Surah Al-A'raf, yang berada pada urutan ketujuh dalam Al-Qur'an, seringkali disebut sebagai surah yang membahas dimensi hubungan vertikal (dengan Tuhan) dan horizontal (dengan sesama manusia dan alam). Di antara ayat-ayatnya yang mengandung pedoman hidup yang sangat fundamental adalah ayat ke-31, sebuah seruan universal yang ditujukan kepada seluruh umat manusia—anak cucu Adam.
Ayat ini merupakan pilar etika komprehensif yang mengintegrasikan tiga perintah utama: etika penampilan dalam ibadah, etika konsumsi sehari-hari, dan etika pembatasan diri dari segala bentuk ekstremisme atau israf. Ketiga pilar ini, ketika diterapkan secara seimbang, membentuk fondasi kehidupan yang harmonis, baik secara spiritual, fisik, maupun sosial.
Perintah pertama dalam ayat ini adalah "pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid" (خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ). Kata kunci di sini adalah zīnah (زِينَةٌ), yang berarti perhiasan, keindahan, atau segala sesuatu yang memperindah dan membuat seseorang terlihat baik. Perintah ini menepis pandangan asketisme ekstrem yang menganggap bahwa ibadah harus dilakukan dalam keadaan kumuh atau serba kekurangan.
Secara historis, ayat ini diturunkan untuk memperbaiki praktik-praktik yang ada pada masa pra-Islam, di mana sebagian orang Arab melakukan tawaf (mengelilingi Ka'bah) dalam keadaan telanjang atau dengan pakaian yang lusuh, dengan alasan bahwa pakaian biasa mereka telah "terkontaminasi" oleh dosa. Al-Qur'an dengan tegas menolak praktik ini. Perintah untuk memakai zīnah saat memasuki masjid atau tempat ibadah—yang mencakup shalat dan tawaf—menegaskan beberapa prinsip fundamental.
Pertama, ia adalah manifestasi penghormatan kepada Allah SWT. Jika seseorang bersiap diri dengan pakaian terbaiknya saat bertemu dengan orang terhormat di dunia, maka persiapan yang lebih baik lagi harus dilakukan saat menghadap Pencipta alam semesta. Zīnah di sini tidak hanya merujuk pada pakaian baru atau mahal, tetapi pakaian yang bersih, menutup aurat, dan pantas. Ini mencerminkan kebersihan spiritual dan fisik (thaharah).
Kedua, perintah ini mencakup keindahan yang terjangkau. Islam mempromosikan keindahan, bukan kemewahan yang berlebihan (yang masuk kategori israf). Keindahan adalah bagian dari fitrah manusia, dan memamerkannya saat beribadah adalah bentuk syukur dan penghormatan. Para mufassir kontemporer, seperti Sayyid Qutb, menafsirkan bahwa zīnah mencakup penampilan secara keseluruhan, termasuk merapikan diri sebelum shalat.
Perluasan makna 'masjid' (مَسْجِدٍ) juga menjadi kajian penting. Meskipun secara harfiah berarti tempat sujud, dalam konteks universal ayat ini, beberapa ulama memandang bahwa etika berpakaian yang baik ini seyogianya diterapkan pada setiap momen peribadatan, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun intensitas zīnah yang paling ditekankan adalah saat berinteraksi langsung dengan ritual suci.
Ilustrasi: Pentingnya Keindahan dan Kebersihan dalam Beribadah.
Perlu dicatat bahwa zīnah (perhiasan atau keindahan) dalam konteks Al-A’raf 31 tidak sama dengan kewajiban jilbab yang dibahas dalam surah lain (misalnya An-Nur atau Al-Ahzab). Zīnah dalam konteks ini adalah etika umum untuk berpakaian baik dan pantas, yang berlaku bagi laki-laki maupun perempuan saat ibadah. Bagi perempuan, tentu saja, ini harus sejalan dengan standar menutup aurat. Bagi laki-laki, ini menghindari ketelanjangan (seperti praktik tawaf pra-Islam) dan menghindari pakaian yang sangat kotor atau merusak pemandangan umum. Ayat ini menekankan bahwa spiritualitas dan estetika harus berjalan beriringan; ibadah haruslah sesuatu yang dipersembahkan dengan yang terbaik, bukan sisa-sisa atau yang terburuk.
Konsep khudzū (ambillah/pakailah) menunjukkan adanya upaya sadar dan proaktif dari hamba. Ini bukan sekadar memakai, tetapi mengambil sikap untuk berhias, menunjukkan bahwa persiapan fisik adalah bagian integral dari persiapan spiritual.
Setelah membahas etika penampilan dalam ranah ibadah, ayat ini beralih ke dimensi kehidupan sehari-hari yang paling mendasar: konsumsi. Perintah "makan dan minumlah" (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا) adalah izin ilahiah yang luas, mengesahkan bahwa menikmati rezeki Allah adalah tindakan yang diizinkan dan bahkan dianjurkan, asalkan dalam batas-batas yang ditetapkan. Ini adalah penolakan terhadap pemahaman yang keliru bahwa menjauhi makanan enak adalah tanda kesalehan.
Islam bukanlah agama yang menuntut umatnya untuk hidup menderita atau menjauhi kenikmatan duniawi yang baik (thayyibat). Justru sebaliknya, Al-Qur'an berulang kali mengundang manusia untuk menikmati apa yang telah diciptakan-Nya. Ayat ini secara eksplisit memberikan legalitas bagi konsumsi, melepaskan belenggu-belenggu larangan yang dibuat-buat oleh manusia tanpa dasar wahyu.
Namun, otoritas konsumsi ini segera diikuti oleh peringatan yang sangat penting, yang menjadi inti dari seluruh ayat: Walā tusrifū (وَلَا تُسْرِفُوا), yang berarti "dan janganlah berlebih-lebihan."
Pilar ketiga, larangan berlebih-lebihan atau israf, adalah poros di mana etika Al-A'raf 31 berputar. Israf secara harfiah berarti melampaui batas yang wajar atau proporsional. Dalam konteks ayat ini, israf memiliki makna yang sangat luas, melampaui sekadar makan dan minum, mencakup pemborosan, kezaliman, dan segala bentuk perilaku yang tidak proporsional.
Makna paling dekat dari israf dalam konteks ayat yang sama adalah berlebihan dalam hal makan dan minum. Ini dapat diwujudkan dalam beberapa cara:
Implikasi medis dari israf juga sangat penting. Sejak 14 abad yang lalu, Al-Qur'an telah memberikan pedoman hidup sehat. Berlebihan dalam asupan nutrisi adalah akar dari banyak penyakit kronis modern, termasuk obesitas, diabetes, dan penyakit jantung. Oleh karena itu, larangan israf adalah perlindungan bagi fisik manusia, menjadikannya perintah yang tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga higienis dan preventif.
Para ulama tafsir sepakat bahwa makna israf meluas hingga meliputi etika ekonomi. Israf dalam harta benda adalah penggunaan kekayaan secara tidak bijaksana, yaitu pengeluaran untuk hal-hal yang tidak penting, tidak bermanfaat, atau melampaui kebutuhan, meskipun harta tersebut diperoleh secara halal. Hal ini berbeda tipis namun signifikan dari tabdzīr (pemborosan total atau menghambur-hamburkan harta dengan sia-sia), meskipun keduanya sering tumpang tindih.
Sikap berlebihan (israf) menciptakan ketidakseimbangan sosial. Ketika sekelompok masyarakat hidup dalam kemewahan ekstrem, sementara yang lain hidup dalam kemiskinan, ketidakadilan ini melahirkan penyakit sosial. Islam mengajarkan bahwa kekayaan yang dimiliki seseorang adalah amanah dari Allah, dan pengelolaannya harus mencerminkan keadilan dan tanggung jawab sosial.
Meskipun sering disamakan, Ibnu Katsir dan mufassir lainnya membedakan keduanya. Israf adalah melewati batas dalam sesuatu yang pada dasarnya baik (misalnya, makan makanan enak, tetapi terlalu banyak). Sementara tabdzīr (disebut dalam QS. Al-Isra: 26-27) secara khusus merujuk pada menghabiskan harta secara sia-sia, atau membelanjakannya di jalan yang diharamkan. Orang yang melakukan israf mungkin membelanjakan hartanya untuk hal yang halal (misalnya pakaian yang terlalu banyak), tetapi ia melampaui batas kebutuhan. Keduanya dicela karena menunjukkan ketidakmampuan manusia mengelola sumber daya yang terbatas dengan bijak.
Cakupan israf tidak terbatas pada materi. Ia juga mencakup dimensi moral dan spiritual. Israf dalam sikap berarti melampaui batas dalam tindakan, seperti berlebihan dalam mencintai atau membenci, berlebihan dalam marah, atau berlebihan dalam canda, hingga mengabaikan tanggung jawab. Bahkan, dalam konteks akidah, Al-Qur'an menggunakan istilah israf untuk menggambarkan orang yang melampaui batas dalam dosa (QS. Az-Zumar: 53).
Dalam konteks modern, israf dapat diartikan sebagai "ekstremisme" atau "fanatisme". Berlebihan dalam beragama (ghuluw), misalnya, yang melahirkan rigiditas dan intoleransi, adalah bentuk israf yang sangat berbahaya, karena ia merusak esensi toleransi dan rahmat dalam Islam. Dengan demikian, ayat 31 Al-A'raf tidak hanya mengatur perut dan dompet, tetapi juga mentalitas.
Penutup ayat ini—إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan)—memberikan penekanan etika yang kuat. Ketidaksukaan Allah terhadap pelaku israf menunjukkan bahwa sikap berlebihan bukan hanya masalah pribadi, melainkan masalah moralitas yang berdampak pada hubungan hamba dengan Tuhannya.
Ketidaksukaan ini berakar pada kenyataan bahwa israf adalah antitesis dari sifat-sifat ilahiah yang menyukai keseimbangan (mizan) dan keadilan (adl). Orang yang berlebihan pada dasarnya telah keluar dari jalur fitrah yang seimbang yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Mereka cenderung egois, tidak menghargai nikmat, dan merusak tatanan yang harmonis.
Ilustrasi: Keseimbangan (Mizan) sebagai Inti dari Larangan Israf.
Kajian mendalam terhadap Al-A'raf 31 menunjukkan bahwa ayat ini adalah cetak biru untuk menciptakan masyarakat yang adil dan berkelanjutan. Jika setiap individu menerapkan prinsip moderasi, dampaknya akan terasa di seluruh struktur sosial dan ekonomi.
Dalam konteks ekonomi global, israf adalah penyebab utama dari ketimpangan. Ketika sumber daya, yang seharusnya dapat dibagikan, dihabiskan secara boros oleh minoritas, ini merusak distribusi kekayaan. Ayat ini berfungsi sebagai kritik terhadap kapitalisme yang tidak terkendali dan konsumerisme berlebihan. Prinsip walā tusrifū mewajibkan setiap Muslim untuk berpikir tidak hanya tentang kebutuhan diri sendiri, tetapi juga tentang kebutuhan orang lain dan generasi mendatang.
Filosofi ini melahirkan konsep qanā'ah (rasa cukup). Seseorang yang menerapkan larangan israf akan menemukan kedamaian dalam qanā'ah, yang membebaskannya dari perbudakan keinginan material yang tak terbatas. Sikap ini memungkinkan sumber daya dialihkan dari kemewahan pribadi menuju investasi sosial, seperti amal, pendidikan, dan bantuan bagi fakir miskin. Inilah hubungan erat antara etika pribadi (makan dan minum) dan kewajiban sosial (distribusi kekayaan).
Dalam era modern yang ditandai dengan krisis lingkungan, tafsir terhadap israf harus diperluas mencakup penggunaan sumber daya alam. Berlebihan dalam konsumsi energi, air, atau produksi sampah adalah bentuk israf terhadap bumi. Karena bumi adalah karunia Allah (ni'matullah), merusaknya melalui eksploitasi berlebihan adalah tindakan yang tidak disukai oleh-Nya. Ayat 31 Al-A'raf menjadi dasar teologis bagi gerakan keberlanjutan (sustainability) dalam Islam.
Mengambil air wudhu secara berlebihan, meskipun untuk ibadah, termasuk dalam kategori israf. Jika bahkan dalam ibadah pun kita dilarang boros, maka boros dalam kehidupan sehari-hari (membuang sisa makanan, menggunakan plastik berlebihan) jelas bertentangan dengan semangat ayat ini.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, penting untuk menelusuri bagaimana para ulama menafsirkannya sepanjang sejarah Islam, menunjukkan konsistensi makna moderasi namun perluasan aplikasinya sesuai konteks zaman.
Imam Ath-Thabari (W. 310 H): Dalam Jāmi' al-Bayān, Ath-Thabari banyak mengaitkan perintah zīnah dengan kisah tawaf yang telanjang (sebab nuzul). Ia menekankan bahwa perintah makan dan minum adalah pengecualian terhadap larangan yang dibuat-buat, dan larangan israf adalah batas utama. Baginya, israf secara utama adalah keburukan dalam konsumsi yang merusak kesehatan tubuh dan melanggar batasan syariat.
Ibnu Katsir (W. 774 H): Ibnu Katsir menukil hadis terkenal yang menekankan keseimbangan dalam makan: "Anak Adam tidak mengisi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap yang menegakkan tulang punggungnya. Jika harus, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafasnya." Ini menunjukkan penafsiran klasik yang kuat terhadap israf sebagai bahaya bagi fisik dan kesehatan.
Muhammad Abduh (W. 1905 M): Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, melihat ayat ini sebagai seruan rasionalitas dan peradaban. Dalam konteks kebangkitan umat Islam dari stagnasi, mereka menafsirkan zīnah sebagai simbol kemajuan dan kerapian umat, menolak klaim bahwa Islam menganjurkan kemunduran. Mereka juga memperluas israf ke pemborosan energi dan waktu, yang menghambat kemajuan umat.
Yusuf Al-Qaradawi: Dalam karya-karyanya tentang prioritas Fiqh, Al-Qaradawi menempatkan israf sebagai penyakit sosial dan ekonomi utama. Ia menekankan bahwa dalam dunia yang saling terhubung, israf oleh satu negara atau kelompok adalah bentuk kezaliman global, karena menggunakan sumber daya dunia secara tidak proporsional dan tidak bertanggung jawab.
Kesimpulan Tafsir: Meskipun cakupan aplikasinya meluas, inti dari ayat 31 Al-A'raf tetap konsisten: hidup harus dijalani dengan kesadaran penuh akan keseimbangan (tawassut). Keindahan (zīnah) diterima, kenikmatan (makan/minum) diizinkan, tetapi batas (israf) tidak boleh dilanggar.
Ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan ritual ibadah (memakai pakaian indah saat ke masjid) dengan perilaku duniawi (makan dan minum). Ini mengajarkan bahwa spiritualitas tidak terpisah dari realitas fisik; kesalehan harus terwujud dalam cara kita berpakaian, cara kita makan, dan cara kita berinteraksi dengan sumber daya.
Moderasi adalah konsep yang lebih positif daripada sekadar larangan israf. Tawassut (moderasi) adalah jalan tengah yang menjamin keberlangsungan hidup yang seimbang. Ia menolak dua ekstrem yang berbahaya:
Prinsip tawassut yang diajarkan dalam ayat 31 menciptakan individu yang berorientasi spiritual namun berfungsi penuh dan produktif di dunia, menikmati rezeki tanpa melupakan tanggung jawab moral dan sosial mereka.
Keterkaitan antara perintah zīnah dan larangan israf menunjukkan bahwa tubuh adalah "kendaraan" menuju Allah, dan harus dijaga. Menjaga tubuh dengan makanan yang baik dan tidak berlebihan adalah bagian dari ibadah. Di sisi lain, memakai pakaian yang baik menunjukkan apresiasi terhadap diri sendiri dan lingkungan. Kesatuan ini menegaskan pandangan holistik Islam terhadap manusia, di mana kesehatan fisik (melalui tidak israf) mendukung kesehatan spiritual (melalui ibadah dengan zīnah).
Oleh karena itu, jika seseorang berlebihan dalam makan dan minum (israf), ia akan mengalami kelemahan fisik dan mental yang pada akhirnya akan menghambatnya dalam melakukan ibadah dengan penuh keindahan (zīnah) dan kekhusyu'an. Sebaliknya, jika ia menjaga moderasi, ia akan memiliki energi yang cukup untuk beribadah dan berkontribusi kepada masyarakat.
Bagaimana ayat ini berbicara kepada generasi modern yang hidup dalam masyarakat yang didominasi oleh konsumerisme, media sosial, dan perubahan iklim?
Masyarakat saat ini didorong untuk membeli lebih banyak, makan lebih banyak, dan menampilkan lebih banyak. Iklan dan budaya pop mempromosikan israf sebagai norma, bukan pengecualian. Ayat 31 Al-A'raf menawarkan perlawanan teologis terhadap budaya ini. Ia meminta Muslim untuk menjadi konsumen yang sadar, yang mendasarkan keputusan pembelian pada kebutuhan dan kebermanfaatan, bukan pada dorongan hawa nafsu atau status sosial.
Penerapan praktisnya adalah dalam memilih gaya hidup minimalis atau sadar (conscious living), menolak mode cepat (fast fashion) yang mengeksploitasi pekerja dan lingkungan, serta memprioritaskan kualitas dan ketahanan daripada kuantitas barang.
Di era digital, sumber daya yang paling berharga seringkali adalah waktu dan perhatian. Israf kini meluas pada penggunaan media sosial yang berlebihan, konsumsi berita yang tak terbatas (disebut juga infobesity), atau menghabiskan waktu luang pada aktivitas yang sia-sia (laghwun).
Seseorang yang membiarkan dirinya tenggelam dalam lautan informasi dan hiburan yang tidak produktif sejatinya telah melakukan israf waktu, yang merupakan salah satu nikmat terbesar Allah. Moderasi dalam menggunakan teknologi, menerapkan puasa digital, dan memfokuskan perhatian pada tugas-tugas yang bermakna adalah aplikasi kontemporer dari prinsip walā tusrifū.
Prinsip zīnah (keindahan) juga berhadapan dengan budaya pamer (riya) di media sosial. Ayat ini mengajarkan bahwa zīnah yang paling utama adalah yang dilakukan saat menghadap Allah (di masjid/ibadah) atau dalam konteks yang pantas. Berlebihan dalam memamerkan kemewahan pribadi (pakaian, makanan, liburan) kepada publik dapat menjurus kepada israf sosial, menciptakan kecemburuan, dan mendorong orang lain untuk ikut-ikutan hidup berlebihan, padahal mereka tidak mampu.
Keseimbangan terletak pada menikmati nikmat Allah secara pribadi dan bersyukur, tanpa menjadikannya alat pamer yang merusak etika sosial dan memicu hasrat konsumtif yang tidak sehat di kalangan masyarakat.
Pengkajian mendalam terhadap Surah Al-A'raf ayat 31 sejatinya adalah sebuah perjalanan mencari titik tengah yang stabil dalam semua lini kehidupan. Ia adalah fondasi untuk membangun peradaban yang menghargai keindahan, kesehatan, dan keadilan, sekaligus menolak segala bentuk ekstremitas yang merusak individu, masyarakat, dan alam semesta.
Untuk menginternalisasi dan mengimplementasikan ayat ini secara utuh, kita dapat merangkumnya menjadi tujuh prinsip panduan yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:
Selalu prioritaskan kebersihan dan kerapian diri, terutama saat beribadah atau berinteraksi sosial. Ingatlah bahwa Allah itu indah dan menyukai keindahan, tetapi keindahan sejati tidak harus mahal, melainkan bersih dan pantas. Ini harus menjadi kebiasaan, bukan sekadar kewajiban ritualistik yang sesaat.
Menikmati makanan dan minuman halal adalah bagian dari rasa syukur. Jangan berlebihan dalam membatasi diri (asketisme yang tidak diajarkan) dan jangan pula melupakan bahwa setiap rezeki adalah karunia yang harus dihargai, bukan dibuang atau disia-siakan.
Terapkan disiplin diri dalam mengonsumsi makanan. Berhentilah sebelum kenyang, dan prioritaskan makanan bergizi daripada sekadar mencari kenikmatan lidah yang sesaat. Prinsip ini adalah pencegahan terbaik terhadap penyakit modern.
Bedakan secara tegas antara kebutuhan (hajat) dan keinginan (syahwat). Sebelum membeli atau membelanjakan harta, tanyakan apakah ini adalah pengeluaran yang produktif, bermanfaat, atau hanya sekadar pemenuhan keinginan berlebihan yang akan berakhir sia-sia. Jauhi utang konsumtif yang hanya didorong oleh status sosial.
Gunakan air, listrik, dan sumber daya alam lainnya dengan penuh kesadaran. Sadari bahwa setiap tetes air yang terbuang atau setiap energi yang dipakai berlebihan adalah hak bagi makhluk lain. Menjadi pro-lingkungan adalah manifestasi langsung dari larangan israf.
Jaga keseimbangan antara bekerja dan beristirahat, antara kesungguhan dan canda. Hindari israf dalam emosi seperti kemarahan atau kesedihan yang tak terkendali. Alokasikan waktu untuk hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah, keluarga, dan pekerjaan yang bermanfaat, serta hindari pemborosan waktu di dunia digital.
Hindari ekstremisme (ghuluw) dalam memahami dan menjalankan ajaran agama. Keseimbangan (tawassut) adalah inti dari pesan Islam yang universal. Bersikap adil dan proporsional dalam menghakimi orang lain, serta menjauhi praktik yang memberat-beratkan diri sendiri tanpa dasar syariat yang kuat.
Dengan menerapkan ketujuh prinsip ini, umat Muslim dapat mewujudkan visi Al-Qur'an tentang kehidupan yang seimbang, di mana duniawi dan ukhrawi terintegrasi dalam harmoni, menjadikan setiap tindakan—mulai dari memakai pakaian hingga suap makanan—sebagai ibadah yang diterima dan disenangi oleh Allah SWT.
Ayat mulia ini, yang sering diulang-ulang dalam konteks pembahasan etika, adalah ringkasan padat mengenai panduan hidup sukses di dunia dan akhirat. Ia adalah pengingat bahwa jalan menuju kesempurnaan bukanlah jalan kekurangan atau jalan kemewahan, melainkan Jalan Tengah yang selalu dijaga keseimbangannya.
Filosofi moderasi yang ditanamkan dalam Al-A'raf 31 adalah kunci untuk menghadapi kompleksitas zaman modern, menawarkan solusi etis terhadap masalah konsumerisme, ketimpangan, dan krisis ekologi. Dengan kembali kepada perintah untuk berhias, makan, minum, dan tidak berlebihan, umat manusia diarahkan pada kehidupan yang penuh martabat, sehat, dan bertanggung jawab.
Konsep israf dalam Surah Al-A'raf ayat 31 memerlukan peninjauan yang tidak hanya statis tetapi dinamis, terutama mengingat perubahan drastis dalam gaya hidup masyarakat global. Israf bukan sekadar membuang makanan, tetapi mencakup pemborosan potensial (waktu, bakat, kesempatan) dan energi. Kita hidup di era di mana produksi barang didorong oleh obsolescence terencana, di mana produk dirancang untuk gagal agar konsumen harus membeli pengganti, sebuah sistem yang secara fundamental mendorong israf. Partisipasi sadar dalam sistem ini tanpa kritik adalah bentuk israf kolektif. Ketika kita membeli pakaian yang hanya dipakai beberapa kali (fast fashion), kita melakukan israf sumber daya material, israf tenaga kerja, dan israf lingkungan. Kesadaran ini menuntut pemahaman Fiqh Prioritas, di mana menjaga lingkungan dan keadilan sosial harus diprioritaskan di atas pemenuhan keinginan material yang cepat berlalu.
Lebih jauh lagi, mari kita bahas israf dalam konteks kesehatan mental. Di tengah tekanan sosial dan kompetisi yang tinggi, banyak individu yang melakukan israf energi emosional. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial, yang mengakibatkan israf kedamaian batin (qana'ah). Keterikatan berlebihan pada hasil dan status, yang seringkali dipicu oleh keinginan untuk "memiliki lebih banyak" daripada yang dibutuhkan, adalah israf terhadap fokus spiritual. Larangan israf adalah undangan untuk fokus pada apa yang substansial dan abadi, daripada apa yang fana dan superficial.
Dalam bidang pendidikan, israf dapat terjadi ketika waktu dan sumber daya dihabiskan untuk pembelajaran yang tidak relevan atau yang tidak menghasilkan manfaat nyata bagi individu atau masyarakat. Pendidikan yang berbasis pada hafalan murni tanpa aplikasi praktis, atau yang mengabaikan pengembangan karakter, adalah israf potensi manusia. Konsep zīnah di sini dapat diperluas menjadi 'keindahan karakter' dan 'kemuliaan intelektual' yang harus dibawa ke dalam setiap pertemuan dan pembelajaran, bukan hanya saat memasuki masjid.
Hubungan antara israf dan utang juga sangat penting. Banyak rumah tangga yang terjerat dalam utang konsumtif karena melanggar prinsip walā tusrifū. Utang ini, yang digunakan untuk membiayai kemewahan yang tidak perlu, membatasi kebebasan finansial dan spiritual seseorang, dan dapat menghambat kemampuan mereka untuk menunaikan kewajiban zakat atau beramal. Dengan demikian, prinsip moderasi finansial adalah benteng pertahanan terhadap kehancuran ekonomi pribadi dan sosial.
Akhirnya, Al-A'raf 31 mengajarkan bahwa kehidupan yang seimbang adalah seni. Seni untuk menyeimbangkan hak Allah (ibadah yang indah), hak diri sendiri (konsumsi yang sehat), dan hak orang lain (tidak boros, sehingga sumber daya tersedia bagi semua). Ketika kita berhasil menguasai seni ini, kita mewujudkan tujuan utama dari diturunkannya ayat ini: mencapai keridhaan Allah dengan hidup secara bertanggung jawab dan proporsional di tengah kekayaan karunia-Nya.
Setiap detail kecil dalam hidup—mulai dari memilih pakaian di pagi hari, menentukan porsi makanan di siang hari, hingga cara kita mengelola waktu istirahat di malam hari—semuanya berada di bawah payung etika ilahiah Al-A'raf 31. Ayat ini bukan sekadar larangan, melainkan peta jalan menuju kemuliaan hidup yang terukur dan berprinsip. Ketidakmampuan untuk mengendalikan nafsu dan keinginan, yang menjadi ciri khas dari israf, adalah penyakit hati yang harus disembuhkan melalui dzikir, muhasabah, dan disiplin diri yang konsisten. Hanya dengan menumbuhkan budaya qana'ah dan tawassut, umat manusia dapat benar-benar menghormati mandat kekhalifahan di bumi ini.
Penting untuk menggarisbawahi dampak israf di tingkat pemerintahan dan kelembagaan. Ketika lembaga publik atau negara melakukan israf, baik dalam proyek yang tidak efisien, birokrasi yang berlebihan, atau pengeluaran yang tidak transparan, dampaknya adalah penderitaan massal dan hilangnya kepercayaan. Prinsip Al-A'raf 31 adalah mandat untuk tata kelola yang baik (good governance), menuntut akuntabilitas, efisiensi, dan penggunaan dana publik secara bijaksana, jauh dari segala bentuk pemborosan dan korupsi. Ini menunjukkan bahwa ayat ini relevan tidak hanya di dapur atau lemari pakaian, tetapi juga di ruang-ruang kekuasaan tertinggi.
Pengulangan dan penekanan pada konsep moderasi, walau terkadang terasa repetitif, justru menegaskan pentingnya menjadikannya sebagai insting kedua dalam pengambilan keputusan. Moderasi harus menjadi filter otomatis di pikiran, sebuah pertanyaan reflektif: "Apakah ini berlebihan? Apakah ini akan merugikan saya atau orang lain?" Sebelum konsumsi, sebelum pengeluaran, sebelum bicara, dan sebelum bertindak. Inilah makna terdalam dari menjalani hidup sesuai dengan fitrah yang seimbang, sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Keseimbangan ini adalah penanda umat yang unggul (ummatan wasathan), sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah, dan Al-A'raf 31 adalah salah satu ayat yang paling jelas menjelaskan bagaimana wasathiyah (jalan tengah) ini harus diwujudkan dalam praktik nyata. Dengan demikian, ayat ini berfungsi sebagai undang-undang moral universal yang mengatasi batasan waktu dan budaya.
Seluruh ayat ini dapat dilihat sebagai penyeimbang sempurna. Jika perintah zīnah berpotensi menjerumuskan manusia pada kesombongan dan pamer (karena mengejar keindahan), maka larangan israf segera menariknya kembali ke garis kesederhanaan dan ketawadhuan. Jika perintah makan dan minum berpotensi menjerumuskan pada hedonisme fisik, larangan israf segera mengingatkannya pada batas kesehatan dan tanggung jawab. Inilah keindahan struktur retorika Al-Qur'an; setiap izin diikuti dengan batasan, memastikan kebebasan selalu berpasangan dengan tanggung jawab. Oleh karena itu, Surah Al-A'raf Ayat 31 merupakan salah satu ajaran etika komprehensif yang paling kaya dan aplikatif dalam keseluruhan naskah suci Islam.