Surah Al-Hasyr (Pengusiran)

Kajian Komprehensif Tafsir dan Hikmah Surah Madaniyah

Pendahuluan: Surah Al-Hasyr dan Pesan Sentralnya

Surah Al-Hasyr, yang berarti "Pengusiran" atau "Perkumpulan," adalah surah ke-59 dalam susunan mushaf Al-Qur'an dan termasuk dalam golongan surah Madaniyah. Surah ini memiliki kedudukan yang sangat penting karena menjadi jembatan antara peristiwa historis spesifik (ekonomi, politik) yang terjadi di Madinah dan puncak pengajaran teologis mengenai Tauhid dan kekuasaan mutlak Allah SWT.

Inti dari surah ini terbagi menjadi tiga bagian utama yang saling berkaitan erat. Bagian pertama membahas peristiwa pengusiran kaum Yahudi Bani Nadhir dari Madinah, yang menyingkap tabir kegagalan janji dan pengkhianatan. Bagian kedua membahas hukum pembagian harta rampasan tanpa perang (Fai'), yang kemudian menjadi dasar penting dalam sistem ekonomi Islam. Bagian ketiga, dan yang paling sublim, adalah rangkaian ayat-ayat penutup yang memperkenalkan beberapa Asmaul Husna (Nama-Nama Terbaik Allah), menjadikannya ringkasan agung mengenai hakikat Keilahian.

Tema sentral yang mengalir di sepanjang surah adalah kesucian (Tasbih) Allah dari segala kekurangan. Setiap ayat, baik yang berbicara tentang strategi militer, pembagian harta, maupun sifat-sifat Tuhan, menegaskan bahwa segala sesuatu di langit dan di bumi tunduk kepada kehendak Allah, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Hukuman yang menimpa Bani Nadhir adalah manifestasi langsung dari hikmah dan keperkasaan-Nya.

Ayat 1: Pensucian Semesta

سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ۙ

“Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Hasyr: 1)

Ayat pembuka ini, yang serupa dengan lima surah lainnya (Al-Hadid, As-Shaff, Al-Jumu'ah, At-Taghabun), menetapkan nada dasar surah. Ia mengingatkan manusia bahwa Tasbih (mensucikan dan memuji) adalah fitrah alami seluruh entitas di alam semesta. Kegagalan manusia untuk bertasbih, atau pengkhianatan terhadap perintah-Nya, adalah penyimpangan kosmik yang pasti akan mendapatkan balasan dari Yang Maha Perkasa (Al-Aziz) dalam kekuasaan-Nya dan Yang Maha Bijaksana (Al-Hakim) dalam keputusan-Nya.

Konteks Historis: Pengusiran Bani Nadhir

Mayoritas ayat-ayat awal Surah Al-Hasyr diturunkan berkaitan dengan peristiwa Pengusiran Bani Nadhir, salah satu suku Yahudi terbesar yang menetap di sekitar Madinah. Peristiwa ini terjadi setelah Perang Uhud, ketika kekalahan Muslimin sempat memberikan angin segar bagi musuh-musuh Islam, baik dari kalangan Quraisy maupun kaum munafik di Madinah, untuk melanggar perjanjian damai (Mitsaq Al-Madinah).

Pengkhianatan dan Plot Pembunuhan

Awalnya, Nabi Muhammad SAW menjalin perjanjian dengan suku-suku Yahudi, termasuk Bani Nadhir, untuk menjaga stabilitas dan pertahanan Madinah. Namun, setelah beberapa pelanggaran minor, titik puncaknya terjadi ketika Nabi mendatangi benteng Bani Nadhir untuk meminta bantuan terkait pembayaran diyat (denda darah) atas dua orang yang terbunuh secara tidak sengaja. Saat itu, Bani Nadhir bersepakat secara rahasia untuk membunuh Nabi dengan menjatuhkan batu besar ke atas beliau dari atas dinding benteng.

Melalui wahyu, Nabi Muhammad SAW mengetahui rencana jahat ini. Beliau segera meninggalkan tempat tersebut dan memberikan ultimatum kepada Bani Nadhir: mereka harus meninggalkan Madinah dalam waktu sepuluh hari. Jika tidak, mereka akan diperangi.

Intervensi Kaum Munafik

Pada saat Bani Nadhir berada dalam kebimbangan, Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin kaum munafik di Madinah, mengirimkan pesan kepada mereka, menjanjikan dukungan militer. Ia meyakinkan Bani Nadhir untuk tetap bertahan, berjanji bahwa mereka akan membela Bani Nadhir dari serangan Muslimin. Janji palsu ini menjadi contoh nyata bagaimana kemunafikan (nifaq) berfungsi sebagai racun yang merusak persatuan dan mengantarkan pihak yang dikhianati menuju kehancuran.

Janji palsu dari kaum munafik membuat Bani Nadhir menolak ultimatum Nabi. Nabi Muhammad SAW kemudian memimpin pasukan untuk mengepung benteng mereka. Pengepungan berlangsung selama dua pekan. Selama masa itu, tidak satu pun bantuan yang dijanjikan oleh Abdullah bin Ubay datang. Kaum munafik memilih diam dan tidak bergerak, menelantarkan Bani Nadhir dalam kesendirian.

Hikmah Pengepungan dan Kehancuran Hati

Ayat 2: Kehinaan yang Tak Terduga

هُوَ الَّذِيْٓ اَخْرَجَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِاَوَّلِ الْحَشْرِۗ مَا ظَنَنْتُمْ اَنْ يَّخْرُجُوْا وَظَنُّوْٓا اَنَّهُمْ مَّانِعَتُهُمْ حُصُوْنُهُمْ مِّنَ اللّٰهِ فَاَتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوْا وَقَذَفَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَۚ

“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dari kampung halaman mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka bahwa mereka akan keluar dan mereka pun menyangka bahwa benteng-benteng mereka akan dapat melindungi mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dari arah yang tidak mereka duga, dan Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka.” (QS. Al-Hasyr: 2)

Ayat ini menggambarkan betapa mengejutkannya peristiwa ini bagi kedua belah pihak. Muslimin tidak menyangka bahwa benteng-benteng Bani Nadhir—yang dikenal sangat kokoh—dapat ditembus tanpa pertempuran besar. Sementara itu, Bani Nadhir, yang merasa aman di balik dinding-dinding batu mereka, terkejut ketika kekuatan yang menyerang mereka bukanlah kekuatan fisik semata, melainkan kekuatan psikologis: rasa takut (الرُّعْبَ) yang ditanamkan Allah di hati mereka.

Ini adalah pelajaran fundamental: pertahanan fisik, kekayaan, dan persenjataan tidak akan berguna ketika keimanan dan dukungan ilahi telah ditarik. Kehancuran mereka dimulai dari internal, dari hati yang telah dipenuhi kengerian ilahi. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana keyakinan mereka terhadap materi dan aliansi politik (dengan kaum munafik) runtuh total.

Akhirnya, Bani Nadhir menyerah. Mereka diizinkan keluar dari Madinah dengan syarat mereka hanya boleh membawa barang-barang yang dapat diangkut oleh unta, kecuali senjata. Mereka menghancurkan rumah-rumah mereka sendiri sebelum berangkat, sebuah tindakan yang digambarkan dalam ayat 5, menunjukkan betapa dalamnya kebencian dan keputusasaan mereka.

Hukum Fai' (Harta Rampasan Tanpa Perang)

Setelah pengusiran Bani Nadhir, harta benda yang ditinggalkan mereka menjadi isu penting. Dalam hukum Islam, harta yang diperoleh melalui pertempuran disebut *Ghanimah* (dibagi empat per lima untuk pejuang, satu per lima untuk Allah dan Rasul). Namun, harta yang ditinggalkan Bani Nadhir diperoleh tanpa melibatkan pertempuran sengit; ini disebut *Fai'*.

Ayat-Ayat Keadilan Distribusi

Ayat 6 & 7: Prinsip Distribusi Harta Fai'

وَمَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْهُمْ فَمَآ اَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَّلَا رِكَابٍ وَّلٰكِنَّ اللّٰهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهٗ عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ٧ مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْ ۗ

“Harta rampasan (Fai') yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari mereka, kamu tidak perlu mengerahkan kuda atau unta untuk mendapatkannya, tetapi Allah memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (Fai') yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk desa-desa, maka itu untuk Allah, Rasul, kerabat, anak yatim, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 6-7)

Ayat 6 secara eksplisit membedakan Fai' dari Ghanimah. Karena Fai' didapatkan tanpa kesulitan dan risiko besar dari pihak pasukan Muslim, pembagiannya tidak sama. Harta Fai' sepenuhnya diserahkan kepada kebijakan Rasulullah SAW untuk dialokasikan demi kepentingan umum dan orang-orang yang paling membutuhkan.

Ayat 7 adalah salah satu ayat kunci dalam hukum ekonomi Islam (fiqh muamalah). Prinsip utama di baliknya adalah: **"Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu."** (كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْ). Ini adalah deklarasi tegas tentang perlunya distribusi kekayaan yang merata dan peran negara (dalam hal ini, perwakilan Allah dan Rasul) untuk mencegah monopoli dan kesenjangan sosial yang ekstrem.

Penerima Fai' yang disebutkan mencerminkan tujuan sosial:

  1. **Allah dan Rasul:** Diperuntukkan bagi kepentingan publik dan operasional negara Islam.
  2. **Kerabat Rasul:** Untuk menjaga stabilitas ekonomi keluarga Nabi.
  3. **Anak Yatim (Al-Yatama):** Mereka yang kehilangan penopang ekonomi.
  4. **Orang Miskin (Al-Masakin):** Untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
  5. **Ibnu Sabil (Musafir yang Kehabisan Bekal):** Untuk memastikan mobilitas dan bantuan kemanusiaan.

Distribusi ini bukan hanya sekadar pembagian, melainkan penetapan sistem fiskal yang bertujuan memastikan keadilan struktural. Penetapan hak bagi kaum miskin dan anak yatim menunjukkan bahwa kesejahteraan sosial adalah prioritas, dan aset yang diperoleh oleh komunitas harus berfungsi untuk mengangkat derajat mereka yang terpinggirkan, bukan hanya memperkaya mereka yang sudah memiliki kekuatan politik atau ekonomi.

Pujian untuk Muhajirin dan Ansar

Bagian berikutnya dari surah ini (Ayat 8-10) memberikan pujian monumental kepada tiga kelompok utama dalam masyarakat Madinah saat itu: Kaum Muhajirin (emigran dari Mekah), Kaum Ansar (penduduk asli Madinah), dan generasi Muslim yang datang kemudian.

Kaum Muhajirin: Korban Demi Akidah

Ayat 8: Karakteristik Muhajirin

لِلْفُقَرَاۤءِ الْمُهٰجِرِيْنَ الَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَاَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا وَّيَنْصُرُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ

“(Juga) bagi orang-orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan rida(-Nya) serta menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hasyr: 8)

Kaum Muhajirin adalah contoh ketulusan sejati (Ash-Shadiqūn). Mereka meninggalkan segalanya—rumah, tanah, kekayaan—bukan karena ambisi duniawi, melainkan semata-mata mencari Karunia (Fadl) dan Keridhaan (Ridwan) Allah. Ayat ini menekankan pengorbanan material mereka sebagai bukti otentik dari keimanan mereka yang tak tergoyahkan. Keimanan mereka adalah prioritas tunggal, menempatkan mereka pada posisi yang sangat tinggi di sisi Allah.

Kaum Ansar: Altruisme yang Tak Tertandingi

Ayat 9: Altruisme Ansar

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوْ الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Mereka tidak menaruh keinginan dalam dada mereka terhadap apa yang diberikan kepada (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri mereka sendiri, meskipun mereka dalam kesulitan. Siapa yang dijaga dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)

Pujian terbesar untuk Ansar adalah sifat *Ithar* (altruisme atau mengutamakan orang lain). Mereka berbagi kekayaan, bahkan membagi rumah dan tanah dengan Muhajirin, meskipun mereka sendiri sedang dalam kesulitan (خَصَاصَةٌ). Ayat ini menekankan bahwa kunci keberuntungan (Al-Muflihun) adalah mengatasi sifat *Syuhh An-Nafs* (kekikiran atau keserakahan diri). Kekikiran dianggap sebagai penghalang spiritual terbesar, dan keberhasilan Ansar dalam menyingkirkannya menunjukkan pencapaian spiritual yang luar biasa.

Generasi Selanjutnya: Persatuan Umat

Ayat 10: Doa untuk Persatuan

وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami rasa dendam/dengki (ghill) terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Al-Hasyr: 10)

Ayat ini menutup segmen sosial dengan memberikan panduan bagi seluruh umat Islam yang akan datang. Generasi penerus diwajibkan untuk selalu mendoakan pendahulu mereka dan yang terpenting, menjaga kebersihan hati dari *Ghill* (dendam, kebencian, iri hati) terhadap sesama mukmin. Persatuan umat tidak hanya dibangun di atas kesamaan ritual, tetapi di atas kemurnian batin dan cinta kasih. Surah Al-Hasyr mengajarkan bahwa sebuah komunitas hanya akan kuat jika anggotanya terbebas dari penyakit hati, baik itu kekikiran (Ansar) maupun dendam (generasi penerus).

Kajian Mendalam: Tabir Munafik dan Setan

Setelah memuji kelompok-kelompok yang tulus, Surah Al-Hasyr berbalik untuk menyingkap anatomi pengkhianatan dan kemunafikan. Ayat 11 hingga 17 menyajikan drama psikologis antara kaum munafik (dipimpin oleh Abdullah bin Ubay) dan Bani Nadhir, menunjukkan bahwa janji-janji palsu adalah karakter utama mereka.

Janji Palsu dan Ketakutan

Ayat 11: Tipu Daya Munafik

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ نَافَقُوْا يَقُوْلُوْنَ لِاِخْوَانِهِمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَىِٕنْ اُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيْعُ فِيْكُمْ اَحَدًا اَبَدًاۙ وَّاِنْ قُوْتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْۙ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ

“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka dari kalangan Ahli Kitab yang kafir, ‘Sungguh, jika kamu diusir, niscaya kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan mematuhi siapa pun demi (menolong) kamu; dan jika kamu diperangi, niscaya kami akan membantu kamu.’ Dan Allah menyaksikan, sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (QS. Al-Hasyr: 11)

Allah SWT secara langsung mengungkap kebohongan kaum munafik. Janji mereka untuk keluar bersama Bani Nadhir atau membantu mereka dalam pertempuran adalah janji kosong yang didorong oleh kepentingan diri dan rasa takut, bukan prinsip. Mereka berharap dengan janji ini, Bani Nadhir akan bertahan, sehingga kekuatan Muslim akan terkuras dalam pertempuran. Namun, Allah bersaksi bahwa mereka adalah pembohong (لَكٰذِبُوْنَ).

Ayat-ayat berikutnya (12-13) menguatkan bahwa kaum munafik tidak akan pernah menepati janji mereka. Mereka sangat pengecut. Rasa takut mereka kepada Muslimin lebih besar daripada rasa takut mereka kepada Allah. Mereka lebih takut kepada manusia daripada kepada Sang Pencipta. Hal ini menunjukkan bahwa kemunafikan adalah penyakit jiwa yang menghilangkan martabat dan keberanian, menggantinya dengan perhitungan keuntungan sesaat dan ketakutan yang mendalam terhadap kekuatan duniawi.

Perumpamaan Setan

Puncak dari penggambaran kemunafikan adalah perbandingan mereka dengan Setan (Iblis).

Ayat 16: Ironi Setan

كَمَثَلِ الشَّيْطٰنِ اِذْ قَالَ لِلْاِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّنْكَ اِنِّيْٓ اَخَافُ اللّٰهَ رَبَّ الْعٰلَمِيْنَ

“Bagaikan setan ketika ia berkata kepada manusia, ‘Kafirlah!’ Kemudian ketika manusia itu telah kafir, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri darimu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.’” (QS. Al-Hasyr: 16)

Setan adalah penipu ulung yang mendorong manusia menuju kekufuran, tetapi begitu manusia jatuh, setan segera berlepas tangan, meninggalkan korban dalam kehinaan. Kaum munafik melakukan hal yang sama: mereka mendorong Bani Nadhir untuk memberontak, tetapi saat Muslimin datang, mereka meninggalkan aliansi mereka. Perbandingan ini menegaskan bahwa munafik adalah sekutu sejati Iblis, sama-sama ahli dalam pengkhianatan dan penelantaran.

Ayat 17 menyimpulkan nasib akhir mereka: baik Bani Nadhir, kaum munafik, maupun Setan, semuanya akan berakhir di Neraka. Ini adalah balasan bagi orang-orang zalim (Az-Zalimin) yang memilih kesesatan dan pengkhianatan sebagai jalan hidup.

Peringatan dan Puncak Pengajaran Tauhid

Tiga ayat berikutnya (18-20) berfungsi sebagai transisi spiritual yang dramatis, beralih dari narasi sejarah dan politik ke inti spiritual surah: pentingnya ketaqwaan (Taqwa) dan persiapan untuk Hari Akhir.

Perintah untuk Taqwa dan Introspeksi

Ayat 18: Melihat Hari Esok

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Perintah taqwa diulang dua kali dalam satu ayat, memberikan penekanan luar biasa. Taqwa didefinisikan di sini sebagai tindakan introspeksi (وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ). Umat Islam diperintahkan untuk melakukan muhasabah, yaitu mengaudit amal perbuatan mereka, seolah-olah hari kiamat adalah hari esok (لِغَدٍ). Hikmah historis Bani Nadhir dan kaum munafik menunjukkan bahwa kegagalan terbesar adalah hidup dalam ketidaktahuan akan konsekuensi abadi dari tindakan duniawi.

Ayat 19 melanjutkan peringatan keras, melarang Muslimin menjadi seperti mereka yang melupakan Allah. Melupakan Allah berarti Allah akan membuat mereka melupakan diri mereka sendiri (kehilangan identitas, tujuan hidup, dan persiapan Akhirat). Mereka inilah orang-orang fasik (Al-Fasiqun) yang keluar dari batas ketaatan dan kebenaran.

Surah ini menekankan bahwa perbedaan antara penduduk Neraka (Ash-habun Nar) dan penduduk Surga (Ash-habul Jannah) sangatlah nyata. Tidak ada kesamaan antara kesengsaraan abadi dan kenikmatan abadi. Mereka yang sukses adalah penghuni Surga; mereka yang lalai dan ingkar adalah penghuni Neraka. Kesuksesan sejati diukur dari persiapan menghadapi Hari Perhitungan.

Puncak Keagungan: Ayat-Ayat Asmaul Husna

Empat ayat terakhir (21-24) adalah puncak teologis Surah Al-Hasyr. Setelah membahas hukuman duniawi, pengkhianatan moral, dan kewajiban taqwa, surah ini mencapai klimaksnya dengan menyajikan gambaran tentang Keagungan Allah SWT, yang menjadi sumber kekuasaan, hukum, dan kebijaksanaan yang dibahas di awal surah.

Kehebatan Al-Qur'an dan Kekuatan Dahsyatnya

Ayat 21: Al-Qur'an dan Gunung

لَوْ اَنْزَلْنَا هٰذَا الْقُرْاٰنَ عَلٰى جَبَلٍ لَّرَاَيْتَهٗ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗ

“Sekiranya Kami turunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah karena takut kepada Allah.” (QS. Al-Hasyr: 21)

Ayat ini adalah metafora yang kuat tentang kekuatan transformatif dan dahsyatnya firman Allah. Jika benda mati yang keras seperti gunung—simbol kekuatan dan ketahanan—saja bisa hancur berkeping-keping (مُّتَصَدِّعًا) karena takut (Khusyu') kepada Al-Qur'an, maka bagaimana mungkin hati manusia yang lembut bisa tetap keras dan lalai? Ayat ini mengkritik kerasnya hati orang-orang kafir, munafik, dan lalai, yang tidak tergerak oleh wahyu ilahi, padahal wahyu tersebut memiliki daya hancur spiritual yang luar biasa.

Pesan intinya adalah bahwa Al-Qur'an harus diterima dengan kerendahan hati yang ekstrem, yang melahirkan ketakwaan sejati. Kesadaran akan keagungan sumber wahyu ini adalah kunci untuk mengaplikasikan pelajaran-pelajaran yang termuat di dalamnya, mulai dari hukum Fai' hingga etika sosial.

Rangkaian Asmaul Husna (Ayat 22-24)

Ayat-ayat penutup ini mencakup lima belas Nama Allah yang Agung, memberikan gambaran yang kaya dan menyeluruh tentang sifat-sifat Tuhan yang Maha Esa. Ini adalah penutup yang sempurna, mengingatkan bahwa setiap peristiwa di dunia—kemenangan, kekalahan, keadilan, dan hukum—berasal dari Dzat yang memiliki sifat-sifat ini.

Ayat 22-24: Lima Belas Nama Allah

هُوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِۚ هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ ٢٢ هُوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلٰمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُۗ سُبْحٰنَ اللّٰهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ ٢٣ هُوَ اللّٰهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۗ يُسَبِّحُ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ࣖ ٢٤

Mari kita telaah satu per satu Nama-Nama Agung yang disajikan, dan bagaimana mereka merangkum pelajaran dari seluruh Surah Al-Hasyr:

Pelajaran Abadi dan Implementasi Hikmah

Surah Al-Hasyr adalah cetak biru untuk membangun masyarakat yang kuat, adil, dan berlandaskan Tauhid. Hikmah yang dapat dipetik melampaui konteks sejarah pengusiran Bani Nadhir.

1. Pentingnya Ketaatan Mutlak dan Kepastian Hukuman

Hukuman terhadap Bani Nadhir mengajarkan bahwa pengkhianatan terhadap perjanjian sosial dan ilahi akan selalu membawa konsekuensi fatal, bahkan jika pelakunya merasa aman di balik kekayaan dan benteng. Kekuatan sejati terletak pada dukungan Allah, bukan pada kekuatan material semata. Umat Islam harus memahami bahwa janji Allah untuk menolong hamba-Nya yang taat adalah pasti.

2. Prinsip Distribusi Kekayaan yang Adil

Penetapan hukum Fai' adalah revolusi dalam ekonomi. Ia menjadikan harta sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial, bukan sekadar komoditas untuk diakumulasi oleh segelintir orang kaya. Ayat 7 harus selalu menjadi landasan kebijakan ekonomi setiap negara Muslim: kekayaan harus berputar di masyarakat secara luas.

3. Penekanan pada Kesehatan Mental dan Spiritual

Kekuatan Muhajirin dan Ansar terletak pada kebersihan batin mereka dari kekikiran (*Syuhh*) dan kedengkian (*Ghill*). Kekikiran, seperti yang disinggung dalam Ayat 9, adalah dosa yang menghalangi keberuntungan spiritual. Umat dianjurkan untuk terus mengasah sifat *Ithar* (altruisme) dan memohon agar hati mereka terbebas dari kebencian terhadap sesama mukmin.

4. Muhasabah (Introspeksi) dan Perencanaan Akhirat

Ayat 18 adalah seruan abadi untuk manajemen waktu dan sumber daya. Perintah untuk ‘memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok’ mengajarkan perencanaan strategis kehidupan yang berorientasi pada tujuan akhir (Akhirat). Setiap keputusan harian, baik dalam ekonomi, politik, maupun sosial, harus dipertimbangkan dampaknya pada Hari Perhitungan.

5. Tauhid sebagai Fondasi Eksistensi

Surah Al-Hasyr mengakhirinya dengan sebuah pelajaran penting: Tauhid. Semua tindakan dan hukum Islam bermuara pada pengakuan akan Keagungan Allah SWT (Al-Aziz, Al-Hakim, Al-Quddus). Memahami dan menghayati Asmaul Husna adalah cara paling efektif untuk menjaga ketaqwaan, karena ia menumbuhkan rasa takut yang benar dan rasa cinta yang mendalam kepada Sang Pencipta.

Surah Al-Hasyr mengajarkan bahwa kekuatan sebuah peradaban tidak diukur dari kekokohan bentengnya atau jumlah kekayaannya, melainkan dari kedalaman imannya, kebersihan hatinya, dan keadilannya dalam mendistribusikan karunia Allah. Keberhasilan hakiki adalah menjadi bagian dari mereka yang bertasbih kepada Allah, baik di waktu lapang maupun sempit.

Penutup

Surah Al-Hasyr, meskipun diturunkan dalam konteks militer dan politik yang spesifik, memberikan pengajaran abadi yang relevan bagi setiap individu dan komunitas. Dari kritik terhadap pengkhianatan Bani Nadhir, penetapan keadilan ekonomi melalui hukum Fai', pujian bagi altruisme Muhajirin dan Ansar, hingga puncak pemahaman teologis tentang Asmaul Husna, surah ini menuntut refleksi total atas hubungan kita dengan Allah, dengan sesama, dan dengan harta benda.

Pengulangan Tasbih (mensucikan Allah) pada ayat pertama dan ayat terakhir (Ayat 24) berfungsi sebagai pengingat: tugas utama manusia adalah selaras dengan seluruh alam semesta dalam memuji Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Ketaatan, keadilan, dan kasih sayang adalah buah dari penghayatan yang mendalam terhadap Nama-Nama Allah yang Mulia.

Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa melakukan muhasabah, dijauhkan dari kekikiran dan dendam, serta mendapatkan keridhaan-Nya di Hari yang Dijanjikan.

🏠 Kembali ke Homepage