasi bagi masyarakat Islam yang kokoh.
Ketetapan Ilahi (Qada) ini bersifat abadi. Kewajiban berbuat baik (Ihsan) adalah tugas seumur hidup yang mencapai puncaknya (Al-Kibar) ketika orang tua menjadi paling lemah dan anak menjadi paling kuat. Larangan mengucapkan 'Uff' mengajarkan sensitivitas emosional yang mendalam, menuntut pengendalian diri yang absolut, dan menolak bahkan bisikan kejengkelan internal.
Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah bahwa ucapan kita terhadap orang tua adalah refleksi langsung dari keimanan kita kepada Allah. Kebaikan lisan (Qaulan Karima) adalah jembatan yang menghubungkan hati yang tunduk kepada Allah dengan pelayanan yang sempurna kepada orang tua. Melalui penafsiran yang menyeluruh atas Al-Isra ayat 23, umat Muslim diingatkan bahwa pintu-pintu surga (Birrul Walidain) terbuka lebar bagi mereka yang mampu menjaga adab dan kehormatan orang tua mereka, terutama di masa tua mereka yang penuh kerentanan.
Maka, mari kita renungkan kembali kualitas komunikasi dan pelayanan kita kepada kedua orang tua. Apakah kita telah melewati batas minimal 'Uff'? Atau kita telah mencapai derajat 'Ihsan' dan 'Qaulan Karima'? Jawaban atas pertanyaan tersebut menentukan kualitas keberagamaan kita, karena Allah SWT telah menyandingkan hak mereka, setara dengan hak-Nya untuk disembah.
Pengulangan dan penekanan dalam ayat ini, khususnya pada kondisi ‘Al-Kibar’, berfungsi sebagai alarm bagi setiap anak untuk bersiap menghadapi fase krusial tersebut dengan bekal kesabaran tak terbatas, pengorbanan tanpa keluh kesah, dan perkataan yang hanya berisi kemuliaan dan kerendahan hati. Inilah makna terdalam dari Al-Isra ayat 23, sebuah wasiat agung dari Tuhan semesta alam.
***