Pengantar Surat Al-Humazah
Surat Al-Humazah (الهُمَزَة) adalah surat ke-104 dalam mushaf Al-Qur'an. Tergolong sebagai surat Makkiyah, surat ini diturunkan di Mekkah pada periode awal dakwah Nabi Muhammad SAW. Terdiri dari sembilan ayat yang singkat namun padat makna, Surat Al-Humazah membawa pesan yang sangat kuat dan relevan sepanjang zaman. Namanya diambil dari kata "Al-Humazah" yang terdapat pada ayat pertama, yang berarti "pengumpat".
Surat ini secara tegas mengecam tiga perilaku tercela yang saling berkaitan: mencela dan mengumpat orang lain (humazah dan lumazah), menumpuk harta dengan penuh keserakahan (jama'a maalan wa 'addadah), dan memiliki anggapan keliru bahwa harta dapat memberikan kekekalan (yahsabu anna maalahuu akhladah). Peringatan ini diakhiri dengan gambaran azab yang mengerikan di Neraka Huthamah, sebuah api yang dinyalakan langsung oleh Allah SWT, yang siksaannya tidak hanya membakar fisik, tetapi menembus hingga ke dalam hati. Mempelajari Al Humazah latin dan maknanya adalah langkah awal untuk merenungi pesan-pesan agung di dalamnya.
Bacaan Surat Al Humazah Latin, Arab, dan Terjemahan
Berikut adalah bacaan lengkap Surat Al-Humazah ayat 1-9 dalam tulisan Arab, transliterasi latin untuk kemudahan pembacaan, serta terjemahan dalam Bahasa Indonesia.
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ
1. Wailul likulli humazatil lumazah.
Artinya: "Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela,"
ۨالَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗۙ
2. Alladzii jama'a maalan wa 'addadah.
Artinya: "yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,"
يَحْسَبُ اَنَّ مَالَهٗٓ اَخْلَدَهٗۚ
3. Yahsabu anna maalahuu akhladah.
Artinya: "dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya."
كَلَّاۗ لَيُنْۢبَذَنَّ فِى الْحُطَمَةِۖ
4. Kallaa layumbadzanna fil huthamah.
Artinya: "Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Huthamah."
وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْحُطَمَةُۗ
5. Wa maa adraaka mal huthamah.
Artinya: "Dan tahukah kamu apakah (neraka) Huthamah itu?"
نَارُ اللّٰهِ الْمُوْقَدَةُۙ
6. Naarullaahil muuqadah.
Artinya: "(Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan,"
الَّتِيْ تَطَّلِعُ عَلَى الْاَفْـِٕدَةِۗ
7. Allatii taththoli'u 'alal af'idah.
Artinya: "yang (membakar) sampai ke hati."
اِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُّؤْصَدَةٌۙ
8. Innahaa 'alaihim mu'shadah.
Artinya: "Sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka,"
فِيْ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ
9. Fii 'amadim mumaddadah.
Artinya: "(sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang."
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Para ulama tafsir menyebutkan beberapa riwayat mengenai konteks turunnya Surat Al-Humazah. Meskipun riwayat-riwayat ini beragam, semuanya menunjuk pada perilaku tokoh-tokoh kafir Quraisy yang sering mencela dan menghina Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya yang lemah. Perilaku ini didasari oleh kesombongan akibat status sosial dan kekayaan yang mereka miliki.
Salah satu riwayat yang paling terkenal, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Utsman dan Ibnu Umar, adalah bahwa surat ini turun berkenaan dengan Ubay bin Khalaf. Ia adalah seorang tokoh musyrik yang sangat kaya raya dan sering menggunakan kekayaannya untuk merendahkan dan mencela Nabi Muhammad SAW di hadapannya maupun di belakangnya.
Riwayat lain dari As-Suddi menyebutkan nama Al-Akhnas bin Syuraiq, yang terkenal dengan kebiasaannya melakukan ghibah (menggunjing) dan namimah (adu domba). Ada pula yang menyebutkan bahwa surat ini ditujukan kepada Al-Walid bin Al-Mughirah, yang mencela Nabi SAW di belakangnya. Riwayat lain dari Muqatil bin Sulaiman menyebutkan bahwa ayat ini turun untuk mengecam Al-Walid bin Mughirah yang melakukan ghibah terhadap Nabi setelah beliau pergi, dan mencelanya ketika berhadapan.
Meskipun surat ini mungkin turun sebagai respons terhadap individu-individu tertentu, pesannya bersifat umum ('aam). Kaidah tafsir menyatakan, "Al-'ibrah bi 'umumil lafzhi la bi khushushis sabab," yang artinya pelajaran itu diambil dari keumuman lafalnya, bukan dari kekhususan sebabnya. Dengan demikian, ancaman dalam Surat Al-Humazah berlaku bagi siapa saja yang memiliki sifat-sifat tercela yang disebutkan di dalamnya, di setiap waktu dan tempat. Ancaman ini tidak terbatas pada para pembesar Quraisy di masa lalu, tetapi menjadi peringatan abadi bagi seluruh umat manusia.
Tafsir Mendalam Surat Al Humazah Ayat per Ayat
Untuk memahami kedalaman makna surat ini, mari kita bedah setiap ayatnya secara lebih rinci, merujuk pada penjelasan para mufasir terkemuka.
Ayat 1: Ancaman bagi Pengumpat dan Pencela
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ
Wailul likulli humazatil lumazah.
"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela,"
Surat ini dibuka dengan kata "Wail" (وَيْلٌ). Ini bukan sekadar kata "celaka" biasa. Dalam bahasa Arab, "Wail" mengandung makna ancaman kebinasaan, kesengsaraan, dan azab yang sangat pedih. Beberapa ulama tafsir, seperti Ibnu Abbas, menyebutkan bahwa "Wail" adalah nama sebuah lembah di neraka Jahanam yang dipenuhi dengan nanah dan darah, yang panasnya luar biasa. Penggunaan kata ini di awal surat langsung memberikan nada yang sangat serius dan mengancam.
Selanjutnya, Allah SWT menujukan ancaman ini kepada "humazah" (هُمَزَةٍ) dan "lumazah" (لُّمَزَةٍ). Kedua kata ini memiliki pola ism fa'il dalam bentuk mubalaghah (superlatif), yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang hingga menjadi karakter atau kebiasaan.
- Humazah (Pengumpat): Mayoritas ulama, termasuk Ibnu Abbas dan Qatadah, menjelaskan bahwa humazah adalah orang yang mencela dan merendahkan orang lain di belakang mereka (ghibah/menggunjing). Ini adalah perbuatan menusuk dari belakang, menyebarkan aib seseorang ketika ia tidak ada untuk membela diri.
- Lumazah (Pencela): Sementara itu, lumazah adalah orang yang mencela dan menghina orang lain secara terang-terangan di hadapannya. Celaan ini bisa berupa kata-kata tajam, atau melalui isyarat fisik seperti memicingkan mata, menjulurkan lidah, menggerakkan tangan, atau menirukan cara berjalan seseorang dengan tujuan mengejek.
Gabungan keduanya melukiskan potret manusia yang busuk lisannya dan buruk perilakunya. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyakiti orang lain, baik saat berhadapan maupun saat orang tersebut tidak ada. Perilaku ini lahir dari hati yang penuh kesombongan dan merasa diri lebih baik dari orang lain.
Ayat 2: Motivasi di Balik Perilaku Tercela
ۨالَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗۙ
Alladzii jama'a maalan wa 'addadah.
"yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,"
Ayat ini mengungkap akar dari kesombongan si pengumpat dan pencela: obsesinya terhadap harta. Kata "jama'a maalan" (جَمَعَ مَالًا) berarti ia tidak sekadar memiliki harta, tetapi mengumpulkannya dengan penuh kerakusan dari berbagai sumber, tanpa memedulikan halal atau haram. Fokus hidupnya adalah akumulasi kekayaan.
Frasa "wa 'addadah" (وَّعَدَّدَهٗ) memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar "menghitungnya". Kata ini menyiratkan beberapa hal:
- Dia berulang kali menghitung hartanya karena begitu mencintainya dan merasa tenang saat melihat jumlahnya bertambah.
- Dia menjadikan hartanya sebagai 'uddah' atau bekal dan persiapan untuk menghadapi kesulitan di masa depan, seolah-olah harta adalah satu-satunya jaminan.
- Dia membangga-banggakan jumlah kekayaannya di hadapan orang lain.
Obsesi ini membuatnya buta. Ia memandang orang lain dari kacamata materi. Mereka yang lebih miskin darinya dianggap rendah dan pantas untuk dihina, sementara ia merasa superior karena tumpukan hartanya. Harta yang seharusnya menjadi sarana untuk berbuat baik justru menjadi sumber keangkuhan yang merusak.
Ayat 3: Delusi Kekekalan karena Harta
يَحْسَبُ اَنَّ مَالَهٗٓ اَخْلَدَهٗۚ
Yahsabu anna maalahuu akhladah.
"dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya."
Inilah puncak kebodohan dan kesesatan orang yang terbuai oleh materi. "Yahsabu" (يَحْسَبُ) berarti ia "mengira" atau "beranggapan". Ini adalah sebuah persangkaan yang salah dan ilusi yang rapuh. Ia berpikir bahwa hartanya (maalahu) akan mengekalkannya (akhladahu) di dunia.
Ia merasa dengan uang, ia bisa membeli segalanya: kesehatan, keamanan, kehormatan, bahkan mungkin menunda kematian. Ia lupa bahwa kematian adalah ketetapan mutlak dari Allah yang tidak bisa ditawar. Firaun, Qarun, dan para tiran kaya raya lainnya dalam sejarah adalah bukti nyata bahwa harta sebanyak apapun tidak akan pernah bisa membeli keabadian. Ayat ini menelanjangi pola pikir materialistis yang menganggap dunia adalah segalanya dan melupakan adanya kehidupan akhirat.
Ayat 4: Bantahan Keras dan Kepastian Azab
كَلَّاۗ لَيُنْۢبَذَنَّ فِى الْحُطَمَةِۖ
Kallaa layumbadzanna fil huthamah.
"Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Huthamah."
Allah SWT membantah dengan tegas anggapan keliru tersebut melalui kata "Kallaa" (كَلَّا). Ini adalah kata bantahan yang sangat kuat, mengandung makna "sekali-kali tidak!", "hentikan pikiran itu!", atau "sadarlah dari angan-angan kosongmu!".
Setelah membantah, Allah langsung menyatakan kepastian nasib mereka: "layunbadzanna" (لَيُنْۢبَذَنَّ). Kata ini berasal dari akar kata nabadza, yang berarti melempar sesuatu yang hina dan tidak berharga. Adanya huruf Lam dan Nun taukid di awal dan akhir kata (la...nna) menunjukkan penekanan yang luar biasa kuat: "sungguh, benar-benar, pasti dia akan dilemparkan". Ini menggambarkan betapa hina dan tidak berartinya mereka di hadapan Allah. Harta yang mereka banggakan tidak akan bisa menolong. Mereka akan dicampakkan begitu saja.
Ke mana mereka dilemparkan? "fil Huthamah" (فِى الْحُطَمَةِ), ke dalam Neraka Huthamah. Nama ini sendiri sudah sangat mengerikan. Huthamah berasal dari kata hathama yang berarti menghancurkan atau meremukkan sesuatu hingga berkeping-keping. Ini adalah api yang tidak hanya membakar, tetapi juga melumatkan dan menghancurkan apa saja yang masuk ke dalamnya.
Ayat 5: Pertanyaan untuk Menggugah Rasa Takut
وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْحُطَمَةُۗ
Wa maa adraaka mal huthamah.
"Dan tahukah kamu apakah (neraka) Huthamah itu?"
Ini adalah sebuah pertanyaan retoris (isti'faam li at-tahwil) yang bertujuan untuk menunjukkan betapa dahsyat dan tak terbayangkannya hakikat Huthamah. Seolah-olah Allah berfirman, "Wahai Muhammad (dan siapa pun yang mendengar), akal dan imajinasimu tidak akan pernah sanggup untuk memahami betapa mengerikannya Huthamah itu." Gaya bahasa ini digunakan dalam Al-Qur'an untuk menekankan keagungan atau kengerian sesuatu, seperti pada "Al-Qari'ah, mal qari'ah? Wa maa adraaka mal qari'ah?". Tujuannya adalah untuk menanamkan rasa takut yang mendalam di hati pendengar.
Ayat 6 & 7: Sifat Api Huthamah yang Unik dan Mengerikan
نَارُ اللّٰهِ الْمُوْقَدَةُۙ الَّتِيْ تَطَّلِعُ عَلَى الْاَفْـِٕدَةِۗ
Naarullaahil muuqadah. Allatii taththoli'u 'alal af'idah.
"(Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati."
Allah SWT kemudian menjawab pertanyaan-Nya sendiri dengan memberikan dua deskripsi utama tentang Huthamah.
Pertama, ia adalah "Naarullah" (نَارُ اللّٰهِ), "Api Allah". Penyandaran kata "api" kepada lafaz "Allah" menunjukkan bahwa ini bukanlah api biasa seperti api dunia. Ini adalah api yang diciptakan, dinyalakan, dan dikendalikan langsung oleh Allah untuk tujuan azab. Kekuatan dan daya bakarnya jauh melampaui apa pun yang dikenal manusia. Kata "al-muuqadah" (الْمُوْقَدَةُ) berarti api yang terus-menerus menyala dan tidak pernah padam.
Kedua, sifatnya yang paling mengerikan adalah "allatii taththoli'u 'alal af-idah" (الَّتِيْ تَطَّلِعُ عَلَى الْاَفْـِٕدَةِ). Artinya, api itu naik, menembus, dan meliputi hingga ke "al-af'idah". "Al-Af'idah" adalah bentuk jamak dari "fu'ad", yang merujuk pada jantung atau hati sebagai pusat emosi, niat, keyakinan, dan kesadaran. Ini adalah deskripsi siksaan yang luar biasa. Api di dunia hanya membakar bagian luar (kulit dan daging), tetapi Api Allah ini mampu menembus seluruh lapisan tubuh dan langsung membakar sumber kesombongan, kedengkian, dan kecintaan pada dunia—yaitu hati. Ini adalah siksaan fisik dan batin yang terjadi bersamaan. Hati yang dulu menjadi tempat bersemayamnya keangkuhan, kini menjadi pusat dari rasa sakit yang tak terperi.
Ayat 8 & 9: Kepungan dan Keputusasaan Abadi
اِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُّؤْصَدَةٌۙ فِيْ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ
Innahaa 'alaihim mu'shadah. Fii 'amadim mumaddadah.
"Sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang."
Dua ayat terakhir ini melengkapi gambaran keputusasaan total bagi para penghuni Huthamah. "Innahaa 'alaihim mu'shadah" (اِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُّؤْصَدَةٌ) berarti "sesungguhnya api itu atas mereka ditutup rapat". Pintu-pintu neraka dikunci dan disegel, tidak ada celah sedikit pun untuk melarikan diri atau sekadar mendapatkan sedikit udara. Ini adalah gambaran penjara abadi yang penuh siksaan tanpa harapan.
"Fii 'amadim mumaddadah" (فِيْ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ) memiliki beberapa penafsiran di kalangan ulama, namun semuanya mengarah pada makna kepungan yang sempurna:
- Mereka diikat dengan rantai pada tiang-tiang yang sangat panjang di dalam neraka.
- Pintu-pintu neraka itu dipalang dengan pilar-pilar atau pasak-pasak yang panjang dan kokoh, sehingga tidak mungkin bisa dibuka.
Apapun tafsirnya, maknanya jelas: mereka terperangkap selamanya dalam siksaan yang menghancurkan, tanpa jeda, dan tanpa harapan untuk berakhir. Gambaran ini menjadi penutup yang sangat kuat, meninggalkan kesan mendalam tentang akibat mengerikan dari perbuatan meremehkan orang lain dan menjadikan harta sebagai tuhan.
Pelajaran dan Relevansi Surat Al-Humazah di Era Modern
Meskipun diturunkan berabad-abad yang lalu, pesan Surat Al-Humazah tetap sangat relevan dengan kondisi masyarakat modern. Penyakit-penyakit sosial yang dikecam dalam surat ini justru semakin marak dalam berbagai bentuk baru.
1. Bahaya Lisan dan "Cyber-Humazah"
Perilaku humazah (mengumpat di belakang) dan lumazah (mencela di depan) telah berevolusi. Di era digital, lisan tidak hanya terbatas pada ucapan, tetapi juga tulisan jari di media sosial.
- Ghibah Digital: Grup-grup gosip di aplikasi pesan, menyebarkan aib orang lain melalui status, atau membicarakan keburukan seseorang di kolom komentar adalah bentuk modern dari humazah.
- Cyberbullying: Menghina, mengejek, atau merendahkan seseorang secara terbuka di platform media sosial adalah perwujudan lumazah yang dampaknya bisa sangat merusak mental korban.
- Meme dan Konten Merendahkan: Membuat atau menyebarkan konten visual yang bertujuan untuk menertawakan atau menghina fisik, status, atau kekurangan orang lain juga termasuk dalam kategori ini.
Surat ini mengingatkan kita bahwa setiap kata yang kita tulis dan setiap konten yang kita bagikan akan dimintai pertanggungjawaban. Ancaman "Wail" berlaku bagi siapa saja yang menggunakan lidah atau jarinya untuk menyakiti dan merendahkan kehormatan orang lain.
2. Kritik Keras Terhadap Kapitalisme dan Materialisme
Ayat "Alladzii jama'a maalan wa 'addadah" adalah kritik tajam terhadap mentalitas kapitalis dan materialistis yang mendominasi dunia saat ini. Gaya hidup modern seringkali mengukur kesuksesan dan nilai seseorang berdasarkan jumlah harta, merek pakaian, tipe kendaraan, dan kemewahan yang dipamerkan.
Surat ini menelanjangi kekosongan dari gaya hidup tersebut. Obsesi menumpuk harta seringkali mematikan empati. Seseorang menjadi sibuk "menghitung-hitung" kekayaannya, entah itu saldo di rekening, jumlah pengikut, atau aset investasi, sehingga ia lupa untuk berbagi dan peduli pada sesama. Perilaku merendahkan orang miskin atau yang tidak selevel secara finansial adalah buah langsung dari penyakit cinta dunia yang berlebihan ini.
3. Menggugat Ilusi Keabadian Modern
Anggapan "Yahsabu anna maalahuu akhladah" (mengira hartanya akan mengekalkannya) juga memiliki bentuk modern. Manusia modern mungkin tidak secara harfiah berpikir uang bisa membuat mereka hidup selamanya, tetapi mereka bertindak seolah-olah demikian.
Mereka mengejar "legacy" atau warisan berupa kerajaan bisnis, ketenaran abadi, atau pengaruh yang tak lekang oleh waktu. Mereka berinvestasi besar-besaran untuk kesehatan dan penampilan agar bisa "menipu" penuaan. Semua ini dilakukan sambil melupakan investasi terbesar dan terpenting, yaitu investasi untuk akhirat. Surat Al-Humazah mengingatkan bahwa satu-satunya yang kekal adalah kehidupan setelah mati, dan harta duniawi akan ditinggalkan begitu saja. Ia tidak akan ikut masuk ke dalam kubur, apalagi menjadi penyelamat di hadapan Allah.
4. Peringatan tentang Keadilan Ilahi
Gambaran Neraka Huthamah yang apinya menembus sampai ke hati ('alal af'idah) mengandung pelajaran tentang keadilan Allah yang sempurna. Di dunia, seseorang bisa menyembunyikan niat buruk, kesombongan, dan kedengkian di dalam hati. Namun di akhirat, hukuman akan menyasar langsung ke sumber penyakit itu.
Ini adalah pengingat bahwa Islam tidak hanya mengatur perilaku lahiriah, tetapi juga sangat menekankan pentingnya kebersihan hati. Kesombongan, iri hati, dan cinta dunia yang berlebihan adalah dosa-dosa batin yang menjadi akar dari banyak perbuatan zalim. Hukuman yang menembus hati adalah balasan yang setimpal bagi hati yang selama di dunia dipenuhi oleh penyakit-penyakit tersebut.
Kesimpulan: Refleksi dan Jalan Keluar
Surat Al-Humazah adalah cermin bagi setiap individu untuk merefleksikan perilakunya. Ia menyajikan sebuah rantai sebab-akibat yang mengerikan: keserakahan dalam mengumpulkan harta (ayat 2) melahirkan delusi kekekalan dan kesombongan (ayat 3), yang kemudian termanifestasi dalam perbuatan merendahkan dan mencela sesama manusia (ayat 1). Rantai dosa ini pada akhirnya akan berujung pada azab yang menghinakan dan menghancurkan di Neraka Huthamah (ayat 4-9).
Jalan keluarnya adalah dengan memutus rantai tersebut pada akarnya. Islam mengajarkan bahwa harta adalah amanah, bukan tujuan. Ia harus dicari dengan cara yang halal dan digunakan untuk kebaikan, bukan untuk ditumpuk dan dibanggakan. Kehormatan sejati tidak terletak pada jumlah kekayaan, melainkan pada ketakwaan (QS. Al-Hujurat: 13).
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa."
Dengan memahami dan merenungi bacaan Al Humazah latin beserta tafsirnya, kita diingatkan untuk senantiasa menjaga lisan dan perbuatan, membersihkan hati dari kesombongan dan cinta dunia, serta selalu mengingat bahwa kehidupan ini hanyalah sementara. Semoga Allah SWT melindungi kita semua dari sifat-sifat tercela yang digambarkan dalam surat yang agung ini dan menyelamatkan kita dari dahsyatnya api Neraka Huthamah.