Surah An-Nas, yang berarti "Manusia," menempati posisi yang sangat mulia dan strategis dalam Al-Qur'an. Ia adalah penutup, surah ke-114, yang bersama-sama dengan Surah Al-Falaq, dikenal sebagai Al-Mu'awwidzatain, atau "Dua Surah Pelindung." Perannya tidak sekadar sebagai penutup mushaf, melainkan sebagai rangkuman filosofis dan praktis tentang bagaimana seorang hamba harus menjalani kehidupannya: dengan sepenuhnya bergantung dan berlindung kepada Sang Pencipta dari segala bentuk kejahatan yang mengintai, khususnya bisikan internal yang merusak keimanan.
Artikel ini akan mengupas tuntas setiap lapisan makna dari Surah An-Nas, mulai dari konteks historisnya (Asbabun Nuzul), analisis linguistik kata-kata kuncinya, hingga implikasi teologisnya yang mendalam. Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk memahami bahwa perlindungan sejati hanyalah milik Allah, dan surah ini adalah formula ilahi untuk mencapai kedamaian spiritual dan mental di tengah gempuran tipu daya setan dan nafsu.
Surah An-Nas tergolong sebagai surah Makkiyah, meskipun beberapa ulama berpendapat ia adalah Madaniyah. Namun, mayoritas ahli tafsir cenderung mengaitkannya dengan periode di Madinah karena kaitannya yang sangat erat dengan insiden sihir (santet) yang menimpa Rasulullah ﷺ. Konteks ini memberikan urgensi dan kedalaman tersendiri pada pesan perlindungan yang dibawanya.
Riwayat yang paling masyhur, dicatat dalam Sahih Bukhari dan Muslim, menyebutkan bahwa Surah Al-Falaq dan An-Nas diturunkan sebagai respons dan penawar terhadap sihir yang dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Labid bin Al-A'sam. Sihir tersebut menyebabkan Nabi Muhammad ﷺ menderita sakit dan kebingungan, bahkan merasa telah melakukan sesuatu padahal belum. Allah kemudian menurunkan kedua surah ini. Ketika Malaikat Jibril mengajarkan Nabi untuk membacanya, setiap ayat yang dibacakan berfungsi melepaskan ikatan sihir yang telah disematkan pada Nabi, yang ditemukan terikat pada sehelai rambut di sumur Dzarwan.
Konteks ini menunjukkan bahwa Surah An-Nas bukan sekadar doa umum, melainkan sebuah ruqyah (penangkal/penyembuhan) yang diturunkan secara spesifik oleh Allah untuk menghadapi kejahatan yang nyata dan terorganisir. Ini menegaskan bahwa bahkan seorang Nabi pun membutuhkan perlindungan aktif dari Allah melalui firman-Nya, apalagi umat manusia biasa.
Nabi Muhammad ﷺ sangat menganjurkan umatnya untuk rutin membaca Al-Mu'awwidzatain. Beliau bersabda, "Tidak ada perlindungan yang lebih baik yang bisa digunakan oleh orang yang mencari perlindungan selain dari keduanya (Al-Falaq dan An-Nas)." Keutamaan ini tidak hanya terbatas pada konteks ruqyah, tetapi mencakup perlindungan harian, sebelum tidur, dan setelah salat wajib. Surah ini adalah senjata spiritual yang harus selalu siap sedia di tangan setiap Mukmin.
Surah An-Nas terdiri dari enam ayat pendek namun padat makna, berfokus pada tiga nama utama Allah dan satu ancaman universal: waswas (bisikan jahat).
Perintah ini adalah penegasan otentisitas ilahi. Sama seperti Surah Al-Ikhlas dan Al-Falaq, Surah An-Nas dimulai dengan perintah "Qul". Ini berarti Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk tidak mengarang doanya sendiri, melainkan menyampaikan doa yang diajarkan langsung oleh Allah. Struktur ini memastikan bahwa doa perlindungan yang kita panjatkan adalah yang paling efektif dan berlandaskan otoritas mutlak.
Kata ini berasal dari akar kata 'Awdh (عوذ) yang berarti berlindung, bersandar, atau mencari tempat yang aman dari bahaya. Ketika seorang hamba mengucapkan *A'udzu*, ia sedang membuat pernyataan teologis, menarik dirinya dari kekuasaan atau pengaruh apapun di alam semesta dan menempatkan dirinya secara eksklusif di bawah perlindungan Sang Pencipta. Ini adalah tindakan Tawhid yang murni.
Pengulangan kata *An-Nas* sebanyak lima kali dalam enam ayat menyoroti fokus sentral surah ini. Ini adalah perlindungan yang secara khusus ditujukan bagi umat manusia—subjek utama dari upaya penggoda setan. Allah, dalam keagungan-Nya, menyebutkan secara eksplisit bahwa Dia adalah Tuhan, Raja, dan Sesembahan *manusia* untuk meyakinkan mereka bahwa perlindungan-Nya mencakup semua dimensi eksistensi manusia.
Kata ini mengacu pada suara atau pikiran yang datang secara tersembunyi, halus, dan berulang. Waswas tidak selalu berupa bisikan literal yang terdengar, melainkan hasutan mental, keraguan, dan dorongan ke arah maksiat atau ketidakpercayaan. Karakteristik utama waswas adalah sifatnya yang persuasif namun destruktif terhadap iman dan moral.
Ini adalah deskripsi yang sangat kuat dan unik dari sifat setan atau penggoda. Kata ini berasal dari akar kata khanasa (خنس) yang berarti menyusut, mundur, atau bersembunyi. Setan disebut *Khannas* karena ia selalu mundur dan bersembunyi ketika hamba Allah mengingat-Nya (dengan berzikir atau membaca Istia'dza). Setan hanya berani mendekat dan berbisik ketika hati manusia lalai dan jauh dari mengingat Allah. Ini mengajarkan bahwa zikir adalah alat penghalau utama bagi waswas.
Inti teologis Surah An-Nas terletak pada pengakuan terhadap Allah melalui tiga sifat Ilahi yang berbeda namun saling melengkapi: Rububiyah (Ketuhanan), Mulkiyah (Kerajaan), dan Uluhiyah (Keilahian). Dengan memanggil Allah melalui ketiga nama ini, hamba memohon perlindungan yang sempurna dalam segala aspek kehidupannya.
Panggilan pertama adalah kepada Rabbun Nas (Rabb Manusia). Rabb berarti Pencipta, Pemelihara, Pengatur, dan Pemberi rezeki. Ini adalah aspek Tawhid Rububiyah—pengakuan bahwa Allah adalah Penguasa alam semesta. Dengan memohon perlindungan kepada Rabb, hamba mengakui bahwa Allah memiliki kekuatan absolut untuk menciptakan, menjaga, dan memelihara dirinya dari segala kerusakan. Perlindungan ini berfokus pada dimensi fisik dan material kehidupan.
Tafsir mendalam tentang Rabb menekankan bahwa Allah adalah Zat yang bertanggung jawab atas pertumbuhan dan perkembangan kita, baik secara fisik maupun spiritual. Apabila setan mencoba merusak pertumbuhan spiritual kita melalui waswas, kita harus segera kembali kepada Zat yang memiliki kuasa mutlak atas setiap atom dan proses dalam diri kita.
Para ulama tafsir menekankan bahwa memulai dengan Rububiyah adalah langkah mendasar. Karena kita mengakui Dia sebagai Pencipta dan Pemelihara, secara otomatis kita wajib menerima dan menjalankan perintah-Nya. Ini adalah pondasi logis sebelum melangkah ke tingkat pengakuan berikutnya.
Panggilan kedua adalah kepada Malikin Nas (Raja Manusia). Malik (Raja) menekankan Tawhid Mulkiyah—pengakuan bahwa Allah adalah Pemilik dan Penguasa absolut, yang memiliki hak penuh untuk memerintah, menetapkan hukum, dan menghakimi. Ini melampaui konsep pemeliharaan (Rabb) ke tingkat kekuasaan dan otoritas. Jika Rabb mengurus kita, Malik berkuasa atas kita.
Ketika setan mencoba menggoda manusia dengan melanggar batas-batas hukum Allah (syariat), hamba memohon perlindungan kepada Raja yang sah. Raja di sini bukan hanya raja duniawi; kekuasaan-Nya mencakup kehidupan, kematian, dan hari perhitungan. Perlindungan ini berfokus pada dimensi sosial, hukum, dan keadilan dalam kehidupan.
Implikasi praktisnya adalah pengakuan bahwa waswas adalah pemberontakan terhadap Raja. Setiap dorongan untuk melakukan dosa adalah upaya untuk melarikan diri dari kerajaan Allah. Dengan mengingat bahwa Allah adalah Raja, kita kembali tunduk pada hukum dan sistem-Nya, sehingga waswas kehilangan kekuatannya. Dalam tafsir kontemporer, ini juga diartikan sebagai perlindungan dari tirani dan kezaliman yang dilakukan oleh manusia lain, karena Raja sejati adalah Allah.
Panggilan ketiga adalah kepada Ilahin Nas (Sesembahan Manusia). Ilah adalah Zat yang berhak diibadahi, dicintai, diagungkan, dan ditaati sepenuhnya. Ini adalah puncak dari Tawhid Uluhiyah—pengakuan bahwa tidak ada yang pantas disembah kecuali Dia.
Inilah tingkat perlindungan tertinggi. Jika Rabb terkait dengan pemeliharaan dan Malik terkait dengan kekuasaan, Ilah terkait dengan tujuan akhir eksistensi manusia: ibadah. Waswas yang paling berbahaya adalah yang menyerang ibadah dan keimanan (syirik, keraguan, riya). Dengan memohon perlindungan kepada Ilah, hamba mengamankan aspek paling inti dari hubungannya dengan Allah.
Rangkaian tiga nama ini (Rabb, Malik, Ilah) mengajarkan:
Setelah menetapkan kepada siapa perlindungan itu dipinta, ayat 4 dan 5 menjelaskan dari apa perlindungan itu diperlukan, yaitu dari *min syarril waswasil khannas*.
Kejahatan yang disebutkan adalah *waswas* (bisikan) yang memiliki sifat *khannas* (yang selalu bersembunyi). Ini adalah musuh yang paling berbahaya karena sifatnya yang tidak terlihat, tidak langsung, dan beroperasi secara rahasia. Kejahatan ini tidak menyerang dengan pedang, tetapi dengan meracuni pikiran dan hati.
Setan tidak datang dalam wujud yang menakutkan atau memerintahkan dosa besar secara terang-terangan (kecuali bagi mereka yang sudah jauh tersesat). Sebaliknya, ia memulai dengan bisikan kecil, keraguan, penundaan, pembenaran diri, dan meremehkan dosa-dosa kecil. Ini adalah kejahatan yang sangat halus dan sulit dideteksi kecuali oleh hati yang berzikir.
Mengapa setan disebut *Khannas*? Seperti yang telah disinggung, ia adalah musuh yang pengecut. Jika manusia lalai, setan mendekat dan menyebar waswas. Namun, saat hamba mengingat Allah (*dzikrullah*), setan itu segera menarik diri, menyusut, dan bersembunyi. Hal ini merupakan penegasan bahwa zikir (mengingat Allah, termasuk membaca Al-Qur'an dan doa) adalah perisai aktif yang secara fisik mengusir pengaruh jahat tersebut. Ini bukan hanya pertahanan pasif, tetapi serangan balik spiritual.
Ayat ini menjelaskan mekanisme kerja waswas: ia ditempatkan *fi sudurinnas* (ke dalam dada manusia). Pilihan kata 'dada' (*sadr*) sangat penting dalam psikologi spiritual Islam. Dada adalah tempat hati (*qalb*), dan hati adalah pusat dari iman, niat, perasaan, dan akal spiritual.
Waswas tidak menyerang telinga atau mata, tetapi langsung ke pusat pengambilan keputusan dan keyakinan. Setan beroperasi dengan menanamkan keraguan tentang ajaran agama, menumbuhkan kesombongan, memicu rasa dengki, atau memperindah kemaksiatan di mata hati. Jika waswas berhasil, seluruh perilaku dan tindakan yang muncul dari hati akan menyimpang.
Para ulama tafsir membandingkan hati sebagai benteng. Apabila benteng itu kosong dari penjaga (zikir), musuh (setan) dapat masuk dan menanamkan benih kejahatan. Fungsi Surah An-Nas adalah menyediakan penjaga ilahi untuk benteng hati tersebut, menjamin bahwa bisikan jahat tidak akan bertahan lama di sana.
Ayat penutup ini merangkum musuh yang dihadapi manusia, membagi sumber waswas menjadi dua kategori universal: dari golongan jin dan dari golongan manusia. Ini adalah peringatan bahwa kejahatan tidak hanya bersifat metafisik tetapi juga fisik.
Ini adalah sumber utama *waswas al-khannas*. Mereka adalah musuh yang tidak terlihat yang memiliki kemampuan untuk mengakses hati dan pikiran manusia. Mereka menggoda secara langsung dengan menanamkan pikiran buruk, atau secara tidak langsung melalui sihir dan gangguan fisik.
Kejahatan dari golongan manusia di sini merujuk pada "setan-setan dari kalangan manusia" (*syayatinul ins*). Mereka adalah orang-orang jahat, munafik, atau teman buruk yang membisikkan ide-ide yang bertentangan dengan kebenaran. Mereka menggunakan kata-kata manis, argumen palsu, atau tekanan sosial untuk menjauhkan seseorang dari kebaikan.
Perbedaan antara keduanya adalah metode:
Kekuatan Surah An-Nas terletak pada pengajaran mendasar mengenai Tawhid (Keesaan Allah) sebagai sumber tunggal perlindungan. Surah ini adalah deklarasi kemandirian spiritual dari makhluk lain dan penyerahan total kepada Khaliq (Sang Pencipta).
Proses *Istia'dza* (memohon perlindungan) yang diajarkan dalam surah ini adalah bentuk ibadah tertinggi. Ketika kita berlindung kepada Allah, kita mengakui kelemahan kita di hadapan ancaman dan pada saat yang sama mengakui kekuatan Allah yang tak terbatas. Hal ini membersihkan hati dari ketergantungan kepada jimat, takhayul, atau kekuatan gaib selain Allah.
Jika seseorang memohon perlindungan kepada jin atau benda tertentu, ia telah melanggar prinsip Uluhiyah (Ayat 3). Surah An-Nas mengoreksi praktik ini secara fundamental, menegaskan bahwa tidak ada entitas lain, entah itu jin, manusia, atau objek, yang memiliki kemampuan untuk melindungi secara mutlak selain Allah, yang merupakan Rabb, Malik, dan Ilah bagi seluruh manusia.
Waswas tidak hanya menyerang keyakinan, tetapi juga moralitas dan kejiwaan. Surah An-Nas adalah obat spiritual terhadap penyakit-penyakit hati yang modern, seperti kegelisahan berlebihan, OCD (Obsessive Compulsive Disorder) yang terkait dengan ibadah (misalnya, keraguan dalam wudhu atau niat salat), dan paranoia.
Setan memanfaatkan kerentanan psikologis ini. Dengan membaca An-Nas, seorang Muslim diingatkan bahwa sumber kegelisahan tersebut bukanlah dirinya sendiri, melainkan bisikan eksternal (Al-Khannas). Pengakuan ini memungkinkan hamba untuk membedakan antara pikiran yang sehat dan waswas, sehingga memudahkan dia untuk mengabaikan keraguan tersebut, karena ia telah berlindung kepada Allah, Pemilik hatinya.
Tafsir klasik menyebutkan bahwa ketika seorang Muslim membaca *A’udzu billahi minash shaytanir rajim* atau Surah An-Nas, ia sedang mempraktikkan terapi kognitif spiritual. Ia mengakui sumber kegelisahan (setan) dan langsung mencari perlindungan kepada Otoritas Tertinggi yang dapat memadamkannya.
Dalam ilmu tasawuf, sering dibahas perbedaan antara waswas (bisikan setan) dan nafsu (dorongan diri sendiri). Meskipun keduanya mendorong ke arah dosa, Surah An-Nas secara spesifik berfokus pada waswas yang datang dari luar diri (jin dan manusia), namun harus diakui bahwa keduanya bekerja sama.
Setan bersifat licik dan selalu mencari celah. Jika seorang hamba melakukan dosa, setan akan mendorongnya untuk berputus asa dari rahmat Allah. Jika hamba berbuat baik, setan akan mendorong riya (pamer) atau kesombongan. Jika hamba bertaubat, setan membisikkan bahwa taubatnya tidak diterima. Waswas selalu mencari titik kelemahan untuk membalikkan kebaikan menjadi keburukan, atau menghancurkan harapan dan penyesalan yang jujur.
Nafsu (ego) adalah dorongan internal yang menginginkan kesenangan segera, kenyamanan, dan pemenuhan keinginan tanpa mempertimbangkan batas agama. Nafsu biasanya membenarkan dosa yang telah dilakukan: "Tidak apa-apa, semua orang juga melakukannya," atau "Besok saja taubatnya."
Meskipun Surah An-Nas secara eksplisit menyebutkan perlindungan dari *min syarril waswas*, perlindungan kepada Rabb, Malik, dan Ilah secara otomatis mencakup kemampuan untuk mengendalikan nafsu. Sebab, Allah sebagai Rabb adalah Yang Mengatur jiwa, dan Allah sebagai Malik adalah Yang menetapkan batas-batas nafsu.
Penerapan Surah An-Nas dalam kehidupan sehari-hari bukanlah sekadar rutinitas, melainkan praktik keimanan yang berkelanjutan. Keutamaan membaca surah ini telah dijelaskan dalam banyak hadis sahih.
Sebagaimana ia diturunkan sebagai penyembuh sihir atas diri Nabi ﷺ, An-Nas memiliki fungsi utama sebagai ruqyah.
Mengingat ayat terakhir menyebutkan perlindungan dari setan dari kalangan manusia, Surah An-Nas efektif untuk melindungi diri dari:
Salah satu arena pertempuran utama setan adalah dalam ranah ibadah. Waswas seringkali menyebabkan keraguan tak berujung (misalnya, "Apakah wudhuku sudah benar?", "Apakah aku sudah berniat dengan tulus?"). Surah An-Nas adalah penangkal yang efektif. Begitu waswas menyerang ibadah, mengucapkan *A'udzu* dan membaca An-Nas mengingatkan hati bahwa sumber keraguan itu adalah *Khannas* yang harus diabaikan dan bahwa Raja (Malik) akan menerima ibadah yang dilakukan dengan usaha terbaik.
Dalam Surah An-Nas, kita berlindung dari *min syarril waswas* (dari kejahatan waswas). Penting untuk memahami luasnya cakupan kata *syarr* (kejahatan) di sini. Kejahatan yang ditimbulkan oleh waswas mencakup setiap penyimpangan dari fitrah dan kebenaran.
Waswas menciptakan dualisme dalam diri manusia—perjuangan antara dorongan untuk berbuat baik dan hasutan untuk berbuat dosa. Kejahatan waswas adalah kegagalan untuk mencapai integritas spiritual. Ia memecah belah hati, membuat niat tidak tulus (riya), dan memicu hipokrisi (kemunafikan).
Di era modern, waswas sering mengambil bentuk keraguan filosofis dan intelektual (*syubhat*) yang menyerang dasar-dasar agama. Setan manusia (atheis, relativis ekstrem, atau penyebar fitnah) membisikkan pertanyaan yang bertujuan meruntuhkan keyakinan. Berlindung kepada Allah sebagai Rabb (Pencipta Kebenaran) dan Ilah (Satu-satunya yang layak dipercaya) menjadi perisai mutlak terhadap erosi intelektual keimanan.
Ketika seseorang merasa terombang-ambing oleh keraguan yang meragukan eksistensi Tuhan atau kebenaran Al-Qur'an, Surah An-Nas mengarahkan hati kembali ke dasar: "Aku berlindung kepada Rabb Manusia, Raja Manusia, Sesembahan Manusia." Deklarasi ini mengklaim kembali otoritas kebenaran dan menolak legitimasi bisikan yang merusak.
Tiga ayat pertama Surah An-Nas dapat dilihat sebagai ringkasan sempurna doktrin Tawhid dalam Islam, menawarkan perspektif yang berbeda namun terintegrasi tentang Allah:
Pengakuan Allah sebagai Rabb berarti kita harus patuh pada hukum alam dan ketentuan-Nya (takdir). Ini memberikan ketenangan psikologis karena kita tahu bahwa segala sesuatu diatur oleh Pengatur yang Maha Bijaksana.
Konsekuensi dari pengakuan ini: Menerima takdir, bersyukur atas nikmat, dan bersabar atas musibah. Perlindungan dari waswas dalam hal ini adalah perlindungan dari kecemasan dan keputusasaan tentang masa depan.
Pengakuan Allah sebagai Malik berarti kita harus tunduk pada syariat dan moralitas-Nya. Kedaulatan-Nya tidak terbatas. Hal ini memberikan rasa aman dari kekacauan, karena kita tahu ada otoritas tertinggi yang akan menegakkan keadilan.
Konsekuensi dari pengakuan ini: Menghindari dosa besar, menjauhi larangan, dan menaati perintah. Perlindungan dari waswas dalam hal ini adalah perlindungan dari dorongan untuk melanggar hukum dan memicu anarki moral.
Pengakuan Allah sebagai Ilah berarti seluruh hidup, cinta, harapan, dan ketakutan kita hanya ditujukan kepada-Nya. Ini adalah puncak spiritual yang mengarahkan semua energi eksistensi kepada Sang Pencipta. Hanya melalui ibadah yang tulus waswas tidak akan menemukan jalan masuk yang permanen.
Konsekuensi dari pengakuan ini: Ikhlas dalam setiap tindakan, menjauhi syirik, dan memperbarui niat. Perlindungan dari waswas dalam hal ini adalah perlindungan dari riya (pamer) dan syirik tersembunyi, yang merupakan kejahatan waswas yang paling halus dan fatal.
Integrasi ketiga pilar ini dalam Surah An-Nas menjadikan surah ini formula lengkap untuk pertahanan diri spiritual. Setiap waswas, entah datang dari jin atau manusia, pada dasarnya menyerang salah satu dari tiga pilar ini: mencoba membuat kita melupakan pemeliharaan Allah (Rabb), memberontak melawan hukum-Nya (Malik), atau menyembah selain Dia (Ilah). Dengan menyebut ketiga sifat ini, kita secara efektif menutup semua pintu masuk bagi musuh.
Keutamaan dan penggunaan Surah An-Nas didukung oleh banyak tradisi kenabian yang menjadikannya bagian integral dari praktik spiritual Islam.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Uqbah bin Amir berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidakkah kalian melihat ayat-ayat yang diturunkan malam ini? Tidak pernah ada yang serupa dengannya: *Qul a'udzu bi Rabbil falaq* dan *Qul a'udzu bi Rabbin nas*." Pujian setinggi ini menunjukkan bahwa Allah telah menyediakan bagi umatnya perlindungan yang paling komprehensif yang pernah diwahyukan.
Para ulama seperti Ibn Qayyim Al-Jauziyyah menekankan bahwa kebutuhan manusia terhadap perlindungan ini sama mendesaknya dengan kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Kejahatan waswas adalah ancaman internal yang konstan, dan karenanya, perlindungan harus menjadi kebiasaan yang konstan.
Imam Al-Qurtubi dan lainnya membahas mengapa kedua surah pelindung ini diakhiri dengan peringatan tentang kejahatan dari kalangan manusia dan jin. Ini adalah penegasan bahwa musuh terbesar manusia selalu berasal dari entitas yang memiliki pilihan bebas (*mukallaf*), yaitu jin dan manusia. Hewan buas atau bencana alam, meskipun menakutkan, adalah bagian dari takdir Allah, sedangkan waswas adalah kejahatan moral yang harus secara aktif ditolak dengan keimanan.
Para ahli linguistik juga menyoroti penggunaan kata *Rabb, Malik,* dan *Ilah* secara berurutan. Ini adalah eskalasi yang disengaja. Begitu seseorang mengakui Allah sebagai Rabb yang lembut, ia harus mengingat bahwa Allah juga adalah Malik yang memiliki kekuasaan penuh, dan puncaknya, Dia adalah Ilah yang paling dicintai. Struktur puitis ini meningkatkan kedalaman spiritual doa perlindungan tersebut.
Dengan demikian, Surah An-Nas melampaui sekadar teks religius; ia adalah sebuah metodologi spiritual yang mengajarkan umat manusia untuk secara rutin mengevaluasi sumber dorongan dan bisikan dalam hati mereka, menolak segala sesuatu yang datang dari *Al-Khannas*, dan menegaskan kembali keterikatan mereka pada Tiga Pilar Ketauhidan: Pengaturan, Kekuasaan, dan Ibadah yang murni kepada Allah semata.
Kesimpulannya, setiap Muslim yang memahami dan mengamalkan Surah An-Nas telah melengkapi dirinya dengan benteng terkuat melawan musuh yang paling licik, memastikan bahwa, meskipun bisikan kejahatan mungkin datang, hati akan tetap teguh dan aman di bawah naungan Rabb, Malik, dan Ilah Manusia.