Pintu Kemuliaan: Memahami Intisari Ali Imran 97
Surah Ali Imran, yang dikenal sebagai salah satu surah yang kaya akan pembahasan tentang akidah, hukum, dan sejarah kenabian, menyajikan sebuah ayat monumental yang menjadi pilar fundamental dalam rukun Islam. Ayat 97 dari surah ini secara eksplisit menetapkan kewajiban ibadah haji ke Baitullah. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang ritual fisik, tetapi juga mengandung spektrum filosofis dan jurisprudensial yang luas, terutama mengenai konsep Istita'ah (kemampuan) dan keagungan Makkah sebagai Tanah Suci yang aman.
Ayat ini berfungsi sebagai penutup bagi serangkaian diskusi mengenai monoteisme murni (tauhid) dan penegasan bahwa ibadah yang benar harus diarahkan kepada Allah SWT semata, khususnya melalui ritual haji yang disyariatkan sejak Nabi Ibrahim AS. Memahami kedalaman Ali Imran 97 adalah kunci untuk menginternalisasi nilai-nilai keimanan, kesatuan umat, dan disiplin diri yang dituntut oleh rukun Islam yang kelima ini.
Teks dan Terjemah Ali Imran Ayat 97
Terjemah Makna:
"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) Maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah) niscaya amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam."
Ilustrasi simbolis Baitullah dan Tawaf. (Alt Text: Simbolis Ka'bah dan Maqam Ibrahim, dikelilingi oleh garis lingkaran yang mewakili jamaah haji.)
Tafsir Mendalam Ayat (Fīhi Āyātun Bayyinātun)
Kalimat pembuka, "Fīhi āyātun bayyinātun" (Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata), merujuk kepada Baitullah (Ka'bah) dan sekitarnya. Tanda-tanda ini berfungsi sebagai bukti kuat akan kebenaran dan keagungan syariat Islam serta kewajiban haji.
1. Maqam Ibrahim (مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ)
Tanda yang paling utama dan pertama kali disebut adalah Maqam Ibrahim. Ini adalah batu tempat Nabi Ibrahim AS berdiri saat membangun Ka'bah bersama putranya, Nabi Ismail AS. Bekas pijakan kaki beliau masih tampak, menjadikannya bukti fisik sejarah kenabian yang diabadikan oleh Allah. Secara spiritual, Maqam Ibrahim mengajarkan pentingnya ketaatan dan pengorbanan, serta mengingatkan bahwa haji adalah kelanjutan dari tradisi tauhid yang dibawa oleh para nabi terdahulu.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa perintah untuk menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat (sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah: 125) menunjukkan keutamaan tempat tersebut. Namun, dalam konteks Ali Imran 97, penyebutannya berfungsi sebagai penekanan historis dan keajaiban yang melekat pada lokasi suci ini. Keajaiban tersebut tidak hanya bersifat masa lalu, tetapi terus berlanjut hingga hari ini, menjadikannya kiblat spiritual miliaran manusia.
2. Keamanan Abadi (Wa Man Dakhalahu Kāna Āminan)
Frasa "Wa man dakhalahu kāna āminan" (barangsiapa memasukinya niscaya amanlah dia) menegaskan status Makkah sebagai Tanah Haram (suci dan terlarang). Keamanan ini memiliki dua dimensi:
- Keamanan Fisik dan Hukum: Ini berarti perlindungan mutlak bagi setiap makhluk, termasuk manusia, hewan buruan, dan tumbuh-tumbuhan. Tidak boleh ada pertumpahan darah, penganiayaan, atau bahkan pengambilan barang temuan (luqatah) kecuali untuk diumumkan. Hukum ini berlaku universal, bahkan sebelum kedatangan Islam, tetapi Islam memperkuat dan menyempurnakannya.
- Keamanan Spiritual: Bagi seorang jamaah yang memasuki Tanah Haram dengan niat ikhlas dan menjalankan ibadah sesuai tuntunan, ia akan mendapatkan keamanan dari siksa api neraka di akhirat (jika hajinya mabrur), dan keamanan hati dari was-was dan keraguan.
Keamanan yang dijamin oleh Allah ini adalah salah satu bukti keagungan Ka'bah yang tak terbantahkan. Hal ini membedakan Makkah dari tempat-tempat lain di dunia, yang dapat tunduk pada kekacauan manusiawi.
3. Penegasan Kewajiban (Wa Lillāhi ‘Alā An-Nāsi Ḥijjul Bait)
Inilah inti hukum dari ayat tersebut: "Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah." Penggunaan kata 'alā (atas) menunjukkan bahwa ini adalah kewajiban yang harus ditunaikan, mirip dengan hutang yang harus dibayar kepada Allah SWT. Kewajiban ini adalah fardhu 'ain (kewajiban individu) yang harus dilakukan sekali seumur hidup.
Struktur kalimat ini menempatkan Hajj sebagai hak prerogatif Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-Nya. Ini bukan sekadar anjuran atau sunnah, melainkan sebuah pilar yang menopang struktur keimanan seorang Muslim.
Filosofi dan Detail Jurisprudensi Istita'ah (Kemampuan)
Ayat ini kemudian memberikan pengecualian yang sangat penting dan spesifik: "man istaṭā‘a ilayhi sabīlā" (yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana). Konsep Istita'ah (kemampuan) adalah jantung dari fiqih haji. Istita'ah bukanlah sekadar memiliki uang, melainkan sebuah kondisi multi-dimensi yang harus terpenuhi agar kewajiban haji menjadi sah secara syariat.
Pilar-Pilar Utama Istita'ah
Para fuqaha (ahli hukum Islam) menyepakati bahwa Istita'ah mencakup empat pilar utama:
A. Istita'ah Maliyyah (Kemampuan Finansial)
Kemampuan finansial berarti seseorang harus memiliki bekal yang cukup untuk perjalanan pergi dan pulang (zādat wa rāḥilah) tanpa harus berhutang atau mengorbankan kebutuhan pokok. Kriteria ini sangat ketat dan mencakup:
- Kebutuhan Dasar Keluarga: Biaya haji tidak boleh mengganggu nafkah wajib bagi keluarga yang ditinggalkan selama masa perjalanan haji. Anak-anak, istri, dan tanggungan lainnya harus terjamin kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal mereka.
- Bebas dari Utang Mendesak: Seseorang yang memiliki utang jatuh tempo dan mendesak, atau yang dapat membahayakan posisinya secara finansial, tidak wajib haji sebelum melunasi utangnya. Utang kepada manusia memiliki prioritas lebih tinggi daripada haji.
- Kepemilikan yang Berlebihan: Dana yang digunakan haruslah dana surplus, bukan modal utama usaha atau satu-satunya aset yang menopang kehidupan. Jika menjual aset untuk haji akan membuatnya jatuh miskin atau terlantar setelah kembali, maka ia belum dianggap mampu.
B. Istita'ah Badaniyyah (Kemampuan Fisik)
Haji adalah ibadah fisik yang membutuhkan daya tahan tinggi, melibatkan berjalan jauh, berdesakan, dan menghadapi suhu ekstrem. Kemampuan fisik berarti kesehatan yang memungkinkan seseorang untuk:
- Menjalankan rukun haji (Tawaf, Sa'i, Wukuf) tanpa membahayakan nyawanya.
- Mampu menempuh perjalanan jauh.
Jika seseorang sakit keras, lumpuh, atau terlalu tua sehingga tidak mampu bepergian, kewajiban haji tidak gugur sepenuhnya, tetapi berpindah ke mekanisme Badal Haji (Haji pengganti), yang akan dijelaskan lebih lanjut.
C. Istita'ah Amniyyah (Keamanan Rute Perjalanan)
Di masa lampau, faktor ini sangat krusial. Rute menuju Makkah harus aman dari perampok, perang, atau penyakit menular yang membahayakan. Meskipun saat ini keamanan fisik rute umumnya terjamin berkat transportasi modern dan stabilitas politik, aspek ini masih relevan dalam konteks pandemi atau konflik regional. Jika perjalanan membahayakan nyawa, maka Istita'ah belum terpenuhi.
D. Istita'ah Syar’iyyah (Kemampuan Syar’i)
Ini mencakup hal-hal yang bersifat hukum, seperti:
- Bagi wanita, wajib disertai oleh mahram (suami atau kerabat laki-laki yang haram dinikahi) atau dalam rombongan yang terpercaya (khususnya menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, meskipun Hanafi dan Hanbali lebih ketat).
- Memiliki visa dan izin perjalanan yang sah (relevan di era modern).
Perdebatan Mazhab tentang Istita'ah
Masing-masing mazhab fiqih memiliki penekanan berbeda dalam mendefinisikan Istita'ah, khususnya terkait utang dan mahram:
Mazhab Hanafi: Cenderung lebih longgar terkait utang, asalkan ada waktu yang cukup untuk melunasinya setelah kembali dari haji, atau jika pemberi utang mengizinkan. Mereka juga lebih ketat dalam syarat mahram bagi wanita.
Mazhab Syafi'i: Sangat ketat terhadap kewajiban utang. Jika seseorang memiliki utang yang belum jatuh tempo, ia harus mendapatkan izin dari kreditor sebelum berhaji. Mereka juga memperbolehkan perjalanan bagi wanita tanpa mahram jika ditemani rombongan yang sangat terpercaya, meskipun pendapat yang paling kuat tetap menyarankan mahram.
Mazhab Maliki: Mereka juga menekankan pelunasan utang. Khususnya, mereka melihat keselamatan rute sebagai penentu utama. Jika rute darat tidak aman, kewajiban haji ditunda.
Kesimpulannya, Istita'ah adalah penyeimbang syariat. Allah mewajibkan haji, tetapi hanya pada mereka yang diberi karunia kemudahan dan tidak memberatkan mereka hingga mengorbankan kewajiban lain yang lebih mendesak, seperti nafkah keluarga.
Istita'ah menuntut keseimbangan antara kewajiban dunia dan akhirat. (Alt Text: Simbol neraca timbangan yang menunjukkan keseimbangan antara kewajiban haji dan nafkah keluarga.)
Perluasan Fiqih: Ketika Badal Haji Diwajibkan
Konsep Istita'ah Badaniyyah melahirkan hukum Badal Haji (Haji Pengganti). Jika seseorang memiliki kemampuan finansial penuh (Istita'ah Maliyyah) tetapi tidak mampu secara fisik (misalnya sakit kronis yang tidak bisa sembuh, atau wafat sebelum sempat menunaikannya), kewajiban haji tidak serta merta gugur.
Syarat Wajib Badal Haji
Menurut mayoritas ulama, Badal Haji menjadi wajib dalam dua kondisi utama:
- Meninggal Dunia Setelah Mampu: Seseorang yang telah mencapai Istita'ah Maliyyah, tetapi meninggal dunia sebelum ia sempat melaksanakan haji. Dalam kasus ini, ahli waris wajib mengambil sebagian hartanya untuk membiayai orang lain melakukan haji atas namanya.
- Tidak Mampu Fisik Permanen: Seseorang yang mampu secara finansial tetapi secara permanen tidak mampu bergerak (lumpuh, buta, atau sakit kronis yang tidak diharapkan sembuh). Ia wajib mengupah orang lain untuk melakukan haji atas namanya.
Penting untuk dicatat bahwa orang yang menggantikan (Badil) haruslah seseorang yang sudah pernah melaksanakan haji untuk dirinya sendiri. Ini menunjukkan betapa seriusnya kewajiban haji; ia dapat diwariskan atau didelegasikan jika kondisi fisik menghalangi, selama kemampuan finansial tersedia.
Penerapan Badal Haji menegaskan bahwa haji adalah kewajiban yang berkaitan dengan harta (jika tidak mampu fisik) dan kewajiban badan (jika mampu fisik). Jika harta ada, ia harus digunakan untuk menunaikan kewajiban, meskipun melalui perwakilan.
Peringatan Keras: Konsekuensi Mengingkari Kewajiban
Bagian terakhir dari Ali Imran 97 adalah peringatan yang sangat keras dan serius: "Wa man kafara fa inna Allāha ghaniyyun ‘anil ‘ālamīn" (Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam).
Makna Kata 'Kafara' di Sini
Kata 'Kafara' (mengingkari atau kafir) di sini menimbulkan perdebatan di kalangan ulama: Apakah ini berarti keluar dari Islam, ataukah sekadar dosa besar?
- Kufr I’tiqadi (Kekafiran Keyakinan): Jika seseorang mampu haji tetapi menolak melaksanakan karena ia mengingkari kewajiban haji itu sendiri (menyangkal bahwa haji adalah rukun Islam), maka ia dihukumi kafir secara mutlak dan keluar dari Islam (murtad).
- Kufr 'Amali (Kekafiran Amalan): Jika seseorang mampu haji, ia mengakui kewajibannya, tetapi ia sengaja menunda-nunda atau meninggalkannya karena kemalasan, kelalaian, atau kesibukan duniawi. Dalam pandangan jumhur ulama, orang ini tidak keluar dari Islam, tetapi ia melakukan dosa besar yang sangat fatal. Penggunaan kata 'kafara' dalam konteks ini berfungsi sebagai peringatan keras (taghlidh) akan besarnya dosa tersebut.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa orang yang menunda haji hingga meninggal, padahal ia mampu, dihukumi kafir (meskipun ini merujuk pada kekafiran yang mengeluarkan dari agama jika tidak bertaubat). Sementara mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i cenderung melihatnya sebagai dosa besar yang serius, namun masih dalam lingkup keimanan selama ia mengakui kewajiban tersebut.
Allah Maha Kaya (Ghaniyyun ‘anil ‘Ālamīn)
Peringatan ini diakhiri dengan penegasan bahwa Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan ibadah dari seluruh makhluk-Nya. Kalimat ini memberikan dua makna mendalam:
Pertama, ibadah haji adalah untuk keuntungan manusia sendiri, bukan untuk menambah kemuliaan Allah. Jika manusia menunaikannya, merekalah yang mendapat manfaat spiritual dan pahala. Kedua, jika manusia menolak, hal itu sama sekali tidak mengurangi keagungan Allah. Peringatan ini menegaskan kedaulatan mutlak Allah SWT atas alam semesta.
Dimensi Historis dan Keagungan Makkah
Ayat 97 tidak hanya berisi hukum, tetapi juga merangkum sejarah panjang Makkah. Pemilihan Makkah sebagai pusat ibadah dan tempat Hajj memiliki akar sejarah yang melampaui masa kenabian Muhammad SAW.
Ka'bah sebagai Pondasi Tauhid
Ka'bah didirikan oleh Ibrahim dan Ismail atas perintah Allah. Tanda-tanda (Āyātun Bayyinātun) yang disebutkan dalam ayat ini merujuk pada seluruh warisan Ibrahim, yang intinya adalah menolak segala bentuk syirik dan kembali kepada monoteisme murni. Setiap ritual haji—tawaf, sa'i, melempar jumrah—adalah pengulangan simbolis dari perjuangan keluarga Ibrahim melawan bisikan setan dan menegakkan tauhid.
Perlindungan Ilahi terhadap Tanah Haram
Status ‘aman’ yang diberikan kepada Tanah Haram adalah salah satu keajaiban abadi. Perlindungan ini terbukti secara sejarah, yang paling terkenal adalah peristiwa penyerangan Abrahah dan pasukan gajah, sebagaimana diabadikan dalam Surah Al-Fil. Kisah ini menjadi penanda bahwa Tanah Suci berada di bawah pengawasan langsung dan perlindungan Ilahi, menjadikannya tempat berlindung dari segala kekacauan dunia.
Keamanan ini juga mencerminkan tujuan spiritual haji: untuk meninggalkan konflik dan perselisihan, sehingga para jamaah dapat fokus sepenuhnya pada penyucian diri dan persatuan di hadapan Ka'bah, lepas dari status sosial, ras, atau kekayaan.
Analisis Mendalam Istita’ah Maliyyah: Definisi dan Penerapan Modern
Mengingat Istita'ah Maliyyah (kemampuan finansial) adalah titik sentral dari kewajiban haji, perluasan pemahaman mengenai definisi kekayaan surplus ini sangat penting dalam konteks modern. Hukum fiqih menetapkan batas antara kebutuhan dan kelebihan (surplus) dengan sangat rinci.
1. Kebutuhan Pokok (Ḥawā’ij Al-Aṣliyyah)
Seseorang tidak dianggap mampu jika dananya akan mengganggu kebutuhan pokoknya. Kebutuhan pokok meliputi:
- Tempat Tinggal yang Layak: Biaya haji tidak boleh memaksa seseorang menjual rumah satu-satunya, bahkan jika rumah itu mewah, asalkan ia diperlukan untuk kenyamanan dan keamanan keluarga.
- Alat Kerja dan Modal Usaha: Modal yang diperlukan untuk menjalankan mata pencaharian utama (misalnya, mesin, peralatan, inventaris) tidak termasuk dalam dana haji. Jika tanpa modal tersebut ia jatuh miskin, maka ia belum mampu.
- Kendaraan Esensial: Kendaraan yang diperlukan untuk mencari nafkah atau menjalankan tugas sehari-hari (bukan kendaraan mewah yang berlebihan).
2. Pertimbangan Utang dan Janji
Masalah utang menjadi semakin kompleks. Utang terbagi menjadi dua: utang yang jatuh tempo (mustahqul adā') dan utang yang ditunda (mu’ajjal). Hanya utang yang wajib dibayar sebelum keberangkatan yang menghalangi Istita'ah. Namun, jika utang tersebut jatuh tempo saat ia sedang haji, ia harus mendapatkan izin dari kreditor atau menyediakan jaminan pelunasan. Mazhab fiqih kontemporer sangat menekankan keadilan finansial. Utang kepada manusia adalah hak adami yang harus diprioritaskan di atas hak Allah yang masih bisa ditunda pelaksanaannya (seperti haji).
3. Biaya Perjalanan Jarak Jauh dan Modernisasi
Di masa lalu, perjalanan haji memakan waktu berbulan-bulan. Biaya (zādat wa rāḥilah) mencakup perbekalan makanan, air, dan keamanan selama perjalanan. Dalam konteks modern, ini diterjemahkan menjadi biaya visa, tiket pesawat, akomodasi, dan biaya hidup selama di Tanah Suci. Fluktuasi kurs mata uang dan biaya visa yang terus meningkat memerlukan perencanaan finansial yang matang. Jika seseorang harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan tiket, sementara kebutuhan domestik terabaikan, ia tidak wajib memaksakan diri.
Konsep Haji Mandiri vs. Haji Kuota
Dalam penerapan fiqih haji di negara-negara mayoritas Muslim, terutama di Indonesia, muncul masalah Istita'ah yang unik terkait sistem kuota dan antrian panjang. Pendaftaran haji memerlukan dana awal, namun keberangkatannya bisa puluhan tahun kemudian.
Pertanyaan Fiqih: Apakah seseorang yang telah mendaftar dan membayar biaya awal, tetapi baru akan berangkat 20 tahun lagi, telah memenuhi Istita'ah?
Para ulama kontemporer berpendapat:
- Istita'ah Wajib Segera: Kewajiban haji (fawr) muncul segera setelah seseorang mampu. Jika antrian menjadi penghalang, ia telah memenuhi kewajiban *niat* dan *persiapan* (Istita'ah Maliyyah), tetapi rukun Hajjnya sendiri ditunda oleh pemerintah (waliyyul amri).
- Menjaga Kemampuan: Orang tersebut wajib menjaga kemampuan finansialnya dan kesehatannya (Istita'ah Badaniyyah) hingga hari keberangkatan. Jika di tengah antrian ia jatuh miskin atau sakit permanen, ia dapat mengajukan Badal Haji atau menunggu hingga ia mampu kembali.
- Haji dengan Dana Pinjaman: Berhutang untuk mendaftar haji, jika pinjaman itu tidak mengganggu kebutuhan dasar, diperbolehkan asalkan pelunasannya terencana dan disetujui kreditor. Namun, berhutang untuk menunaikan haji jika utang itu bersifat mendesak hukumnya makruh atau haram, karena menempatkan kewajiban kepada Allah di atas kewajiban kepada manusia.
Sistem kuota tidak menggugurkan kewajiban haji, tetapi hanya menunda pelaksanaannya. Ini adalah masalah logistik, bukan masalah syariat yang membatalkan Istita'ah.
Penyucian Diri dan Tawhid melalui Hajj
Melampaui aspek hukum, Ali Imran 97 memuat nilai spiritual yang luar biasa. Haji adalah demonstrasi terbesar dari Tauhid (keesaan Allah) dan egaliterianisme (kesetaraan).
1. Puncak Ketundukan (Ihram)
Ketika jamaah memasuki keadaan Ihram, mereka meninggalkan semua atribut duniawi—pakaian mewah, gelar, kekayaan. Semua mengenakan dua helai kain putih yang melambangkan kain kafan. Ini adalah realisasi praktis dari kalimat tauhid: Tiada tuhan selain Allah, dan semua manusia sama di hadapan-Nya. Ritual ini secara langsung melawan kesombongan dan materialisme, yang merupakan musuh utama ketaatan.
2. Makna Wukuf di Arafah
Wukuf (berhenti) di padang Arafah adalah rukun terpenting haji, tempat berkumpulnya umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Ini melambangkan miniatur Padang Mahsyar, di mana semua manusia berdiri setara, memohon ampunan. Wukuf adalah perwujudan tertinggi dari “Wa Lillāhi ‘Alā An-Nāsi Ḥijjul Bait”—menegaskan bahwa kewajiban ini mengikat semua manusia tanpa terkecuali, selama Istita'ah terpenuhi.
3. Pengorbanan dan Kepatuhan
Pengorbanan waktu, harta, dan kenyamanan dalam haji merupakan pelatihan spiritual yang intens. Seseorang meninggalkan zona nyamannya untuk melaksanakan perintah Ilahi. Inilah esensi dari jihad akbar—perjuangan melawan hawa nafsu dan keterikatan duniawi. Perjalanan haji menuntut disiplin, sabar, dan fokus tunggal kepada Allah, yang merupakan kunci untuk mencapai haji mabrur (haji yang diterima).
Keterkaitan antara Istita'ah dan spiritualitas adalah bahwa Allah tidak ingin hamba-Nya berkorban melebihi batas kemampuan mereka, tetapi jika mereka mampu, Allah menuntut pengorbanan itu sebagai bukti keimanan. Kegagalan menunaikannya padahal mampu, menunjukkan kegagalan dalam mengutamakan perintah Ilahi di atas kenyamanan duniawi, yang diistilahkan oleh ayat ini sebagai 'kekafiran' (pengingkaran).
Hukum Menunda Haji bagi yang Mampu (Fawriy vs. Tarākhi)
Salah satu poin fiqih krusial yang terkait dengan Ali Imran 97 adalah kapan tepatnya kewajiban haji itu harus dilaksanakan setelah Istita'ah terpenuhi. Apakah kewajiban itu bersifat segera (fawr) atau boleh ditunda (tarākhi)?
Pandangan Fawr (Segera):
Mayoritas ulama, termasuk Mazhab Hanafi, Hanbali, dan juga pendapat yang kuat dalam Syafi'i, berpendapat bahwa kewajiban haji harus dilaksanakan segera setelah Istita'ah terpenuhi. Jika seseorang menunda tanpa alasan syar'i, ia berdosa. Mereka mendasarkan ini pada Surah Ali Imran 97 yang menggunakan kata perintah (kewajiban) tanpa mengindikasikan penundaan, serta hadis yang memperingatkan untuk bersegera melaksanakan haji.
Implikasi: Jika seseorang yang telah mampu menunda haji dan meninggal dunia dalam masa penundaan itu, ia dianggap berdosa besar dan wajib di-Badalkan dari hartanya.
Pandangan Tarākhi (Ditunda):
Beberapa ulama Mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa kewajiban haji bersifat luas (muwassa') dan boleh ditunda selama hayat masih dikandung badan, asalkan ada niat kuat untuk melaksanakannya di masa depan. Mereka berdalil bahwa Nabi SAW baru melaksanakan haji (Haji Wada') pada tahun terakhir hidup beliau, padahal beliau mampu jauh sebelumnya.
Implikasi: Meskipun diperbolehkan menunda, resikonya besar. Jika meninggal sebelum berhaji, tidak ada jaminan bahwa penundaan tersebut diterima oleh Allah, dan ada kemungkinan ia termasuk dalam ancaman 'kafara' (pengingkaran) karena lalai menggunakan kesempatan.
Kesimpulan Fiqih Kontemporer:
Untuk menghindari risiko besar dari ancaman 'kafara', pandangan yang paling aman dan hati-hati (aḥwat) adalah melaksanakan haji secepat mungkin setelah Istita'ah tercapai. Penundaan hanya diperbolehkan jika ada halangan yang sah, seperti ketidakmampuan fisik sementara, ancaman keamanan, atau masalah administratif (seperti antrian kuota haji).
Analisis Linguistik dan Semantik Ayat
Untuk memahami kekuatan Ali Imran 97, kita perlu memperhatikan pilihan kata yang digunakan Allah:
1. Penggunaan 'Lillahi' (Untuk Allah)
Frasa "Wa Lillāhi ‘Alā An-Nāsi..." secara harfiah berarti "Dan bagi Allah, atas manusia...". Ini menunjukkan bahwa haji bukan sekadar ibadah, melainkan hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba-Nya. Penggunaan preposisi ‘Alā (atas) menyiratkan beban, kewajiban, atau hutang yang melekat pada manusia.
2. Makna Sabīlā (Jalan)
Kata "Sabīlā" (jalan) merujuk pada segala hal yang memfasilitasi perjalanan haji, baik itu jalur fisik, bekal, kendaraan, maupun mahram bagi wanita. Istita'ah bukan hanya tentang uang, tetapi tentang terbukanya semua "jalan" menuju pelaksanaan rukun tersebut. Jika salah satu jalan tertutup (misalnya karena perang atau penyakit), maka Istita'ah belum sempurna.
3. Kontras Kekayaan Ilahi vs. Kebutuhan Manusia
Ayat ditutup dengan kontras tajam: manusia yang ingkar vs. Allah yang Maha Kaya. Pesan ini sublim: Allah tidak terpengaruh oleh ketaatan atau kemaksiatan manusia. Haji adalah ujian ketaatan. Mereka yang mampu tetapi menolak, sejatinya menolak kesempatan untuk membersihkan diri dan mendekat kepada Dzat yang Maha Sempurna, sementara Dzat tersebut sama sekali tidak membutuhkan mereka.
Dimensi Politik dan Persatuan Umat
Haji, sebagai perwujudan Ali Imran 97, memiliki dampak politik dan sosial yang besar dalam sejarah Islam. Pertemuan jutaan manusia dari berbagai etnis, bahasa, dan latar belakang di satu tempat, mengenakan pakaian seragam, adalah manifestasi global dari persatuan Islam (Ukhuwah Islamiyah).
Makkah, dengan keamanan yang dijamin, menjadi platform netral di mana perbedaan politik dan sektarian harus dikesampingkan. Selama ibadah haji, fokus utama adalah kepatuhan kepada syariat, yang secara implisit mengajarkan umat bahwa kesatuan spiritual lebih penting daripada perbedaan duniawi. Ayat 97, dengan penekanannya pada keamanan Makkah, mendukung terciptanya lingkungan global ini setiap tahunnya.
Istita’ah dan Isu Kesehatan Mental
Dalam fiqih modern, Istita'ah Badaniyyah diperluas untuk mencakup kesehatan mental. Apakah seseorang yang menderita penyakit mental parah yang membuatnya tidak dapat memahami rukun haji, atau yang dapat membahayakan dirinya dan orang lain dalam kerumunan, tetap wajib berhaji?
Para ulama kontemporer sepakat bahwa kemampuan mental yang stabil adalah bagian dari Istita'ah Badaniyyah. Jika seseorang menderita gangguan mental berat yang menghilangkan akalnya, ia tidak mukallaf (tidak terbebani kewajiban syar'i). Jika ia memiliki harta, ia tidak wajib berhaji. Namun, jika ia hanya menderita kecemasan atau depresi ringan, kewajiban tetap ada, dan ia dianjurkan mencari pengobatan atau pendampingan yang memadai.
Hal ini menunjukkan fleksibilitas syariat yang tidak pernah membebani jiwa di luar batas kemampuannya (Lā yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā). Istita'ah adalah rahmat, bukan belenggu.
Tanda-Tanda Nyata Lainnya di Baitullah (Ayatun Bayyinat)
Selain Maqam Ibrahim dan keamanan abadi, para mufasir menyebutkan tanda-tanda nyata (āyātun bayyinātun) lain yang terkandung di Baitullah, yang menegaskan keagungan tempat tersebut:
- Zamzam: Keajaiban mata air yang tidak pernah kering di tengah gurun, yang muncul atas karunia Allah untuk Ismail dan Hajar.
- Kesucian Tanah Haram: Hewan buas tidak memangsa di kawasan haram, dan pepohonan di sana memiliki keistimewaan yang berbeda dari luar haram.
- Fenomena Burung: Kisah burung yang tidak terbang di atas Ka'bah sebagai bentuk penghormatan (meskipun ini masih diperdebatkan, namun menjadi bagian dari keyakinan tradisional tentang keajaiban Ka'bah).
- Keberkahan Rezeki: Meskipun Makkah adalah lembah gersang, rezeki datang melimpah dari seluruh penjuru dunia untuk memenuhi kebutuhan para jamaah dan penduduknya, sebagai jawaban atas doa Nabi Ibrahim.
Tanda-tanda ini secara kolektif menegaskan bahwa Baitullah adalah tempat yang dipilih secara Ilahi, bukan sekadar bangunan biasa. Ini memperkuat alasan mengapa kewajiban haji kepadanya merupakan perintah yang begitu mulia dan berkonsekuensi besar.
Refleksi Mendalam Atas Peringatan 'Kafara'
Penggunaan kata ‘Kafara’ dalam konteks Ali Imran 97 menunjukkan adanya unsur kesombongan (istikbar) dalam penolakan haji bagi yang mampu. Seseorang yang memiliki segala sumber daya—harta, kesehatan, dan keamanan—namun memilih untuk tidak taat, menunjukkan pengutamaan kepentingan pribadi di atas perintah Tuhan. Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah.
Ini berbeda dengan orang yang tidak mampu secara finansial. Orang miskin, meskipun ia sangat ingin berhaji, tidak berdosa karena ia tidak diwajibkan (Istita'ah belum terpenuhi). Dosa besar hanya ditujukan kepada mereka yang Allah bukakan pintu kesempatan, tetapi mereka yang menutupnya sendiri karena ketidakpedulian.
Oleh karena itu, penutup ayat ini, "fa inna Allāha ghaniyyun ‘anil ‘ālamīn", berfungsi sebagai cerminan: jika manusia bersikap sombong dan menganggap dirinya tidak membutuhkan Allah, maka Allah menegaskan bahwa Dia memang tidak membutuhkan mereka. Manusia yang rugi, bukan Allah.
Kesimpulan dari bagian ini adalah panggilan untuk introspeksi: apakah harta yang kita kumpulkan hanya untuk diri sendiri, atau apakah kita menggunakannya untuk menunaikan hak-hak Ilahi? Haji adalah barometer sejati ketaatan seorang Muslim yang mampu.
Tanggung Jawab Pemerintah (Waliyyul Amri) dalam Istita'ah
Dalam implementasi modern, negara memiliki peran besar dalam membantu warganya memenuhi Istita'ah. Tugas pemerintah mencakup:
- Menjamin Keamanan Rute: Mengurus hubungan diplomatik dan logistik untuk memastikan perjalanan jamaah aman dan lancar (memenuhi Istita'ah Amniyyah).
- Pengelolaan Keuangan Haji: Mengelola dana haji yang disetorkan calon jamaah agar terjaga nilai manfaatnya dan digunakan secara efisien.
- Edukasi dan Kesehatan: Menyediakan pelatihan manasik haji dan pemeriksaan kesehatan yang ketat (untuk memastikan Istita'ah Badaniyyah terpenuhi).
Jika pemerintah gagal memenuhi kewajibannya dalam menjamin keamanan atau logistik yang memadai, maka halangan tersebut dapat dianggap sebagai halangan syar'i bagi jamaah, dan kewajiban haji mereka ditunda tanpa dosa, karena Istita'ah Amniyyah belum terpenuhi.
Kewajiban Hajj dan Konsep 'Umr' (Usia)
Apakah ada batasan usia untuk Istita'ah? Secara fiqih, tidak ada batasan usia maksimum. Selama seseorang memenuhi Istita'ah Maliyyah dan Istita'ah Badaniyyah, ia wajib berhaji.
Namun, dalam kasus lansia, seringkali Istita'ah Badaniyyah menjadi gugur. Jika seseorang menjadi lemah dan tidak mampu setelah ia telah mampu secara finansial di masa muda (dan ia menundanya tanpa alasan), ia dianggap lalai dan wajib di-Badalkan (dihajikan oleh orang lain) setelah itu.
Jika seseorang baru mencapai Istita'ah finansial di usia senja, dan fisiknya sudah terlalu lemah, maka ia langsung wajib Badal Haji. Ini adalah bentuk keringanan dari Allah, yang tetap menghargai niat dan kemampuan finansial, meskipun kemampuan fisik telah sirna.
Kesinambungan Ibadah Setelah Haji
Haji mabrur ditandai bukan hanya oleh kesempurnaan ritual di Makkah, tetapi oleh perubahan perilaku dan peningkatan ketaatan setelah kembali ke tanah air. Jika seseorang telah menunaikan haji berdasarkan Ali Imran 97, tetapi kembali ke perilaku lama yang melalaikan ibadah wajib lainnya, maka ia patut meragukan kemabruran hajinya.
Haji berfungsi sebagai titik balik (turning point). Ujian sejati dari pemenuhan kewajiban haji adalah sejauh mana seseorang mampu mempertahankan spirit Istita'ah—kemampuan dan kesediaan—dalam melaksanakan semua rukun dan kewajiban Islam lainnya sepanjang hidupnya, termasuk shalat, zakat, dan puasa.
Ringkasan Kewajiban Hajj Berdasarkan Ali Imran 97
Ayat mulia ini memberikan kerangka kerja yang komprehensif bagi Muslim mengenai salah satu pilar keimanan terbesar:
- Dasar Kewajiban: Haji adalah hak Allah atas manusia (Wa Lillāhi ‘Alā An-Nāsi).
- Prasyarat: Kewajiban ini hanya berlaku jika terpenuhi Istita'ah (Manistaṭā‘a Ilayhi Sabīlā)—kemampuan finansial, fisik, dan keamanan.
- Keagungan Tempat: Baitullah dan sekitarnya adalah tempat yang memiliki tanda-tanda kebesaran Allah (Āyātun Bayyinātun) dan jaminan keamanan (Kāna Āminan).
- Konsekuensi: Mengingkari kewajiban haji padahal mampu merupakan dosa besar yang disamakan dengan kekafiran amalan (Kufr 'Amali), tetapi Allah tetap Maha Kaya.
Kepatuhan terhadap ayat ini adalah bukti kesetiaan tertinggi seorang hamba yang mengakui bahwa semua yang dimilikinya—harta, waktu, dan kesehatan—pada hakikatnya berasal dari Allah, dan harus digunakan untuk memenuhi perintah-Nya.