Surah Ali Imran, khususnya ayat 173 dan 174, memuat inti sari dari konsep tauhid dan penyerahan diri yang absolut dalam Islam. Ayat-ayat ini bukan sekadar rangkaian kalimat, melainkan formula ilahiah yang berfungsi sebagai benteng spiritual bagi jiwa yang sedang diuji. Dikenal secara luas melalui frasa agung "Hasbunallahu wa ni'mal wakeel", kedua ayat ini menceritakan sebuah narasi keberanian, keikhlasan, dan janji balasan yang melimpah ruah dari sisi Allah SWT, bahkan ketika manusia dihadapkan pada ancaman dan ketakutan yang paling mendasar.
Kontekstualisasi kedua ayat ini sangat penting, sebab ia turun pada momen krusial dalam sejarah Islam, yaitu pasca Perang Uhud. Umat Islam saat itu berada dalam kondisi psikologis yang rentan—baru saja mengalami kekalahan menyakitkan, menderita kerugian besar, dan berada di bawah ancaman serangan balasan dari musuh. Dalam kondisi inilah, wahyu turun untuk menegaskan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada jumlah pasukan atau senjata, melainkan pada kualitas koneksi dan ketergantungan mutlak hamba kepada Penciptanya. Ayat 173 menjadi deklarasi keyakinan, dan Ayat 174 menjadi janji realisasi dari keyakinan tersebut.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman ayat 173 dan 174, kita harus menengok kembali peristiwa yang melatarinya, yang dikenal sebagai ekspedisi Hamra al-Asad. Setelah Perang Uhud, meskipun Quraisy Mekah meraih kemenangan taktis, mereka tidak sepenuhnya menghancurkan kekuatan Muslim. Justru, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah. Namun, di tengah perjalanan pulang, muncul bisikan dan keraguan di antara para pemimpin Quraisy. Mereka merasa seharusnya menyelesaikan tugas, kembali ke Madinah, dan melenyapkan sisa-sisa kekuatan Muslim.
Kabar mengenai potensi serangan balasan ini sampai ke telinga Rasulullah SAW. Meskipun para sahabat masih dalam kondisi terluka dan berduka, Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk segera mempersiapkan diri dan mengejar pasukan Quraisy hingga mencapai Hamra al-Asad, sebuah lokasi yang berjarak sekitar 13 kilometer dari Madinah. Perintah ini adalah ujian keimanan dan kepatuhan yang luar biasa. Para sahabat yang baru saja terluka parah, tanpa ragu, memenuhi panggilan ini. Inilah latar belakang di mana ketakutan dan ancaman nyata melingkupi mereka, tetapi mereka memilih untuk memercayai perintah Ilahi.
Tindakan ini mengirimkan pesan kuat kepada kaum Quraisy bahwa Muslimin tidak hancur dan semangat mereka tidak padam. Meskipun tidak terjadi pertempuran besar, kehadiran Muslimin di Hamra al-Asad berhasil menanamkan ketakutan di hati musuh, sehingga Quraisy memilih untuk melanjutkan perjalanan pulang mereka ke Mekah tanpa kembali menyerang Madinah. Di tengah ancaman dan ketegangan inilah, Allah SWT menurunkan penegasan yang akan menjadi pijakan spiritual abadi.
Visualisasi Inti Kekuatan: Hasbunallahu wa ni'mal wakeel.
(Yaitu) orang-orang (sahabat) yang menaati (perintah) Allah dan Rasul, sesudah mereka mendapat luka (dalam Perang Uhud). Orang-orang (munafik atau musuh) mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya manusia (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka," maka perkataan itu menambah keimanan mereka, dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah bagi kami, dan Dia sebaik-baik Pelindung." (Q.S. Ali Imran: 173)
Ayat ini membuka dengan menggambarkan situasi yang penuh tekanan. Ada pihak-pihak (orang-orang munafik atau mata-mata musuh) yang sengaja menyebarkan informasi palsu atau melebih-lebihkan ancaman ("Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka"). Tujuannya jelas: menggoyahkan mental Muslimin yang sudah rapuh pasca-Uhud, menanamkan rasa takut, dan mencegah mereka melakukan pengejaran ke Hamra al-Asad.
Namun, respons dari para sahabat yang taat sungguh luar biasa. Reaksi mereka tidak didominasi oleh ketakutan, melainkan oleh peningkatan keyakinan: "fa-zāadahum īmānan" (maka perkataan itu menambah keimanan mereka). Di sinilah letak revolusi spiritualnya. Ancaman fisik diubah menjadi bahan bakar spiritual. Semakin besar ancaman, semakin kokoh fondasi keimanan yang mereka pegang.
Puncak dari respons spiritual ini adalah deklarasi: "Hasbunallahu wa ni'mal wakeel".
Frasa ini adalah esensi dari Tawakkul (penyerahan diri dan kepercayaan penuh). Ia bukan sekadar kata-kata yang diucapkan, melainkan sikap batin yang menolak untuk diperbudak oleh ketakutan duniawi, karena mengetahui bahwa kendali utama dipegang oleh Sang Pencipta.
Zikir ini adalah senjata psikologis yang paling ampuh. Dalam menghadapi ancaman, manusia secara naluriah cenderung panik dan kehilangan akal sehat. Namun, bagi orang mukmin, zikir ini berfungsi sebagai jangkar yang menstabilkan jiwa. Ketika keraguan datang, ketika musuh tampak perkasa, zikir ini mengingatkan bahwa ada entitas yang jauh lebih perkasa yang berdiri di sisi mereka. Ini adalah manifestasi dari keyakinan bahwa rencana Allah adalah yang terbaik, dan tidak ada keburukan yang dapat menimpa kecuali atas izin-Nya.
Ayat 173 mengajarkan bahwa reaksi yang benar terhadap ketakutan bukanlah mundur, melainkan maju dengan keyakinan yang berlipat ganda. Ini adalah keberanian yang lahir bukan dari rasa percaya diri yang sombong, melainkan dari kerendahan hati yang menyerahkan segalanya kepada Sang Khalik.
Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa oleh sesuatu keburukan pun, dan mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Q.S. Ali Imran: 174)
Ayat 174 adalah bukti nyata dari janji yang terkandung dalam Tawakkul sempurna. Karena mereka telah memilih Allah sebagai Wakil, maka hasilnya adalah mereka "fa-inqalaboo bi-ni'matin mina Allāhi wa faḍlin" (maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah). Ini adalah pencapaian ganda: duniawi dan ukhrawi.
Ni'mah (Nikmat/Rahmat): Dalam konteks Hamra al-Asad, nikmat yang pertama adalah keamanan. Mereka berhasil menghalau potensi serangan balasan tanpa harus terlibat dalam pertempuran yang menghabiskan tenaga dan nyawa. Selain itu, nikmat juga mencakup keuntungan material yang mungkin mereka peroleh dalam perjalanan tersebut, seperti rampasan perang kecil atau kesempatan berdagang, sebagai imbalan atas pengorbanan mereka.
Faḍl (Karunia/Keutamaan): Karunia ini adalah aspek yang lebih besar dan spiritual. Ini adalah pahala, peningkatan derajat keimanan, dan keridhaan Allah. Karunia ini jauh lebih berharga daripada keuntungan duniawi manapun. Allah memberikan kepada mereka sesuatu yang melebihi apa yang mereka harapkan—sebuah hadiah yang hanya diberikan kepada mereka yang berjuang keras di jalan-Nya.
Salah satu poin paling menghibur dalam ayat ini adalah penegasan: "lam yamsas-hum sū’" (mereka tidak ditimpa oleh sesuatu keburukan pun). Kata 'sū’' dalam bahasa Arab memiliki makna yang luas, mencakup keburukan fisik (luka, penyakit), keburukan psikologis (ketakutan, kegagalan moral), dan keburukan material (kerugian harta benda).
Dalam situasi di mana ancaman perang sangat nyata, janji bahwa mereka tidak akan disentuh oleh keburukan apa pun adalah jaminan perlindungan total. Karena mereka bergantung kepada Yang Maha Melindungi, Allah menutup semua pintu potensi bahaya bagi mereka. Ini menegaskan kaidah ilahiah: Siapa pun yang memilih Allah sebagai pelindung, maka semua kekuatan lain di alam semesta tidak akan mampu menyentuhnya dengan keburukan tanpa izin-Nya.
Ayat 174 tidak berhenti pada perlindungan dan keuntungan. Ia juga menyebutkan bahwa mereka "wa ittba'uu riḍwāna Allāh" (dan mereka mengikuti keridhaan Allah). Hal ini menunjukkan bahwa tujuan utama para sahabat bukanlah sekadar menghindari bahaya atau meraih keuntungan duniawi semata, tetapi untuk mendapatkan keridhaan Ilahi. Keberanian mereka, ketaatan mereka pasca luka-luka, dan zikir mereka adalah upaya total untuk menyenangkan Allah.
Keridhaan Allah adalah puncak dari segala pencapaian, dan ia menjadi alasan mengapa janji-janji (nikmat, karunia, dan perlindungan) diwujudkan. Ayat ini ditutup dengan penegasan agung: "Wa Allahu Dzu Fadlin 'Azhim" (Dan Allah mempunyai karunia yang besar), menggarisbawahi bahwa sumber dari semua kebaikan ini adalah karunia Allah yang tak terhingga.
Perlindungan (Amn) yang berasal dari Tawakkul yang jujur.
Konsep Tawakkul yang diajarkan dalam ayat-ayat ini jauh melampaui sekadar kepasrahan pasif. Ia adalah sebuah filosofi hidup yang mengubah cara seorang mukmin memandang tantangan dan ancaman. Ayat 173-174 menawarkan paradigma yang disebut sebagai Tawakkul Aktif.
Tawakkul bukanlah berarti duduk diam dan menunggu nasib. Konteks historisnya membuktikan hal ini: para sahabat tidak tinggal di Madinah menunggu serangan, melainkan mereka bangkit dari luka-luka mereka dan bergerak menuju Hamra al-Asad atas perintah Rasulullah SAW. Pergerakan fisik ini adalah usaha (ikhtiar) mereka. Setelah usaha maksimal dilakukan, barulah penyerahan diri total dilakukan melalui zikir, 'Hasbunallahu wa ni'mal wakeel'.
Filosofi ini mengajarkan bahwa seorang Muslim harus mengerahkan semua sumber daya dan kemampuan yang dimilikinya (usaha, akal, dan strategi). Setelah batas kemampuan manusia tercapai, di situlah peran Allah sebagai Wakil dimulai. Ayat 174 adalah balasan bagi kombinasi sempurna antara usaha dan kepercayaan. Tanpa ikhtiar, tawakkul menjadi kemalasan. Tanpa tawakkul, ikhtiar menjadi keangkuhan.
Ketakutan adalah salah satu senjata terbesar Iblis untuk melumpuhkan potensi manusia. Ayat 173 secara spesifik menggambarkan bagaimana musuh mencoba memprovokasi ketakutan ("karena itu takutlah kepada mereka"). Reaksi mukmin sejati adalah menetralkan ketakutan tersebut dengan memasukkan kekuatan yang lebih besar ke dalam hati.
Ketika seseorang mengucapkan 'Hasbunallahu wa ni'mal wakeel', ia secara psikologis menarik jangkar kekuatannya dari dunia yang fana (pasukan musuh, kerugian, ancaman) dan menambatkannya pada Dzat yang Maha Kekal. Efeknya adalah kedamaian batin (sakinah) yang memungkinkan pengambilan keputusan yang rasional dan keberanian yang tulus, bahkan di tengah bahaya yang mengancam.
Ayat 173 dan 174 membentuk siklus yang sempurna: Ancaman → Peningkatan Iman → Deklarasi Tawakkul → Perlindungan dan Karunia.
Ini menunjukkan bahwa perlindungan Allah (lam yamsas-hum sū’) bukanlah otomatis, melainkan merupakan hasil langsung dari peningkatan keimanan (zāadahum īmānan) dan deklarasi penyerahan diri. Semakin tulus penyerahan diri kita kepada Allah, semakin kuat pula perlindungan dan kebaikan yang akan kita terima dari-Nya. Ini adalah pelajaran abadi tentang urgensi menjaga kualitas hubungan kita dengan Allah dalam setiap kondisi.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, analisis leksikal terhadap beberapa kata kunci memberikan wawasan yang lebih kaya:
Kata 'su' dalam 'lam yamsas-hum sū’' adalah kata yang sangat komprehensif. Ia mencakup segala bentuk keburukan atau kesulitan. Ini berbeda dengan 'dharr' (ضرر) yang biasanya merujuk pada kerugian material, atau 'azab' (عذاب) yang merujuk pada penderitaan hukuman. Penggunaan 'su' menyiratkan bahwa mereka dilindungi dari segala sesuatu yang secara fundamental buruk, baik itu kekalahan moral, kerugian finansial, atau bahaya fisik.
Jaminan bahwa keburukan tidak menyentuh mereka (lam yamsas-hum) juga memberikan penekanan. Artinya, keburukan itu ada di sekitar mereka, mengintai, tetapi tidak mampu menembus lapisan perlindungan Ilahi yang melingkupi mereka karena pengakuan 'Hasbunallahu wa ni'mal wakeel'.
Penggunaan kedua kata ini secara berpasangan dalam Ayat 174 sangat signifikan. Ahli tafsir membedakan keduanya sebagai berikut:
Ketika Allah mengembalikan mereka dengan keduanya, itu berarti Allah memberikan kesempurnaan balasan, meliputi kebutuhan duniawi (perlindungan, keamanan) dan kebutuhan ukhrawi (pahala, keridhaan). Ini menunjukkan kemurahan Allah yang tiada tara kepada hamba yang tulus.
Meskipun ayat-ayat ini diturunkan dalam konteks militer dan ancaman fisik, relevansi spiritualnya bersifat abadi dan meluas ke setiap aspek kehidupan modern. Kita mungkin tidak menghadapi pasukan Quraisy di Hamra al-Asad, tetapi kita menghadapi 'musuh' kontemporer yang sama-sama menakutkan: krisis ekonomi, penyakit, ketidakpastian politik, dan kecemasan mental yang melumpuhkan.
Ketika pasar jatuh, utang menumpuk, atau pekerjaan hilang, rasa takut akan masa depan bisa sangat menghancurkan. Dalam kondisi ini, bisikan keputusasaan (musuh modern) akan berkata, "Kamu akan bangkrut, takutlah!" Respon dari Al Imran 173 adalah: 'Hasbunallahu wa ni'mal wakeel.'
Hal ini bukan berarti kita berhenti bekerja (menghilangkan ikhtiar), tetapi setelah usaha maksimal dilakukan—mulai dari menabung, berinvestasi, hingga mencari pekerjaan—kita menyerahkan hasilnya kepada Allah. Janji Ayat 174 berlaku: kita akan kembali dengan nikmat dan karunia, yang mungkin berupa solusi tak terduga (rejeki yang tidak disangka-sangka) atau perlindungan dari keburukan (terhindar dari kerugian yang lebih besar).
Diagnosis penyakit serius, terutama penyakit yang mengancam jiwa, dapat memicu ketakutan eksistensial. Sama seperti para sahabat yang terluka parah di Uhud, kita mungkin merasa rentan. Langkah pertama adalah ikhtiar (mencari pengobatan terbaik, mengikuti nasihat medis). Langkah berikutnya adalah Tawakkul. Mengucapkan zikir ini di ranjang rumah sakit adalah deklarasi bahwa meskipun dokter dan obat-obatan adalah sarana, penyembuh sejati adalah Allah.
Kepercayaan ini menghilangkan rasa panik, memungkinkan jiwa untuk beristirahat dalam kepastian Ilahi. Hasilnya (ni’mah dan faḍl) mungkin berupa kesembuhan, atau bahkan jika takdirnya adalah kematian, karunia terbesar adalah husnul khatimah (akhir yang baik) dan keridhaan Allah.
Di era modern, kecemasan kronis adalah 'su’' (keburukan) psikologis yang meluas. Kecemasan seringkali berakar pada kekhawatiran tentang hal-hal yang belum terjadi atau hal-hal di luar kendali kita. 'Hasbunallahu wa ni'mal wakeel' adalah terapi kognitif spiritual yang paling efektif.
Ketika pikiran dipenuhi dengan skenario terburuk, zikir ini berfungsi untuk mengalihkan kendali dari pikiran yang tidak stabil ke tangan Dzat yang Maha Sempurna. Pengucapan yang tulus menciptakan ketenangan batin, karena orang tersebut menyadari bahwa ia tidak memikul beban alam semesta sendirian. Sebaik-baik pelindung telah mengambil alih kekhawatiran yang paling berat.
Dampak zikir ini tidak terbatas pada peristiwa Hamra al-Asad. Sepanjang sejarah Islam, zikir ini telah menjadi perlindungan bagi para Nabi dan orang-orang saleh ketika menghadapi bahaya yang mustahil diatasi secara manusiawi.
Salah satu kisah paling terkenal yang menjadi sandaran tafsir mengenai kekuatan 'Hasbunallahu wa ni'mal wakeel' adalah kisah Nabi Ibrahim AS. Ketika beliau dilemparkan ke dalam kobaran api yang sangat besar oleh Raja Namrudz, dikisahkan Malaikat Jibril datang menawarkan bantuan. Nabi Ibrahim menolak, seraya berkata, "Adapun kepada engkau (Jibril), aku tidak butuh. Adapun kepada Allah, cukuplah Dia bagiku."
Riwayat yang masyhur menyebutkan bahwa pada momen itulah beliau mengucapkan, "Hasbunallahu wa ni'mal wakeel." Sesaat setelah penyerahan total ini, perintah Ilahi datang: "Wahai api, jadilah dingin dan selamatkan Ibrahim." Api, yang seharusnya menghanguskan, berubah menjadi sumber perlindungan dan kenyamanan. Ini adalah contoh tertinggi dari Ayat 174: kembali dengan nikmat dan karunia, tanpa disentuh sedikit pun oleh keburukan (sū’).
Para ulama besar dan pemimpin Islam di masa-masa sulit juga menjadikan zikir ini sebagai benteng utama mereka. Ketika mereka menghadapi ancaman dari penguasa zalim, fitnah besar, atau penganiayaan, mereka berpegang teguh pada janji dalam Ali Imran 173-174.
Dikisahkan, ketika para ulama menghadapi ujian yang sangat berat yang mengancam nyawa mereka, mereka tidak membiarkan ketakutan merasuk. Mereka sadar bahwa pengucapan zikir ini dengan hati yang jujur adalah perlindungan yang lebih kokoh daripada benteng baja manapun. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan zikir terletak pada keyakinan batin, bukan pada frekuensi pengucapan semata. Keyakinan penuh bahwa Allah adalah Wakil yang Maha Sempurna mengubah hasil yang seharusnya berupa bencana menjadi keselamatan dan karunia.
Ayat 174 menegaskan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Memiliki Karunia yang Besar (Wa Allahu Dzu Fadlin 'Azhim). Penegasan ini mengakhiri narasi dan berfungsi sebagai motivasi abadi bagi orang mukmin. Karunia Allah (Fadl) memiliki sifat-sifat yang luar biasa:
Karunia Allah tidak dibatasi oleh logika sebab-akibat manusiawi. Ketika para sahabat kembali dari Hamra al-Asad, mereka mendapatkan keuntungan dan keamanan melebihi perhitungan militer. Karunia ini adalah keajaiban yang diberikan kepada mereka yang berhak. Dalam hidup kita, Fadl Allah bisa berupa pintu rezeki yang terbuka tanpa diduga, ilham yang menyelamatkan dari bahaya, atau hidayah yang mengubah hidup.
Memahami bahwa Allah memiliki Fadl yang 'Azhim (agung/besar) mendorong kita untuk berharap besar. Tawakkul sejati mencakup keyakinan bahwa Allah mampu memberikan lebih dari yang kita minta, dan lebih dari yang kita bayangkan. Oleh karena itu, kita harus memasang standar harapan yang tinggi kepada-Nya, selaras dengan keagungan sifat-sifat-Nya.
Janji 'lam yamsas-hum sū’' (tidak ditimpa keburukan) adalah keistimewaan yang diberikan kepada mereka yang menjadikan Allah sebagai Wakil. Ini adalah perlindungan segera, yang terjadi pada saat dan tempat bahaya mengintai. Hal ini seharusnya meningkatkan kesadaran kita akan kehadiran Allah yang senantiasa mengawasi dan menjaga hamba-Nya yang beriman.
Ini membedakan tawakkul dari sekadar kesabaran. Sabar adalah menanggung ujian yang sudah terjadi. Tawakkul adalah keyakinan yang menghasilkan perlindungan yang mencegah ujian buruk itu terjadi atau meminimalkan dampaknya secara signifikan, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Hamra al-Asad.
Ali Imran 173 dan 174 tidak hanya sekadar mengisahkan sebuah peristiwa sejarah; mereka merumuskan sebuah metodologi spiritual yang universal dan aplikatif. Metodologi ini menuntut tiga pilar utama dari seorang hamba:
Para sahabat mematuhi perintah Rasulullah SAW untuk mengejar musuh, meskipun dalam kondisi yang sulit. Ketaatan ini adalah prasyarat dasar. Tawakkul tidak dapat berdiri tanpa kepatuhan terhadap syariat. Kita tidak bisa mengharapkan perlindungan Allah jika kita secara sengaja melanggar batas-batas-Nya. Ketaatan adalah wujud fisik dari penyerahan diri.
Ketika ancaman datang, keimanan mereka justru bertambah (fa-zāadahum īmānan). Ini berarti ujian bukanlah alasan untuk melemah, tetapi pemicu untuk mencari kekuatan yang lebih dalam. Ujian adalah sarana untuk memurnikan keyakinan kita, memisahkan mukmin sejati dari mereka yang beriman hanya ketika segala sesuatu berjalan lancar. Respons inilah yang memicu deklarasi agung.
Deklarasi ini adalah titik balik di mana seorang hamba secara sadar melepaskan bebannya dan menempatkannya di bawah kuasa Allah. Ini adalah pengakuan bahwa meskipun kita telah melakukan yang terbaik, hasil akhirnya berada di luar kendali kita, dan kita senang dengan hasil apa pun yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Bijaksana.
Jika ketiga pilar ini ditegakkan, maka janji ilahiah dalam Ayat 174 pasti akan terwujud: kembali dengan nikmat, karunia, dan terhindar dari segala keburukan. Kekuatan yang terkandung dalam Al Imran 173-174 adalah kekuatan transformasi; mengubah keputusasaan menjadi keberanian, ancaman menjadi kesempatan, dan kerugian menjadi keuntungan spiritual yang abadi.
Setiap Muslim diajak untuk menjadikan 'Hasbunallahu wa ni'mal wakeel' bukan hanya sebagai ucapan di saat krisis, tetapi sebagai mantra harian yang membentuk fondasi jiwa yang tegar, optimis, dan selalu merasa cukup dengan Allah sebagai Pelindung, Pengurus, dan Penjamin yang Terbaik. Ini adalah warisan keimanan yang tak ternilai harganya, memastikan bahwa dalam setiap pertempuran hidup, kita tidak pernah berjuang sendirian.
Penyempurnaan diri melalui pemahaman mendalam terhadap kedua ayat ini membawa kita kepada kesimpulan bahwa kualitas hidup seorang mukmin tidak diukur dari seberapa banyak ia berhasil menghindari kesulitan, melainkan dari seberapa kokoh ia berpegang pada keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pelindung yang Maha Mencukupi, bahkan ketika seluruh dunia mengancam untuk runtuh di sekitarnya. Keindahan ajaran ini terletak pada kemampuannya untuk menawarkan kedamaian yang total, sebuah sakinah yang tidak dapat digoyahkan oleh badai kehidupan fana.
Konteks historis Hamra al-Asad adalah pengingat abadi bahwa ketakutan adalah ilusi yang ditiupkan musuh, dan senjata terbaik untuk menghancurkannya adalah keimanan yang meningkat seiring datangnya ancaman. Saat orang lain menyuruh kita takut, jawaban kita adalah selalu meningkatkan kadar tawakkul. Inilah esensi keagungan Ali Imran 173 dan 174.