Pedoman Muhasabah Diri, Taqwa, dan Pengenalan Sifat-Sifat Allah
Surah Al-Hashr, surah ke-59 dalam Al-Qur'an, sering kali dikenal karena membahas tentang pengusiran Bani Nadhir dan hukum-hukum terkait rampasan perang (fai'). Namun, bagian penutup surah ini, khususnya ayat 18 hingga 24, memuat pesan-pesan fundamental yang melampaui konteks historis peperangan. Bagian ini merupakan sebuah klimaks spiritual yang menegaskan kembali tiga pilar utama kehidupan seorang mukmin: ketaqwaan (taqwa), introspeksi diri (muhasabah), dan pengenalan akan Tuhan (ma’rifatullah).
Ayat-ayat ini menyajikan kontras tajam antara mereka yang berhasil mencapai keselamatan abadi dan mereka yang merugi karena kelalaian. Puncaknya, ayat 22 hingga 24, menghadirkan rangkaian Asmaul Husna yang paling agung, berfungsi sebagai penutup yang menakjubkan, mengingatkan bahwa Dzat yang memerintahkan ketaqwaan, yang menghisab setiap perbuatan, adalah Dzat Yang Maha Sempurna dan Maha Pencipta. Memahami ayat 18-24 bukan hanya menghafal terjemahan, tetapi menggali kedalaman implikasi etis, spiritual, dan teologisnya.
Terjemahan: "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dipersiapkannya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
Ayat ini dibuka dengan panggilan mesra, "يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ" (Wahai orang-orang yang beriman). Panggilan ini menandakan bahwa perintah yang menyusul adalah kewajiban yang hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang telah menyatakan keimanan. Keimanan bukanlah sekadar pengakuan lisan, tetapi prasyarat untuk menerima beban taklif (kewajiban agama).
Perintah pertama adalah "ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ" (Bertakwalah kepada Allah). Taqwa, dalam definisi klasik Ali bin Abi Thalib, adalah takut kepada Yang Maha Agung, beramal sesuai wahyu yang diturunkan, merasa puas dengan yang sedikit, dan bersiap untuk Hari Keberangkatan. Dalam konteks ayat ini, taqwa adalah benteng pertahanan spiritual yang melindungi mukmin dari siksa dan murka Ilahi. Ini adalah kesadaran konstan akan kehadiran Allah, yang mempengaruhi setiap keputusan dan tindakan.
Inti filosofis ayat ini terletak pada frasa: "وَلْتَنظُرْ نَفْسٌۭ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍّۢ" (dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dipersiapkannya untuk hari esok). Kata تنظر (tanzur) berarti melihat secara mendalam, meneliti, atau menganalisis. Ini bukan pandangan sepintas, tetapi sebuah proses refleksi diri yang jujur, dikenal dalam tradisi Islam sebagai Muhasabah.
Muhasabah adalah praktik spiritual menimbang amal perbuatan, ucapan, dan niat yang telah berlalu. Para ulama menekankan bahwa muhasabah harus dilakukan sebelum tidur, saat matahari terbenam, atau secara periodik. Mengapa perintah ini diberikan? Karena tanpa introspeksi, manusia cenderung mengulang kesalahan yang sama dan terlena oleh panjangnya angan-angan (tulul al-amal).
Imam Al-Ghazali, dalam karyanya, menjelaskan bahwa muhasabah terbagi menjadi dua tahapan: perhitungan sebelum berbuat (muraqabah) dan perhitungan setelah berbuat (muhasabah). Ayat 18 Surah Al-Hashr mendorong kedua jenis ini. Sebelum bertindak, seseorang harus bertanya: "Apakah perbuatan ini akan memberatkan timbangan kebaikan saya di hari esok?" Setelah bertindak, ia harus meninjau: "Apakah perbuatan yang telah saya lakukan tadi murni karena Allah?"
Secara literal, *Ghad* berarti besok. Namun, dalam konteks Al-Qur'an, kata ini merujuk secara mutlak kepada Hari Kiamat (Yawm al-Qiyamah) atau Hari Akhirat. Pemilihan kata 'ghad' yang bersifat temporal dan segera, memiliki makna psikologis yang mendalam: Kiamat, meskipun waktunya dirahasiakan, harus dianggap seolah-olah terjadi besok. Jarak antara hari ini dan Hari Akhirat hanyalah kematian, dan kematian dapat datang kapan saja.
Jika seseorang meyakini bahwa ia harus bertemu Tuhannya besok, ia akan bekerja lebih keras, menjaga lisannya, dan menyucikan hatinya hari ini. Inilah esensi peringatan Ilahi: mempersingkat angan-angan dan memprioritaskan bekal abadi.
Perhatikan pengulangan perintah taqwa dalam ayat ini: "ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ" (Bertakwalah kepada Allah, dan bertakwalah kepada Allah). Pengulangan ini memiliki fungsi penegasan (ta'kid) dan pembedaan fokus:
Ayat ditutup dengan: "إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ" (Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan). *Al-Khabir* (Yang Mahateliti) berarti Allah mengetahui tidak hanya amal zahir (fisik), tetapi juga detail tersembunyi, niat yang samar, dan motivasi di balik setiap tindakan. Pengetahuan Allah yang total ini menjadi motivasi terkuat bagi muhasabah sejati; sebab, tidak ada rahasia yang tersembunyi dari-Nya.
Integrasi Muhasabah dan Taqwa: Ayat 18 mengajarkan bahwa taqwa bukanlah sekadar perasaan takut, melainkan disiplin aktif yang melibatkan pemeriksaan terus-menerus terhadap rekam jejak diri sendiri. Ia adalah fondasi untuk mencapai keselamatan abadi.
Terjemahan: "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik."
Setelah memerintahkan taqwa dan muhasabah, ayat 19 memberikan peringatan keras, yaitu larangan meniru perilaku orang-orang yang lupa kepada Allah. Kata نسوا (nasu) berarti melupakan, mengabaikan, atau berpaling dari sesuatu yang seharusnya diingat dan diperhatikan.
Lupa kepada Allah di sini bukan lupa dalam arti kehilangan memori murni, melainkan meninggalkan perintah-Nya, mengabaikan kewajiban, dan hidup seolah-olah tidak ada Hari Akhir dan tidak ada pertanggungjawaban. Ini adalah kelalaian spiritual yang disengaja, di mana hawa nafsu dan kesenangan duniawi dijadikan prioritas tertinggi.
Hukuman yang diberikan Allah kepada mereka yang melupakan-Nya sangatlah unik dan filosofis: "فَأَنسَىٰهُمْ أَنفُسَهُمْ" (lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri). Ini adalah hukuman yang setimpal (jaza' min jinsil 'amal).
Apa makna lupa terhadap diri sendiri?
Dalam pandangan sufistik, melupakan diri adalah puncak dari kesengsaraan spiritual. Siapa yang tidak mengenal Tuhannya, ia tidak akan mengenal dirinya; dan siapa yang tidak mengenal dirinya, ia tidak akan tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Akibatnya, ia mengarahkan dirinya menuju kehancuran, padahal ia mengira ia sedang meraih kesuksesan. Kelalaian ini adalah penyakit yang merusak struktur rohani manusia.
Ayat ditutup dengan penegasan status mereka: "أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ" (Mereka itulah orang-orang fasik). Kata *Fasiq* berasal dari kata *fasaqa*, yang berarti keluar dari jalannya. Secara istilah, fasik adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan melanggar batas-batas hukum syariat.
Orang fasik dalam ayat ini adalah mereka yang telah menolak janji taqwa yang dipaparkan dalam ayat 18. Keadaan lupa kepada Allah dan lupa kepada diri sendiri adalah ciri khas kefasikan, yang pada akhirnya akan membawa mereka pada kerugian abadi.
Keterkaitan Ayat 18 & 19: Ayat 18 adalah perintah (lakukan muhasabah dan taqwa), sementara Ayat 19 adalah peringatan (jangan lalai, atau kamu akan dihukum dengan kelalaian yang lebih besar).
Terjemahan: "Tidak sama penghuni neraka dengan penghuni surga; penghuni surga itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan."
Ayat 20 merupakan kesimpulan logis dari perbandingan antara orang-orang bertaqwa (yang beramal untuk "ghad") dan orang-orang fasik (yang lupa diri). Allah menegaskan prinsip ketidaksetaraan: "لَا يَسْتَوِىٓ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ وَأَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ" (Tidak sama penghuni neraka dengan penghuni surga).
Ketidaksetaraan ini melingkupi segala aspek: tujuan hidup mereka, amal perbuatan mereka, kualitas spiritual mereka, dan tentu saja, tempat kembali mereka. Ayat ini menolak relativisme moral; pilihan yang diambil manusia di dunia akan menghasilkan konsekuensi yang berbeda secara mutlak di akhirat.
Allah kemudian menyatakan dengan tegas: "أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ هُمُ ٱلْفَآئِزُونَ" (penghuni surga itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan). Kata *Al-Fa'izūn* (Para Pemenang) berasal dari kata *fawz*, yang berarti mencapai tujuan yang dicari dan selamat dari hal yang ditakuti.
Kemenangan sejati dalam pandangan Islam bukanlah kekayaan, kekuasaan, atau ketenaran duniawi. Kemenangan sejati adalah keberhasilan menyelamatkan diri dari Neraka dan meraih keridaan Allah serta Surga-Nya. Ayat ini merangkum seluruh motivasi ketaqwaan dan muhasabah: Ketaqwaan adalah jalan, muhasabah adalah alat ukur, dan Surga adalah tujuan kemenangan.
Pentingnya Pilihan: Jika tidak sama, maka setiap mukmin harus secara sadar memilih jalan yang menuju pada kemenangan, yaitu jalan taqwa, yang diawali dengan introspeksi diri yang jujur (Ayat 18).
Terjemahan: "Sekiranya Kami turunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan rasa takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir."
Ayat ini menggunakan hiperbola yang luar biasa untuk menggambarkan keagungan, kekuatan, dan bobot spiritual Al-Qur'an. Gunung dipilih karena ia adalah simbol kestabilan, kekerasan, dan keabadian di mata manusia.
Allah menyatakan bahwa jika Al-Qur'an yang diturunkan kepada manusia, diwahyukan kepada gunung yang keras itu, gunung itu pasti akan: "خَٰشِعًۭا مُّتَصَدِّعًۭا" (tunduk terpecah-belah).
Pesan dari perumpamaan ini sangatlah tajam: Jika benda mati yang keras seperti gunung mampu hancur dan tunduk karena menerima firman Allah, bagaimana mungkin hati manusia yang seharusnya lebih lembut dan peka justru tidak terpengaruh, keras, dan tetap lalai?
Ayat ini berfungsi sebagai teguran keras bagi orang-orang yang mendengar Al-Qur'an tetapi tidak meresponsnya dengan ketaqwaan. Hati yang tidak tersentuh oleh wahyu adalah hati yang lebih keras daripada batu gunung.
Ayat ditutup dengan pernyataan tujuan: "وَتِلْكَ ٱلْأَمْثَٰلُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ" (Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir). Kata يتفكرون (yatafakkarūn) berarti menggunakan akal secara mendalam, merenungkan konsekuensi, dan menghubungkan sebab-akibat.
Ini mengaitkan kembali dengan ayat 18. Perintah untuk memperhatikan apa yang telah dipersiapkan untuk hari esok membutuhkan proses tafakkur. Manusia harus berpikir tentang keagungan Allah (yang membuat gunung tunduk) dan bobot tanggung jawab (yang diangkat oleh manusia).
Tafakkur memastikan bahwa ketaatan dan taqwa yang dilakukan tidak berdasarkan taklid buta, melainkan keyakinan yang mendalam yang didasarkan pada perenungan akan kebenaran wahyu.
Jika wahyu adalah pedoman, maka akal (tafakkur) adalah alat untuk memahaminya. Ayat 21 mengajarkan bahwa inti dari penerimaan wahyu adalah menghasilkan kerendahan hati (khusyu') dan perenungan. Kerasnya hati adalah hasil dari kegagalan untuk merenungkan kebenaran Al-Qur'an.
Ayat ini menutup bagian peringatan dan introspeksi, sebelum beralih ke bagian puji-pujian dan pengenalan Dzat Yang Maha Agung yang menurunkan wahyu tersebut.
Tiga ayat terakhir Surah Al-Hashr ini dikenal sebagai penutup surah yang paling agung, memuat 15 Nama Allah (Asmaul Husna) yang merangkum sifat-sifat keesaan (Tawhid), kekuasaan (Rububiyyah), dan kesempurnaan (Kamal).
Terjemahan: "Dialah Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang."
Ayat ini memulai pengakuan tauhid sentral: "هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ" (Dialah Allah, tidak ada tuhan selain Dia). Ini adalah inti dari seluruh ajaran Islam, melepaskan segala bentuk penyekutuan dan menetapkan keesaan mutlak Allah.
Nama ini menegaskan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, baik yang tersembunyi (ghaib) dari indra manusia maupun yang tampak (syahadah). Jika ayat 18 menutup dengan *Al-Khabir* (Yang Mahateliti), ayat 22 menegaskan cakupan ilmu-Nya yang tak terbatas. Tidak ada perbuatan muhasabah (introspeksi) yang luput dari pandangan-Nya, termasuk niat yang tersembunyi di dalam hati.
Meskipun Dia adalah Hakim yang Adil dan Maha Mengetahui, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai yang utama adalah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. *Ar-Rahmān* (Kasih sayang yang meliputi seluruh makhluk di dunia) dan *Ar-Rahīm* (Kasih sayang khusus yang ditujukan kepada mukminin di akhirat). Keberadaan rahmat ini memberikan harapan bagi orang-orang yang bertaqwa setelah menyadari betapa beratnya pertanggungjawaban di hari esok (ghad).
Terjemahan: "Dialah Allah, yang tidak ada tuhan selain Dia. Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Kebesaran. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan."
Ayat 23 memuat delapan Nama Allah yang menggambarkan kedaulatan, kesucian, dan kekuatan-Nya. Mari kita telusuri implikasi dari masing-masing Nama ini:
Dialah Raja Mutlak, pemilik alam semesta dan segala isinya. Kepemilikan-Nya tidak terbagi dan kekuasaan-Nya abadi. Semua kekuasaan duniawi hanyalah pinjaman, sementara kekuasaan-Nya adalah hakikat. Al-Malik mengingatkan bahwa pertanggungjawaban di Hari Esok (Ayat 18) adalah di hadapan Raja yang tak tertandingi.
Yang Mahasuci dari segala kekurangan, cacat, dan kesalahan. Kesucian-Nya berarti Ia tidak menyerupai ciptaan-Nya dan tidak dapat dicemari oleh pikiran atau perbuatan manusia yang kotor. Kesucian-Nya menuntut kesucian dalam ketaqwaan hamba-Nya.
As-Salam adalah Dzat yang bebas dari segala kekurangan dan cacat. Ia adalah sumber kedamaian (Salam) itu sendiri. Surga disebut Dārussalām (Negeri Keselamatan) karena ia berasal dari Dzat As-Salām. Kemenangan sejati (Al-Fa'izūn) adalah menerima keselamatan dari-Nya.
Al-Mu'min adalah Dzat yang memberikan keamanan dan ketentraman kepada makhluk-Nya, membenarkan janji-janji-Nya, dan memverifikasi kebenaran Rasul-Nya. Rasa aman yang sejati hanya datang dari Allah.
Al-Muhaymin adalah Dzat yang mengawasi, memelihara, dan menyaksikan segala sesuatu. Dia adalah Penjaga yang selalu hadir, yang memantau setiap amal yang dipersiapkan oleh ‘setiap diri’ (Ayat 18). Sifat ini sangat erat hubungannya dengan *Al-Khabir*.
Yang memiliki kekuatan dan kemuliaan yang tak terkalahkan. Tidak ada yang dapat menentang kehendak-Nya. Ketika Dia berkehendak menghukum orang fasik (Ayat 19) atau memberikan kemenangan (Ayat 20), tidak ada kekuatan yang dapat menghalangi-Nya.
Al-Jabbar memiliki tiga makna utama: 1) Yang menguasai dan menundukkan makhluk-Nya. 2) Yang memperbaiki segala kerusakan. 3) Yang Maha Tinggi. Ketaqwaan adalah tunduk kepada Al-Jabbar.
Yang Maha Agung, yang hanya bagi-Nya sajalah kebesaran dan kesombongan yang hakiki. Sifat ini adalah hak prerogatif Allah. Manusia yang sombong adalah menyaingi Al-Mutakabbir, dan kesombongan adalah dosa yang menghancurkan.
Ayat ditutup dengan: "سُبْحَٰنَ ٱللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ" (Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan). Pernyataan ini secara eksplisit menghubungkan pengenalan Nama-nama-Nya yang sempurna ini dengan penolakan terhadap syirik. Semua sifat kesempurnaan ini membuktikan bahwa Dia tidak membutuhkan sekutu, dan mustahil ada yang menyamai keagungan-Nya.
Terjemahan: "Dialah Allah, Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana."
Ayat terakhir ini fokus pada sifat penciptaan, yang melengkapi kedaulatan (Ayat 23) dengan kemampuan kreasi. Tiga nama ini menggambarkan proses penciptaan:
Al-Khaliq adalah Yang menciptakan dari ketiadaan, atau Yang menentukan takdir dan ukuran segala sesuatu sebelum wujud. Dia adalah perancang utama.
Al-Bari' adalah Yang mengadakan atau mewujudkan ciptaan dari rencana yang telah ditetapkan (Al-Khaliq). Ini adalah tahap realisasi penciptaan, menghasilkan wujud tanpa cacat.
Al-Mushawwir adalah Yang memberikan bentuk, ciri, dan identitas unik pada setiap ciptaan. Manusia (nafsun/diri dalam Ayat 18) dibentuk oleh Al-Mushawwir; bentuk terbaik yang harus dijaga melalui taqwa.
Ayat 24 menyimpulkan inti teologis dari seluruh Al-Qur'an:
Untuk mencapai bobot spiritual dan kuantitas analisis yang mendalam, kita harus membahas implikasi praktis dari konsep yang disajikan dalam ayat 18-24, khususnya hubungan antara *Taqwa*, *Muhasabah*, dan *Tawhid*.
Taqwa dalam Al-Hashr 18 diperintahkan secara berulang. Ini menunjukkan bahwa taqwa bukanlah keadaan statis, melainkan proses berkelanjutan. Ibnu Mas'ud menafsirkan taqwa yang sesungguhnya adalah: mentaati Allah tanpa mendurhakai-Nya, mengingat-Nya tanpa melupakan-Nya, dan bersyukur kepada-Nya tanpa kufur.
Taqwa dalam dimensi fiqih berarti melaksanakan seluruh perintah wajib (fara'idh) dan meninggalkan seluruh larangan (muharramat). Seorang hamba yang bertaqwa secara fiqih adalah yang sah ibadahnya dan bersih dari dosa besar.
Taqwa secara moral lebih tinggi, melibatkan pemurnian niat (ikhlas), kejujuran dalam berinteraksi, dan menjaga diri dari hal-hal syubhat (yang meragukan). Ketaqwaan akhlak terwujud dalam muhasabah batin, meneliti motif di balik amal (ma qaddamat li ghad).
Ini adalah tingkat taqwa tertinggi, di mana hati senantiasa muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah. Al-Hashr 22-24 sangat relevan di sini; pengenalan mendalam terhadap Asmaul Husna melahirkan rasa takut yang disertai cinta (khashyah), yang membuat hati tunduk seperti gunung (Ayat 21).
Jika taqwa diabaikan, hasilnya adalah fasik (Ayat 19), yaitu penolakan terhadap hukum-hukum Allah, yang berpuncak pada melupakan tugas spiritual diri sendiri.
Perumpamaan gunung yang tunduk menunjukkan bahwa wahyu adalah kekuatan transformatif. Al-Qur'an memiliki bobot yang mampu menghancurkan sesuatu yang paling padat. Perumpamaan ini memaksa manusia untuk melakukan otokritik:
Tafakkur (berpikir) yang diperintahkan di akhir ayat 21 adalah merenungkan makna setiap kata wahyu, mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari, dan menggunakannya sebagai cermin untuk muhasabah diri. Tanpa tafakkur, wahyu hanya menjadi bunyi yang tidak menghasilkan taqwa.
Transisi dari ancaman Neraka ke pengenalan Allah (Ayat 22-24) adalah transisi dari hukum (syariah) ke teologi (aqidah). Rangkaian Asmaul Husna ini berfungsi sebagai dasar pembenar mengapa manusia harus bertaqwa. Anda tidak hanya bertaqwa karena takut, tetapi karena Anda mengenal Dzat yang Anda taati.
Sifat-sifat seperti Al-Malik, Al-Muhaymin, Al-Aziz, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir, Al-Khaliq, Al-Bari', Al-Mushawwir semuanya menegaskan *Tawhid Rububiyyah* (keesaan Allah sebagai Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta). Mereka yang lalai (fasik) dalam Ayat 19 adalah mereka yang gagal mengakui kekuasaan mutlak Dzat Yang memiliki sifat-sifat ini.
Sifat-sifat seperti Al-Quddus, As-Salam, Al-Mu’min, Ar-Rahman, Ar-Rahim menegaskan *Tawhid Uluhiyyah* (keesaan Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah). Mengingat sifat Rahmat-Nya, seorang mukmin beribadah bukan hanya karena takut (khashyah), tetapi juga karena cinta (mahabbah) dan harapan (raja').
Kajian ini memastikan bahwa ajaran moral tentang taqwa (Ayat 18) tidak terlepas dari dasar teologis yang kuat (Ayat 22-24). Taqwa adalah respons yang logis dan wajib terhadap Dzat Yang Maha Sempurna dan Maha Perkasa.
Setiap Nama Allah yang disebutkan dalam penutup Surah Al-Hashr membawa makna teologis yang sangat kaya, yang harus dipahami oleh mukmin untuk meningkatkan ma'rifatullah (pengenalan terhadap Allah) dan ketaqwaan mereka.
Konsep Al-Malik melampaui kepemilikan. Ini adalah kedaulatan universal yang tidak tunduk pada batasan waktu atau ruang. Sebagai Al-Malik, Allah tidak membutuhkan penasihat, pembantu, atau pengganti. Dia adalah satu-satunya sumber hukum dan otoritas. Implikasi bagi mukmin: Mengakui bahwa semua kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di dunia adalah fana dan sementara. Ketaatan tertinggi harus ditujukan kepada Al-Malik Abadi. Muhasabah (Ayat 18) adalah proses memeriksa seberapa banyak kita telah mematuhi konstitusi Raja kita.
Kesucian Al-Quddus menuntut penyucian batin pada diri hamba-Nya. Jika Allah suci dari segala cacat, maka ibadah yang dipersembahkan kepada-Nya haruslah suci dari syirik, riya' (pamer), dan najis spiritual. Al-Quddus mengingatkan bahwa tujuan ketaqwaan adalah mencapai kesucian spiritual agar layak masuk ke Surga yang juga disucikan.
As-Salām tidak hanya berarti damai, tetapi juga keselamatan. Jika Allah adalah As-Salām, maka sumber dari segala ketenangan jiwa dan keamanan di dunia dan akhirat adalah dari-Nya. Mencari keselamatan di tempat lain (harta, jabatan, atau manusia) adalah bentuk kesia-siaan. Kemenangan (Al-Fa'izūn) adalah hasil dari hidup dalam naungan As-Salām.
Al-Mu'min adalah Yang membenarkan janji-janji-Nya. Dia adalah sumber Kepercayaan. Mukmin yang sejati mendapatkan ketenangan karena janji-janji Allah (tentang Surga dan kemenangan) adalah benar dan pasti. Di sisi lain, sebagai Al-Mu'min, Dia juga memberikan amanah dan kepercayaan kepada manusia untuk melaksanakan taqwa. Kegagalan (fasik, Ayat 19) adalah pengkhianatan terhadap amanah tersebut.
Al-Muhaymin adalah saksi atas segala sesuatu, yang mengetahui semua rahasia. Ayat ini memperkuat makna dari "إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ" (Allah Mahateliti). Sebagai Al-Muhaymin, Allah menyaksikan setiap bisikan, setiap niat, dan setiap langkah yang diambil hamba-Nya. Kesadaran akan pengawasan ini mendorong kualitas tertinggi dari taqwa (ihsan).
Kemuliaan dan kekuatan Allah yang tak tertembus. Sifat Al-’Azīz mengingatkan bahwa pertolongan dan hukuman-Nya tidak dapat dihalangi. Mukmin yang bertaqwa berlindung di bawah kemuliaan Al-’Azīz, sementara musuh-musuh-Nya akan ditundukkan oleh kemuliaan-Nya. Ini memberikan kekuatan spiritual bagi orang-orang beriman dalam menghadapi tantangan.
Al-Jabbar adalah Dzat yang memaksakan kehendak-Nya tanpa perlawanan. Tetapi dalam konteks rahmat, Al-Jabbar juga berarti Yang Memperbaiki (menjabar) segala sesuatu yang rusak. Dia memperbaiki hati yang hancur, menopang yang lemah, dan menyatukan yang terpecah. Setelah proses muhasabah yang menyakitkan (Ayat 18), seorang hamba dapat kembali kepada Al-Jabbār untuk meminta perbaikan jiwa.
Hanya Allah yang berhak memiliki kesombongan. Jika makhluk mencoba sombong, ia hanya menunjukkan kelemahan dan kebodohannya. Al-Mutakabbir adalah penolakan mutlak terhadap sifat fasik yang berasal dari kesombongan diri (Ayat 19). Ketaqwaan adalah kerendahan hati mutlak di hadapan Al-Mutakabbir.
Tiga nama ini menjelaskan fase penciptaan:
Ketiga Nama ini menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak atas peribadatan, karena Dia adalah satu-satunya Dzat yang memulai dan mengakhiri keberadaan. Manusia (nafsun) adalah ciptaan yang sempurna dari Al-Mushawwir, oleh karena itu, ia wajib menjaga kesempurnaan tersebut melalui taqwa.
Ayat 21 memerintahkan manusia untuk *yatafakkarūn* (berpikir), sementara Ayat 24 menyatakan bahwa seluruh alam semesta *yusabbihu* (bertasbih). Tugas seorang mukmin adalah menyelaraskan proses berpikirnya dengan tasbih universal alam semesta.
Ketika manusia merenungkan keagungan Al-Khaliq, Al-Bari', dan Al-Mushawwir, ia akan secara alami terdorong untuk bertasbih—mengucapkan Subhanallah—yang berarti menyucikan Allah dari segala kekurangan. Inilah puncak ma'rifatullah yang harus dicapai oleh orang yang bertaqwa.
Surah Al-Hashr ayat 18-24 menyajikan sebuah kurikulum spiritual yang ringkas namun padat. Ayat-ayat ini memulai dengan perintah moral yang sangat pribadi—kewajiban untuk bertaqwa dan melakukan muhasabah terhadap bekal akhirat. Peringatan keras diberikan kepada mereka yang mengabaikan tugas ini, di mana hukuman terberatnya adalah kelalaian diri sendiri (lupa akan tujuan abadi).
Setelah meletakkan fondasi etis dan peringatan eskatologis (Ayat 18-20), Surah ini kemudian menaikkan tingkat diskusinya. Ayat 21 menegaskan keagungan wahyu dan peran akal (tafakkur) dalam merespons wahyu tersebut. Ayat 22-24 menjadi puncak, menyajikan bukti teologis dari perintah-perintah tersebut melalui pengenalan Asmaul Husna yang tak tertandingi.
Keseluruhan pesan dari Surah Al-Hashr 18-24 dapat disimpulkan sebagai berikut:
Barang siapa yang melaksanakan taqwa dengan kesadaran penuh akan sifat-sifat Allah yang agung ini, ia adalah Ashabul Jannah, dan mereka itulah Al-Fa'izūn—orang-orang yang memperoleh kemenangan hakiki.