Surah Al-Hasyr, yang diturunkan di Madinah, sering kali dikenal karena membahas pengusiran Bani Nadir, sebuah suku Yahudi yang mengkhianati perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Namun, di balik narasi historis tersebut, terdapat sebuah prinsip etika dan hukum yang jauh lebih universal dan abadi, terutama yang termaktub dalam ayat ketujuhnya. Ayat ini tidak hanya mengatur distribusi harta rampasan perang (fai'), tetapi meletakkan dasar bagi seluruh sistem ekonomi Islam yang berfokus pada keadilan sosial dan pencegahan penumpukan kekayaan yang ekstrem.
Ayat 7 Surah Al-Hasyr (59:7) adalah pilar utama dalam pemahaman ekonomi syariah. Ia menawarkan solusi radikal terhadap masalah ketimpangan yang telah melanda peradaban manusia dari masa ke masa. Inti dari ayat ini adalah sebuah perintah eksplisit untuk memastikan bahwa kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja. Analisis mendalam terhadap struktur kalimat dan konteks historis ayat ini mengungkapkan visi Islam tentang masyarakat yang adil, stabil, dan sejahtera secara kolektif.
"Harta rampasan (Fai') yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk negeri-negeri, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. Al-Hasyr: 7)
Fokus utama artikel ini adalah pada frasa krusial yang mengatur distribusi ekonomi: كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ (kaylā yakūna dūlatan bayna l-aghniyā’ minkum), yang berarti "agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." Frasa ini merupakan jantung dari etika ekonomi Islam, menegaskan bahwa kekayaan bukanlah monopoli, melainkan sumber daya sosial yang memiliki implikasi keagamaan dan kemasyarakatan yang luas.
Untuk memahami kedalaman Ayat 7, kita harus memahami konteks turunnya. Ayat ini secara spesifik berbicara tentang distribusi Fai'. Dalam terminologi fiqh Islam, Fai' berbeda dengan Ghanimah (harta rampasan perang). Ghanimah adalah harta yang diperoleh melalui pertempuran dan dibagi dengan sistem 1/5 untuk negara (khumus) dan 4/5 untuk prajurit.
Fai' adalah harta yang diperoleh tanpa melalui pengerahan kuda dan unta (tanpa peperangan yang signifikan). Kasus Bani Nadir di Madinah adalah contoh klasik. Ketika Bani Nadir diusir karena pengkhianatan, mereka meninggalkan harta, kebun kurma, dan properti mereka. Harta ini menjadi Fai'. Karena Fai' diperoleh tanpa pengorbanan militer yang besar dari individu, Allah SWT menyerahkan otoritas distribusinya sepenuhnya kepada Rasulullah SAW.
Ayat ini mengatur bahwa Fai' dibagi menjadi enam kategori penerima: Allah dan Rasul (yang berarti digunakan untuk kepentingan umum dan negara), kerabat Nabi (Banu Hasyim dan Banu Muththalib), anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal). Prioritas Fai' ini jelas mengarah pada kelompok-kelompok yang lemah, rentan, dan yang membutuhkan perlindungan sosial.
Tujuan di balik pembagian Fai' yang spesifik ini dijelaskan dalam frasa kuncinya: "kaylā yakūna dūlatan bayna l-aghniyā’ minkum". Pembagian ini didesain sedemikian rupa untuk mencegah pembentukan siklus kekayaan yang tertutup. Jika harta Fai' dibagikan seperti Ghanimah kepada prajurit yang umumnya sudah memiliki kemampuan ekonomi, maka kekayaan hanya akan menumpuk pada kelompok yang sama. Allah menghendaki agar kekayaan tersebut disalurkan ke lapisan masyarakat yang berbeda, yang paling membutuhkan, sehingga terjadi rotasi dan pemerataan ekonomi.
Dengan demikian, Al-Hasyr 7 menetapkan bahwa properti publik atau harta yang berada di bawah kendali negara (atau pimpinan) harus digunakan sebagai instrumen untuk koreksi sosial dan ekonomi. Ayat ini adalah landasan filosofis bagi mekanisme fiskal negara Islam untuk mengurangi jurang kekayaan.
Untuk memahami kekuatan argumen ekonomi dalam ayat ini, kita perlu membedah kata kuncinya, terutama dūlatan (دُولَةً).
Kata dūlatan berasal dari akar kata *dāla* (دال) yang berarti berputar, bergiliran, atau sirkulasi. Dalam konteks ayat ini, dūlatan merujuk pada kekayaan yang berputar atau bergilir hanya di antara sekelompok orang tertentu.
Para mufasir, seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi, menjelaskan bahwa dūlatan di sini berarti kekuasaan ekonomi. Jika kekayaan dibiarkan hanya berputar (bersirkulasi) di kalangan orang-orang kaya saja (al-aghniyā’), maka yang terjadi adalah penguatan kelas borjuis yang terisolasi. Kekayaan akan melahirkan kekayaan baru (melalui investasi yang hanya bisa diakses oleh mereka), sementara modal tidak pernah mencapai tangan orang miskin untuk memutus siklus kemiskinan mereka.
Ayat ini adalah peringatan keras terhadap oligarki ekonomi, di mana kekuasaan dan pengaruh terpusat pada segelintir individu atau keluarga karena monopoli mereka atas sumber daya. Islam mengakui kepemilikan pribadi, tetapi menegaskan bahwa kepemilikan tersebut membawa tanggung jawab sosial yang sangat besar, dan negara memiliki peran intervensi untuk mencegah konsentrasi kekayaan yang berbahaya bagi keseimbangan sosial.
Frasa "di antara orang-orang kaya saja di antara kamu" menunjukkan bahwa siklus kekayaan yang tertutup adalah masalah internal umat. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang distribusi Fai', tetapi juga menetapkan prinsip umum bahwa semua mekanisme ekonomi—Zakat, Infaq, sedekah, dan sistem waris—harus bekerja sama untuk memastikan bahwa modal sosial bergerak dari atas ke bawah, bukan hanya berputar di lapisan atas.
Jika kekayaan hanya menjadi hak prerogatif orang kaya, maka akan terjadi stagnasi ekonomi di tingkat akar rumput, meningkatnya kriminalitas (karena putus asa), dan yang paling parah, hilangnya solidaritas sosial yang merupakan inti dari komunitas Muslim.
Gambar: Visualisasi Prinsip Distribusi Kekayaan Berdasarkan Al-Hasyr Ayat 7, Menjamin Kekayaan Mengalir ke Semua Lapisan Masyarakat.
Meskipun Al-Hasyr 7 secara spesifik membahas Fai', para ulama sepakat bahwa frasa penutupnya adalah kaidah umum (القاعدة العامة - al-qa'idah al-'ammah) yang harus diaplikasikan pada seluruh aspek ekonomi. Prinsip anti-sirkulasi tertutup ini diwujudkan melalui beberapa mekanisme utama dalam fiqh:
Zakat adalah pilar pertama yang secara eksplisit dirancang untuk mencegah konsentrasi kekayaan. Zakat dikenakan pada harta yang stagnan (simpanan, emas, hasil panen, aset dagang), memaksa pemiliknya untuk menggerakkan harta tersebut atau menyerahkannya sebagai hak bagi delapan golongan (asnaf). Mekanisme ini memastikan bahwa sebagian dari akumulasi kekayaan secara teratur ditarik dan disuntikkan ke dalam segmen masyarakat termiskin.
Zakat adalah intervensi negara yang paling efektif dan sistematis terhadap ketimpangan. Tanpa Zakat, kekayaan cenderung menumpuk di tangan pewaris dan pengusaha sukses, menciptakan jurang yang kian lebar. Zakat berfungsi sebagai alat pembersih harta dan pengaman sosial, merealisasikan tujuan 'kaylā yakūna dūlatan'.
Sistem waris Islam (Fara'idh) adalah mekanisme preventif lain terhadap oligarki. Dengan menetapkan pembagian harta warisan secara rinci kepada banyak ahli waris (suami/istri, anak-anak, orang tua, bahkan saudara), harta yang terkumpul oleh satu individu selama hidupnya secara otomatis terpecah-pecah menjadi unit-unit yang lebih kecil saat ia meninggal. Ini sangat berbeda dari sistem Barat yang memungkinkan kekayaan besar diwariskan seluruhnya kepada ahli waris tunggal (primogeniture).
Fara'idh secara terus-menerus membagi modal dalam setiap generasi, mencegah pembentukan dinasti ekonomi yang terlalu dominan dan memastikan perputaran modal secara alami dan berkelanjutan ke unit-unit keluarga yang lebih luas.
Larangan terhadap riba (bunga) bertujuan memastikan bahwa kekayaan tidak dapat dihasilkan dari uang itu sendiri tanpa adanya risiko riil, usaha, atau nilai tambah produktif. Riba secara inheren memperkuat yang kaya dan menekan yang miskin. Dengan menghapus riba, Islam mendorong investasi berisiko (mudharabah, musyarakah) yang membutuhkan kolaborasi, sehingga kekayaan menjadi dinamis dan terbagi risikonya. Monopoli (ihtikar) juga dilarang karena merusak persaingan dan memungkinkan penumpukan keuntungan yang tidak adil.
Ayat 7 Surah Al-Hasyr tidak hanya dilihat sebagai ketentuan fiqhiyah (hukum praktis) semata, tetapi sebagai landasan dari Maqasid al-Syariah (tujuan-tujuan hukum Islam) dalam menjaga Hifzh al-Mal (pemeliharaan harta) dan Hifzh an-Nafs (pemeliharaan jiwa).
Ayat ini mengajarkan bahwa kepemilikan individu tidaklah absolut. Ia terikat pada kontrak sosial dan etis. Ketika kepemilikan individu berpotensi menciptakan kerusakan sosial (yaitu, konsentrasi kekayaan yang mengakibatkan kemiskinan massal), negara atau otoritas memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan intervensi. Ini adalah legalisasi intervensi fiskal yang berbasis pada moralitas agama.
Para fuqaha modern, seperti Yusuf Al-Qaradawi, menggunakan ayat ini untuk membenarkan pengenaan pajak yang sifatnya darurat (dharūrah) di luar Zakat apabila harta publik (Baitul Mal) tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fundamental masyarakat, asalkan tujuannya adalah untuk memerangi kemiskinan yang timbul akibat siklus 'dūlatan'.
Ayat 7 adalah manifesto awal bagi konsep negara kesejahteraan. Negara dalam Islam, melalui instrumen Baitul Mal (kas negara), bertanggung jawab penuh untuk memastikan setiap warga negara memenuhi kebutuhan dasar mereka (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan). Dana yang didistribusikan dari Fai' dan Zakat diarahkan untuk kelompok yang tidak mampu mandiri secara ekonomi.
Tugas negara adalah menciptakan ekosistem ekonomi di mana setiap orang memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dan mendapatkan bagian yang adil dari sumber daya kolektif. Ketika negara gagal memastikan distribusi ini, ia melanggar tujuan fundamental Al-Hasyr 7.
Prinsip yang diletakkan dalam Al-Hasyr 7 segera diterapkan oleh Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh para Khalifah Rasyidin, menjadikannya model operasional untuk tata kelola ekonomi.
Setelah pengusiran Bani Nadir, Rasulullah SAW membagikan harta Fai' sepenuhnya sesuai ketentuan ayat ini. Beliau tidak memberikan kepada Muhajirin yang berpartisipasi dalam pengepungan tetapi justru mendistribusikannya kepada fakir miskin dan Muhajirin yang belum memiliki sumber penghasilan tetap, serta kerabat beliau. Langkah ini secara efektif meningkatkan daya beli kelompok termiskin di Madinah dan memperkuat fondasi ekonomi negara Islam yang baru terbentuk.
Khalifah Umar bin Khattab dikenal sebagai implementator paling tegas dari prinsip anti-oligarki ini. Ketika penaklukan besar terjadi, seperti di Irak (Sawad) dan Mesir, Umar menghadapi dilema: apakah tanah taklukan harus dibagikan sebagai Ghanimah kepada tentara, atau harus dikelola sebagai Fai' untuk kepentingan generasi mendatang?
Umar berpegangan pada prinsip Al-Hasyr 7. Ia menolak membagi tanah subur Sawad kepada prajurit. Beliau menetapkan tanah tersebut sebagai milik umum (negara), membebani pajak tanah (Kharaj) yang hasilnya dimasukkan ke Baitul Mal. Keputusan ini diambil agar kekayaan tanah subur tersebut tidak menjadi 'dūlatan' yang hanya dinikmati oleh satu generasi atau satu kelompok militer elit, tetapi menjadi sumber pendapatan berkelanjutan untuk menyejahterakan seluruh umat Islam, termasuk yang belum lahir.
Keputusan Umar ini menunjukkan pemahaman mendalam bahwa pencegahan konsentrasi kekayaan bukan hanya tentang membagikan uang tunai, tetapi juga tentang struktur kepemilikan aset produktif jangka panjang. Ia memastikan bahwa sumber daya alam yang vital tetap berada di tangan publik.
Di era modern, di mana kesenjangan antara 1% terkaya dan sisanya mencapai tingkat yang memprihatinkan, pesan Al-Hasyr 7 menjadi semakin relevan dan mendesak. Prinsip "kaylā yakūna dūlatan" adalah cetak biru untuk reformasi ekonomi global.
Sistem ekonomi yang hanya berfokus pada akumulasi keuntungan dan minimnya regulasi redistribusi sering kali menghasilkan sirkulasi kekayaan yang persis seperti yang dilarang oleh ayat ini. Modal investor menghasilkan keuntungan, yang kemudian diinvestasikan kembali, membuat yang kaya semakin kaya, sementara pekerja yang hanya memiliki tenaga kerja sebagai modal utama tertinggal.
Al-Hasyr 7 menuntut adanya sistem ekonomi yang memiliki "katup pengaman" moral dan hukum. Ini termasuk penerapan pajak progresif yang adil (di luar Zakat, jika diperlukan), regulasi anti-monopoli yang ketat, dan kebijakan upah minimum yang layak (living wage) yang menjamin pekerja mendapatkan bagian yang adil dari produktivitas.
Lembaga keuangan Syariah modern harus mengintegrasikan prinsip Al-Hasyr 7 dalam operasional mereka. Perbankan Syariah tidak hanya harus menghindari Riba, tetapi juga harus aktif berpartisipasi dalam keuangan sosial, seperti menyediakan dana Qardhul Hasan (pinjaman tanpa bunga) dan mengelola dana Wakaf dan Zakat secara profesional untuk tujuan pembangunan ekonomi berbasis komunitas.
Wakaf produktif, misalnya, adalah mekanisme yang sempurna untuk merealisasikan tujuan anti-oligarki. Dengan mewakafkan aset produktif (gedung, pabrik, tanah), pendapatan dari aset tersebut menjadi abadi dan dialokasikan untuk kebutuhan sosial (pendidikan, kesehatan), menjamin kekayaan tersebut tidak pernah kembali ke sirkulasi pribadi, melainkan terus mengalir ke publik.
Penerapan prinsip Al-Hasyr 7 dalam kompleksitas ekonomi abad ke-21 memerlukan pemikiran ulang dan solusi integral yang mencakup aspek struktural, etika, dan pendidikan.
Tantangan terbesar adalah globalisasi kekayaan, di mana aset sering kali disembunyikan di yurisdiksi lepas pantai, menghindari mekanisme redistribusi seperti pajak dan Zakat. Untuk mengatasi ini, negara-negara Muslim perlu menguatkan kerja sama internasional untuk memastikan transparansi aset dan kepatuhan pajak bagi warga negaranya yang kaya.
Selain itu, mekanisme Zakat harus dioptimalkan. Zakat harus diperluas untuk mencakup jenis-jenis kekayaan modern seperti saham, obligasi syariah, dan hak kekayaan intelektual, memastikan bahwa harta baru tidak luput dari kewajiban redistribusi sosial yang ditetapkan oleh Islam.
Ayat 7 ditutup dengan peringatan tentang takwa: "Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." Ini menunjukkan bahwa distribusi kekayaan adalah masalah etika spiritual, bukan sekadar kalkulasi ekonomi. Solusi jangka panjang harus melibatkan penanaman kesadaran (tazkiyah) bahwa harta adalah amanah.
Orang kaya perlu dididik bahwa akumulasi yang berlebihan, yang menyebabkan penderitaan di sekitarnya, adalah pelanggaran takwa. Mereka didorong untuk melakukan Infaq (belanja sukarela), yang bertindak sebagai "Zakat kedua" atau lapisan etika yang melampaui kewajiban minimum, memastikan bahwa mereka aktif mencegah sirkulasi kekayaan yang tertutup melalui filantropi proaktif.
Prinsip tauhid dalam ekonomi menegaskan bahwa kepemilikan sejati adalah milik Allah. Manusia hanyalah pengelola (khalifah). Pemahaman ini menghilangkan keserakahan dan hak absolut atas properti, memfasilitasi kerelaan untuk berbagi sesuai tuntunan Al-Hasyr 7. Jika individu memahami bahwa kegagalan distribusi akan menimbulkan murka Allah (kerasnya hukuman), maka dorongan untuk berlaku adil menjadi kuat.
Dalam konteks modern, konsep Fai' dapat diperluas untuk mencakup sumber daya publik yang dikelola negara, seperti keuntungan dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau hasil dari sumber daya alam (minyak, gas, mineral). Keuntungan dari aset-aset ini, karena diperoleh tanpa kontribusi modal pribadi warga negara tertentu, harus didistribusikan dengan prioritas tinggi kepada publik melalui program kesejahteraan, infrastruktur, dan subsidi pendidikan, sesuai dengan semangat Ayat 7.
Jika keuntungan BUMN hanya dinikmati oleh pemegang saham kecil atau digunakan untuk memberikan bonus besar kepada eksekutif (sirkulasi di kalangan elit internal), maka itu adalah pelanggaran langsung terhadap semangat 'kaylā yakūna dūlatan'. Keuntungan tersebut seharusnya menjadi instrumen untuk menyeimbangkan ekonomi makro dan mikro, mengalirkan dana ke daerah yang paling membutuhkan.
Prinsip Al-Hasyr 7 menuntut lebih dari sekadar transfer dana; ia menuntut pemberdayaan. Distribusi kekayaan harus digunakan untuk menciptakan kemandirian ekonomi, bukan sekadar ketergantungan pada bantuan.
Ketika kekayaan disalurkan kepada kelompok miskin dan yatim (sebagaimana disebutkan dalam ayat), tujuannya adalah agar mereka dapat berinvestasi dalam diri mereka sendiri—pendidikan, keterampilan, dan modal usaha kecil. Dana Fai' dan Zakat harus diarahkan ke program mikro-kredit tanpa bunga (Qardhul Hasan) dan pelatihan vokasi, yang memungkinkan penerima menjadi kontributor ekonomi yang produktif, memutus rantai kemiskinan dan ketimpangan secara permanen.
Pemberdayaan ini merupakan kebalikan dari sirkulasi tertutup. Jika sirkulasi tertutup (dūlatan) hanya menghasilkan kekayaan pasif bagi yang kaya, maka distribusi aktif (sesuai ayat 7) menghasilkan kekayaan produktif bagi yang miskin, yang pada gilirannya akan meningkatkan total permintaan agregat dan menyehatkan ekonomi secara keseluruhan.
Institusi Zakat dan Wakaf modern harus beroperasi sebagai bank investasi sosial. Mereka tidak hanya membagikan uang tunai, tetapi juga membangun aset komunitas. Misalnya, dana Wakaf dapat digunakan untuk membangun sekolah berkualitas tinggi di daerah miskin atau rumah sakit dengan biaya terjangkau. Aset-aset ini menciptakan nilai tambah yang terus mengalir, menjamin distribusi kekayaan yang bersifat struktural dan abadi, selaras dengan tujuan umum Syariah.
Kegiatan filantropi yang digerakkan oleh Ayat 7 harus bersifat strategis, memastikan bahwa setiap dana yang dikeluarkan memiliki dampak pengganda (multiplier effect) yang kuat, mengubah status penerima dari konsumen bantuan menjadi produsen mandiri. Ini adalah implementasi tertinggi dari filosofi 'kaylā yakūna dūlatan', yang melihat setiap individu sebagai potensi aset, bukan sekadar liabilitas sosial.
Surah Al-Hasyr Ayat 7 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an mengenai tata kelola ekonomi dan keadilan sosial. Ia melampaui konteks historisnya tentang harta rampasan Fai' dan memberikan sebuah imperatif moral yang universal: kekayaan tidak boleh menjadi alat yang eksklusif, berputar hanya di antara segelintir elit kaya.
Ayat ini menugaskan negara (otoritas) untuk secara proaktif mengatur distribusi kekayaan melalui instrumen hukum seperti Zakat, Fai', dan sistem waris, serta melalui kebijakan fiskal yang memihak pada pemberdayaan kelompok rentan. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang kohesif, di mana stabilitas ekonomi dan solidaritas sosial saling menguatkan.
Pemahaman dan penerapan yang tulus terhadap Ayat 7 memerlukan revolusi etika dalam diri individu, menumbuhkan kesadaran bahwa harta adalah amanah, sekaligus memerlukan reformasi struktural di tingkat negara untuk memastikan bahwa sumber daya produktif mengalir secara inklusif. Prinsip anti-oligarki dalam Al-Hasyr 7 tetap menjadi seruan yang kuat bagi umat Islam di seluruh dunia untuk membangun sistem ekonomi yang adil, di mana kemiskinan dihilangkan dan martabat manusia dihormati, sesuai dengan kehendak Ilahi.
Kekayaan sejati umat terletak pada distribusi yang adil, bukan pada akumulasi yang menumpuk. Inilah warisan abadi dari firman Allah dalam Surah Al-Hasyr Ayat 7, sebuah manifesto keadilan yang relevan sepanjang zaman.
Refleksi mendalam terhadap ayat ini memperkuat keyakinan bahwa Islam bukanlah agama yang pasif terhadap ketimpangan; ia adalah agama yang secara fundamental menuntut intervensi aktif untuk menciptakan keseimbangan. Setiap kebijakan ekonomi, setiap hukum, dan setiap tindakan filantropi harus diuji dengan kriteria tunggal: apakah ia berkontribusi pada pencegahan 'dūlatan' atau justru memfasilitasinya?
Penegasan kembali terhadap prinsip ini adalah kunci bagi kebangkitan ekonomi umat, memastikan bahwa harta menjadi berkah bagi semua, dan bukan kutukan yang memecah belah masyarakat. Ketimpangan yang tidak terkontrol adalah ancaman terhadap keimanan dan ketakwaan, sebab ia memicu kefakiran yang dapat mendekatkan kepada kekufuran. Oleh karena itu, perjuangan menegakkan keadilan ekonomi adalah bagian integral dari jihad dalam mencapai ridha Allah SWT.
Penerapan komprehensif dari seluruh dimensi ajaran ekonomi dalam Al-Hasyr 7, termasuk larangan riba, promosi investasi produktif, dan jaring pengaman sosial yang kuat, akan menghasilkan model peradaban yang mampu mengatasi tantangan kemiskinan dan eksploitasi yang kini membelit sebagian besar populasi dunia. Ayat ini adalah panggilan abadi menuju keseimbangan, yang menegaskan bahwa tanggung jawab sosial adalah inti dari kesalehan pribadi.