Menggali Samudra Tauhid: Keagungan Surah Al-Hasyr Ayat 21-24

Sebuah Kajian Mendalam Mengenai Kekuatan Wahyu dan Puncak Keindahan Asmaul Husna

Pendahuluan: Konteks Surah Al-Hasyr

Surah Al-Hasyr, yang berarti 'Pengusiran', adalah surah Madaniyah yang membahas peristiwa pengusiran Bani Nadhir dari Madinah. Namun, di balik konteks sejarahnya, surah ini mencapai puncaknya pada empat ayat penutup, yakni ayat 21 hingga 24. Ayat-ayat ini tidak lagi berfokus pada dinamika konflik atau pembagian rampasan perang, melainkan beralih secara dramatis menuju pembahasan inti dari seluruh keberadaan: Dzat Allah SWT, sifat-sifat-Nya, dan keagungan firman-Nya, Al-Qur'an.

Empat ayat terakhir ini menjadi ringkasan teologis yang sangat padat, berfungsi sebagai mahkota surah dan salah satu teks paling mendalam mengenai tauhid dalam seluruh Al-Qur'an. Mereka mengajak manusia dari kesibukan duniawi dan konflik antarsesama, menuju kontemplasi murni tentang Kebesaran Sang Pencipta. Pemahaman yang mendalam terhadap ayat 21-24 tidak hanya memperkaya pengetahuan akidah, tetapi juga menumbuhkan rasa rendah hati (*khusyuk*) dan pengenalan diri (*ma'rifah*) yang sejati kepada Allah.

Secara umum, ayat 21 berbicara tentang dampak wahyu; ayat 22-24 adalah pengenalan diri Allah kepada makhluk-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang paling mulia. Inilah perjalanan spiritual dari kekaguman terhadap ciptaan menuju kekaguman terhadap Sang Khaliq itu sendiri, yang pada gilirannya harus membentuk kembali karakter dan tindakan setiap hamba.

I. Tafsir Ayat 21: Kekuatan dan Dampak Wahyu

لَوْ أَنزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
"Sekiranya Kami turunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir." (QS. Al-Hasyr: 21)

Ayat ini adalah metafora yang paling kuat dalam Al-Qur'an untuk menjelaskan intensitas dan kekuatan spiritual firman Allah. Allah menggunakan gunung sebagai subjek perumpamaan, bukan sembarangan. Gunung adalah simbol kekerasan, kemegahan, keabadian, dan kekokohan di mata manusia. Dalam peradaban manapun, gunung mewakili keteguhan yang tak tergoyahkan.

1. Analisis Terminologi Kunci

2. Implikasi Teologis Perumpamaan Gunung

Jika gunung yang merupakan puncak kekerasan materi mampu hancur dan tunduk ketika menerima beban firman Allah, lantas bagaimana seharusnya respon hati manusia yang jauh lebih lembut dan rentan? Ayat ini berfungsi sebagai teguran tajam sekaligus ajakan. Ia menyiratkan bahwa:

a. **Keutamaan Al-Qur'an Atas Materi:** Firman Allah (Kalamullah) memiliki bobot ontologis yang jauh melebihi materi terberat sekalipun. Al-Qur'an bukanlah sekadar deretan kata, melainkan energi Ilahi yang merombak realitas.

b. **Peringatan bagi Hati yang Keras:** Tujuan utama ayat ini adalah mengkritik hati manusia yang bebal dan keras, yang mungkin mendengar lantunan ayat suci setiap hari namun tetap angkuh, lalai, dan tidak tergerak. Gunung yang mati secara spiritual bisa hancur karena *khasyyah*, sementara manusia yang diberi akal dan hati, seringkali tetap teguh dalam kejahilan dan dosa.

c. **Prinsip Tadabbur (Refleksi):** Frasa penutup, **"Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir (yatfakkarūn),"** menekankan bahwa Al-Qur'an memerlukan pemikiran yang mendalam. Ayat ini mendorong *tadabbur* (perenungan) dan *ta’aqqul* (penggunaan akal). Tanpa pemikiran, firman suci hanya menjadi ritual tanpa makna transformatif.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa perumpamaan ini dimaksudkan agar manusia menyadari betapa ringannya mereka mengambil firman Allah, padahal jika firman itu diturunkan kepada benda mati yang kokoh, niscaya benda tersebut tidak akan mampu menanggungnya. Beban spiritual dari tanggung jawab menjalankan Al-Qur'an adalah beban yang harus dipikul dengan kerendahan hati yang ekstrem.

Ilustrasi Pegunungan dan Cahaya Wahyu Representasi visual surah Al-Hasyr ayat 21, menunjukkan gunung yang kokoh mulai terbelah dan hancur akibat cahaya dan kekuatan spiritual yang dipancarkan oleh wahyu Ilahi dari langit.

Ayat 21 ini adalah pintu masuk menuju ayat-ayat berikutnya. Setelah menyadari kekuatan tak terbatas dari Firman yang datang dari Allah, kita kemudian dipandu untuk mengenal Dzat yang menurunkan Firman tersebut. Keagungan Kalam mengarah pada Keagungan Mutakallim (Yang Berfirman).

II. Tafsir Ayat 22: Fondasi Tauhid dan Ilmu Allah

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ۖ هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
"Dialah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr: 22)

1. Huwallahu Lazi Laa Ilaaha Illa Huwa

Ayat 22 memulai penegasan fundamental akidah: **Tauhid Uluhiyah** (keesaan dalam ibadah) dan **Tauhid Rububiyah** (keesaan dalam penciptaan dan pengaturan). Kalimat ini merupakan intisari dari Syahadat. Ketika Allah menyatakan, "Dialah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia," ini adalah penghapusan total terhadap segala bentuk kemusyrikan dan pengakuan mutlak terhadap otoritas tunggal Ilahi.

Pernyataan ini bukan hanya deklarasi, tetapi juga penolakan terhadap pemujaan berhala, hawa nafsu, dan kekuasaan fana. Pengakuan Tauhid ini menuntut penyerahan total (Islam) dalam setiap aspek kehidupan, mengakui bahwa tidak ada entitas lain yang layak menerima pengagungan, kepatuhan, atau pengharapan layaknya Allah.

2. 'Aalimul Ghaibi was Syahadah (Pengetahuan Mutlak)

Selanjutnya, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai **'Aalimul Ghaibi was Syahadah** (Yang Mengetahui yang Gaib dan yang Nyata). Konsep ini mendefinisikan ilmu Allah yang bersifat absolut dan sempurna, jauh melampaui kemampuan pemahaman makhluk-Nya.

Penyandingan kedua istilah ini menekankan bahwa pengetahuan Allah tidak mengenal batasan ruang (di mana pun), waktu (masa lalu, kini, dan masa depan), atau dimensi (fisik dan metafisik). Allah mengetahui niat tersembunyi di hati, bahkan sebelum niat itu diucapkan, hingga bintang terjauh di alam semesta. Kontemplasi atas sifat ini seharusnya menumbuhkan *muraqabah* (merasa diawasi) pada diri seorang hamba.

3. Ar-Rahmanir Rahim (Kasih Sayang yang Abadi)

Ayat ini ditutup dengan dua nama agung yang menekankan rahmat: **Ar-Rahman** (Maha Pengasih) dan **Ar-Rahim** (Maha Penyayang). Meskipun Allah adalah Penguasa mutlak yang ilmunya meliputi segalanya—termasuk kelemahan dan dosa manusia—Dia memilih untuk memperkenalkan diri-Nya melalui Rahmat.

Penyebutan Rahman dan Rahim setelah penegasan Tauhid dan Pengetahuan Gaib adalah keseimbangan yang sempurna. Ia mencegah rasa putus asa dan kekhawatiran yang berlebihan. Meskipun manusia tahu bahwa Allah melihat setiap aibnya, ia juga tahu bahwa Tuhannya adalah Dzat yang rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Ar-Rahman adalah rahmat yang bersifat universal dan segera (bagi seluruh makhluk di dunia), sedangkan Ar-Rahim adalah rahmat yang bersifat spesifik dan abadi (bagi orang beriman di akhirat).

Ayat 22 berfungsi sebagai jembatan: menegakkan tiang utama (Tauhid dan Ilmu) dan meletakkan dasar hubungan (Rahmat). Ini menyiapkan hati untuk menerima daftar sifat-sifat keagungan dan kekuasaan yang akan diuraikan di ayat 23.

III. Tafsir Ayat 23: Manifestasi Kedaulatan (Asmaul Husna Bagian I)

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
"Dialah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Raja, Yang Mahasuci, Yang Maha Sejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Kebesaran. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. Al-Hasyr: 23)

Ayat 23 adalah puncak dari eksposisi Asmaul Husna dalam surah ini, mencantumkan delapan nama agung yang mendefinisikan kedaulatan, kesucian, dan kekuatan Allah. Kedelapan nama ini membentuk spektrum lengkap dari kekuasaan ilahi yang absolut (*uluhiyah*).

1. Asmaul Husna yang Berhubungan dengan Kedaulatan (Al-Malik)

1. AL-MALIK (الْمَلِكُ) – Sang Raja Mutlak

Al-Malik berarti Penguasa Absolut, Raja dari segala raja, yang kepemilikan dan kekuasaannya tidak berawal dan tidak berakhir. Kedaulatan-Nya bersifat zatiah, bukan perolehan atau warisan. Jika raja manusia memiliki batas wilayah dan waktu kekuasaan, Al-Malik memiliki seluruh alam semesta, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Pengakuan atas Al-Malik menuntut ketaatan penuh, karena Dialah satu-satunya sumber hukum dan otoritas.

Implikasi teologisnya sangat dalam: Kepemilikan manusia atas harta atau kekuasaan hanyalah pinjaman, dan Raja sejati akan meminta pertanggungjawaban atas cara pinjaman tersebut digunakan. Ini adalah fondasi dari ekonomi Islam dan etika sosial.

2. Asmaul Husna yang Berhubungan dengan Kesucian (Al-Quddus, As-Salam)

2. AL-QUDDUS (الْقُدُّوسُ) – Yang Mahasuci

Al-Quddus berarti Dzat yang suci dari segala kekurangan, aib, kelemahan, atau sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Kesucian ini mencakup penyucian-Nya dari persamaan dengan makhluk, dari prasangka buruk manusia, dan dari segala bentuk kebutuhan (misalnya butuh makan, tidur, atau butuh sekutu). Konsep *tanzih* (penyucian) berakar pada nama ini. Ketika kita menyucikan Allah, kita mengakui kemustahilan bagi-Nya untuk memiliki sifat makhluk.

3. AS-SALAM (السَّلَامُ) – Sumber Kedamaian dan Kesejahteraan

As-Salam memiliki dua makna utama. Pertama, Dia adalah Dzat yang aman dari segala aib dan bahaya (keselamatan zatiah). Kedua, Dia adalah sumber dari segala kedamaian, kesejahteraan, dan keamanan bagi makhluk-Nya. Surga disebut *Darussalam* (Negeri Kedamaian) karena merupakan manifestasi sempurna dari nama ini. Nama ini mengajarkan bahwa kedamaian sejati, baik internal maupun eksternal, hanya dapat dicapai melalui penyerahan diri kepada-Nya.

4. Asmaul Husna yang Berhubungan dengan Perlindungan dan Pengawasan (Al-Mu’min, Al-Muhaimin)

4. AL-MU'MIN (الْمُؤْمِنُ) – Yang Memberi Keamanan dan Kepercayaan

Al-Mu'min berarti Dzat yang memberikan rasa aman kepada hamba-Nya. Dia membebaskan hamba-Nya dari rasa takut. Dia juga Dzat yang membenarkan para Rasul-Nya dengan mukjizat, sehingga Dia adalah sumber kebenaran dan keyakinan (*iman*). Dialah yang memastikan janji-Nya terpenuhi, baik janji pahala maupun ancaman hukuman. Dengan nama ini, kita tahu bahwa Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya dan akan mengamankan mereka yang bertakwa dari ketakutan di hari Kiamat.

5. AL-MUHAIMIN (الْمُهَيْمِنُ) – Yang Maha Memelihara dan Mengawasi

Al-Muhaimin adalah Pengawas yang Mutlak. Dia meliputi, mengawasi, dan menjaga segala sesuatu. Dia menyaksikan setiap detail, setiap tindakan, dan setiap pikiran, tanpa ada yang luput dari pandangan-Nya. Nama ini menegaskan kembali konsep *muraqabah* yang disinggung di ayat 22. Jika Al-Malik mengatur, Al-Muhaimin memastikan aturan itu berjalan sempurna. Nama ini mengajarkan kehati-hatian dalam bertindak, sebab kita selalu berada dalam pengawasan Dzat yang sempurna pengawasannya.

6. Asmaul Husna yang Berhubungan dengan Kekuatan dan Keperkasaan (Al-Aziz, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir)

6. AL-AZIZ (الْعَزِيزُ) – Yang Mahaperkasa

Al-Aziz adalah Dzat yang perkasa, mulia, dan tak terkalahkan. Keperkasaan-Nya sempurna dan mustahil dicapai oleh makhluk. Kekuatan-Nya tidak dapat ditembus atau dipatahkan. Jika Dia berkehendak, tidak ada kekuatan di alam semesta yang dapat menghalangi kehendak-Nya. Umat Islam harus memahami bahwa kemuliaan (*izzah*) sejati hanya berasal dari kepatuhan kepada Al-Aziz, bukan dari kekuasaan duniawi yang fana.

7. AL-JABBAR (الْجَبَّارُ) – Yang Mahakuasa dan Memaksa

Al-Jabbar memiliki tiga arti utama: Pertama, Dia adalah Dzat yang memaksakan kehendak-Nya. Tidak ada yang bisa menolak ketetapan-Nya. Kedua, Dia adalah Dzat yang memperbaiki atau menyembuhkan (al-jabr) segala sesuatu yang rusak atau patah, termasuk tulang yang patah atau hati yang hancur. Ketiga, Dia adalah Dzat yang Maha Tinggi dan Perkasa. Kekuatan Al-Jabbar mengingatkan manusia akan keterbatasan mereka dan bahwa setiap solusi dan penyembuhan datang dari Dzat Yang Maha Memperbaiki.

8. AL-MUTAKABBIR (الْمُتَكَبِّرُ) – Yang Memiliki Kebesaran Mutlak

Al-Mutakabbir adalah Dzat yang memiliki kebesaran dan keagungan yang hanya Dia yang pantas menyandangnya. Kesombongan (takabbur) adalah sifat tercela bagi manusia, tetapi bagi Allah, itu adalah sifat sempurna karena Dia memang Yang Maha Besar, melampaui deskripsi dan imajinasi makhluk. Penggunaan nama ini mengajarkan bahwa manusia harus menjauhi sifat sombong, karena kebesaran adalah pakaian eksklusif Allah. Jika manusia sombong, ia telah mencoba merebut atribut Ilahi, yang merupakan dosa terbesar.

7. Penutup Ayat 23: Tanzih (Penyucian)

Ayat ini ditutup dengan kalimat, **"Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan (Subhaanallahi ‘ammaa yusyrikūn)."** Ini adalah penegasan kembali *tanzih*, yaitu penyucian Allah dari segala kemusyrikan. Setelah menyebutkan delapan nama agung yang menunjukkan kesempurnaan mutlak, Allah menekankan bahwa kesempurnaan ini tidak boleh dicemari dengan menyamakan-Nya dengan makhluk, atau dengan menjadikan sekutu dalam ibadah dan kedaulatan-Nya.

IV. Tafsir Ayat 24: Manifestasi Penciptaan dan Pembentukan (Asmaul Husna Bagian II)

هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Dialah Allah, Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang memiliki Asmaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana." (QS. Al-Hasyr: 24)

Ayat 24 melengkapi spektrum Asmaul Husna dengan berfokus pada sifat-sifat penciptaan, menunjukkan proses kreatif Ilahi yang sistematis dan sempurna. Tiga nama ini—Al-Khaliq, Al-Bari', dan Al-Mushawwir—membentuk tahapan kreasi.

1. Tahapan Proses Penciptaan

1. AL-KHALIQ (الْخَالِقُ) – Sang Perancang dan Pencipta Awal

Al-Khaliq adalah Dzat yang merencanakan dan menentukan segala sesuatu tanpa didahului contoh. Dia menciptakan dari ketiadaan (*ex nihilo*) dan juga menetapkan ukuran, nasib, dan takdir segala sesuatu sebelum wujudnya. Nama ini menekankan fase perencanaan, desain, dan penetapan hukum alam semesta.

2. AL-BARI' (الْبَارِئُ) – Sang Pengadakan dari Ketiadaan

Al-Bari' adalah Dzat yang melaksanakan rancangan Al-Khaliq, mengeluarkan ciptaan dari tahap potensi ke tahap aktual tanpa cacat atau pertentangan. Ini adalah tahap pembentukan materi murni dan realisasi fisik. Jika Al-Khaliq adalah arsitek, Al-Bari' adalah insinyur yang mengimplementasikan desain dasar tersebut, menjadikan makhluk hidup unik dan berbeda dari yang lain.

3. AL-MUSHAWWIR (الْمُصَوِّرُ) – Sang Pembentuk Rupa

Al-Mushawwir adalah Dzat yang memberikan bentuk, rupa, dan identitas akhir yang spesifik. Dialah yang menentukan warna, jenis kelamin, ciri khas wajah, sidik jari, dan segala detail yang membedakan satu makhluk dari yang lain. Tidak ada dua makhluk, bahkan kembar identik, yang memiliki kesempurnaan bentuk yang sama persis. Nama ini menunjukkan seni dan estetika Ilahi yang tak terbatas dalam penciptaan. Manusia harus merenungkan bentuknya sendiri untuk menyadari kebesaran Al-Mushawwir.

Tiga nama ini (Khaliq, Bari', Mushawwir) menjelaskan kedalaman Tauhid Rububiyah: Allah adalah satu-satunya sumber perencanaan, realisasi, dan pembentukan. Tidak ada sekutu dalam proses kreasi ini.

2. Penutup dan Integrasi: Lahu Al-Asmaul Husna

Setelah menyebutkan sebelas nama Allah secara eksplisit dalam dua ayat ini (Rahman, Rahim, Malik, Quddus, Salam, Mu'min, Muhaimin, Aziz, Jabbar, Mutakabbir, Khaliq, Bari', Mushawwir – dengan pengecualian Rahman dan Rahim yang disebut sebelumnya), ayat 24 memberikan penegasan kolektif: **"Yang memiliki Asmaul Husna (Lahu Al-Asma'ul Husna)."**

Frasa ini menguatkan bahwa nama-nama yang disebutkan hanya sebagian kecil dari seluruh nama Allah yang indah dan sempurna. "Al-Husna" (Yang Paling Indah) menunjukkan bahwa setiap nama Allah bersifat sempurna, tidak mengandung cacat, dan melambangkan kebaikan mutlak. Kewajiban hamba adalah berdoa dan memuji Allah melalui nama-nama tersebut, sebagaimana difirmankan di tempat lain dalam Al-Qur'an.

Pola Geometri Islami Melambangkan Asmaul Husna Pola geometris bintang 8 dan lingkaran yang kompleks, melambangkan keesaan Allah, kesempurnaan ciptaan-Nya, dan ketakterbatasan Asmaul Husna. الله

3. Tasbih Universal dan Penutup Kekuasaan

Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta, baik yang berakal maupun yang tidak berakal, bertasbih kepada Allah: **"Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan di bumi (Yusabbihu lahu mā fis-samāwāti wal-arḍi)."** Tasbih ini tidak hanya dalam bentuk lisan bagi makhluk berakal, tetapi juga tasbih hakiki (*tasbih kauniy*) di mana eksistensi dan keteraturan setiap atom dan galaksi adalah bukti dan pujian atas Penciptanya. Langit, bumi, gunung (yang dibahas di ayat 21), semuanya mengakui keesaan dan kesempurnaan-Nya melalui keberadaan mereka.

Ayat 24 ditutup dengan penegasan kembali: **"Dan Dialah Yang Mahaperkasa (Al-Aziz), Mahabijaksana (Al-Hakim)."** Nama Al-Aziz (Mahaperkasa) diulang untuk menekankan bahwa semua proses penciptaan (Khaliq, Bari', Mushawwir) dilakukan dengan kekuatan yang tak tertandingi. Sementara Al-Hakim (Mahabijaksana) menegaskan bahwa seluruh ciptaan dan peraturan ini bukan terjadi secara kebetulan atau sia-sia, melainkan berdasarkan hikmah dan kebijaksanaan yang sempurna. Keteraturan alam semesta adalah bukti kebijaksanaan-Nya.

V. Integrasi Ayat 21-24: Siklus Ma’rifah

Empat ayat terakhir Surah Al-Hasyr ini tidak berdiri sendiri, melainkan membentuk satu siklus pengenalan diri Ilahi (*ma’rifah*) yang logis dan menyeluruh, yang dapat dipecah menjadi tiga fase utama:

1. Fase A: Kebutuhan terhadap Wahyu (Ayat 21)

Manusia dimulai dengan diingatkan tentang kelemahan dirinya dan kekuatan firman Allah. Kesadaran akan bobot Al-Qur'an (sehingga gunung pun tak sanggup menanggungnya) adalah prasyarat untuk membuka hati. Jika hati belum terpengaruh oleh wahyu, maka ia lebih keras dari batu. Fase ini mendorong *tazkiyatun nafs* (pembersihan jiwa) agar hati siap menerima ilmu.

2. Fase B: Pengenalan Dzat (Ayat 22)

Setelah hati terbuka, Allah memperkenalkan diri-Nya melalui fondasi akidah: Tauhid mutlak (*Laa Ilaaha Illa Huwa*), Pengetahuan universal (*Ghaib dan Syahadah*), dan Kasih Sayang utama (*Rahman dan Rahim*). Fase ini memberikan kerangka spiritual yang kokoh, menanamkan rasa pengawasan sekaligus pengharapan.

3. Fase C: Mendalami Sifat-sifat (Ayat 23 & 24)

Inilah fase detailisasi. Ayat 23 menjelaskan sifat-sifat Kedaulatan, Kemuliaan, dan Kesucian. Ayat 24 menjelaskan sifat-sifat Kreasi, Estetika, dan Kekuasaan. Keseluruhan sifat ini, yang disimpulkan dalam Asmaul Husna, memberikan gambaran yang lengkap tentang Siapa Allah itu—bukan sekadar dewa yang jauh, melainkan Raja yang mengatur, menyucikan, mengawasi, dan merancang segala rupa kehidupan.

Siklus ini memastikan bahwa keimanan yang dibentuk adalah keimanan yang seimbang: takut (karena kekuasaan-Nya, Ayat 21 & 23), penuh harap (karena rahmat-Nya, Ayat 22), dan didasari oleh logika dan pengenalan diri (karena hikmah dalam penciptaan, Ayat 24).

VI. Implementasi Praktis dalam Kehidupan

Memahami Al-Hasyr 21-24 bukan sekadar hafalan, tetapi merupakan cetak biru untuk transformasi perilaku dan pandangan hidup seorang mukmin:

1. Peningkatan Kualitas Ibadah (Khusyuk)

Ketika seorang hamba membaca atau mendengar ayat-ayat ini, ia harus merenungkan perumpamaan gunung yang hancur (Ayat 21). Ini seharusnya meningkatkan *khusyuk* dalam salat. Bagaimana mungkin gunung bisa hancur karena takut, sementara kita berdiri di hadapan Sang Raja (Al-Malik, Ayat 23) tanpa perasaan takut dan gentar?

2. Etika Kekuasaan dan Jabatan

Pemahaman mendalam terhadap Al-Malik, Al-Jabbar, dan Al-Mutakabbir (Ayat 23) menjadi rem spiritual bagi siapapun yang memegang kekuasaan duniawi. Mereka menyadari bahwa kekuasaan manusia adalah fana dan bersifat pinjaman. Seseorang harus menjauhi kesombongan (*takabbur*), karena hanya Allah yang pantas menyandang kebesaran absolut.

3. Penerimaan Takdir dan Kepasrahan

Dengan mengetahui bahwa Allah adalah Al-Aziz, Al-Jabbar, dan Al-Hakim (Yang Maha Perkasa, Memaksa, dan Bijaksana), hati akan lebih mudah menerima takdir buruk. Dalam kesulitan, hamba bersandar pada Al-Jabbar yang mampu menyembuhkan segala yang patah dan memperbaiki segala yang rusak. Dalam keputusasaan, ia ingat bahwa Al-Mu’min adalah pemberi keamanan sejati.

4. Penghargaan terhadap Ilmu dan Estetika

Pengakuan terhadap Al-Khaliq, Al-Bari', dan Al-Mushawwir (Ayat 24) menumbuhkan penghargaan luar biasa terhadap ilmu pengetahuan dan keindahan alam semesta. Setiap detail ciptaan—dari struktur sel hingga tata surya—adalah bukti langsung dari hikmah dan seni Ilahi. Ini mendorong muslim untuk menjadi peneliti dan pengagum karya seni Allah, serta menolak teori kebetulan dalam penciptaan.

5. Konsistensi Doa Melalui Asmaul Husna

Ayat-ayat ini menyajikan sebelas nama Allah sebagai alat utama dalam berinteraksi dengan-Nya. Ketika memohon kedamaian, kita memanggil Ya Salam. Ketika mencari perlindungan dari tirani, kita memohon kepada Ya Aziz, Ya Jabbar. Ketika memohon ampun, kita memanggil Ya Rahman, Ya Rahim. Praktik ini memastikan doa lebih terarah dan selaras dengan hakikat Dzat yang Maha Agung.

Penutup: Keutamaan Kontemplasi

Surah Al-Hasyr ayat 21-24 bukan sekadar bacaan penutup. Mereka adalah salah satu kumpulan ayat terpenting yang menjelaskan hakikat Tauhid dan sifat-sifat Allah secara paling komprehensif. Tradisi Islam menganjurkan pembacaan ayat-ayat ini, terutama pada pagi dan sore hari, agar hati senantiasa terhubung dengan kesadaran akan keagungan Allah yang meliputi segala dimensi (ghaib dan syahadah).

Melalui perenungan yang berkelanjutan terhadap kekuatan Wahyu (Ayat 21), keesaan dan ilmu-Nya (Ayat 22), kedaulatan dan kesucian-Nya (Ayat 23), serta seni penciptaan-Nya (Ayat 24), seorang mukmin mencapai derajat *ihsan*, yaitu beribadah seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak mampu, setidaknya meyakini bahwa Dia senantiasa melihat kita. Inilah puncak ma'rifah yang ditawarkan oleh penutup Surah Al-Hasyr, yang menjanjikan ketenangan abadi bagi hati yang tunduk, lebih dari ketundukan gunung yang terbelah.

Dengan mengakhiri tafsir ini, kita kembali diingatkan bahwa keagungan Allah bersifat tak terbatas, dan usaha untuk memahami-Nya melalui Asmaul Husna adalah perjalanan spiritual seumur hidup yang menjamin kebahagiaan di dunia dan keselamatan di Akhirat, sebagaimana firman-Nya, "Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan."

Perluasan Makna Filosofis Al-Quddus dan As-Salam

Kedalaman filosofis dari Al-Quddus melampaui sekadar 'suci'. Ia mengandung makna bahwa Allah adalah esensi keberadaan yang tidak dapat digambarkan secara antropomorfis. Semua konsep manusia tentang keindahan, kekuatan, atau keadilan adalah bayangan redup dari kesempurnaan Al-Quddus. Dalam konteks ibadah, mensucikan diri kita dari dosa dan niat buruk adalah upaya untuk mencerminkan, sejauh kapasitas manusia, sifat Al-Quddus. Sementara As-Salam, sebagai sumber kedamaian, mengajarkan bahwa konflik internal dan eksternal manusia—mulai dari kecemasan individu hingga perang global—adalah akibat dari jauhnya manusia dari sumber kedamaian sejati. Mencari As-Salam berarti mencari keselarasan hukum Tuhan dalam diri dan masyarakat.

Implikasi Sosial dari Al-Mu'min dan Al-Muhaimin

Jika Allah adalah Al-Mu'min, yang memberikan rasa aman, maka tanggung jawab sosial setiap mukmin adalah menjadi sumber keamanan bagi sesamanya. Seorang individu yang memahami Al-Mu'min tidak akan menjadi pelaku teror, intimidasi, atau pengkhianatan, karena ia berusaha mencerminkan nama tersebut dalam lingkup kemampuannya. Al-Muhaimin mendorong transparansi dan akuntabilitas. Menyadari bahwa Allah adalah Pengawas Mutlak menghilangkan motivasi untuk berbuat curang, baik dalam transaksi bisnis, kepemimpinan politik, maupun janji pribadi. Konsep ini adalah fondasi etika publik yang sehat.

Hubungan Dinamis antara Al-Aziz, Al-Jabbar, dan Al-Mutakabbir

Ketiga nama ini sering disalahpahami jika dilihat secara terpisah. Ketika dikaitkan, mereka menciptakan gambaran keperkasaan yang tak tertandingi. Al-Aziz memastikan bahwa kehendak Allah tidak bisa dibatalkan; Al-Jabbar memastikan bahwa kehendak itu dilaksanakan secara paksa jika diperlukan, sambil juga memperbaiki kerusakan yang timbul dari proses kreasi; dan Al-Mutakabbir memastikan bahwa tidak ada entitas lain yang memiliki hak atas kekuasaan ini. Kombinasi ini mengajarkan bahwa meskipun kekuasaan Allah tak terbatas, ia selalu dibarengi dengan keadilan dan pemeliharaan.

Perenungan mendalam terhadap Al-Aziz membantu hamba mengatasi rasa inferioritas dan ketergantungan pada kekuatan selain Allah. Jika kita mencari kemuliaan melalui kemuliaan Al-Aziz, kita akan menjadi kuat tanpa harus menindas. Jika kita memahami Al-Jabbar, kita menyadari bahwa setiap kelemahan kita dapat ditutupi dan diperbaiki oleh-Nya, sehingga kita berani menghadapi kekurangan dengan optimisme.

Sistematisasi Penciptaan: Filosofi Khaliq, Bari', Mushawwir

Tiga nama kreasi ini memberikan dasar bagi kosmologi Islam. Penciptaan bukanlah peristiwa tunggal, melainkan proses yang terstruktur: Ide/Takdir (Khaliq) diterjemahkan menjadi materi dasar (Bari') dan diwujudkan dalam bentuk yang unik (Mushawwir). Filosofi ini menghilangkan gagasan chaos atau kebetulan. Setiap ciptaan, dari yang terkecil (mikroba) hingga yang terbesar (galaksi), adalah hasil dari rencana yang disengaja. Keteraturan ini adalah argumen logis terkuat bagi keberadaan Tuhan. Dalam ilmu biologi modern, misalnya, kerumitan DNA dan spesifisitas bentuk kehidupan adalah bukti manifestasi sempurna dari Al-Mushawwir.

Ayat 24 menantang ilmuwan dan seniman: Ilmuwan harus mencari hukum Khaliq, dan seniman harus meniru keindahan Mushawwir. Keindahan adalah salah satu sifat Allah, dan oleh karena itu, mencari dan menciptakan keindahan adalah ibadah, asalkan tidak melanggar batasan-batasan syariat.

Implikasi Teologi tentang Tasbih Universal

Pernyataan bahwa "Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan di bumi" mengandung makna bahwa seluruh alam semesta adalah Muslim (*tunduk*) secara intrinsik. Hanya manusia dan jin yang diberikan pilihan. Ini berarti ketidakpatuhan manusia adalah anomali di tengah harmoni kosmik. Ketika seorang hamba bertasbih lisan (*Subhanallah*), ia menyelaraskan dirinya kembali dengan tasbih universal alam semesta, memulihkan harmoni spiritual yang mungkin rusak oleh dosa dan kelalaian.

Ayat 21-24 secara kolektif menegaskan bahwa pengenalan Allah harus bersifat komprehensif, mencakup Rahmat dan Kekuatan, Kesucian dan Kreasi. Tidak ada satu pun aspek Ilahiyah yang boleh diabaikan. Ini adalah petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kesempurnaan ibadah dan keselarasan hidup di bawah payung Asmaul Husna.

🏠 Kembali ke Homepage