Sebuah Kajian Mendalam Tentang Dua Sifat Asasi Hamba-Hamba Pilihan Allah
Surah Al Furqan, dari ayat 63 hingga 77, menyajikan sebuah potret karakter yang sangat detail dan mendalam mengenai siapakah sesungguhnya 'Ibadur Rahman – hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang. Rangkaian ayat ini bukan sekadar deskripsi, melainkan sebuah peta jalan yang komprehensif bagi setiap Muslim yang bercita-cita meraih kesempurnaan spiritual dan moral di hadapan Rabbnya. Ayat-ayat ini membedah setiap aspek kehidupan, mulai dari perilaku sosial, interaksi dengan sesama, ibadah pribadi, hingga manajemen emosi dan finansial.
Ayat yang menjadi pondasi dan gerbang utama bagi seluruh deskripsi kemuliaan ini adalah Surah Al Furqan ayat 63. Ayat ini memperkenalkan dua pilar fundamental yang harus dimiliki oleh seorang hamba pilihan: kerendahan hati total dan kearifan dalam menghadapi kebodohan. Tanpa memahami dan mengamalkan dua prinsip awal ini, mustahil seseorang dapat mencapai kualitas ibadah dan sosial yang dijabarkan dalam ayat-ayat berikutnya.
Sifat pertama yang diangkat dalam ayat ini adalah manifestasi fisik dari kondisi hati, yaitu cara mereka berjalan. Frasa يَمۡشُوۡنَ عَلَى الۡاَرۡضِ هَوۡنًا (berjalan di atas bumi dengan *haunan*) memerlukan pemahaman yang mendalam. Kata *haunan* (هَوۡنًا) tidak sekadar berarti pelan, tetapi merujuk pada ketenangan, kelembutan, dan kerendahan hati yang murni.
Banyak ulama tafsir menekankan bahwa 'berjalan' di sini adalah metafora untuk seluruh gerak-gerik dan perilaku seseorang dalam hidupnya. Ini bukan anjuran untuk berjalan lambat secara fisik, melainkan anjuran untuk memancarkan aura kerendahan hati, ketenangan, dan kehormatan dalam setiap interaksi dan langkah kaki. Ini adalah antitesis dari *takabbur* (kesombongan) dan *khuyala'* (berlagak bangga).
Kerendahan hati yang sejati, atau *tawadhu*, tercermin dalam:
Para sufi dan ahli tafsir menghubungkan kerendahan hati ini langsung dengan tauhid. Siapa pun yang benar-benar mengenal Allah dengan sifat-sifat keagungan-Nya (*Al-’Adzim*), niscaya akan merasakan betapa kecilnya diri sendiri. Kerendahan hati di hadapan manusia adalah refleksi dari kerendahan hati total di hadapan Pencipta. Ketika hati seseorang dipenuhi pengagungan terhadap Allah, maka ia tidak akan mencari pengagungan dari makhluk.
Ini adalah perbedaan mendasar antara kerendahan hati yang tulus (*tawadhu*) dengan kepura-puraan (*riya'*) atau merendahkan diri secara palsu. *Tawadhu* adalah kondisi permanen hati yang kemudian termanifestasi dalam tindakan, termasuk cara berjalan dan berbicara.
Ayat 63 secara halus mengkontraskan sifat hamba Ar-Rahman dengan sifat mereka yang disebutkan dalam ayat lain, misalnya, larangan berjalan dengan angkuh seperti dalam QS. Luqman: 18: "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."
Kesombongan adalah penyakit pertama yang menjangkiti Iblis dan merupakan dosa pertama yang dilakukan di langit. Bagi Ibadur Rahman, kesombongan adalah tembok penghalang antara diri mereka dan rahmat Allah. Jalan kesempurnaan dimulai dengan menanggalkan ego dan keangkuhan. Sikap berjalan yang angkuh menunjukkan bahwa individu tersebut merasa lebih baik, lebih kaya, atau lebih mulia dari yang lain—suatu pandangan yang bertentangan langsung dengan ajaran Islam tentang persaudaraan dan kesetaraan di mata Allah.
Di era modern, 'berjalan di atas bumi' mencakup bagaimana kita menggunakan status, kekayaan, atau jabatan kita. Tawadhu' berarti:
Inti dari sifat pertama ini adalah bahwa hamba Ar-Rahman adalah manusia yang telah mencapai kedewasaan spiritual. Mereka tidak perlu validasi eksternal atau pengakuan dari manusia. Ketenangan batin mereka sudah cukup menjadi penuntun langkah mereka.
Sifat kedua yang ditekankan dalam ayat 63 adalah kemampuan mengendalikan diri dan merespons konflik dengan kearifan ilahiah: وَّ اِذَا خَاطَبَهُمُ الۡجٰهِلُوۡنَ قَالُوۡا سَلٰمًا (dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata keselamatan).
Untuk memahami respons ini, kita harus memahami siapa yang dimaksud dengan Jahilūn (orang-orang jahil). Dalam konteks ayat ini, *jahil* tidak hanya berarti bodoh dalam ilmu pengetahuan, tetapi lebih mengarah pada kebodohan moral dan perilaku. Mereka adalah orang-orang yang:
Respons mereka adalah *qālū salāmā* (mereka mengucapkan salam/keselamatan). Ini juga bukan sekadar ucapan fisik, tetapi sebuah sikap yang mencerminkan:
Sikap 'Ibadur Rahman adalah sikap superioritas moral. Mereka tidak merespons keburukan dengan keburukan yang serupa. Ini merupakan implementasi dari konsep al-hilm (kesantunan atau kelembutan) dan kesabaran (*sabr*).
Ayat ini mengajarkan manajemen emosi tingkat tertinggi. Ketika diprovokasi, respons naluriah manusia adalah membalas. Namun, hamba Ar-Rahman menahan naluri itu dan menggantinya dengan respons yang netral dan damai. Ini menunjukkan kontrol diri yang luar biasa, yang hanya bisa dicapai melalui kesadaran spiritual yang mendalam.
Tindakan ini memastikan bahwa mereka tidak terjerumus ke dalam lingkaran setan kejahilan. Jika mereka membalas kebodohan dengan kebodohan, mereka tidak berbeda dengan provokator. Dengan mengucapkan 'Salam', mereka memutus rantai konflik, membiarkan orang jahil tenggelam dalam kejahilannya, sementara mereka sendiri melanjutkan perjalanan spiritual mereka tanpa terganggu.
Dalam konteks dakwah, sikap ini sangat krusial. Seorang juru dakwah sering kali berhadapan dengan penolakan keras, cemoohan, atau bahkan penghinaan. Jika hamba Ar-Rahman membalas dengan amarah atau penghinaan, pintu dakwah akan tertutup. Dengan merespons "Salam," mereka menunjukkan kemuliaan ajaran yang mereka bawa, bahkan kepada penentangnya.
Sikap ini membuka peluang bagi orang jahil itu untuk merenung di kemudian hari. Mereka mungkin akan bertanya-tanya, "Mengapa orang ini tidak membalasku? Mengapa ia tetap tenang?" Ketegasan yang dibungkus oleh ketenangan adalah kekuatan yang jauh lebih besar daripada agresivitas yang tergesa-gesa.
Dua sifat dalam ayat 63 ini saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Kerendahan hati (*tawadhu*) adalah kondisi batin, sementara respons dengan *salam* adalah manifestasi luar dari kondisi batin tersebut.
Seorang yang sombong (*mutakabbir*) tidak akan pernah bisa merespons kejahilan dengan *salam*. Hatinya yang penuh keangkuhan akan menuntut pembalasan segera untuk menjaga harga dirinya yang palsu. Ia akan merasa direndahkan dan harus membalas agar terlihat kuat.
Sebaliknya, hamba Ar-Rahman yang rendah hati menyadari bahwa kehormatan sejatinya ada di sisi Allah. Hinaan manusia tidak mengurangi kemuliaan mereka di mata Pencipta. Karena itulah, ketika orang jahil mencoba merobek kehormatan mereka, mereka tetap tenang, karena sumber kehormatan mereka tidak berada di tangan makhluk.
Kualitas 'Ibadur Rahman menempatkan akhlak di atas segalanya. Bahkan sebelum Allah SWT mendeskripsikan ibadah vertikal mereka (sholat malam, QS. 25:64) dan kepedulian finansial mereka (infak, QS. 25:67), Allah memulai dengan perilaku horizontal mereka (interaksi sosial). Ini menunjukkan bahwa integritas moral dan sosial adalah prasyarat bagi penerimaan ibadah.
Kedua sifat ini menggambarkan sikap pertengahan (*wasathiyyah*):
Kata Haunan (هَوۡنًا) berasal dari akar kata H-W-N, yang mengandung makna kemudahan, kelembutan, dan kehormatan. Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa *haunan* mencakup tiga dimensi: fisik, moral, dan spiritual. Seseorang yang berjalan dengan *haunan* bukan hanya pelan, tetapi juga berjalan dalam keadaan tenang tanpa ada keinginan untuk berbuat kerusakan atau kezaliman di bumi.
Nafsu manusia seringkali mendorong dua ekstrem: Pertama, merasa paling berhak dan hebat (sombong). Kedua, merasa tertekan dan tidak berdaya (putus asa). *Haunan* adalah titik keseimbangan yang mengakui kekuatan Allah dan kelemahan diri sendiri. Ini adalah hasil dari introspeksi berkelanjutan dan mujahadah (perjuangan spiritual) yang menghasilkan ketenangan batin yang memancar keluar.
Para ulama tafsir kontemporer sering menafsirkan *haunan* dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaan. Pemimpin atau orang yang berkedudukan tinggi sekalipun harus berjalan dengan *haunan*. Ini berarti menggunakan kekuasaan dengan penuh kehati-hatian, tidak menindas, dan selalu mendengarkan rakyat. Kekuatan fisik atau otoritas tidak boleh diterjemahkan menjadi arogansi sosial. Justru, semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin besar tuntutan untuk memiliki *haunan*.
Penerapan *tawadhu'* yang termaktub dalam *haunan* dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan:
Kesempurnaan hamba Ar-Rahman terletak pada konsistensi kelima tingkatan ini. Tidak ada gunanya merendahkan diri di hadapan Allah dalam shalat, namun bersikap angkuh di hadapan pegawai atau bawahan di tempat kerja. *Haunan* adalah sifat integral yang merasuk ke seluruh lini kehidupan.
Kata *Salām* (keselamatan) adalah salah satu nama Allah (*As-Salam*). Ketika hamba Ar-Rahman merespons dengan *salam*, mereka secara simbolis memanggil sifat Allah untuk mengatasi kejahilan makhluk. Ini adalah tindakan perlindungan spiritual.
Sikap ini sejalan dengan prinsip umum dalam Al-Qur'an untuk menolak kejahatan dengan cara yang lebih baik (*daf'u billati hiya ahsan*). Membalas provokasi jahil dengan agresi yang setara hanya akan menempatkan hamba Ar-Rahman pada level yang sama dengan pelaku kejahilan. Keutamaan yang dijanjikan bagi mereka yang menahan amarah dan membalas dengan kebaikan adalah persahabatan sejati, sebagaimana firman Allah, "Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (QS. Fussilat: 34).
Penerapan *qālū salāmā* memerlukan latihan keras dan kesabaran yang luar biasa, terutama ketika serangan yang dilancarkan bersifat personal dan menyakitkan. Ini adalah jihad melawan ego dan nafsu balas dendam.
Penting untuk dipahami bahwa mengucapkan 'Salam' kepada orang jahil dalam konteks ini tidak berarti pasif terhadap kezaliman. Jika kejahilan itu berupa ancaman fisik terhadap diri sendiri, keluarga, atau harta benda, atau merupakan bentuk kezaliman publik, maka respons yang diperlukan adalah respons yang proporsional dan tegas sesuai hukum syariat, bukan lagi sekadar ucapan 'Salam'.
*Qālū Salāmā* berlaku untuk situasi provokasi lisan, ejekan, perdebatan sia-sia, dan upaya menjatuhkan moral. Ini adalah strategi untuk menjaga hati dan fokus spiritual dari gangguan yang tidak perlu. Tujuannya adalah menjaga ketenangan batin yang telah dicapai melalui *haunan*.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa respons ini mencerminkan keengganan hamba Ar-Rahman untuk terlibat dalam hal-hal yang tidak bermakna dan membuang-buang waktu yang berharga. Waktu mereka terlalu mulia untuk dihabiskan dalam perseteruan rendahan. Mereka memilih untuk berdiam diri, yang dalam konteks ini adalah ucapan ‘Salam’ (menjauh dalam kedamaian), daripada mengatakan sesuatu yang mungkin mereka sesali.
Perluasan analisis membawa kita pada ayat berikutnya (QS. 25: 64) yang mendeskripsikan ibadah malam mereka: "Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka."
Ada hubungan kausal antara ayat 63 dan 64. Kemampuan untuk merespons kejahilan dengan damai (63) adalah hasil langsung dari kekuatan spiritual yang diperoleh melalui ibadah malam (64).
Seorang yang terbiasa berdiri di hadapan Allah di tengah malam, mengakui kelemahan dan dosa-dosanya, akan merasa malu untuk bersikap sombong di hadapan manusia di siang hari. Inilah mengapa perilaku sosial yang terpuji adalah buah pertama yang harus dipetik dari pohon ibadah.
Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi dan digital, penerapan ayat 63 menjadi sangat relevan. Lingkungan daring seringkali menjadi tempat bersemayamnya *jahilun* yang bersembunyi di balik anonimitas.
Berjalan dengan *haunan* di ruang digital berarti:
Merespons *jahilun* dengan *salam* di dunia maya berarti:
Hamba Ar-Rahman memahami bahwa perang terberat adalah perang melawan bisikan nafsu yang menuntut balasan dan pembenaran diri. Dengan menerapkan *qālū salāmā*, mereka memenangkan perang tersebut, bahkan jika secara lahiriah terlihat seperti mereka telah ‘kalah’ dalam perdebatan.
Secara psikologis, penerapan *haunan* dan *salam* membawa kedamaian yang permanen. Orang yang sombong (*mutakabbir*) hidup dalam kecemasan konstan karena mereka selalu harus mempertahankan citra palsu dan selalu takut direndahkan. Sementara itu, orang yang merespons provokasi dengan agresi akan mengalami peningkatan stres dan kegelisahan, karena energi mental mereka terkuras habis oleh kebencian dan keinginan untuk membalas.
Sebaliknya, hamba Ar-Rahman yang rendah hati dan tenang tidak terbebani oleh kebutuhan akan validasi. Ketika mereka merespons dengan *salam*, mereka melepaskan beban emosional tersebut. Hati yang bebas dari kebencian dan kesombongan adalah hati yang lapang, siap menerima cahaya ilahi, dan siap untuk menyambut sifat-sifat mulia berikutnya yang akan diuraikan dalam Surah Al Furqan (takut pada azab neraka, berhemat, menjauhi syirik dan zina, dll.).
Kerendahan hati membuka pintu kebijaksanaan. Hanya orang yang rendah hati yang mampu melihat kebenaran dalam kritik dan mampu mengakui kekurangannya. Sikap *salam* memberikan jarak yang diperlukan untuk mengambil keputusan yang bijak, bukan keputusan yang didorong oleh emosi sesaat. Kedua sifat ini adalah fondasi bagi karakter Muslim yang matang dan berintegritas tinggi.
Kesabaran yang ditunjukkan oleh hamba Ar-Rahman bukanlah kesabaran yang pasif, melainkan kesabaran yang aktif dan strategis. Mereka bersabar untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu keridhaan Allah, dan menghindari kerugian spiritual yang ditimbulkan oleh perseteruan duniawi. Mereka menukar kepuasan sesaat karena membalas dendam dengan kebahagiaan abadi karena memenangkan pertempuran melawan diri sendiri.
Jalan 'Ibadur Rahman adalah jalan yang menuntut pembersihan jiwa secara total. Ia menuntut pengakuan yang jujur bahwa kita tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Hanya dengan pengakuan inilah, seseorang dapat melangkah di bumi dengan ketenangan, dan menanggapi kebisingan dunia dengan keheningan yang bermartabat.
Oleh karena itu, setiap Muslim harus secara konsisten mengevaluasi cara ia berjalan—baik secara fisik maupun metaforis—di dunia ini. Apakah langkah kita memancarkan arogansi, ataukah ia mencerminkan ketenangan dan kelembutan seorang hamba yang tunduk? Ketika diprovokasi, apakah kita terbakar amarah, ataukah kita mampu mengucapkan kata-kata keselamatan yang menyelamatkan diri kita dan mungkin, pada akhirnya, menyelamatkan orang lain dari lingkaran kejahilan mereka? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang menentukan apakah kita termasuk di antara hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yang dicintai.
Tingkat kedalaman ini tidak hanya berlaku dalam interaksi pribadi, tetapi juga dalam skala yang lebih luas. Ketika suatu kaum atau bangsa berhadapan dengan provokasi dari pihak luar, prinsip *Haunan* menuntut mereka untuk tidak merespons dengan kesombongan militeristik atau kesombongan kultural. Prinsip *Salam* menuntut mereka untuk mencari jalan damai, dialog, dan penyelesaian yang beradab, selama itu tidak mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan yang mendasar.
Pelajaran yang paling mendalam dari ayat 63 adalah bahwa integritas karakter dibentuk di bawah tekanan. Adalah mudah bersikap baik ketika segala sesuatu berjalan lancar. Karakter sejati 'Ibadur Rahman teruji ketika mereka dihadapkan pada kebodohan, provokasi, dan penghinaan. Reaksi spontan mereka pada saat krisis adalah tolok ukur sejati kualitas spiritual mereka.
Dengan demikian, Surah Al Furqan ayat 63 menjadi fondasi etika dan spiritual. Ia mengajarkan kita bahwa sebelum kita menjadi ahli ibadah yang taat, kita harus terlebih dahulu menjadi manusia yang baik, rendah hati, dan berjiwa besar. Inilah kunci menuju derajat spiritual yang lebih tinggi, yang hanya dapat diraih oleh mereka yang telah menaklukkan kesombongan dalam diri mereka dan memilih kedamaian di tengah kekacauan dunia.
Kualitas kerendahan hati dan kebijaksanaan ini menciptakan semacam kekebalan spiritual. Hati mereka menjadi benteng yang kokoh, tidak mudah digoyahkan oleh ombak cemoohan atau badai fitnah. Mereka seperti gunung yang kokoh; angin yang bertiup kencang tidak membuatnya bergerak, karena akar-akar tawadhu’ telah tertanam sangat dalam dalam tauhid mereka yang murni.
Ini adalah seruan untuk refleksi diri terus menerus. Apakah cara kita berbicara, berinteraksi, dan bahkan berpikir mencerminkan kerendahan hati yang diajarkan oleh ayat ini? Apakah kita menjadi sumber ketenangan bagi lingkungan kita, atau justru menjadi sumber ketegangan? 'Ibadur Rahman adalah agen kedamaian di muka bumi, dan kedamaian itu berawal dari hati yang tunduk sepenuhnya hanya kepada Allah SWT.
Mereka memandang orang-orang yang jahil bukan sebagai musuh yang harus dihancurkan, melainkan sebagai individu yang berada dalam kondisi yang patut dikasihani karena kehilangan panduan. Sikap ini memungkinkan mereka untuk tidak membalas dengan kebencian, melainkan dengan harapan agar si jahil itu mendapatkan petunjuk. Respons 'Salam' adalah doa yang tak terucapkan bagi kedamaian spiritual pihak yang memprovokasi.
Selanjutnya, penting untuk ditekankan bahwa *haunan* (kerendahan hati) juga mencegah hamba Ar-Rahman dari jatuh ke dalam sifat riya’ (pamer). Seseorang yang memiliki *haunan* dalam hatinya, bahkan dalam amal ibadah yang besar sekalipun, akan berusaha menyembunyikannya dari pandangan manusia. Kerendahan hati yang murni akan memastikan bahwa semua tindakan, baik yang terkait dengan interaksi sosial (ayat 63) maupun ibadah pribadi (ayat 64), dilakukan semata-mata untuk meraih wajah Allah.
Jika kita memisahkan kedua pilar ini, kita akan mendapatkan dua skenario yang tidak ideal. Jika ada kerendahan hati (*haunan*) tanpa kebijaksanaan (*salam*), orang tersebut mungkin menjadi sasaran empuk bagi mereka yang memanfaatkan kebaikan. Sebaliknya, jika ada respons yang bijaksana (*salam*) tanpa kerendahan hati, respons itu mungkin terasa dingin, angkuh, atau berpura-pura baik, dan bukan berasal dari kedamaian batin sejati.
Kesempurnaan ayat 63 adalah dalam sinergi kedua sifat tersebut. Kerendahan hati memberikan fondasi spiritual, dan respons *salam* memberikan strategi praktis untuk menjaga fondasi itu di tengah hiruk pikuk kehidupan. Dua sifat ini adalah pertahanan pertama 'Ibadur Rahman terhadap keburukan internal (ego) dan keburukan eksternal (provokasi).
Demikianlah, Al-Qur'an memulai deskripsi manusia ideal bukan dengan harta atau kekuasaan, melainkan dengan keindahan sikap: berjalan dengan tenang dan berbicara dengan damai. Sebuah pengingat abadi bahwa kemuliaan sejati terletak pada pengendalian diri dan kebaikan hati, bukan pada kemampuan untuk memaksakan kehendak atau memenangkan setiap perdebatan.
Jalan menuju gelar 'Ibadur Rahman adalah jalan yang panjang, namun langkah pertama telah diuraikan dengan sangat jelas: berjalanlah dengan rendah hati dan berbicaralah dengan keselamatan.
Konteks yang lebih luas dari Surah Al Furqan menempatkan deskripsi 'Ibadur Rahman sebagai respons terhadap keraguan kaum musyrikin Makkah mengenai kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW. Dengan mendeskripsikan sifat-sifat mulia para pengikut sejati Nabi, Al-Qur'an secara implisit menunjukkan superioritas moral dan etika ajaran Islam dibandingkan dengan keangkuhan dan kejahilan kaum penentang.
Hamba Ar-Rahman tidak perlu membuktikan kebenaran ajaran mereka melalui kekuatan atau agresi, melainkan melalui manifestasi karakter yang tak tertandingi. Sikap tenang mereka di hadapan provokasi adalah bukti nyata bahwa mereka berada di atas landasan yang kokoh. Mereka tahu bahwa Allah adalah pelindung kehormatan mereka, dan oleh karena itu, mereka tidak perlu bertarung dalam pertempuran kecil yang sia-sia.
Sebagai penutup dari eksplorasi mendalam ini, mari kita tanamkan dalam hati bahwa setiap kali kita berinteraksi, berjalan, atau berbicara, kita memiliki pilihan: apakah kita akan menampilkan sifat kesombongan dan reaksi cepat, ataukah kita akan memancarkan cahaya *haunan* dan *salam*? Pilihan ini, yang diulang ribuan kali dalam kehidupan, akan membentuk identitas kita sebagai hamba sejati Allah Yang Maha Penyayang.
Tingkat kedewasaan spiritual ditandai dengan kemampuan untuk membedakan antara pertempuran yang layak diperjuangkan dan perdebatan yang harus dihindari. Bagi hamba Ar-Rahman, menjaga kedamaian hati dan fokus pada ibadah lebih berharga daripada memenangkan argumen sepele yang digagas oleh kejahilan. Ini adalah strategi hidup yang cerdas, yang menjamin keberhasilan di dunia dan di akhirat.
Penerapan terus menerus dari dua sifat ini akan membersihkan jiwa dari sisa-sisa penyakit hati. Kesombongan dan amarah adalah racun spiritual. *Haunan* adalah penawarnya terhadap kesombongan, sementara *salam* adalah penawarnya terhadap amarah. Dengan membersihkan diri dari racun-racun ini, hamba Ar-Rahman mempersiapkan hati mereka untuk menerima rahmat Allah yang tak terbatas, dan untuk mengamalkan semua sifat mulia lainnya yang menyusul dalam Surah Al Furqan.
Maka, mari kita mulai perjalanan menjadi 'Ibadur Rahman hari ini, dengan setiap langkah yang kita ambil di bumi, dan setiap kata yang keluar dari lisan kita, dihiasi oleh kerendahan hati dan keselamatan.