Umat yang memegang teguh tali kebaikan.
Di antara sekian banyak ayat dalam Al-Qur'an yang membentuk identitas kolektif umat Islam, Surah Ali Imran ayat 104 memiliki kedudukan yang sangat fundamental. Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai perintah moral, melainkan juga sebagai cetak biru (blueprint) bagi eksistensi komunitas Muslim di tengah masyarakat global. Ia merupakan sumbu yang menjelaskan mengapa umat Islam harus ada: bukan sekadar untuk beribadah secara individual, tetapi untuk menegakkan standar moral dan etika universal di muka bumi. Perintah Ilahi yang termaktub di dalamnya menggarisbawahi urgensi pembentukan sebuah kelompok khusus yang secara proaktif menjalankan tugas mulia dakwah (mengajak kepada kebaikan) dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar (menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar).
Kajian mendalam terhadap ayat ini memerlukan telaah yang komprehensif, mencakup dimensi linguistik, historis, teologis, hingga sosiologis, karena implikasinya menyentuh setiap aspek kehidupan, mulai dari tata kelola keluarga, struktur masyarakat, hingga kebijakan negara. Ayat 104 ini adalah manifestasi konkret dari konsep khayru ummah (umat terbaik), yang secara spesifik diuraikan dalam ayat selanjutnya (Ali Imran 110), menunjukkan bahwa predikat kemuliaan itu bukan diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus dipertahankan melalui dedikasi yang tak terputus terhadap kebenaran dan keadilan.
Untuk memahami kedalaman perintah ini, kita wajib menelaah lafaz aslinya:
Ayat ini terstruktur dengan jelas, memuat tiga pilar utama tugas kolektif umat Islam, dan diakhiri dengan janji kebahagiaan hakiki. Frasa kuncinya, وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ (Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat), memunculkan perdebatan penting tentang sifat kewajiban ini: apakah ia berlaku bagi setiap individu (fardhu 'ain) atau hanya bagi sebagian komunitas (fardhu kifayah).
Untuk mencapai pemahaman 5000 kata yang mendalam, kita harus membedah setiap kata kunci, menggali maknanya yang berlapis dalam konteks syariah dan bahasa Arab klasik.
Secara harfiah, Ummah berarti sekelompok orang yang disatukan oleh tujuan, waktu, atau agama yang sama. Dalam konteks ayat ini, penggunaan kata *Min* (مِّنْكُمْ - di antara kamu) sangat krusial. Para ulama tafsir terbagi dalam menafsirkannya:
Sintesis dari dua pendapat ini menegaskan adanya kebutuhan akan struktur formal (kelompok ahli) yang mengorganisasi dakwah (Tab'idiyah), namun tidak menghilangkan tanggung jawab moral individu (Bayan). Oleh karena itu, *Ummah* yang dimaksud adalah representasi struktural yang menjamin tugas ini dilaksanakan secara efektif dan terorganisir.
Kata Al-Khayr (Kebajikan/Kebaikan) memiliki cakupan yang lebih luas daripada sekadar Al-Ma'ruf. Al-Khayr adalah segala sesuatu yang secara inheren baik, bermanfaat, dan disetujui oleh akal sehat yang murni, serta sejalan dengan fitrah manusia dan ajaran wahyu. Dalam konteks ayat, *Dakwah Ila Al-Khayr* adalah seruan fundamental menuju tauhid, keimanan yang benar, dan pencapaian tujuan hidup yang hakiki (falah). Ini adalah tugas proaktif, yaitu menciptakan lingkungan di mana kebaikan mudah diakses dan dipraktikkan.
Kedua istilah ini adalah pasangan dialektis dalam etika Islam:
Perintah Amar Ma'ruf Nahi Munkar (AMNM) adalah proses operasionalisasi etika Islam. Jika *Dakwah ila Al-Khayr* adalah tugas ideologis dan edukatif, AMNM adalah tugas pengawasan moral dan penegakan hukum (moral policing) dalam batas-batas syar'i. Ini memerlukan pengetahuan (ilmu) agar orang yang menyeru tidak menyeru kepada kemungkaran yang disangka makruf, atau mencegah makruf yang disangka mungkar.
Ini adalah janji ilahi yang mengakhiri ayat. Al-Muflihūn adalah 'orang-orang yang beruntung' atau 'orang-orang yang sukses'. Keberuntungan ini bersifat komprehensif, mencakup keberhasilan di dunia (dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab) dan keberhasilan di akhirat (mendapatkan surga). Ayat ini dengan tegas mengaitkan keberuntungan abadi dengan pelaksanaan tugas kolektif ini. Barang siapa yang meninggalkan tugas AMNM, ia berisiko kehilangan predikat keberuntungan ini.
Ayat 104 ini diturunkan dalam konteks Surah Ali Imran, yang sebagian besar ditujukan kepada komunitas Ahli Kitab, khususnya pasca-Perang Uhud. Meskipun banyak tafsir tidak mencantumkan asbabun nuzul spesifik, konteks umum surah ini sangat jelas: ia adalah pembeda antara kegagalan umat terdahulu dan misi khusus umat Muhammad ﷺ.
Ayat-ayat sebelumnya (khususnya 102 dan 103) menyeru umat Islam untuk bersatu dan berpegang teguh pada tali Allah. Kemudian, ayat 105 memperingatkan agar umat Islam tidak menjadi seperti Ahli Kitab yang terpecah-belah dan berselisih. Ulama seperti Ar-Razi menjelaskan bahwa Ahli Kitab, meskipun menerima wahyu, telah gagal dalam dua hal mendasar:
Oleh karena itu, ayat 104 datang sebagai solusi profetik. Ia memerintahkan pembentukan sebuah *Ummah* baru yang tugas intinya adalah menjaga persatuan internal (I'tisham bihablillah) dan menjalankan misi eksternal (Dakwah dan AMNM). Kegagalan menjalankan AMNM adalah salah satu alasan utama mengapa umat terdahulu kehilangan kemuliaan dan berada di bawah laknat Ilahi (sebagaimana disinggung dalam Surah Al-Ma'idah: 78-79).
Dengan kata lain, Ali Imran 104 adalah pendirian resmi Umat Islam sebagai penanggung jawab moral global, memastikan bahwa ajaran para Nabi senantiasa relevan dan diterapkan, sekaligus menjadi antitesis terhadap kemunduran spiritual dan moral yang dialami oleh generasi pewaris risalah sebelumnya.
Perdebatan mengenai status hukum (Wajib Kifayah vs. Wajib 'Ain) merupakan inti dari interpretasi praktis ayat 104. Pemahaman yang benar menentukan bagaimana kewajiban ini diintegrasikan ke dalam kehidupan individu dan kolektif.
Mayoritas ulama fiqih dan tafsir berpegangan pada pandangan ini, didasarkan pada frasa وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ. Argumentasinya adalah:
Meskipun secara formal dipandang sebagai Fardhu Kifayah, tugas AMNM tidak sepenuhnya terlepas dari individu. Tugas ini menjadi Fardhu 'Ain dalam beberapa kondisi:
Imam Al-Ghazali, dalam diskusinya tentang *Ihya' Ulumiddin*, menyoroti bahwa meninggalkan AMNM adalah dosa besar, karena ia merupakan fondasi menjaga syariat. Ia membedakan antara tanggung jawab individu dan otoritas, namun menegaskan bahwa kewajiban minimal menegur dengan hati harus selalu ada pada setiap mukmin.
Keberhasilan menjalankan amanah Ali Imran 104 bergantung pada penerapan metodologi yang benar, yang oleh para ulama diringkas dari berbagai ayat Al-Qur'an (seperti An-Nahl 125) dan Sunnah Nabi ﷺ.
Syarat pertama bagi *Ummah* yang menyeru adalah memiliki ilmu yang memadai. Bagaimana mungkin seseorang menyeru kepada makruf jika ia sendiri tidak tahu batasan makruf dan mungkar? Tugas ini memerlukan pemahaman mendalam tentang prioritas (fiqih aulawiyat). Misalnya, menyeru kepada tauhid lebih diutamakan daripada melarang persoalan furu' (cabang) fiqih.
Tindakan yang didasarkan pada kebodohan atau emosi sering kali menghasilkan kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran yang ingin dicegah. Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama sebagai al-amr bi al-munkar wa an-nahy 'an al-ma'ruf (menyeru kepada kemungkaran dan mencegah makruf) tanpa disadari.
Para ulama tafsir menekankan bahwa kelompok yang menyeru kepada kebaikan harus menjadi yang pertama mempraktikkannya. Ini selaras dengan teguran keras dalam Surah Ash-Shaff ayat 2-3. Integritas (shidq) dari sang penyeru adalah modal utama. Ketika umat melihat bahwa kelompok dakwah itu adalah kelompok yang paling jujur, paling adil, dan paling berakhlak mulia, seruan mereka akan memiliki bobot moral yang tak tertandingi.
Hadis Nabi ﷺ yang masyhur tentang perubahan kemungkaran (dengan tangan, lisan, atau hati) adalah panduan praktis untuk ayat ini. Hirarki ini menunjukkan pembagian tanggung jawab berdasarkan otoritas dan kemampuan:
Tugas AMNM bukan sekadar aktivitas polisi moral; ia adalah jantung dari filsafat sosial Islam. Tujuannya adalah membangun maslahah (kebaikan umum) dan mencegah mafsadah (kerusakan umum).
Apabila kemungkaran dibiarkan, ia akan menyebar seperti penyakit menular. Dalam konteks sosial, korupsi kecil yang dibiarkan akan menjadi endemik; ketidakadilan kecil yang diabaikan akan merusak fondasi negara. Ayat 104 adalah mekanisme pertahanan sosial. Tanpa AMNM, masyarakat akan terjerumus ke dalam apa yang disebut oleh Ibn Khaldun sebagai siklus kehancuran peradaban, di mana kemewahan dan moralitas yang rendah merusak kekuatan politik dan militer suatu bangsa.
Cakupan makruf dan mungkar tidak terbatas pada ibadah ritual. Ia mencakup keadilan ekonomi, distribusi kekayaan yang merata, dan penegakan hak-hak kaum lemah. Menyeru kepada makruf juga berarti menyeru kepada transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik. Mencegah mungkar berarti melawan eksploitasi, riba, penipuan, dan segala bentuk ketidakjujuran dalam bermuamalah.
Oleh karena itu, Ummah yang diamanatkan dalam ayat 104 harus memiliki kesadaran politik dan sosial yang tinggi. Mereka tidak bisa menjadi kelompok yang hanya fokus pada perbaikan spiritual individu sambil mengabaikan kerusakan struktural yang lebih besar dalam masyarakat.
Ayat 104 mendahului ayat 110 yang terkenal:
Keterkaitan erat ini menunjukkan bahwa tugas AMNM adalah *syarat* untuk mendapatkan predikat 'Umat Terbaik', bukan hanya sekadar ciri tambahan. Umat Islam menjadi superior bukan karena ras, kekayaan, atau kekuatan militer, tetapi karena fungsinya sebagai penegak moral dan keadilan. Jika umat Islam meninggalkan fungsi ini, predikat tersebut akan hilang, dan mereka akan menjadi seperti umat-umat terdahulu yang dicela dalam Al-Qur'an.
Perjuangan menyeimbangkan kebaikan dan mencegah keburukan.
Di era modern, implementasi ayat 104 menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan masa awal Islam. Kemungkaran tidak lagi hanya berupa perbuatan individu yang tersembunyi, tetapi telah menjelma menjadi kemungkaran struktural, digital, dan global.
Media sosial, penyebaran hoaks (kebohongan), propaganda kebencian, dan konten pornografi merupakan bentuk-bentuk mungkar baru yang membutuhkan strategi AMNM yang adaptif. Kelompok yang menjalankan dakwah (Ummah) harus mampu beroperasi di ranah digital. Dakwah tidak cukup lagi hanya dari mimbar masjid, tetapi harus mendominasi narasi kebaikan di ruang siber, melawan arus informasi negatif dengan konten yang edukatif, mencerahkan, dan berbasis moralitas.
Nahi Munkar dalam konteks ini berarti menanggulangi disinformasi, memblokir akses ke konten berbahaya (sejauh otoritas memungkinkan), dan yang terpenting, mendidik masyarakat untuk memiliki literasi media yang kritis, sehingga mereka mampu mengenali dan menolak kemungkaran secara mandiri.
Kemungkaran struktural adalah sistem atau kebijakan yang secara inheren tidak adil, seperti sistem ekonomi yang memperkaya segelintir orang sambil memiskinkan mayoritas, atau sistem politik yang korup. Melaksanakan AMNM di sini membutuhkan keberanian untuk menasihati penguasa (*nasihat li-a'immat al-muslimin*). Tugas ini bukan hanya tanggung jawab ulama, tetapi juga intelektual, aktivis, dan profesional Muslim yang harus menggunakan keahlian mereka untuk merancang solusi etis dan sistem yang adil.
Penolakan terhadap korupsi (fasad) adalah salah satu manifestasi tertinggi dari Nahi Munkar. Jika korupsi dibiarkan, semua bentuk makruf (ibadah, pendidikan, kesehatan) akan terancam keberlangsungannya.
Globalisasi membawa relativisme moral, di mana kebenaran dianggap subyektif. Ini menantang definisi baku Al-Ma'ruf dan Al-Munkar yang ditetapkan oleh wahyu. Tugas *Ummah* dalam Ali Imran 104 adalah menegaskan bahwa ada standar moralitas universal yang berasal dari Allah. Dakwah harus mampu menyajikan Islam bukan sebagai sekumpulan aturan kaku, tetapi sebagai solusi rasional dan spiritual bagi kekosongan moral yang dirasakan oleh dunia modern.
Jika kewajiban kolektif ini ditinggalkan, konsekuensinya sangat serius, sebagaimana diperingatkan dalam banyak hadis dan ayat Al-Qur'an. Meninggalkan AMNM sama dengan membiarkan kapal tenggelam bersama penumpangnya.
Salah satu ancaman terbesar adalah bahwa Allah akan mencabut keberkahan dari komunitas tersebut, dan doa-doa mereka tidak akan dikabulkan. Ini ditunjukkan dalam hadis ketika Rasulullah ﷺ bersabda, jika umat meninggalkan AMNM, mereka akan ditimpa azab dari Allah, dan ketika mereka berdoa, doa mereka tidak akan diterima. Ini adalah konsekuensi logis: jika sebuah komunitas tidak peduli dengan penegakan kebenaran-Nya, mengapa Allah harus peduli dengan permintaan mereka?
Ketidakmampuan atau keengganan untuk menjalankan Nahi Munkar akan membuka pintu bagi dominasi orang-orang jahat (*fujjar*) atau zalim (*zhalimin*). Ketika orang baik diam, orang jahat akan merasa mendapat persetujuan, dan mereka akan mengambil alih kepemimpinan masyarakat. Kebaikan akan menjadi asing (*ghurabah*), dan kemungkaran akan menjadi norma yang diterima secara sosial.
Ironisnya, Ali Imran 104 yang datang setelah seruan persatuan (ayat 103) adalah jaminan bagi persatuan itu sendiri. Ketika umat Islam berhenti menjalankan fungsi ini, mereka kehilangan tujuan bersama yang mengikat mereka. Perpecahan muncul bukan hanya karena perbedaan pendapat teologis, tetapi karena hilangnya komitmen bersama terhadap nilai-nilai inti syariat. Umat menjadi terfragmentasi, dan kekuatan mereka pun pupus.
Tugas yang termaktub dalam Ali Imran 104 seringkali disamakan atau dihubungkan dengan konsep Jihad. Penting untuk membedakan dan menghubungkan keduanya secara tepat.
Dakwah, dalam konteks ayat 104, adalah upaya persuasif, edukatif, dan pencerahan yang bertujuan mengajak orang kepada kebenaran (*Al-Khayr*). Ini adalah fondasi paling dasar dari misi kenabian. Metodenya dominan bersifat lisan, tulisan, dan teladan (akhlak).
AMNM adalah tindakan yang lebih aktif dan mungkin konfrontatif. Ia bergerak dalam tiga dimensi (hati, lisan, tangan). Tingkat tangan, yang melibatkan penggunaan kekuatan, biasanya memerlukan otoritas resmi.
Jihad adalah perjuangan maksimal yang mencakup semua upaya untuk meninggikan kalimat Allah. Jihad terbagi menjadi Jihad Akbar (melawan hawa nafsu) dan Jihad Ashghar (perang fisik defensif). Jihad dengan lisan dan pena (Jihad Kebenaran) adalah bentuk tertinggi dari AMNM yang dilakukan oleh para ulama dan intelektual. Oleh karena itu, AMNM dapat dianggap sebagai salah satu bentuk Jihad yang paling penting—yaitu Jihadul Kalimah (Jihad Perkataan) di hadapan penguasa zalim atau di tengah-tengah masyarakat yang korup.
Semua konsep ini saling terkait: Dakwah membangun pondasi ilmu, AMNM menjaga integritas sosial, dan Jihad adalah payung perjuangan untuk memastikan bahwa misi ini dapat dilaksanakan tanpa halangan.
Ali Imran ayat 104 adalah ayat yang penuh daya dorong, mengubah umat Islam dari sekadar kumpulan pengikut agama menjadi agen perubahan sosial dan moral. Ia menuntut komitmen kolektif untuk melampaui kepentingan pribadi demi kebaikan umat manusia secara keseluruhan.
Kewajiban untuk membentuk Ummah yang aktif berdakwah dan menjalankan AMNM bukanlah pilihan, melainkan pilar eksistensial bagi komunitas Muslim. Keberuntungan (Al-Falah) yang dijanjikan pada akhir ayat adalah imbalan tertinggi, bukan hanya untuk ibadah ritual, melainkan untuk fungsi sosial yang telah dijalankan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Implementasi kontemporer ayat ini menuntut profesionalisme, adaptabilitas, dan pemahaman yang mendalam tentang realitas dunia. Tugas ini memerlukan reformasi internal, di mana umat Islam harus terlebih dahulu membersihkan diri dari kemungkaran sebelum mencoba membersihkan dunia. Dengan menjalankan Amar Ma'ruf Nahi Munkar secara terstruktur, bijaksana, dan konsisten, umat Islam dapat memenuhi syarat utama yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan meneguhkan kembali posisi mereka sebagai Khayru Ummah yang membawa rahmat dan keadilan bagi seluruh alam.
Pesan akhir dari ayat 104 adalah seruan abadi untuk bertindak: Jangan biarkan kebatilan merajalela hanya karena kebaikan memilih bungkam. Nasib umat ini, dan janji keberuntungan abadi, terikat erat pada keberanian dan kesiapan kita untuk berdiri tegak menyeru kepada kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran.