Pendahuluan: Profil Ibadurrahman dan Titik Fokus Keuangan
Surah Al Furqan, yang berarti ‘Pembeda’, adalah lentera yang menyingkap karakteristik khas dari orang-orang yang mencapai derajat tertinggi di sisi Allah, yang dikenal sebagai Ibadurrahman (hamba-hamba Yang Maha Pengasih). Dari ayat 63 hingga 77, Allah SWT menyajikan sebuah kanvas komprehensif yang melukiskan sifat-sifat mulia mereka, mulai dari kesederhanaan dalam berjalan hingga kehati-hatian dalam beribadah.
Di antara sederet sifat agung tersebut, terdapat satu sifat yang sangat fundamental dan memiliki implikasi langsung terhadap stabilitas individu, keluarga, dan masyarakat: manajemen harta. Inilah yang diabadikan dalam firman-Nya:
Surah Al Furqan Ayat 67:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
"Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian."
Ayat ini menetapkan prinsip universal dalam ekonomi Islam: prinsip al-I'tidal atau moderasi. Ayat ini berdiri sebagai pagar pembatas yang melindungi seorang Muslim dari dua jurang kehancuran finansial dan spiritual: Israf (pemborosan) di satu sisi, dan Qattar atau Taqtir (kekikiran/keterbatasan) di sisi lainnya. Keseimbangan inilah yang disebut Qawwaman—suatu jalan tengah yang lurus dan adil.
(Visualisasi: Prinsip Keseimbangan (Qawwamah) antara Israf dan Qattar)
I. Tafsir Mendalam Ayat 67: Membongkar Tiga Pilar
1. Anfaqu (Pembelanjaan Harta)
Kata anfaqu (infak atau membelanjakan) dalam konteks Alquran tidak hanya merujuk pada sedekah sunah, tetapi mencakup seluruh bentuk pengeluaran, baik untuk kebutuhan primer diri sendiri, nafkah keluarga, zakat wajib, maupun sumbangan sosial. Ayat ini menggarisbawahi bahwa manajemen harta harus diterapkan pada setiap transaksi, besar maupun kecil. Kualitas seseorang sebagai hamba Allah sejati diuji bukan hanya saat beribadah, tetapi saat ia membuka dompetnya.
2. Laa Yusrifuu (Tidak Berlebihan/Pemborosan – Israf)
Israf adalah sikap melampaui batas yang wajar dalam pengeluaran. Ini bukan hanya masalah menghabiskan uang untuk hal yang tidak perlu, tetapi juga menghabiskan terlalu banyak untuk hal yang sebenarnya perlu. Para mufassir membagi Israf menjadi beberapa kategori:
- Israf Kuantitas: Menghabiskan jumlah yang sangat besar untuk suatu barang, padahal tujuan yang sama dapat dicapai dengan biaya lebih rendah.
- Israf Kualitas/Jenis: Menggunakan harta untuk hal-hal yang diharamkan (seperti minuman keras, judi, atau riba), bahkan jika jumlahnya sedikit. Dalam hal haram, setiap pengeluaran adalah Israf.
- Israf Prioritas: Mendahulukan kebutuhan tersier (kemewahan) di atas kebutuhan primer (nafkah, pendidikan, kesehatan).
Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa Israf adalah menghabiskan harta untuk sesuatu yang bukan hak. Sementara Imam Ar-Razi menyoroti bahwa Israf juga mencakup pengeluaran yang bertujuan pamer atau mencari pujian manusia, meskipun secara lahiriah tampak seperti sedekah.
3. Wa Laa Yaqturū (Tidak Kikir/Pelit – Qattar atau Taqtir)
Qattar atau Taqtir adalah lawan mutlak dari Israf, yaitu sikap menahan pengeluaran secara berlebihan. Seseorang yang qattar cenderung menyempitkan pengeluaran, bahkan untuk hal-hal yang wajib atau sangat mendesak. Ini termasuk menahan nafkah yang cukup untuk keluarga, mengabaikan kewajiban zakat, atau menolak bersedekah padahal mampu.
Taqtir bukan sekadar hemat, melainkan penyakit hati yang berakar pada ketakutan yang mendalam akan kemiskinan dan kurangnya keyakinan terhadap rezeki Allah. Orang yang kikir, meskipun kaya raya, hidup seolah-olah mereka adalah orang miskin karena mereka menyempitkan pengeluaran pada diri sendiri dan orang yang menjadi tanggungannya.
4. Qawwāman (Jalan Tengah/Keseimbangan)
Kata Qawwaman adalah inti dari ayat ini, yang berarti jalan tengah yang benar, adil, dan lurus. Al-Qawwamah adalah prinsip keadilan ekonomi. Artinya, pengeluaran harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang, berdasarkan skala prioritas, dan sejalan dengan kemampuan finansial serta kebutuhan syariat. Keseimbangan ini dinamis, tidak statis; pengeluaran seorang yang kaya akan berbeda dengan yang miskin, tetapi standar moderasi harus tetap ditegakkan oleh keduanya.
II. Ancaman dan Dampak Negatif Israf (Pemborosan)
Israf adalah dosa ekonomi yang memiliki konsekuensi spiritual yang berat. Allah SWT secara eksplisit berfirman dalam Surah Al-A'raf ayat 31 bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan (pemboros).
1. Israf dalam Konsumsi Makanan dan Minuman
Bentuk Israf yang paling sering terjadi adalah dalam hal konsumsi. Ini mencakup pemborosan dengan membeli makanan dalam jumlah berlebihan yang akhirnya terbuang, atau memilih makanan dan minuman mewah secara rutin padahal sumber yang lebih sederhana sudah mencukupi kebutuhan gizi. Pemborosan makanan adalah cerminan dari ketidakpekaan terhadap jutaan orang yang kelaparan.
2. Israf dalam Pakaian dan Penampilan
Meskipun Islam menganjurkan keindahan dan kerapian, Israf dalam pakaian terjadi ketika tujuannya bukan lagi menutupi aurat dan mencari kenyamanan, tetapi untuk status sosial, pamer, atau mengikuti mode yang berubah-ubah secara kompulsif, sehingga membebani keuangan tanpa alasan syar'i.
3. Israf Waktu dan Energi
Konsep Israf meluas melampaui harta benda. Israf waktu—menghabiskannya untuk hal sia-sia (laghw), hiburan berlebihan, atau tidur yang melampaui batas kebutuhan fisik—adalah salah satu bentuk pemborosan yang paling merugikan. Waktu adalah modal yang tidak dapat dikembalikan, dan menyia-nyiakannya adalah penyimpangan dari prinsip Qawwaman.
4. Israf dan Utang Jangka Panjang
Israf sering kali menjadi pemicu utama utang yang tidak produktif (utang konsumtif). Ketika seseorang hidup di luar batas kemampuannya, ia terpaksa mengambil pinjaman untuk membiayai gaya hidup berlebihan. Ini mengarah pada keterikatan finansial yang menghambat kemerdekaan spiritual dan ekonomi.
5. Israf dalam Ranah Sosial
Contoh nyata Israf dalam budaya kita adalah pengeluaran besar-besaran untuk pesta pernikahan, akikah, atau acara sosial lainnya, yang seringkali dilakukan hanya karena tuntutan adat atau gengsi. Padahal, dana tersebut mungkin lebih bermanfaat dialokasikan untuk pendidikan anak atau membantu kerabat yang membutuhkan.
III. Bahaya dan Penyakit Hati Akibat Qattar (Kekikiran)
Jika Israf adalah penyakit karena terlalu banyak memberi tanpa perhitungan, Qattar adalah penyakit karena terlalu banyak menahan dan membatasi, bahkan dari hak-hak yang wajib.
1. Qattar dalam Nafkah Wajib
Kekikiran paling berbahaya adalah menahan nafkah yang menjadi hak istri, anak-anak, atau orang tua yang berada di bawah tanggungan seseorang. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa termasuk dosa terbesar seseorang adalah menahan nafkah dari orang yang menjadi tanggungannya. Ini menciptakan ketidakadilan dan ketegangan dalam rumah tangga, menghalangi tumbuh kembang yang optimal bagi anak-anak.
2. Qattar dalam Zakat dan Kewajiban Sosial
Menolak atau membatasi pembayaran zakat dan sedekah wajib adalah bentuk Qattar yang paling jelas melanggar syariat. Allah menjanjikan pelipatgandaan pahala bagi orang yang berinfak, tetapi orang yang kikir, meskipun hartanya melimpah, tidak dapat merasakan keberkahan tersebut karena hatinya tertutup rasa takut akan kehilangan.
3. Akar Psikologis Kekikiran (Syuhh)
Kekikiran (Qattar) seringkali berakar dari sifat Syuhh, yaitu rasa tamak yang ekstrem. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa Syuhh adalah penyakit yang menyebabkan seseorang menjadi sangat rakus terhadap harta dan takut kehilangan apa yang sudah dimiliki, sekaligus enggan membagikannya kepada orang lain. Syuhh mematikan empati dan menghalangi pintu kebaikan.
4. Kerugian Ekonomi Jangka Panjang
Secara ekonomi, Qattar menghambat perputaran uang dan investasi. Jika semua orang menimbun harta (kanz) dan menolak menginfakkannya, roda perekonomian akan melambat. Islam menganjurkan sirkulasi harta agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja, tetapi juga menjangkau lapisan masyarakat lain.
5. Qattar dalam Memberi Ilmu dan Bantuan
Seperti Israf, Qattar juga meluas ke ranah non-materi. Kikir dalam membagi ilmu, pengalaman, atau bantuan fisik yang dibutuhkan orang lain, padahal kita mampu, juga merupakan manifestasi dari sifat taqtir yang dilarang. Hamba Allah yang sejati adalah mereka yang lapang dada dalam berbagi apa yang mereka miliki, baik harta maupun manfaat.
IV. Konsep Qawwamah: Keseimbangan Dinamis dan Kontekstual
1. Definisi dan Fleksibilitas Qawwamah
Qawwamah adalah manajemen keuangan yang proporsional. Ini tidak berarti bahwa pengeluaran selalu harus 50:50. Keseimbangan ini harus kontekstual, bergantung pada pendapatan, tanggungan, dan waktu. Para ulama sepakat bahwa konsep Qawwamah menuntut penyesuaian yang bijaksana:
- Saat Kaya: Pengeluaran yang moderat bagi orang kaya mungkin terlihat mewah bagi orang miskin. Qawwamah bagi si kaya adalah tidak menghabiskan seluruh hartanya untuk kemewahan, tetapi menyisihkan sebagian besar untuk investasi dan infak.
- Saat Miskin/Sederhana: Qawwamah bagi yang berpenghasilan pas-pasan adalah memastikan kebutuhan dasar terpenuhi tanpa harus berutang demi gaya hidup yang tidak realistis.
Inti dari Qawwamah adalah bahwa pengeluaran harus mencerminkan rasa syukur atas nikmat Allah dan bertanggung jawab terhadap amanah harta.
2. Prioritas Fiqh dalam Pengeluaran
Untuk mencapai Qawwamah, seorang Muslim harus mengikuti hierarki pengeluaran (Aulawiyyat al-Infaq) yang benar, yang merupakan prasyarat mutlak untuk menghindari Israf dan Qattar:
- Zakat Wajib: Kewajiban utama yang harus dipenuhi sebelum pengeluaran lain.
- Nafkah Wajib: Kebutuhan primer diri sendiri dan tanggungan (makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan).
- Pelunasan Utang: Kewajiban yang harus didahulukan.
- Kebutuhan Sekunder dan Tersier yang Wajar: Peningkatan kualitas hidup yang seimbang dengan pendapatan.
- Infak Sunah dan Amal Jariah: Sedekah yang bersifat sukarela.
Israf terjadi ketika seseorang melompati prioritas ini (misalnya, membeli barang mewah sebelum membayar utang). Sementara Qattar terjadi ketika seseorang menahan pengeluaran pada nomor 1 atau 2 padahal mampu.
3. Qawwamah dan Gaya Hidup Minimalis
Dalam konteks modern, Qawwamah sering dikaitkan dengan gaya hidup minimalis atau sederhana. Namun, ada perbedaan. Minimalisme bisa jadi sekadar tren estetik. Qawwamah adalah prinsip etis dan spiritual. Sederhana menurut Islam berarti menggunakan harta secara efektif untuk mencapai tujuan yang baik, tanpa terikat pada harta tersebut, bukan berarti menolak nikmat Allah.
Ulama klasik mencontohkan bahwa jika seseorang mampu membeli kendaraan terbaik untuk menunjang dakwah atau pekerjaan yang bermanfaat bagi umat, itu bukan Israf, melainkan investasi. Israf adalah membeli kendaraan mewah hanya untuk pamer dan menghabiskan sisa harta sehingga ia kesulitan membayar kebutuhan wajib.
V. Implementasi Praktis Qawwamah dalam Kehidupan Modern
1. Pentingnya Anggaran (Budgeting) Islami
Manajemen keuangan modern menekankan budgeting. Dalam konteks Qawwamah, budgeting menjadi alat spiritual. Anggaran harus mencerminkan pembagian yang adil antara hak Allah (Zakat/Infak), hak diri sendiri (kebutuhan primer), hak keluarga (nafkah), dan hak masa depan (tabungan/investasi).
Anggaran yang seimbang adalah benteng pertahanan pertama melawan Israf. Tanpa anggaran yang jelas, godaan pengeluaran impulsif akan mudah menjerumuskan seseorang pada pemborosan.
2. Membendung Gelombang Konsumerisme
Masyarakat kontemporer didominasi oleh budaya konsumerisme, di mana nilai diri seringkali diukur dari barang yang dimiliki. Ayat 67 menuntut perlawanan terhadap arus ini. Seorang Ibadurrahman melihat harta sebagai alat ibadah, bukan tujuan hidup. Mereka membeli karena butuh (sesuai Qawwamah), bukan karena ingin meniru orang lain (Israf).
Penting untuk membedakan antara kebutuhan hakiki dan kebutuhan artifisial yang diciptakan oleh iklan dan tekanan sosial. Keseimbangan menuntut kejujuran terhadap diri sendiri mengenai seberapa penting suatu barang bagi keberlangsungan hidup atau peningkatan kualitas ibadah.
3. Qawwamah dalam Investasi dan Tabungan
Moderasi tidak berarti melarang menabung atau berinvestasi. Justru, menyimpan untuk masa depan adalah bagian dari Qawwamah, yaitu bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga di masa depan dan mempersiapkan diri menghadapi kondisi darurat. Namun, tabungan yang berlebihan hingga mengabaikan kewajiban infak dan nafkah akan jatuh ke dalam kategori Qattar.
Investasi Islami harus memenuhi dua kriteria Qawwamah: (a) Tidak Israf (investasi spekulatif yang sangat berisiko dan melampaui batas kewajaran), dan (b) Tidak Qattar (berinvestasi pada bidang yang tidak produktif dan menimbun harta). Investasi terbaik adalah yang menghasilkan manfaat bagi masyarakat (bersifat produktif dan berprinsip syariah).
4. Pengelolaan Utang Sesuai Moderasi
Utang diperbolehkan dalam Islam untuk kebutuhan mendesak. Namun, Israf seringkali mendorong utang konsumtif untuk membiayai kemewahan. Prinsip Qawwamah menuntut agar utang diambil hanya jika benar-benar perlu, dengan perencanaan pelunasan yang jelas, dan tidak boleh mengancam kemampuan seseorang memenuhi kewajiban lainnya. Memiliki utang untuk membiayai gaya hidup mewah adalah Israf, dan menolak berutang untuk menafkahi keluarga saat kondisi darurat padahal ada peluang utang halal adalah Qattar.
5. Peran Keluarga dalam Menerapkan Qawwamah
Ayat 67 juga relevan dalam mendidik anak. Orang tua harus menjadi teladan dalam pengeluaran yang seimbang. Mengajarkan anak-anak untuk menghargai uang, memprioritaskan sedekah, dan menjauhi pemborosan sejak dini adalah investasi jangka panjang dalam membentuk generasi Ibadurrahman.
Diskusi terbuka tentang keuangan keluarga, menghindari pembelian impulsif, dan menetapkan batasan pengeluaran bersama-sama adalah cara praktis menerapkan Qawwamah dalam unit terkecil masyarakat.
VI. Dimensi Sosial dan Ekonomi Keseimbangan Harta
1. Keseimbangan Harta Sebagai Pilar Stabilitas Umat
Jika setiap individu menerapkan prinsip Qawwamah, dampaknya terhadap stabilitas sosial sangat besar. Israf menyebabkan ketimpangan, kecemburuan sosial, dan eksploitasi sumber daya. Qattar menyebabkan stagnasi ekonomi dan menghambat pertumbuhan investasi sosial. Qawwamah menciptakan masyarakat yang saling menopang.
Ketika infak dan zakat disalurkan dengan moderat (tidak kikir), dan pada saat yang sama, konsumsi dilakukan dengan hemat (tidak boros), sumber daya alam dan finansial akan terdistribusi lebih merata dan berkelanjutan.
2. Kritik terhadap Kapitalisme Ekstrem dan Sosialisme Ekstrem
Prinsip Qawwamah adalah solusi Islam terhadap kegagalan sistem ekonomi buatan manusia. Kapitalisme seringkali mendorong Israf (konsumsi tak terbatas) dan dapat memicu Qattar (penimbunan harta). Sebaliknya, beberapa sistem sosialis cenderung menekan kepemilikan pribadi secara berlebihan. Islam, melalui Ayat 67, menawarkan jalan ketiga: pengakuan atas kepemilikan pribadi, tetapi dengan batasan etika dan tanggung jawab sosial.
Harta adalah milik Allah yang diamanahkan, bukan hak mutlak individu untuk dihabiskan semaunya tanpa peduli konsekuensi moral dan sosial.
3. Qawwamah dan Etika Lingkungan
Pemborosan (Israf) memiliki dampak lingkungan yang parah, mulai dari penggunaan air berlebihan, konsumsi energi yang tidak perlu, hingga produksi sampah makanan. Ketika seorang Muslim berkomitmen pada Qawwamah, ia secara otomatis menjadi pelindung lingkungan, karena ia hanya mengonsumsi sesuai kebutuhan yang wajar, meminimalkan limbah, dan memastikan keberlanjutan sumber daya alam.
4. Menggali Hikmah di Balik Ayat 67
Ayat ini mengajarkan kita bahwa ujian spiritual terbesar seringkali terletak pada hal-hal duniawi yang paling rutin: bagaimana kita mengelola uang yang kita peroleh dengan keringat. Moderasi bukanlah ketiadaan ambisi, melainkan ambisi yang diarahkan pada kebaikan sejati. Ia adalah kebijaksanaan yang memelihara harta dunia agar dapat bermanfaat bagi kebahagiaan akhirat.
Hamba Allah yang sejati tidak silau oleh gemerlap dunia sehingga boros, dan tidak pula terbelenggu oleh ketakutan akan kemiskinan sehingga menjadi kikir. Mereka berjalan di atas bumi dengan keseimbangan yang sempurna, mencerminkan keindahan ajaran Islam.
VII. Memperdalam Implementasi: Studi Kasus Israf dan Qattar Kontemporer
1. Israf dalam Teknologi Digital
Di era digital, Israf manifestasinya sangat beragam. Contohnya adalah penggantian gawai (gadget) secara berlebihan setiap kali model baru keluar, padahal gawai lama masih berfungsi optimal. Ini adalah Israf kuantitas dan prioritas. Dana yang dialokasikan untuk memuaskan hasrat teknologi seharusnya bisa diarahkan untuk kebutuhan keluarga atau infak yang lebih bermanfaat.
Selain itu, Israf juga terjadi dalam langganan digital yang menumpuk (streaming, aplikasi premium) yang jarang digunakan. Mengelola langganan adalah bagian dari menjaga Qawwamah.
2. Qattar dalam Kualitas Kesehatan
Contoh Qattar di masa kini adalah menahan diri untuk tidak mengeluarkan biaya yang wajar untuk pemeriksaan kesehatan preventif atau pengobatan yang diperlukan, dengan alasan ‘hemat’. Padahal, kesehatan adalah modal utama ibadah. Kekikiran di bidang kesehatan bisa berujung pada biaya yang jauh lebih besar di masa depan dan hilangnya kemampuan beribadah optimal.
3. Moderasi dalam Kegiatan Sosial dan Liburan
Qawwamah tidak melarang liburan atau kegiatan rekreasi. Namun, hal itu harus dilakukan dengan bijaksana. Liburan yang memakan seluruh tabungan darurat (Israf) adalah perilaku tidak bertanggung jawab. Sementara itu, menahan diri dari rekreasi sama sekali sehingga menyebabkan kejenuhan dan kelelahan mental (Qattar dalam hak diri) juga tidak dianjurkan. Qawwamah mencari pertengahan: liburan yang bermanfaat, sesuai kemampuan, dan membawa keberkahan.
4. Prinsip Tahan Diri dan Menolak Budaya Kredit Konsumtif
Fondasi utama Qawwamah adalah kemampuan untuk menahan diri (zuhd) dari keinginan yang tidak perlu. Zuhd di sini bukan berarti menjauhi dunia, tetapi tidak menjadikan dunia sebagai pusat hati. Kekuatan untuk menunda kepuasan (delay gratification) adalah kunci untuk menghindari Israf yang didorong oleh kemudahan kredit dan pinjaman instan.
Ayat 67 secara tegas menuntut disiplin diri, yang mana disiplin ini hanya bisa tumbuh dari keimanan yang kokoh bahwa rezeki sudah dijamin oleh Allah, sehingga tidak perlu takut miskin (mencegah Qattar) dan tidak perlu sombong (mencegah Israf).
VIII. Hubungan Qawwamah dengan Sifat Ibadurrahman Lainnya
Moderasi dalam pengeluaran (Ayat 67) tidak dapat berdiri sendiri; ia terintegrasi erat dengan sifat-sifat Ibadurrahman lainnya yang disebutkan dalam Surah Al Furqan, menunjukkan konsistensi karakter:
1. Keterkaitan dengan Tawadhu (Kerendahan Hati – Ayat 63)
Ibadurrahman berjalan di bumi dengan rendah hati. Kerendahan hati ini meluas ke dalam pengelolaan harta. Orang yang tawadhu tidak mungkin Israf, karena Israf seringkali dipicu oleh kesombongan atau keinginan pamer. Mereka juga cenderung tidak Qattar, karena tawadhu mengajarkan mereka empati dan berbagi.
2. Keterkaitan dengan Menjauhi Dosa Besar (Ayat 68)
Ayat selanjutnya (68) menyebutkan bahwa Ibadurrahman tidak melakukan syirik, membunuh, dan berzina. Israf (menghabiskan harta untuk yang haram) adalah jembatan menuju dosa-dosa besar. Uang yang boros untuk hal duniawi seringkali menjadi pintu masuk ke aktivitas haram. Dengan menjaga moderasi, Ibadurrahman menjaga kesucian hartanya dan dirinya dari jerat dosa.
3. Keterkaitan dengan Doa Keberkahan (Ayat 74)
Ibadurrahman berdoa agar diberikan pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan. Stabilitas rumah tangga yang menjadi fokus doa ini mustahil tercapai tanpa stabilitas finansial. Kekacauan yang diakibatkan oleh Israf (utang, gaya hidup mewah) atau Qattar (kekurangan nafkah, konflik) adalah penghancur kebahagiaan keluarga. Dengan Qawwamah, Ibadurrahman menciptakan lingkungan yang damai dan berkah.
4. Keseimbangan sebagai Syarat Kewalian
Secara keseluruhan, Surah Al Furqan 63-77 mengajarkan bahwa kewalian (kedekatan dengan Allah) bukan hanya dicapai melalui ibadah ritual (salat malam dan puasa), tetapi juga melalui interaksi sosial, emosional, dan finansial. Moderasi dalam berinfak adalah ujian nyata dari tingkat ketakwaan seseorang.
Keseimbangan, dengan demikian, adalah sebuah filosofi hidup. Itu adalah manifestasi dari keyakinan bahwa Allah adalah Maha Pemberi Rezeki. Keyakinan ini menghilangkan ketakutan berlebihan (Qattar) dan menghilangkan ilusi kontrol (Israf).
(Visualisasi: Pengelolaan Harta yang Terkontrol)
IX. Penutup: Warisan Abadi Keseimbangan
Al Furqan ayat 67 adalah panduan keuangan yang melampaui zaman dan tren ekonomi. Ia mengajarkan bahwa kekayaan sejati seorang Muslim bukan terletak pada seberapa banyak yang ia kumpulkan (menghindari Qattar) atau seberapa mewah yang ia habiskan (menghindari Israf), tetapi pada seberapa bijak ia mengelola titipan Allah tersebut.
Hamba Allah yang ideal adalah manajer sumber daya yang ulung. Mereka tahu bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Mereka hidup dalam batasan yang ditetapkan oleh Syariat, menggunakan harta untuk mencapai ridha Allah.
Mencapai Qawwamah membutuhkan introspeksi terus-menerus dan peninjauan ulang terhadap kebiasaan belanja. Ini adalah perjalanan seumur hidup untuk mendidik jiwa agar ridha dengan apa yang Allah berikan dan tidak tamak terhadap apa yang tidak dimiliki.
Semoga kita semua diberikan taufik untuk meneladani sifat Ibadurrahman, sehingga pengeluaran kita senantiasa berada di jalan tengah yang adil, jauh dari jurang pemborosan (Israf) dan kekikiran (Qattar), dan menjadi bekal menuju kehidupan yang abadi.