Berpegang Teguh pada Tali Allah: Telaah Mendalam QS. Ali Imran 103

Mukadimah: Seruan Universal Persatuan

Dalam khazanah ajaran Islam, Surah Ali Imran memegang peranan krusial, khususnya dalam penekanan pada prinsip-prinsip aqidah yang kokoh dan akhlak sosial yang harmonis. Di antara mutiara-mutiara petunjuk di dalamnya, terdapat satu ayat yang menjadi pondasi utama bagi eksistensi dan kekuatan umat, yaitu ayat 103. Ayat ini bukan sekadar perintah temporer, melainkan sebuah cetak biru abadi bagi persatuan, solidaritas, dan pencegahan dari jurang perpecahan yang menghancurkan.

Konteks turunnya ayat ini, yang akan kita bahas lebih mendalam, merangkum pengalaman historis yang pahit sekaligus penyembuhan ilahi yang sempurna. Ayat ini mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada jumlah atau harta, tetapi pada kesatuan hati dan konsistensi dalam memegang teguh sumber kebenaran yang sama. Ia menuntut suatu komitmen total untuk melepaskan segala bentuk permusuhan dan menyambut erat ikatan persaudaraan yang diikat oleh tali Allah.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah karunia Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara; padahal kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103)

Asbabun Nuzul: Pengingat Nikmat Persaudaraan

Untuk memahami kedalaman perintah yang terkandung dalam ayat 103, kita harus menyelami konteks historisnya. Ayat ini turun di Madinah, menargetkan komunitas Muslim awal yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, namun secara spesifik merujuk pada sejarah kelam dua suku besar Anshar, yaitu Aus dan Khazraj.

Permusuhan Klasik Aus dan Khazraj

Sebelum kedatangan Nabi Muhammad ﷺ dan ajaran Islam, suku Aus dan Khazraj adalah musuh bebuyutan di Madinah (saat itu bernama Yatsrib). Konflik di antara mereka telah berlangsung selama puluhan tahun, bahkan melampaui generasi. Peperangan Bua'ts adalah salah satu puncak perseteruan brutal yang memakan korban jiwa tak terhitung dari kedua belah pihak. Kebencian, dendam kesumat, dan tradisi membalas telah mengakar kuat dalam struktur sosial mereka. Mereka hidup dalam ketakutan abadi, nyaris di ambang kehancuran total akibat internal conflict yang tiada akhir.

Intervensi Ilahi dan Penyembuhan

Ketika Islam datang, ia membawa konsep *ukhuwah imaniyah* (persaudaraan iman) yang melampaui ikatan darah atau suku. Islam berhasil menyatukan dua suku yang paling bermusuhan di Jazirah Arab ini, mengubah permusuhan yang mendalam menjadi cinta yang tulus dan pengorbanan yang heroik. Ayat 103 mengingatkan mereka secara eksplisit: "Ingatlah karunia Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara."

Inilah inti dari mukjizat sosial Islam. Perintah untuk "berpegang teguh" dan "jangan bercerai berai" datang sebagai penjaga atas nikmat persatuan ini. Ayat tersebut berfungsi sebagai peringatan bahwa perpecahan adalah kondisi jahiliyah yang lama, dan persatuan adalah karunia surgawi yang harus dijaga dengan segenar tenaga. Allah menggunakan narasi sejarah mereka yang pedih untuk memperkuat alasan teologis di balik perintah persatuan.

Simbol persaudaraan yang menguatkan Dua figur yang saling bergandengan, melambangkan Aus dan Khazraj yang bersatu karena iman. الإخاء

Alt Text: Simbol persaudaraan yang menguatkan, menggambarkan hati yang dipersatukan oleh tali Allah.

Tafsir Mendalam Ayat 103: Pilar-Pilar Persatuan

Ayat ini terbagi menjadi tiga komponen utama yang saling terkait:

  1. Perintah fundamental untuk bersatu (I'tishamu bihablillahi jami'an).
  2. Larangan keras terhadap perpecahan (Wala tafarroqu).
  3. Pengingat akan bahaya masa lalu dan karunia penyelamatan (Wadzkurow ni'matallah).

1. I'tashimu bihablillahi Jami'an (Berpegang Teguh pada Tali Allah)

Kata kunci di sini adalah *I'tashimu* (berpegang teguh/memeluk erat), menunjukkan tindakan aktif yang membutuhkan kekuatan, kesadaran, dan kesungguhan. Ini bukan sekadar memegang, melainkan bergantung sepenuhnya pada sesuatu. Apa yang harus dipegang?

Definisi 'Habli' (Tali Allah)

Para mufassir memberikan interpretasi yang kaya terhadap 'Tali Allah' (*Habli Allah*):

Frasa *Jami'an* (secara keseluruhan/bersama-sama) menegaskan bahwa perintah ini berlaku untuk seluruh umat, tanpa pengecualian. Persatuan sejati tidak dapat dicapai jika ada sekelompok kecil yang memilih melepaskan pegangan atau menciptakan tali baru yang berbeda dari tali utama yang diulurkan Allah.

2. Wala Tafarroqu (Dan Janganlah Bercerai Berai)

Larangan ini datang segera setelah perintah bersatu, menunjukkan betapa seriusnya perpecahan. Jika perintah bersatu bersifat positif (membangun), larangan bercerai berai bersifat preventif (menghindari kehancuran). Perpecahan adalah penyakit yang mengikis kekuatan umat dari dalam.

Bentuk-bentuk Perpecahan yang Dilarang

Perpecahan (At-Tafarruq) tidak hanya terbatas pada konflik fisik. Para ulama menekankan bahwa ia mencakup:

A. Perpecahan Aqidah dan Prinsip: Ini adalah perpecahan paling berbahaya. Ketika prinsip-prinsip dasar iman dikorbankan demi kepentingan kelompok atau ketika muncul interpretasi sesat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, maka umat akan terpecah menjadi sekte-sekte yang saling menyalahkan.

B. Perpecahan Politik dan Kepemimpinan: Menciptakan faksi-faksi yang saling bersaing untuk kekuasaan tanpa dasar syar'i, yang akhirnya melemahkan otoritas dan stabilitas sosial. Sejarah Islam penuh dengan pelajaran pahit dari perpecahan politik yang dimulai dari perbedaan pandangan kecil.

C. Perpecahan Sosial dan Emosional: Munculnya kebencian, iri hati, dan hilangnya rasa kasih sayang di antara sesama Muslim. Ini adalah perpecahan hati, yang pada akhirnya akan mewujud menjadi konflik terbuka.

Ayat ini mengajarkan bahwa perpecahan adalah konsekuensi alami dari melepaskan Tali Allah. Begitu pegangan kendur, maka setiap individu atau kelompok akan menciptakan tali kebenarannya sendiri, yang pasti akan mengarah pada fragmentasi.

3. Ni'matullah: Refleksi Kasih Sayang Ilahi

Bagian ketiga ayat ini mengandung unsur refleksi yang sangat kuat. Allah tidak hanya memerintah, tetapi juga memberikan alasan yang mengikat emosi dan sejarah umat.

Pengingat akan keadaan "ketika kamu dahulu bermusuhan" (seperti Aus dan Khazraj) dan bagaimana Allah "mempersatukan hatimu" melalui karunia Islam, adalah bukti bahwa persatuan bukanlah hasil dari strategi manusia semata, melainkan anugerah yang harus disyukuri dan dijaga.

Di Tepi Jurang Neraka

Frasa, "padahal kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana," memiliki dua makna:

Makna Duniawi: Kondisi sosial yang dipenuhi peperangan dan permusuhan tak berkesudahan adalah kehidupan yang mendekati kehancuran total, seperti berada di tepi jurang api yang siap menelan mereka.

Makna Ukhrawi: Perpecahan dan kekafiran adalah jalan menuju siksa neraka. Islam membawa mereka ke jalan keselamatan, dan persatuan adalah syarat untuk tetap berada di jalan tersebut.

Implikasi Teologis Tali Allah (Habli Llah)

Perintah untuk berpegang pada Tali Allah adalah inti dari doktrin *al-Jama'ah*. Konsep ini memiliki resonansi yang mendalam dalam teologi Islam. Jika Hablullah adalah Al-Quran, maka konsensus dalam memahami dan menerapkan Al-Quran menjadi keharusan. Jika Hablullah adalah Islam, maka tidak ada alternatif ideologi lain yang dapat diterima sebagai dasar persatuan.

Kebutuhan Kontinu akan Pegangan

I'tishamu adalah kata kerja dalam bentuk perintah, menunjukkan bahwa memegang tali ini bukanlah tindakan sekali waktu, melainkan proses yang berkelanjutan, sebuah perjuangan (jihad) yang harus dipertahankan setiap saat. Godaan untuk berpisah muncul dalam setiap fase sejarah, baik melalui perbedaan pendapat fikih yang meluas menjadi konflik politik, maupun perbedaan etnis yang dikapitalisasi menjadi permusuhan sengit.

Pegangan yang dimaksud haruslah kokoh. Tali yang diulurkan Allah adalah tali yang kuat, tidak akan putus (seperti disebutkan dalam ayat lain, *Al-Urwatul Wutsqa*). Kelemahan tidak ada pada tali, melainkan pada tangan yang memegangnya. Jika umat Islam menemukan diri mereka terpecah, itu adalah indikasi kegagalan kolektif dalam menjaga kekuatan pegangan mereka pada sumber kebenaran tunggal.

Tangan memegang erat Tali Allah Simbol dua tangan yang memegang erat tali tebal yang melambangkan Al-Quran dan Sunnah. حبل الله

Alt Text: Tangan-tangan yang berpegangan pada Hablullah (Tali Allah) yang melambangkan Al-Qur'an dan Sunnah.

Prinsip Ukhuwah Imaniayah sebagai Fondasi Sosial

Ukhuwah imaniyah (persaudaraan atas dasar iman) adalah realisasi praktis dari ayat 103. Ayat ini mendefinisikan persaudaraan bukan sebagai pilihan, melainkan sebagai status yang diberikan oleh Allah (*fa asbahtum bi ni'matihi ikhwana*). Menjadi saudara adalah hasil dari nikmat Allah, bukan semata-mata usaha sosial manusia.

Jika kita menerima bahwa persaudaraan adalah nikmat, maka melanggarnya, melalui perpecahan dan permusuhan, adalah perbuatan kufur nikmat yang serius. Dalam pandangan Islam, keretakan persaudaraan adalah luka pada tubuh umat yang harus segera diobati, sebab ia merusak tatanan yang telah dibangun oleh wahyu ilahi.

Ancaman dan Konsekuensi Perpecahan (Tafaruq)

Allah secara tegas melarang perpecahan dalam ayat ini, dan larangan ini diperkuat oleh banyak ayat dan hadis lain. Perpecahan tidak hanya merusak persatuan, tetapi juga membawa konsekuensi spiritual dan duniawi yang luas.

Kerugian Duniawi: Kehancuran Kekuatan

Perpecahan, baik dalam bentuk konflik fisik maupun perseteruan ideologis, pasti membawa pada kegagalan kolektif. Konsekuensi ini ditekankan dalam Surah Al-Anfal: 46: “...dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.”

Perpecahan adalah pemborosan energi. Energi yang seharusnya digunakan untuk membangun masyarakat, menyebarkan dakwah, dan menghadapi tantangan eksternal justru dihabiskan untuk saling mencela, menjatuhkan, dan merencanakan kerusakan internal. Ini adalah taktik iblis yang paling efektif, karena perpecahan membuat umat sibuk dengan dirinya sendiri.

Kerugian Ukhrawi: Peringatan Keras

Ayat 103 secara implisit menyiratkan bahwa kembali pada keadaan bermusuhan (perpecahan) adalah kembali ke tepi jurang neraka. Ini bukan sekadar analogi sosial, tetapi peringatan serius mengenai nasib spiritual di akhirat.

Dalam hadis, Nabi Muhammad ﷺ juga memperingatkan tentang bahaya perpecahan. Beliau menekankan pentingnya *jama'ah* (komunitas yang bersatu) dan menjauhi *firqah* (perpecahan). Perpecahan seringkali muncul dari penyimpangan dalam akidah, yang pada akhirnya membawa seseorang jauh dari jalan yang lurus.

Studi Kasus Kontemporer tentang Tafaruq

Melihat kondisi umat Islam di berbagai belahan dunia saat ini, kita menyaksikan manifestasi nyata dari bahaya *tafarruq*. Perpecahan bisa terjadi karena:

Semua bentuk perpecahan ini adalah pengingkaran terhadap nikmat yang disebutkan dalam Ali Imran 103, dan merupakan pengabaian terhadap pelajaran sejarah yang telah Allah abadikan di dalam Al-Qur’an.

Mekanisme Praktis Menjaga Persatuan

Bagaimana umat Islam dapat secara praktis mengimplementasikan perintah "berpegang teguh pada Tali Allah bersama-sama" dalam kehidupan modern yang kompleks dan pluralistik? Persatuan bukanlah pasif, melainkan sebuah aksi yang terstruktur.

1. Prioritas Sumber Tunggal (Hablullah)

Langkah pertama adalah memastikan bahwa semua pihak menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah yang otentik sebagai otoritas tertinggi dan satu-satunya pegangan. Dalam kasus perselisihan, rujukan harus kembali kepada kedua sumber ini, bukan pada pendapat pribadi, tradisi suku, atau kepentingan politik.

2. Toleransi Fikih dan Menghargai Khilafiyah

Tidak semua perbedaan pendapat adalah perpecahan yang dilarang. Ada perbedaan yang bersifat *khilafiyah* (variasi pendapat yang valid) dalam masalah furu’ (cabang), yang merupakan rahmat dan kekayaan intelektual Islam. Menjaga persatuan berarti memahami batas-batas perbedaan yang masih ditoleransi di bawah payung Hablullah, dan tidak menjadikan perbedaan cabang sebagai alasan untuk saling mengafirkan atau memutuskan silaturahim.

3. Pendidikan Sejarah dan Refleksi Nikmat

Ayat 103 secara tegas menggunakan memori historis (dzikrul ni'mah) sebagai alat penjaga persatuan. Umat Islam harus terus-menerus diingatkan akan keadaan mereka sebelum Islam dan bahaya perpecahan yang mengancam. Pendidikan harus menekankan kisah persaudaraan Muhajirin dan Anshar sebagai model ideal yang harus dicontoh, di mana pengorbanan demi saudara mengalahkan kepentingan pribadi.

4. Etika Berkomunikasi (Akhlaqul Khilaf)

Perpecahan seringkali dimulai dari komunikasi yang buruk. Untuk menjaga persatuan, umat harus mempraktikkan etika berbicara yang tinggi, menghindari ghibah (gunjing), namimah (adu domba), dan prasangka buruk. Nabi ﷺ menekankan bahwa seorang Mukmin sejati adalah orang yang menjaga lisan dan tangannya agar tidak menyakiti Mukmin lainnya.

5. Kepemimpinan yang Adil dan Tegas

Persatuan membutuhkan kepemimpinan yang dapat dipercaya dan adil, yang mampu menegakkan hukum Allah tanpa memandang kelompok atau faksi. Pemimpin harus bertindak sebagai simpul yang mengikat, bukan sebagai faktor yang memecah belah.

Analisis Sastra Ayat: Keindahan Peringatan Ilahi

Dari segi sastra Arab, ayat 103 Ali Imran adalah mahakarya retorika yang menggabungkan perintah, larangan, dan justifikasi sejarah dalam satu nafas. Struktur kalimatnya sangat kuat:

A. Urgensi Perintah (I'tashimu): Kata perintah ini menunjukkan bahwa tindakan berpegangan adalah wajib dan kritis. Penggunaan kata "tali" (habl) memberikan gambaran visual yang kuat: tali adalah sarana keselamatan dari jurang, dan hanya dengan memegangnya bersama-sama tali tersebut memiliki kekuatan maksimum.

B. Kontras yang Tajam (Adwa'an vs Ikhwanan): Allah menciptakan kontras yang dramatis antara keadaan mereka yang dulu bermusuhan (*adwa'an*) dan keadaan mereka sekarang yang bersaudara (*ikhwanan*). Kontras ini memperkuat nilai nikmat yang diberikan Allah.

C. Metafora Jurang Neraka: Penggunaan metafora 'syifa hufrah minan nar' (tepi jurang api neraka) adalah penguat motivasi. Ini bukan hanya tentang menghindari konflik di dunia, tetapi tentang keselamatan abadi. Perpecahan akan mengembalikan mereka ke bibir jurang tersebut.

Retorika ini memastikan bahwa perintah persatuan tertanam kuat di hati Mukmin, bukan hanya sebagai kewajiban logis, tetapi sebagai manifestasi syukur atas penyelamatan ilahi.

Penafsiran Luas tentang Nikmat Allah (Ni'matullah)

Bagian ayat yang berbunyi: "Dan ingatlah karunia Allah kepadamu..." adalah fondasi psikologis dan spiritual persatuan. Islam mengajarkan bahwa mengenang nikmat adalah katalisator untuk kepatuhan.

Dimensi Nikmat dalam Ali Imran 103

Nikmat di sini tidak hanya merujuk pada kesembuhan dari permusuhan Aus dan Khazraj semata, tetapi juga nikmat Islam itu sendiri. Nikmat yang lebih besar dari persatuan hati adalah hidayah yang diterima. Persatuan adalah buah dari hidayah tersebut. Tanpa hidayah Islam, upaya persatuan pasti akan gagal atau hanya bersifat sementara, sebab akan dibangun di atas dasar yang rapuh, seperti kepentingan politik yang bisa berubah sewaktu-waktu.

Kesadaran akan nikmat ini menghasilkan rasa rendah hati dan menghilangkan kesombongan. Ketika seseorang menyadari bahwa persatuan dan kedamaian yang ia nikmati bukanlah hasil kecerdasan atau kekayaan pribadinya, melainkan karunia murni dari Allah, maka ia akan lebih cenderung memelihara karunia tersebut.

Korelasi antara Syukur dan Persatuan

Syukur (terhadap nikmat persatuan) secara langsung berbanding lurus dengan ketahanan umat. Ketika umat bersyukur, mereka memperkuat pegangan mereka pada Tali Allah. Ketika mereka lupa atau mengabaikan nikmat ini, mereka mulai mencari dasar-dasar lain untuk eksistensi mereka, yang pada akhirnya mengarah pada perpecahan.

Oleh karena itu, perintah untuk berpegang teguh dan mengingat nikmat adalah satu kesatuan: berpegang teguhlah karena Allah telah memberikan nikmat persatuan, dan jagalah nikmat itu dengan tetap berpegang teguh.

Penguatan Berulang Mengenai Kewajiban Umat

Kewajiban untuk tidak berpecah belah ini harus diinternalisasi sebagai karakter universal. Islam adalah agama yang mempromosikan persatuan di semua tingkatan, mulai dari shalat berjamaah yang menyatukan barisan fisik, hingga haji yang menyatukan jutaan orang dari berbagai latar belakang, semuanya bergerak dan beribadah dengan tata cara yang sama, menunjukkan bahwa ritual adalah wujud nyata dari ketaatan kolektif pada satu Tali Allah.

Perintah bersatu ini bersifat inklusif, mencakup persatuan dalam visi, persatuan dalam tujuan (mencapai ridha Allah), dan persatuan dalam aksi (penegakan keadilan dan kebaikan).

Mendalami Konsep Jami'an dan Kolektivitas Umat

Penggunaan kata *Jami'an* (bersama-sama) dalam ayat ini memberikan penekanan luar biasa pada aspek kolektif dari perintah ini. Persatuan bukanlah sekadar agregasi individu yang kebetulan berada di tempat yang sama, melainkan tindakan kolektif yang disengaja untuk memiliki tujuan, pegangan, dan sumber hukum yang sama.

Peran Individu dalam Kolektivitas

Meskipun perintah ini ditujukan kepada kolektivitas, pelaksanaannya dimulai dari individu. Setiap Muslim wajib mengendalikan egonya, mengesampingkan kepentingan pribadi, dan memprioritaskan kepentingan umat (maslahatul 'ammah). Seorang individu yang egois, yang merasa dirinya lebih benar daripada jamaah, adalah bibit perpecahan yang potensial.

Tanggung jawab kolektif ini menuntut adanya mekanisme saling menasehati (*tawashi bil haq* dan *tawashi bis shabr*), sehingga ketika ada individu atau kelompok yang mulai melepaskan pegangannya dari Tali Allah, segera ada peringatan dan koreksi dari saudara-saudaranya yang lain. Saling menasehati adalah salah satu cara aktif untuk menjaga Tali Allah agar tidak kendur.

Persatuan dalam Keragaman Ras dan Budaya

Ayat 103 mengatasi perpecahan berdasarkan suku (Aus dan Khazraj), dan ini menjadi pelajaran abadi bahwa perbedaan ras, bahasa, atau budaya tidak boleh menjadi dasar perpecahan umat. Dalam Islam, keragaman ini diakui (QS. Al-Hujurat: 13), namun identitas utama yang mengikat adalah iman.

Persatuan yang diamanatkan dalam Ali Imran 103 adalah persatuan iman yang melampaui batas geografis dan etnis. Ini adalah visi kosmopolitan Islam, di mana semua Mukmin, dari manapun asalnya, adalah satu tubuh yang terikat oleh satu Tali.

Jika kita gagal melihat Muslim lain sebagai saudara karena perbedaan warna kulit, logat bicara, atau mazhab fikih minor, berarti kita telah gagal memahami esensi dari "Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." Kegagalan ini menunjukkan kembalinya sifat jahiliyah, yakni loyalitas pada ikatan kesukuan atau fanatisme yang sempit, yang justru dihancurkan oleh Islam.

Ringkasan Prinsip-prinsip Abadi Ayat 103

Dalam konteks yang lebih luas, Surah Ali Imran ayat 103 berfungsi sebagai manifesto umat yang sehat. Ia memberikan kerangka kerja teologis yang mendasari semua hubungan sosial dan politik dalam Islam. Berikut adalah rangkuman prinsip yang harus dipertahankan secara terus-menerus:

Konsistensi: Perintah I'tashimu adalah perintah untuk konsisten dalam ketaatan. Tali Allah harus dipegang pada saat senang maupun sulit, pada saat mayoritas maupun minoritas.

Kehati-hatian: Larangan Wala Tafarroqu adalah perintah untuk selalu waspada terhadap segala bentuk ajakan perpecahan, baik yang datang dari musuh eksternal maupun bisikan internal nafsu dan ego.

Kesadaran Historis: Pengingat akan Ni'matullah adalah pelajaran bahwa kondisi perpecahan adalah kondisi asli manusia tanpa petunjuk, sedangkan persatuan adalah hadiah ilahi yang harus dijaga dengan harga mahal.

Orientasi Akhirat: Peringatan tentang jurang neraka menegaskan bahwa konsekuensi perpecahan melampaui kerugian duniawi; perpecahan adalah dosa besar yang mengancam keselamatan spiritual.

Ayat ini mengajarkan kita bahwa persatuan bukanlah tujuan akhir itu sendiri, tetapi merupakan sarana yang fundamental untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi: menegakkan kebenaran dan mencari ridha Allah SWT. Tanpa persatuan, umat tidak akan memiliki kekuatan kolektif untuk menjalankan peran kekhalifahan di bumi secara efektif.

Oleh karena itu, setiap aktivitas Muslim, baik dakwah, pendidikan, ekonomi, maupun politik, harus diarahkan kembali pada prinsip sentral Ali Imran 103. Apakah aktivitas kita memperkuat Tali Allah ataukah justru melemahkannya? Apakah ia menyatukan hati ataukah menanamkan benih kebencian? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus menjadi tolok ukur utama dalam menilai keabsahan setiap upaya kolektif.

Penerapan ayat ini memerlukan kebijaksanaan yang mendalam. Kebijaksanaan untuk membedakan antara perbedaan yang produktif (ijtihad dalam furu’) dan perpecahan yang merusak (perselisihan dalam ushul/prinsip). Umat dituntut untuk dewasa dalam berinteraksi dengan perbedaan, tetap menghormati semua pihak yang masih berpegangan pada Hablullah, meskipun cara memegang talinya mungkin sedikit berbeda dalam detailnya.

Kesinambungan pengamalan ayat ini adalah kunci sukses sepanjang zaman. Selama umat berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah, dan selama mereka bersedia mengorbankan ego demi persaudaraan, maka nikmat Allah akan terus menyertai mereka, menjaga mereka dari jurang api perpecahan yang mematikan.

Perintah 'berpegang teguh bersama-sama' menyiratkan bahwa kekuatan tali itu bergantung pada jumlah tangan yang memegangnya. Semakin banyak tangan, semakin kuat tali itu menahan berat tantangan zaman. Melepaskan pegangan adalah bentuk pengkhianatan terhadap karunia Allah yang telah mempersatukan hati di bawah panji Islam. Setiap Muslim memiliki kewajiban moral dan syar'i untuk menjadi simpul yang menguatkan tali, bukan gunting yang memutusnya.

Kisah Aus dan Khazraj harus menjadi cermin abadi. Jika dua suku yang bermusuhan selama ratusan tahun dapat bersatu karena iman, maka perpecahan kontemporer, yang seringkali hanya didasari oleh kepentingan sesaat atau kesalahpahaman kecil, seharusnya dapat diselesaikan dengan mudah jika kita kembali merenungkan karunia persaudaraan yang telah Allah anugerahkan. Kuncinya adalah 'dzikr' (mengingat), mengingat bahwa kita pernah berada di tepi kehancuran, dan hanya melalui Rahmat-Nya kita diselamatkan, dan persatuan adalah manifestasi utama dari Rahmat tersebut.

Maka, seruan Ali Imran 103 adalah seruan untuk kembali kepada fitrah kolektif yang suci, menjauhi fanatisme buta, dan memprioritaskan ukhuwah di atas segala perbedaan. Ayat ini adalah benteng terakhir umat melawan disintegrasi. Hanya dengan mematuhi perintah ini secara totalitas dan terus-menerus, umat dapat berharap untuk kembali meraih kemuliaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.

🏠 Kembali ke Homepage