Dua ayat yang mulia dalam Surah Ali Imran, yaitu ayat 26 dan 27, berfungsi sebagai pondasi teologis yang menegaskan kedaulatan (Mulk) Allah SWT yang absolut, tak terbatas, dan tak tertandingi. Ayat ini adalah manifestasi langsung dari tauhid rububiyyah dan asma’ul husna, menjadikannya salah satu doa paling kuat yang pernah diajarkan.
Untuk memahami kedalaman spiritual dan filosofis dari ayat-ayat ini, kita perlu merenungkan lafaz aslinya serta terjemahan harfiahnya:
Kekuatan ayat ini terletak pada pilihan kata-kata (lafaz) yang sangat tepat, di mana setiap frasa membawa beban makna teologis yang luar biasa.
Frasa ini adalah titik awal deklarasi. Kata Al-Mulk tidak sekadar merujuk pada kerajaan di bumi, tetapi meliputi segala jenis kedaulatan, baik di langit maupun di bumi, fisik maupun metafisik. Allah adalah Mālik (Pemilik Sejati), yang menunjukkan kepemilikan abadi dan mutlak, berbeda dengan raja manusia (malik) yang kekuasaannya bersifat sementara dan pinjaman. Penyebutan ini menekankan bahwa setiap kekuasaan yang dimiliki makhluk hanyalah emanasi (pancaran) dari Mulk Ilahi.
Penggunaan kata kerja Tu’tī (memberi) dan Tanzi’u (mencabut) menunjukkan tindakan yang aktif, berkesinambungan, dan berada di bawah kontrol kehendak (masyi’ah) Allah. Kekuasaan, baik itu berupa otoritas politik, pengaruh sosial, atau kekayaan ekonomi, bukanlah hasil dari usaha semata, tetapi anugerah. Ketika kekuasaan itu dicabut, ini juga merupakan keputusan Ilahi, seringkali sebagai hukuman atau ujian. Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa ini adalah jawaban langsung bagi mereka yang menyangka bahwa kekuasaan didapatkan melalui kekuatan militer atau tipu daya politik; ayat ini mengajarkan bahwa kekuatan sesungguhnya di belakang tirai adalah Kehendak Yang Maha Agung.
Konsep ‘Izzah (kemuliaan) dan Ḏull (kehinaan) melampaui status politik. Kemuliaan sejati adalah kedekatan dengan Allah, martabat spiritual, dan kehormatan di mata manusia yang beriman. Kehinaan adalah kebalikannya—jarak dari kebenaran dan rasa rendah diri yang abadi. Allah mampu mengangkat seorang hamba dari kehinaan total ke puncak kemuliaan, dan sebaliknya, menjatuhkan penguasa yang sombong ke lembah kehinaan, bahkan jika ia masih memegang tahta fisik. Ini adalah keseimbangan moral kosmik yang hanya dikendalikan oleh Tuhan.
Frasa yang sangat singkat namun mengandung makna universal. Mengapa hanya kebaikan (Khair) yang disebutkan ada di tangan-Nya, padahal kehinaan dan pencabutan kekuasaan juga berasal dari-Nya? Para mufassir menjelaskan bahwa keburukan (syarr) dinisbatkan kepada Allah hanya dari sudut pandang penciptaan mutlak. Namun, dari sudut pandang hikmah dan tujuan, semua yang Allah lakukan pada akhirnya adalah Khair (kebaikan) bagi hamba-Nya. Bahkan musibah dan pencabutan kekuasaan mengandung kebaikan tersembunyi (hikmah) yang hanya diketahui oleh-Nya. Oleh karena itu, hanya Kebaikan murni yang layak dinisbatkan secara langsung kepada Dzat-Nya.
Ayat 27 beralih dari kekuasaan politik ke kekuasaan kosmik dan biologis. Tindakan memasukkan malam ke dalam siang dan siang ke dalam malam merujuk pada perubahan waktu, musim, dan durasi siang-malam secara bertahap (evolusi waktu). Ini adalah bukti nyata bahwa Allah mengendalikan hukum alam secara dinamis dan presisi, bukan hanya di level makro kosmos, tetapi hingga detik-detik terkecil pergantian waktu. Ini melambangkan transisi yang halus namun pasti dalam kehidupan manusia: dari kesenangan menuju kesulitan, dari terang menuju gelap, dan kembali lagi.
Ini adalah manifestasi dari kekuasaan penciptaan (khalq) yang tak terbatas. Tafsir umumnya mencakup:
Rezeki (Rizq) di sini tidak hanya berarti materi, tetapi juga meliputi petunjuk, kesehatan, dan ketenangan jiwa. Frasa "bi gairi hisāb" (tanpa perhitungan) menunjukkan bahwa anugerah Allah tidak terbatas oleh sebab-akibat manusia atau perhitungan logistik. Dia memberi tanpa perlu persediaan-Nya berkurang dan tanpa ada yang dapat membatasi karunia-Nya.
Ayat 26 dan 27 dari Surah Ali Imran bukan sekadar deskripsi, melainkan deklarasi teologis tentang sifat-sifat Allah yang melingkupi segala aspek eksistensi. Tafsir tematik membantu kita mengaitkan ayat ini dengan konsep-konsep inti Islam.
Ayat ini adalah puncak dari penegasan Tauhid Rububiyyah, keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta. Setiap frasa—memberi kekuasaan, mencabut kekuasaan, memuliakan, menghinakan, mengatur siang dan malam, hingga memberi rezeki—menunjukkan bahwa tidak ada satu pun kekuatan lain yang berbagi hak istimewa ini. Kekuasaan adalah atribut esensial (sifat dzatiyyah) Allah, dan Dia tidak memerlukan bantuan atau mitra dalam menjalankan kekuasaan-Nya. Al-Ghazali menekankan bahwa mengakui Mulk Allah secara total menghilangkan rasa ketergantungan pada otoritas duniawi.
Dua ayat ini merangkum banyak nama indah Allah:
Penghayatan terhadap ayat ini memaksa seorang Muslim untuk berinteraksi dengan dunia melalui filter sifat-sifat Tuhan ini, memahami bahwa setiap hasil, baik positif maupun negatif, adalah manifestasi dari nama-nama tersebut yang bekerja dalam harmoni sempurna.
Ayat 26 dan 27 adalah pilar pemahaman tentang takdir. Pemberian dan pencabutan kekuasaan serta rezeki adalah bagian dari Qada’ Ilahi—keputusan yang telah ditetapkan secara mendasar. Sementara itu, ‘Izzah dan Ḏull (kemuliaan dan kehinaan) seringkali merupakan respons terhadap upaya dan pilihan (ikhtiyar) manusia, namun keputusan akhirnya tetap di tangan Allah. Ayat ini mengajarkan bahwa takdir tidak berarti fatalisme pasif; sebaliknya, takdir berarti tawakkal setelah usaha, karena hasil akhirnya—apakah kekuasaan itu bertahan atau tidak—adalah hak prerogatif Tuhan semata.
Meskipun ayat ini memiliki makna universal yang abadi, para ulama tafsir klasik sering mengaitkannya dengan peristiwa spesifik yang terjadi di masa Nabi Muhammad SAW, memberikan lapisan makna yang lebih kaya.
Konteks utama Surah Ali Imran adalah dialog dengan kaum Nasrani Najran, serta penguatan mental umat Islam di Madinah setelah kekalahan di Perang Uhud. Pada masa itu, umat Islam adalah minoritas yang terancam. Ketika ayat ini diturunkan, umat Islam sedang berada dalam posisi lemah, baik secara politik maupun militer, menghadapi kekuatan besar Romawi (Timur) dan Persia (Barat), serta ancaman internal dari suku-suku Arab yang tidak bersahabat.
Ayat 26 datang sebagai respons dan penguat iman. Ketika Nabi Muhammad SAW berdoa agar kekuasaan Romawi dan Persia jatuh ke tangan umatnya, ayat ini turun, mengajarkan doa spesifik tentang kekuasaan: "Qulil-lāhumma mālīkal-mulk...". Ini adalah janji bahwa meskipun saat ini umat Muslim lemah, kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah. Allah, kapan saja Dia kehendaki, dapat mencabut kerajaan terbesar dan memberikannya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, meskipun mereka berada di padang pasir yang tandus.
Banyak mufassir, termasuk Ibnu Katsir, menyebutkan bahwa ayat ini secara khusus diturunkan sebagai penghiburan bagi Nabi dan umatnya, menjanjikan kemenangan atas kekaisaran duniawi saat itu. Mujahid, salah satu tabi'in terkemuka, menafsirkan bahwa ayat ini adalah instruksi agar umat Muslim berdoa memohon kekuasaan dan kedaulatan, yang pada akhirnya terwujud melalui penaklukan Mekah dan ekspansi Kekhalifahan di masa-masa berikutnya, menaklukkan Persia dan sebagian besar wilayah Romawi.
Oleh karena itu, ayat ini adalah manifestasi dari visi jangka panjang (vision) kenabian—bahwa kesulitan saat ini tidaklah permanen, dan bahwa kendali atas masa depan duniawi dan akhirat dipegang oleh Dzat yang kekuasaan-Nya tidak pernah usang.
Sebagai ayat yang sering dibaca dalam doa dan dzikir, Ali Imran 26-27 memberikan kerangka kerja spiritual yang mendalam bagi kehidupan seorang mukmin, terutama dalam menghadapi dinamika kekuasaan dan nasib pribadi.
Ayat ini adalah peringatan keras bagi para pemimpin dan mereka yang memegang jabatan. Jika kekuasaan berasal dari Allah (Tu’tīl-Mulk), maka ia harus digunakan sesuai kehendak-Nya. Seorang pemimpin Muslim tidak boleh sombong atau sewenang-wenang, karena kekuasaan itu pinjaman yang dapat ditarik kapan saja (Wa Tanzi’ul-Mulk). Ketakutan akan pencabutan Mulk harus menjadi motivasi untuk bersikap adil dan merendahkan diri. Kebaikan sejati (Khair) yang berada di Tangan-Nya hanya akan diberikan kepada mereka yang menjalankan amanah kekuasaan dengan benar.
Bagi individu yang merasa lemah, miskin, atau terhina (mudhāl), ayat ini menawarkan harapan abadi. Kehinaan di dunia ini tidaklah final, sebab Allah yang memiliki kendali untuk memuliakan (Tu’izzu man tasyā’). Tawakkal yang benar berarti memahami bahwa perjuangan manusia hanyalah sebab (asbāb), sedangkan hasil dari perjuangan itu sepenuhnya milik Allah. Jika seseorang gigih dalam kebaikan dan takwa, Allah memiliki kuasa penuh untuk mengubah nasibnya secara tiba-tiba dan tanpa perhitungan (bi gairi hisāb).
Ayat 27 mengundang manusia untuk merenungkan keajaiban alam (ayat-ayat kauniyah) sebagai bukti kedaulatan Ilahi. Perubahan siang dan malam, kelahiran dan kematian, adalah siklus tak terhindarkan yang mencerminkan kekuasaan Allah yang lebih besar daripada persoalan politik manusia. Merenungkan hal ini membantu menenangkan jiwa dari kekhawatiran duniawi. Ketika kita menyaksikan bagaimana Allah dengan mudahnya mengubah malam yang gelap menjadi siang yang terang, kita diyakinkan bahwa Dia juga dengan mudahnya dapat mengubah kesulitan kita menjadi kelapangan.
Ayat 26 sering digunakan sebagai doa (dua) karena susunannya yang sempurna. Ia dimulai dengan pengakuan tauhid ("Qulil-lāhumma mālīkal-mulk") dan diakhiri dengan penegasan kekuasaan ("Innaka ‘alā kulli shay’in qadīr"). Doa ini adalah pengakuan total atas kelemahan diri dan kekuasaan mutlak Allah, sehingga menjadikannya doa yang sangat mustajab, terutama saat memohon perubahan nasib, rezeki, atau kekuasaan yang adil.
Kajian atas Ali Imran 26-27 telah menjadi subjek diskusi para mufassirin selama berabad-abad, masing-masing menambahkan kedalaman teologis dan hikmah yang unik.
Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb (At-Tafsir al-Kabir) memberikan perhatian besar pada aspek rasional dan filosofis ayat ini. Ar-Razi menyoroti mengapa Allah menggabungkan Mulk (kekuasaan) dengan ‘Izzah (kemuliaan) dan Ḏull (kehinaan). Ia berargumen bahwa Mulk adalah kekuasaan lahiriah (otoritas), sedangkan ‘Izzah adalah kekuasaan batiniah (martabat). Allah menunjukkan bahwa Dia mengendalikan keduanya. Seseorang mungkin memiliki kekuasaan fisik (Mulk), tetapi jika Allah berkehendak, ia bisa menjadi hina (mudhāl) di mata publik atau di hati para pengikutnya. Ini menunjukkan bahwa otoritas sejati harus disertai dengan kemuliaan spiritual yang diberikan oleh Allah.
Imam Al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menekankan bahwa ayat ini adalah bantahan terhadap ideologi yang membatasi kekuasaan Tuhan. Ayat ini menolak klaim semua kelompok yang merasa berhak secara eksklusif atas kekuasaan atau rezeki. Frasa "man tasyā’u" (siapa pun yang Engkau kehendaki) adalah penegasan atas kebebasan mutlak Allah. Dia tidak terikat oleh tradisi, garis keturunan, status sosial, atau bahkan standar keimanan yang sempit (karena Dia memberikan kekuasaan kepada hamba-Nya yang beriman maupun yang tidak, sebagai ujian).
Dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Imam At-Tabari berfokus pada sisi praktis ayat ini, yaitu sebagai doa. At-Tabari menempatkan ayat ini dalam konteks dialog Nabi Muhammad SAW dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang meremehkan kenabiannya dan merasa eksklusif memiliki wahyu dan kekuasaan. Doa ini adalah deklarasi: Wahai Allah, jika mereka mengklaim kekuasaan adalah warisan mereka, kami mengakui bahwa Engkaulah pemilik Mulk, dan Engkau dapat memberikannya kepada siapa saja, termasuk kami.
Dalam konteks modern, Sayyid Qutb menafsirkan ayat ini sebagai seruan untuk jihad melawan otoritas manusia yang mengklaim kedaulatan (hak tasyri’/pembuatan hukum). Menurut Qutb, jika Mulk hanya milik Allah, maka pemerintahan yang sah adalah yang menjadikan syariat Allah sebagai hukum tertinggi. Ayat ini memberikan dorongan bagi umat Islam untuk mengubah realitas sosial dan politik agar sesuai dengan kedaulatan Ilahi, meskipun memerlukan pengorbanan dan perjuangan berat.
Frasa ini di akhir ayat 27 adalah kunci untuk memahami keluasan rezeki Ilahi. Biasanya, dalam ekonomi manusia, setiap pengeluaran memerlukan perhitungan. Namun, Allah memberi rezeki tanpa perhitungan dalam beberapa dimensi:
Pentingnya frasa ini terletak pada penghilangan rasa putus asa. Bagi orang yang merasa telah berusaha keras namun rezeki tak kunjung datang, ayat ini mengingatkan bahwa rezeki yang paling besar seringkali datang dari arah yang tidak terduga (min haitsu lā yaḥtasib), karena ia di luar perhitungan manusia.
Penutup ayat 26 adalah rangkuman dari semua atribut yang telah disebutkan. Setelah merinci kekuasaan atas Mulk, kemuliaan, kehinaan, dan kebaikan, Allah menyimpulkannya dengan sifat Qadīr. Ini memberikan kekuatan pada janji dan ancaman sebelumnya. Jika Dia mampu melakukan semua hal yang disebutkan (memberi dan mencabut kerajaan), maka kekuasaan-Nya (Qudrah) bersifat total dan meliputi segala sesuatu.
Sifat Qadīr menegaskan bahwa tidak ada hal mustahil bagi Allah. Ketika manusia dihadapkan pada masalah yang terlihat tidak dapat diselesaikan—kemiskinan yang kronis, penyakit mematikan, atau penindasan yang berkepanjangan—ingatan akan sifat Qadīr ini memulihkan keyakinan bahwa satu-satunya batas adalah Kehendak Ilahi itu sendiri.
Ayat 27 adalah masterpice deskripsi tentang kontras: Malam vs Siang, Hidup vs Mati. Kontras ini adalah pelajaran abadi tentang dinamika eksistensi.
Pergantian malam dan siang (Tūlijul-layla fin-nahār) adalah metafora utama bagi perubahan kondisi. Malam melambangkan ketenangan, istirahat, rahasia, dan terkadang musibah atau kesulitan. Siang melambangkan aktivitas, mencari rezeki, keterbukaan, dan kemudahan. Proses Tūlij (memasukkan secara perlahan) menunjukkan bahwa perubahan dari satu kondisi ke kondisi lain terjadi dengan hikmah dan bukan secara tiba-tiba yang merusak.
Secara spiritual, ini mengajarkan bahwa fase kesulitan (malam) akan selalu diikuti oleh fase kemudahan (siang). Begitu juga sebaliknya. Seorang mukmin tidak boleh terlalu bersedih saat malam tiba, karena ia tahu bahwa Allah sedang mempersiapkan terbitnya fajar. Ini adalah pelajaran kesabaran dan optimisme (husnuẓ-ẓann billah).
Konsep mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan sebaliknya (spiritual dan fisik) mengandung makna mendasar tentang kebangkitan (ba'ats) dan kekuatan Ilahi untuk menciptakan dari ketiadaan atau dari hal yang tampaknya tidak berpotensi. Imam Al-Ghazali melihat frasa ini sebagai bukti kemampuan Allah untuk menumbuhkan ilmu (pengetahuan yang hidup) dari kebodohan (mati), dan iman dari kekafiran.
Ketika seseorang merasa kondisi hatinya "mati" karena dosa atau kemalasan, ayat ini mengingatkannya bahwa Allah, yang mampu menghidupkan bumi yang gersang, juga mampu menghidupkan kembali hati yang mati dengan cahaya hidayah, jika hamba tersebut berusaha mencari-Nya.
Ayat 26 dan 27 dari Surah Ali Imran, jika diintegrasikan, membentuk sebuah deklarasi kekuasaan total yang beroperasi pada tiga tingkatan yang saling terkait dan mendukung:
Keseimbangan antara ketiga tingkatan ini adalah pesan utama: Kekuasaan politik yang dimiliki manusia (Mulk) hanyalah refleksi kecil dari kekuasaan kosmik dan ekonomi Allah. Seseorang yang mengejar kekuasaan duniawi tanpa mengakui kedaulatan Tuhan atas siang dan malam, serta rezeki tanpa batas, akan mudah jatuh ke dalam kesombongan dan kezaliman.
Penutup ayat 26, "Biyadikal-khair", memastikan bahwa semua manifestasi kekuasaan di tiga tingkatan tersebut diarahkan pada kebaikan universal, meskipun prosesnya mungkin menyakitkan atau sulit dipahami oleh akal pendek manusia. Tidak ada kekuasaan, waktu, atau rezeki yang diberikan tanpa hikmah yang mendalam dan berujung pada kebaikan hakiki bagi semesta.
Bagi jiwa yang mencari ketenangan, dua ayat ini menawarkan stabilitas mutlak. Kekhawatiran terbesar manusia adalah ketidakpastian masa depan, hilangnya kekuasaan, atau kekurangan rezeki. Ali Imran 26-27 secara efektif menghilangkan kekhawatiran ini dengan memindahkannya dari tangan manusia yang lemah ke Tangan Allah yang Mahakuasa. Rasa aman spiritual didapatkan bukan dari kepastian material, melainkan dari kepastian Kedaulatan Ilahi.
Saat seorang Muslim menghadapi ketidakadilan politik, kehinaan sosial, atau kesulitan ekonomi, ia cukup kembali pada deklarasi ini: Qulil-lāhumma mālīkal-mulk..., Engkau Pemiliknya. Dan karena Engkau pemiliknya, Engkau pasti akan mengatur segalanya dengan penuh keadilan dan hikmah. Inilah inti dari keyakinan yang mendalam dan kokoh.
Deklarasi ini harus menginspirasi umat untuk tidak pernah berhenti berharap dan bekerja keras. Jika rezeki diberikan tanpa perhitungan, mengapa harus membatasi cita-cita? Jika kehinaan dapat diubah menjadi kemuliaan, mengapa harus menyerah pada keadaan? Kedua ayat ini adalah sumber energi spiritual, mendorong mukmin untuk bergerak maju dengan keyakinan penuh pada janji dan kekuasaan Yang Maha Mengatur segala urusan, dari tahta tertinggi hingga detak jantung terkecil.
Oleh karena itu, Surah Ali Imran ayat 26 dan 27 adalah lebih dari sekadar ayat; ia adalah konstitusi spiritual bagi setiap hamba yang memahami bahwa di alam semesta yang luas ini, hanya ada satu penguasa sejati, dan segala sesuatu yang lain hanyalah bayangan sementara dari Mulk-Nya yang abadi.
Pemahaman mendalam tentang konsep Mulk dalam kedua ayat ini melahirkan kesimpulan bahwa otoritas tertinggi dalam alam semesta ini, dalam segala aspeknya, tidak pernah terbagi. Konsep kedaulatan ini menembus lapisan-lapisan kekuasaan fisik, menelusuri hukum-hukum alam yang paling stabil, dan bahkan mengendalikan dimensi rezeki yang paling personal. Tidak ada celah di mana kekuasaan lain dapat menyusup tanpa izin-Nya. Jika manusia menganggap dirinya penguasa, itu hanya fatamorgana yang diizinkan untuk sementara waktu, semata-mata sebagai arena ujian.
Dalam konteks akhir zaman, di mana kekuasaan seringkali menjadi tujuan utama dan disembah, ayat ini berfungsi sebagai alarm rohani. Ia memanggil manusia kembali kepada realitas bahwa kekuasaan, uang, dan status hanyalah alat yang diberikan dan diambil dalam siklus yang tak terhindarkan. Mereka yang mengumpulkan kekuasaan duniawi harus ingat bahwa hari ketika kekuasaan itu dicabut (tanzi’ul-mulka) dapat datang secepat pergantian malam menjadi siang. Sebaliknya, mereka yang tertindas harus yakin bahwa kehinaan mereka hanyalah sementara, karena Allah memiliki kekuatan untuk memuliakan mereka saat mereka berpegang teguh pada tali-Nya.
Maka, hikmah tertinggi yang dapat dipetik dari dua ayat ini adalah pelajaran tentang keseimbangan sempurna antara kerendahan hati (tawadhu') dalam kekuasaan, kesabaran (shabr) dalam kesulitan, dan optimisme (raja') dalam menghadapi takdir. Seluruh kebaikan (al-khair) berada di tangan-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.