Visualisasi simbolis perjalanan malam Isra Mi'raj, sebuah mukjizat yang melampaui batas ruang dan waktu.
Peristiwa Isra Mi'raj merupakan salah satu mukjizat terbesar dalam sejarah kenabian, sebuah titik balik yang tidak hanya mengukuhkan kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ, tetapi juga memberikan peta jalan spiritual dan moral bagi seluruh umat manusia. Perjalanan agung ini, yang membawa Rasulullah dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem (Isra), kemudian dilanjutkan ke Sidratul Muntaha, melintasi tujuh lapis langit (Mi'raj), menjadi inti dari Surah Al-Isra, yang sebelumnya dikenal sebagai Surah Bani Israil.
Pentingnya Surah Al-Isra tidak hanya terletak pada pengantar ajaibnya, tetapi juga pada rangkaian ajaran moral, etika sosial, dan peringatan historis yang disampaikannya. Di antara rangkaian ayat-ayat yang padat makna tersebut, terselip sebuah kaidah universal tentang akuntabilitas dan konsekuensi perbuatan, yang termaktub secara eksplisit dalam ayat ketujuh, Al-Isra 7. Ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kisah sejarah Bani Israel dengan kewajiban moral umat Muhammad, menetapkan bahwa setiap tindakan, baik maupun buruk, pada akhirnya akan kembali kepada pelakunya. Konsepsi ini adalah tulang punggung dari keadilan ilahi di dunia dan di akhirat.
Surah Al-Isra dibuka dengan pujian kepada Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari. Namun, narasi ini segera bergeser, membawa kita ke dalam sebuah renungan panjang tentang sejarah spiritual Bani Israel, kaum yang sebelumnya dititipi kitab dan kenabian. Transisi narasi yang cepat ini adalah kunci. Allah menyajikan sejarah Bani Israel bukan sekadar sebagai kisah masa lalu, melainkan sebagai sebuah cermin peringatan bagi umat yang baru (umat Islam). Peringatan ini berpusat pada dua kali kerusakan besar yang dilakukan Bani Israel di muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat awal surah ini. Kerusakan pertama dan kedua merujuk pada keangkuhan, penyelewengan syariat, dan pertumpahan darah, yang selalu diakhiri dengan azab dan kehinaan dari Allah.
Surah ini datang pada periode yang sangat kritis bagi Rasulullah, dikenal sebagai 'Tahun Kesedihan' ('Am al-Huzn). Dengan diangkatnya beliau ke langit, Allah seolah memberikan konfirmasi spiritual tertinggi, sekaligus menetapkan bahwa pusat perhatian kini beralih dari satu umat (Bani Israel) ke umat yang baru, umat yang diharapkan mampu mengambil pelajaran dari kesalahan masa lalu. Mukjizat Isra Mi'raj menjadi legitimasi spiritual yang sempurna, menempatkan Masjidil Aqsa sebagai kiblat sementara dan titik temu antara langit dan bumi, sebelum kiblat beralih sepenuhnya ke Ka'bah.
Jalur cerita yang terstruktur ini menuntun kita pada pemahaman bahwa kehinaan atau kemuliaan suatu umat tidak ditentukan oleh keturunan atau lokasi geografis, melainkan oleh ketaatan moral dan amal perbuatan mereka. Inilah premis utama yang dikuatkan oleh Al-Isra 7, yang menjadi landasan filosofis bagi seluruh ajaran dalam surah ini. Jika ketaatan digenggam teguh, maka umat akan mendapatkan kebaikan, sebagaimana janji Allah. Namun, jika mereka memilih jalan kerusakan, konsekuensinya tidak terhindarkan dan dampaknya akan menimpa diri mereka sendiri.
"Jika kamu berbuat baik, (manfaat) kebaikan itu untuk dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian) kejahatan itu untuk dirimu sendiri. Kemudian apabila datang janji (kehancuran) yang kedua, (Kami bangkitkan musuh-musuhmu) untuk menyuramkan wajah-wajahmu dan memasuki masjid (Baitulmaqdis), sebagaimana mereka memasukinya pada yang pertama, dan untuk menghancurkan apa saja yang mereka kuasai, sehancur-hancurnya." (QS. Al-Isra: 7)
Ayat ini adalah salah satu ayat yang paling kuat dalam Al-Qur'an mengenai prinsip kausalitas spiritual dan moral, yang sering disebut sebagai prinsip Jazā' (balasan). Bagian pertama ayat ini, "Jika kamu berbuat baik, (manfaat) kebaikan itu untuk dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian) kejahatan itu untuk dirimu sendiri," adalah sebuah deklarasi universal yang melampaui konteks Bani Israel dan berlaku untuk setiap individu dan setiap komunitas. Ini adalah fondasi dari Tanggung Jawab Individu (Mas’uliyah Fardiyah).
Ketika seseorang melakukan kebaikan, seperti menunaikan shalat, bersedekah, berbuat adil, atau menjaga lisan, manfaatnya bukanlah semata-mata menguntungkan pihak lain, tetapi yang utama adalah kembali kepada pelakunya. Kebaikan ini menciptakan ketenangan batin, membersihkan jiwa (Tazkiyatun Nafs), dan membangun karakter yang kuat. Dalam konteks sosial, perbuatan baik menumbuhkan kepercayaan, keharmonisan, dan kekuatan komunal. Kebaikan yang ditanamkan, bahkan jika tidak terlihat buahnya secara langsung di dunia, akan menghasilkan pahala yang berlipat ganda di sisi Allah. Konsep ini menentang pandangan materialistis bahwa tindakan hanya berharga jika ada imbalan fisik atau kekuasaan. Kebaikan adalah investasi abadi bagi jiwa.
Pelajaran ini sangat vital dalam memahami semangat Isra Mi'raj. Jika Isra Mi'raj adalah puncak pencapaian spiritual, maka Al-Isra 7 menjelaskan mekanisme untuk mencapai ketinggian tersebut: melalui konsistensi berbuat baik. Ketinggian spiritual tidak dapat dicapai dengan retorika semata, melainkan melalui akumulasi amal saleh yang diniatkan murni karena Allah. Kebaikan yang kembali kepada diri sendiri ini adalah cerminan dari nama Allah Al-Wadud (Maha Mengasihi) dan Al-Hakim (Maha Bijaksana), yang menetapkan sistem di mana manusia diberi insentif untuk menyempurnakan dirinya sendiri.
Sebaliknya, kejahatan yang dilakukan, seperti penindasan, kezaliman, kedustaan, atau pengkhianatan, kerugian utamanya ditanggung oleh pelakunya sendiri. Kerugian ini manifestasinya multi-dimensi. Di tingkat personal, kejahatan mengeraskan hati, menumpulkan nurani, dan memutus hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. Kejahatan meracuni kedamaian internal, menyebabkan kecemasan, dan hilangnya keberkahan (Barakah) dalam hidup.
Dalam konteks Bani Israel yang diceritakan di Surah Al-Isra, kejahatan mereka bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga menyebabkan kehancuran politik dan sosial mereka sendiri. Keangkuhan dan penyelewengan syariat membuat mereka lemah dan mudah ditundukkan oleh musuh-musuh eksternal. Ayat 7 dengan tegas menyatakan bahwa kehancuran eksternal adalah akibat dari kerusakan internal. Musuh yang dikirimkan Allah pada janji (kehancuran) yang kedua adalah cerminan dari dosa-dosa yang telah dipanen oleh Bani Israel sendiri. Ini adalah hukum ilahi yang tak terhindarkan, hukum sebab-akibat yang melekat pada kehendak bebas manusia.
Penggunaan kata sambung dalam bahasa Arab di ayat ini sangatlah tepat dan kuat. Kata 'In' (jika/apabila) menunjukkan persyaratan, sementara 'Fa' (maka) menunjukkan akibat yang pasti. Struktur kalimatnya adalah: "In ahsantum ahsantum li-anfusikum wa in asa'tum fa-lahā." Ini adalah formulasi gramatikal yang menegaskan bahwa tidak ada jalan keluar dari konsekuensi perbuatan. Kebaikan dan keburukan adalah entitas yang terikat erat dengan pelakunya. Tidak ada pihak ketiga yang menanggung beban perbuatan dosa seseorang, dan tidak ada pihak lain yang dapat mengklaim kebaikan yang dilakukan oleh individu. Prinsip ini menghilangkan konsep vicarious liability (tanggung jawab pengganti) dan menekankan otonomi moral manusia di hadapan Tuhan. Pemahaman mendalam terhadap struktur ini memastikan bahwa umat tidak akan pernah berpuas diri hanya karena mereka adalah 'umat terpilih,' karena kriteria sebenarnya adalah amal.
Dalam perbandingan historis antara kehancuran pertama dan kedua Bani Israel, Al-Qur'an menggunakan bahasa yang sangat menyeramkan: "untuk menyuramkan wajah-wajahmu dan memasuki masjid (Baitulmaqdis)... dan untuk menghancurkan apa saja yang mereka kuasai, sehancur-hancurnya." Kesuram wajah (liyasū'ū wujūhakum) adalah simbol kehinaan, keputusasaan, dan hilangnya harga diri. Ini bukan hanya hukuman fisik, tetapi juga hukuman psikologis dan spiritual. Kehancuran ini adalah manifestasi fisik dari kebobrokan moral yang telah mereka tanam.
Neraca (Mizan) dalam konsep Al-Isra 7: Setiap perbuatan menciptakan konsekuensi yang pasti kembali kepada pelakunya.
Ayat 7 bukan hanya kesimpulan dari kisah Bani Israel, tetapi juga pembuka bagi rangkaian ajaran moral (adab dan akhlaq) yang mendominasi bagian tengah Surah Al-Isra (Ayat 23 hingga 39). Setelah menetapkan prinsip kausalitas, surah ini kemudian merinci apa saja perbuatan baik yang harus dilakukan, dan perbuatan buruk apa saja yang harus dihindari. Ayat 7 adalah fondasi, dan ayat-ayat berikutnya adalah detail instruksi.
Perintah pertama setelah tauhid adalah berbakti kepada orang tua. "Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak keduanya." Mengapa ini ditempatkan begitu tinggi? Karena perlakuan terhadap orang tua adalah barometer dari kualitas kebaikan (Ihsan) seseorang. Jika seseorang tidak mampu berbuat baik kepada dua insan yang paling berjasa dalam hidupnya, bagaimana mungkin ia akan mampu berbuat baik kepada Allah atau kepada masyarakat luas? Kebaikan kepada orang tua adalah amal yang paling cepat mengembalikan manfaat (faidah) kepada diri pelakunya, berupa ketenangan dan keberkahan hidup, sekaligus menjauhkan kerugian (darr) yang diakibatkan oleh durhaka.
Keterkaitan dengan Al-Isra 7 sangat jelas: ketaatan kepada orang tua adalah investasi kebaikan, sementara durhaka adalah bentuk kejahatan yang merusak diri sendiri. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada hubungan keluarga, tetapi juga pada pondasi spiritual dan sosial seseorang.
Surah Al-Isra secara ketat melarang pemborosan dan menganjurkan keseimbangan (i'tidal) dalam pengeluaran. Orang yang boros disamakan dengan saudara setan. Ayat ini secara langsung mengaitkan tindakan ekonomi dengan konsekuensi spiritual. Boros adalah kejahatan karena ia merusak tatanan sosial, menghilangkan hak orang miskin, dan menciptakan kesombongan pada pelakunya. Kerugian dari pemborosan bukan hanya hilangnya harta, tetapi juga hilangnya sifat syukur.
Sebaliknya, sikap berhemat dan bersedekah (memberi hak kepada kerabat, orang miskin, dan musafir) adalah bentuk kebaikan yang membangun struktur sosial yang adil, yang manfaatnya kembali kepada komunitas dan individu itu sendiri. Ayat 7 menggarisbawahi bahwa penyelewengan dalam ekonomi (boros) akan menyebabkan kehinaan, serupa dengan kehinaan yang dialami Bani Israel ketika mereka mulai mencintai dunia secara berlebihan.
Ayat-ayat ini melarang pembunuhan, zina, dan pendekatan terhadap harta anak yatim. Semua ini adalah manifestasi kejahatan sosial yang paling parah. Membunuh adalah puncak dari kezaliman, yang kerugiannya tidak terhitung, merusak hak hidup, dan mengundang hukuman ilahi yang pedih. Ayat 7 mengingatkan bahwa kejahatan-kejahatan semacam ini akan membawa kehancuran total, seperti yang menimpa Bani Israel ketika mereka membunuh para nabi dan menyebar kerusakan.
Al-Isra 7 bukan hanya catatan kaki sejarah; ia adalah undang-undang abadi bagi umat Islam. Meskipun umat Islam dijanjikan tidak akan mengalami kehancuran total (istisāl) seperti yang dialami oleh beberapa umat terdahulu, mereka tetap tunduk pada prinsip Jazā'. Jika umat Islam meninggalkan kebaikan (shalat, zakat, keadilan) dan tenggelam dalam kejahatan (kezaliman, penipuan, perpecahan), mereka akan menghadapi azab dalam bentuk perpecahan internal, kelemahan politik, kemunduran ilmu pengetahuan, dan dominasi musuh eksternal. Kehancuran tersebut mungkin tidak berupa pemusnahan massal, tetapi berupa kehilangan martabat dan peradaban. Ini adalah kehinaan yang menyuramkan wajah yang ditekankan oleh ayat 7.
Ketinggian spiritual yang dialami Nabi Muhammad melalui Mi'raj menunjukkan potensi maksimal yang dapat dicapai manusia melalui ketaatan sempurna. Sebaliknya, kisah Bani Israel dalam surah ini menunjukkan jurang kejatuhan yang disebabkan oleh pelanggaran. Keseimbangan antara Isra Mi'raj (potensi) dan kisah Bani Israel (peringatan) menciptakan dorongan kuat untuk senantiasa mengevaluasi diri sesuai dengan kaidah Al-Isra 7. Keberhasilan umat terletak pada kesadaran kolektif bahwa nasib mereka sepenuhnya adalah produk dari pilihan moral mereka sendiri. Ini adalah penegasan atas konsep Sunnatullah, hukum alam dan spiritual yang ditetapkan Allah, yang berlaku secara universal tanpa pandang bulu terhadap ras atau suku.
Jika umat melakukan kebaikan, seperti mengembangkan ilmu pengetahuan, menegakkan keadilan sosial, dan memperkuat ukhuwah (persaudaraan), maka manfaatnya akan kembali kepada mereka dalam bentuk kekuatan peradaban dan kedamaian. Namun, jika mereka membiarkan korupsi merajalela, menindas yang lemah, dan meninggalkan prinsip-prinsip syariah, maka kerugian yang ditanggung akan manifestasi dalam bentuk konflik internal dan kehinaan di hadapan bangsa-bangsa lain. Ayat 7 adalah ajakan untuk bertindak proaktif dalam kebaikan, karena pasif dalam kebaikan sama saja dengan membiarkan kejahatan tumbuh subur.
Dalam kehidupan modern yang sarat dengan kompleksitas dan tantangan, prinsip Al-Isra 7 menawarkan panduan yang sangat relevan. Manusia sering kali mencari kambing hitam atau menyalahkan faktor eksternal (ekonomi, politik, lingkungan) atas kesulitan yang mereka hadapi. Ayat ini secara radikal mengarahkan fokus ke dalam: evaluasi diri dan amal perbuatan.
Prinsip bahwa kebaikan kembali kepada diri sendiri mendorong umat untuk mencapai tingkat kebaikan tertinggi, yaitu Ihsan. Ihsan adalah melakukan sesuatu dengan kualitas terbaik seolah-olah kita melihat Allah, atau setidaknya menyadari bahwa Allah melihat kita. Dalam konteks ayat 7, Ihsan memastikan bahwa kebaikan yang dilakukan bukan sekadar formalitas, tetapi tindakan yang memiliki dampak mendalam dan berkelanjutan. Seseorang yang bekerja dengan Ihsan, misalnya, tidak hanya memenuhi kewajiban profesionalnya, tetapi juga menjunjung tinggi etika, kejujuran, dan kualitas. Manfaat dari etos kerja yang tinggi ini secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan individu, reputasi, dan stabilitas ekonomi komunitasnya. Inilah kebaikan yang kembali dalam bentuk keberkahan duniawi.
Sebaliknya, kejahatan yang sering dilakukan di era modern adalah kejahatan digital, penyebaran kebohongan (hoaks), dan korupsi sistemik. Kerugian dari kejahatan ini (darr al-sayyi’at) adalah rusaknya kepercayaan sosial, hilangnya kohesi masyarakat, dan terjerumusnya individu dalam siklus kecemasan dan konflik. Ayat 7 berfungsi sebagai sistem peringatan dini: setiap kali kejahatan sosial meningkat, kehancuran dan ketidakstabilan adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Kejahatan adalah racun yang secara perlahan menghancurkan infrastruktur peradaban dari dalam.
Ayat ini juga membantu kita memahami sifat ujian hidup. Ujian, dalam banyak kasus, bukanlah hukuman sewenang-wenang, melainkan konsekuensi logis (natijah) dari pilihan masa lalu. Jika seseorang lalai dalam pendidikan, kemiskinan intelektual adalah konsekuensinya. Jika sebuah negara mengabaikan keadilan, kekacauan adalah hasil akhirnya. Pemahaman ini memberdayakan, karena menyadari bahwa nasib dapat diubah melalui perubahan moral dan amal. Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri (QS Ar-Ra'd: 11). Prinsip inilah yang dipertegas secara dramatis oleh Al-Isra 7.
Refleksi mendalam terhadap ayat ini menuntut setiap Muslim untuk terus-menerus melakukan introspeksi (muhasabah). Apakah tindakan harian kita, baik di ranah publik maupun privat, menghasilkan kebaikan yang akan kembali kepada diri kita, ataukah sebaliknya, menghasilkan kerugian? Apakah kita membangun atau merusak? Ayat 7 adalah fondasi dari spiritualitas yang matang, yang menolak takdir buta dan menegaskan peran aktif manusia sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi. Tanggung jawab ini menuntut kesadaran, kehati-hatian, dan komitmen total terhadap standar moral yang ditetapkan dalam Surah Al-Isra.
Dalam konteks Mi'raj, Rasulullah menyaksikan berbagai tingkatan surga dan neraka, yang secara simbolis menunjukkan balasan abadi bagi amal perbuatan. Pengalaman spiritual yang luar biasa ini diperkuat dengan landasan moral yang kokoh melalui Surah Al-Isra, khususnya Ayat 7. Ini mengajarkan bahwa mukjizat dan keberkahan hanya dapat dipertahankan melalui ketaatan yang konsisten dan pemahaman yang mendalam bahwa setiap detik kehidupan adalah ladang amal yang akan dipanen oleh individu itu sendiri.
Prinsip yang terkandung dalam Al-Isra 7 memiliki resonansi filosofis yang meluas melampaui batas-batas teologis. Ini adalah hukum universal akuntabilitas yang mengatur keseimbangan eksistensi. Setiap peradaban, setiap sistem, dan setiap individu yang mengabaikan prinsip keadilan dan etika akan mengalami keruntuhan dari dalam. Ini bukan ancaman, melainkan pernyataan tentang cara kerja kosmos yang diciptakan oleh Allah. Keseimbangan (mizan) yang menjadi inti dari penciptaan harus tercermin dalam tindakan manusia.
Ketika kita menelaah lebih jauh tentang sejarah Bani Israel dalam surah ini, kerusakan pertama yang mereka lakukan membawa azab dari kerajaan asing. Kerusakan kedua membawa kehancuran total. Pola ini mengajarkan bahwa jika suatu masyarakat gagal belajar dari kesalahan pertama dan kembali mengulang kejahatan, konsekuensinya akan berlipat ganda, lebih menyakitkan, dan lebih permanen. Bagi umat Islam, ini adalah panggilan untuk mencegah "kehancuran pertama" melalui reformasi moral dan perbaikan institusional yang berkelanjutan.
Kebaikan (ihsan) yang dimaksud dalam ayat ini mencakup segala aspek kehidupan, dari niat yang paling murni (ikhlas) hingga dampak sosial yang paling luas (manfaat). Kebaikan sejati adalah yang menghasilkan stabilitas (tsabat), sementara kejahatan selalu menghasilkan instabilitas (idlālah). Kestabilan yang dicari oleh setiap individu—baik secara emosional, finansial, maupun spiritual—hanya dapat dicapai melalui jalur kebaikan. Tidak ada kebahagiaan sejati yang bisa dibangun di atas fondasi ketidakadilan atau kezaliman.
Kekuatan penegasan dalam ayat 7 ini juga terletak pada penolakan fatalisme. Seseorang tidak ditakdirkan untuk menjadi baik atau jahat tanpa peran aktifnya. Ayat ini menempatkan takdir (qadar) dalam konteks pilihan bebas (ikhtiyār). Allah telah menetapkan sistem di mana hasil akhir bergantung pada input yang diberikan manusia. Ini menuntut energi spiritual yang besar, karena manusia harus secara sadar memilih kebaikan meskipun godaan kejahatan hadir. Pilihan ini adalah pertempuran internal yang harus dimenangkan setiap hari.
Oleh karena itu, Isra Mi'raj, sebagai penegasan kebenaran Ilahi, memberikan visi tentang tujuan akhir manusia—mendekatkan diri kepada Allah. Surah Al-Isra, dengan ayat 7 sebagai porosnya, menyediakan manual praktis: tujuan tersebut dicapai bukan melalui klaim identitas, tetapi melalui tindakan nyata yang menghasilkan kebaikan, yang manfaatnya kembali secara penuh kepada pelakunya. Jika manfaat yang kembali adalah ridha Allah dan surga, maka rugi atau untung diukur dalam skala keabadian, bukan keuntungan sesaat di dunia.
Pengulangan tema konsekuensi dan tanggung jawab dalam berbagai sudut pandang Al-Qur'an menunjukkan betapa pentingnya konsep ini. Al-Isra 7 merangkumnya dengan singkat dan padat, menjadikannya kaidah emas etika Islami. Manusia adalah arsitek dari kebahagiaan dan penderitaannya sendiri. Manfaat dan kerugian adalah pantulan murni dari kualitas niat dan amal yang telah dipancarkan. Kedalaman makna ini menembus waktu dan relevan untuk setiap generasi yang ingin mencapai kemakmuran sejati, baik dunia maupun akhirat.
Keadilan Allah (Al-'Adl) adalah sempurna, dan ayat 7 adalah bukti dari kesempurnaan tersebut. Dalam sistem yang adil, tidak mungkin ada kebaikan tanpa pahala yang setimpal, dan tidak mungkin ada kejahatan tanpa hukuman yang sesuai. Ayat ini menegaskan bahwa bahkan sebelum hukuman akhirat, terdapat hukuman dan ganjaran duniawi yang inheren dalam tindakan itu sendiri. Kebaikan menciptakan ekosistem positif yang memberi makan kembali kepada pelakunya, dan kejahatan menciptakan ekosistem toksik yang meracuni pelakunya.
Implikasi sosial dari kaidah ini sangat besar. Ini menuntut pertanggungjawaban dalam kepemimpinan, dalam bisnis, dan dalam setiap interaksi sosial. Seorang pemimpin yang zalim akan merugikan dirinya sendiri melalui hilangnya legitimasi, perpecahan rakyat, dan azab Allah. Sebaliknya, pemimpin yang adil akan mendapatkan loyalitas, stabilitas, dan keberkahan. Inilah hukum kosmik yang dijelaskan oleh Al-Isra 7: nasib kolektif suatu umat tidak ditentukan oleh kekuatan adidaya luar, melainkan oleh kekuatan moral internalnya. Kehancuran Bani Israel pada dua kali kesempatan yang diceritakan dalam surah ini adalah demonstrasi historis paling dramatis dari prinsip ini. Mereka dihancurkan bukan karena Allah tidak sayang, melainkan karena mereka sendiri yang memilih jalan kehancuran dengan mengabaikan syariat.
Pemahaman ini membawa rasa urgensi yang tinggi bagi umat Muslim hari ini. Jika kebaikan adalah untuk diri kita, maka setiap detik yang dihabiskan untuk ibadah, ilmu, atau pelayanan masyarakat adalah investasi terbaik. Dan jika kejahatan adalah kerugian bagi diri kita, maka setiap saat kita tergoda untuk melakukan kesalahan, kita harus ingat bahwa kita sedang menimbun racun yang akan merusak hati dan kehidupan kita sendiri. Ayat 7 adalah pemandu moral yang tidak pernah usang, selamanya mengingatkan bahwa kita adalah subjek dari hukum konsekuensi Ilahi. Prinsip ini adalah kunci untuk memahami seluruh peta jalan spiritual dan moral yang disajikan oleh Surah Al-Isra.
Sebagai penutup refleksi, kita kembali kepada Mi'raj. Jika Nabi Muhammad mencapai puncak spiritual di Sidratul Muntaha, hal itu adalah hasil dari kesempurnaan amal dan moral beliau. Ketinggian tersebut adalah representasi terbesar dari 'kebaikan yang kembali kepada diri sendiri.' Dan sebaliknya, nasib Bani Israel, yang disajikan sebagai kontras, adalah representasi dari 'kejahatan yang merugikan diri sendiri.' Surah Al-Isra menyatukan kedua narasi ini untuk satu tujuan: mengarahkan umat pada jalan kebaikan yang kekal.
Ayat ketujuh dari Surah Al-Isra memberikan sebuah cetak biru universal mengenai tanggung jawab individu dan kolektif. Ia mengajarkan bahwa sistem moral kosmos tidak pernah tidur; ia selalu menghitung. Kebaikan yang dilakukan adalah benih kebahagiaan abadi, sementara kejahatan adalah bibit kehinaan yang pasti berbuah. Dalam kompleksitas dunia, pegangan terhadap prinsip ini adalah kunci untuk menjaga kemuliaan diri dan keberlangsungan peradaban. Tanpa kesadaran akan prinsip ini, segala upaya perbaikan eksternal hanya akan menjadi ilusi, karena kerusakan yang sesungguhnya berasal dari dalam jiwa dan amal perbuatan manusia itu sendiri.
Pelajaran dari Surah Al-Isra, melalui lensa ayat 7, adalah sebuah pengingat abadi bahwa kemuliaan tidak diwariskan, melainkan diupayakan melalui amal saleh. Ketaatan kepada Allah, keadilan dalam interaksi sosial, dan penghindaran dari segala bentuk kezaliman adalah satu-satunya jalan untuk memastikan bahwa konsekuensi yang kembali kepada diri kita adalah keberkahan, bukan kehinaan. Inilah esensi dari perjalanan spiritual yang dimulai dari bumi menuju langit dan kembali ke bumi dalam bentuk amal.