Pengantar: Doa Holistik Para Hamba Ar-Rahman
Surah Al-Furqan, yang berarti ‘Pembeda’, adalah sebuah mercusuar yang menerangi jalan antara kebenaran dan kebatilan. Di dalamnya, Allah SWT menggambarkan sifat-sifat luhur dari hamba-hamba-Nya yang sejati—mereka yang dinamai ‘Ibadur Rahman’ (Hamba-hamba Yang Maha Pengasih). Sifat-sifat ini bukanlah sekadar daftar perilaku ritualistik, melainkan sebuah pola hidup yang mencakup interaksi sosial, pengendalian diri, keberanian dalam menghadapi kebatilan, dan kerendahan hati dalam beribadah. Setelah memaparkan serangkaian karakteristik agung, yang dimulai dari berjalan di muka bumi dengan rendah hati hingga bermunajat di malam hari, surah ini mencapai puncaknya pada permohonan yang menggabungkan aspirasi personal dan komunal.
Ayat ke-74 dari Surah Al-Furqan menyajikan sebuah doa yang sangat mendalam dan ambisius. Doa ini adalah penutup yang sempurna bagi rangkaian sifat Ibadur Rahman, karena ia menandakan bahwa kesalehan sejati tidak berhenti pada diri sendiri, melainkan harus merambat dan bersemi di lingkungan terdekat—keluarga. Doa ini dikenal dengan permulaannya: "Rabbana Hab Lana".
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا "Dan orang-orang yang berkata: 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (qurrata a’yun), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa'." (QS. Al-Furqan: 74)
Ayat ini memuat dua permintaan fundamental yang saling terkait erat, mencerminkan pemahaman bahwa kesuksesan spiritual diukur tidak hanya oleh kedudukan individu di sisi Tuhan, tetapi juga oleh kontribusinya terhadap kebaikan kolektif, dimulai dari unit terkecil: keluarga. Permintaan pertama berfokus pada kedamaian domestik (qurrata a'yun), sementara permintaan kedua melonjak menuju tanggung jawab sosial dan spiritual (lil-muttaqina imama).
Bagian I: Qurrata A’yun – Ketenangan dan Penyejuk Mata
Ilustrasi Ketenangan Mata (Qurrata A'yun).
Frasa ‘qurrata a’yun’ adalah inti dari permintaan pertama. Secara harfiah, ia diterjemahkan sebagai ‘penyejuk mata’ atau ‘ketenangan mata’. Ungkapan ini dalam bahasa Arab kuno merujuk pada segala sesuatu yang mendatangkan kedamaian mendalam, yang membuat seseorang berhenti mencari kebahagiaan di tempat lain karena ia telah menemukannya di rumahnya sendiri.
1. Makna Linguistik dan Psikologis 'Qurrata A’yun'
Ketika mata seseorang tenang dan sejuk, itu berarti jiwa telah menemukan peristirahatan. Sebaliknya, mata yang panas dan berair seringkali melambangkan kesedihan, kegelisahan, atau kemarahan. Dalam konteks keluarga, ‘penyejuk mata’ berarti keluarga (pasangan dan anak-anak) yang tingkah lakunya, akhlaknya, dan keberadaannya begitu membahagiakan sehingga menghilangkan segala kekhawatiran dan penderitaan dari orang tuanya.
Permintaan ini bukanlah semata-mata permintaan materi. Seringkali, harta melimpah atau jabatan tinggi tidak mampu menyejukkan mata. Rasa sejuk itu hanya muncul ketika pasangan hidup dan keturunan memenuhi standar keimanan, ketaatan, dan kesalehan. Ini adalah kebahagiaan yang melampaui dimensi fisik; ia adalah kepuasan spiritual. Apabila seorang hamba Ar-Rahman melihat anaknya tumbuh dalam ketaatan, menjauhi maksiat, berbakti kepada orang tua, dan menjadi manfaat bagi masyarakat, maka hatinya akan damai, matanya akan sejuk.
2. Dimensi Pasangan Hidup (Min Azwajina)
Doa ini secara eksplisit menyebutkan pasangan hidup (azwajina). Ini menekankan bahwa dasar dari keluarga yang saleh adalah pernikahan yang harmonis dan berlandaskan takwa. Pasangan yang menjadi qurrata a’yun adalah mereka yang saling melengkapi dalam kebaikan, saling mengingatkan dalam kebenaran, dan bersama-sama berjuang menuju keridhaan Allah.
Ketenangan mata dari pasangan tidak hanya berarti kesetiaan fisik, tetapi juga keselarasan spiritual. Ketika salah satu pasangan melihat pasangannya tekun dalam ibadah, sabar dalam kesulitan, dan menunjukkan akhlak mulia dalam interaksi sehari-hari, maka hubungan tersebut menjadi sumber kekuatan, bukan beban. Permintaan ini menuntut adanya investasi emosional, spiritual, dan intelektual dalam hubungan perkawinan.
Kedalaman permintaan ini mengajarkan kita bahwa kerangka rumah tangga yang ideal bukanlah yang bebas konflik, melainkan yang menjadikan konflik sebagai sarana untuk semakin mendekat kepada Allah dan menguatkan ikatan. Pasangan yang saling menenangkan adalah pasangan yang tidak membawa kekacauan, fitnah, atau godaan yang menjauhkan dari jalan yang lurus. Mereka adalah mitra dalam ibadah, teman dalam perjuangan, dan pelabuhan yang aman dari badai dunia.
3. Dimensi Keturunan (Wa Dhurriyyatina)
Keturunan adalah amanah terbesar. Jika keturunan menjadi penyejuk mata, itu berarti proses tarbiyah (pendidikan) telah berhasil menanamkan benih-benih takwa. Keturunan yang menyebabkan mata panas adalah mereka yang durhaka, terjerumus dalam dosa besar, atau menjadi sumber aib di dunia dan penyesalan di akhirat. Maka, doa ini adalah sebuah pengakuan atas kelemahan manusia dalam mendidik dan sebuah permohonan agar Allah meluruskan hati anak-anak mereka.
Keinginan untuk memiliki keturunan yang saleh bukan didasarkan pada ambisi duniawi (seperti kekayaan atau jabatan), melainkan pada cita-cita ukhrawi. Seorang hamba Ar-Rahman tahu bahwa amal saleh seorang anak akan terus mengalir pahalanya kepada orang tua. Oleh karena itu, investasi terbesar yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah memastikan anak-anak mereka menjadi hamba yang bertakwa. Ketenangan yang dibawa oleh anak-anak yang saleh bersifat abadi, berbeda dengan kebahagiaan sementara yang ditawarkan oleh anak-anak yang sukses secara material tetapi lalai secara spiritual.
Ayat ini menekankan bahwa doa untuk ketenangan keluarga harus datang dari hamba Ar-Rahman sendiri. Ini menyiratkan bahwa prasyarat agar doa ini dikabulkan adalah kesalehan individu yang berdoa. Mustahil seseorang yang lalai dan jauh dari sifat-sifat Ibadur Rahman berharap mendapatkan keturunan yang saleh tanpa usaha nyata dan introspeksi diri.
Bagian II: Waj'alna Lil-Muttaqina Imama – Kepemimpinan dalam Ketakwaan
Jika permintaan pertama (qurrata a’yun) berfokus pada kedamaian internal keluarga, permintaan kedua (waj’alna lil-muttaqina imama) adalah lompatan ambisius menuju tanggung jawab eksternal dan komunal. Ini adalah permintaan yang luar biasa, memohon kepada Allah agar mereka dijadikan Imam (pemimpin atau panutan) bagi orang-orang yang bertakwa (muttaqin).
1. Konsep ‘Imam’ dalam Konteks Ayat
Kata Imam memiliki arti yang beragam: pemimpin, model, panutan, atau orang yang diikuti. Dalam konteks ayat ini, permintaan untuk menjadi Imam bagi Muttaqin bukanlah permintaan untuk kekuasaan politik atau kekayaan material. Ini adalah permintaan untuk kepemimpinan spiritual dan moral. Seorang Imam dalam konteks ini adalah seseorang yang kesalehannya begitu menonjol sehingga orang-orang bertakwa lainnya secara sukarela menjadikannya rujukan dan teladan.
Permintaan ini mengungkapkan ambisi tertinggi dari seorang Mukmin. Mereka tidak hanya ingin menjadi orang yang saleh, tetapi mereka ingin kesalehan mereka bermanfaat, menular, dan menjadi petunjuk bagi orang lain. Mereka ingin memimpin barisan orang-orang yang takut kepada Allah (Muttaqin) menuju kebaikan, bukan untuk mendapatkan pujian, melainkan untuk memastikan bahwa jalan kebenaran diikuti dan ditegakkan.
Kepemimpinan yang dimaksud di sini adalah kepemimpinan dengan contoh (leadership by example). Ini dimulai di dalam rumah, di mana orang tua menjadi imam bagi anak-anak dan pasangan. Kemudian, kepemimpinan itu meluas ke masyarakat melalui perilaku yang konsisten, kejujuran yang tak tergoyahkan, dan dedikasi terhadap kebenaran. Mereka berdoa agar menjadi mercusuar yang menyinari jalan bagi Muttaqin lainnya, bukan hanya di lingkungan terdekat, tetapi juga dalam skala yang lebih luas.
2. Menjadi Pemimpin, Bukan Pengikut Biasa
Ada perbedaan mendasar antara menjadi salah satu dari Muttaqin dan menjadi Imam bagi Muttaqin. Semua hamba Ar-Rahman pasti berusaha menjadi Muttaqin. Namun, permintaan dalam ayat 74 ini adalah agar mereka ditingkatkan derajatnya sehingga mereka tidak hanya mengikuti kebaikan, tetapi juga memprakarsai kebaikan. Mereka memohon agar menjadi garis depan dalam setiap amal kebajikan, dalam setiap tindakan keadilan, dan dalam setiap upaya pencegahan kemungkaran.
Hal ini menuntut keberanian, ilmu, dan konsistensi. Seseorang tidak akan diangkat menjadi panutan oleh Muttaqin lainnya jika ia memiliki cacat moral yang signifikan atau jika kesalehannya hanya bersifat musiman. Kepemimpinan dalam takwa memerlukan fondasi keilmuan yang kuat (untuk membedakan yang haq dan batil) dan fondasi spiritual yang kokoh (untuk bertahan dari godaan dan tekanan). Ini adalah aspirasi untuk menjadi yang terbaik di antara yang baik.
Permintaan ini secara efektif merangkum tanggung jawab sosial seorang Muslim. Iman tidak boleh terisolasi. Kesalehan individu harus bermetamorfosis menjadi energi positif yang mendorong perbaikan masyarakat. Jika setiap Muslim hanya fokus pada kesalehan pribadinya tanpa mempedulikan lingkungan, maka kegelapan akan menyelimuti komunitas. Dengan meminta menjadi Imam bagi Muttaqin, hamba Ar-Rahman menunjukkan bahwa mereka memahami peran transformatif yang harus mereka mainkan dalam dunia.
3. Hubungan Timbal Balik: Keluarga dan Kepemimpinan
Mengapa kedua permintaan ini disatukan dalam satu doa? Ada kaitan kausalitas yang mendalam:
- Fondasi Domestik: Mustahil seseorang menjadi pemimpin spiritual yang efektif di masyarakat jika rumah tangganya berantakan dan keluarganya jauh dari kesalehan. Keluarga yang menjadi qurrata a’yun adalah bukti nyata (laboratorium) dari kesuksesan kepemimpinan sang individu. Jika ia gagal memimpin keluarganya sendiri ke jalan takwa, bagaimana ia bisa memimpin masyarakat?
- Dukungan Moral: Kepemimpinan spiritual seringkali penuh tantangan, pengorbanan, dan fitnah. Ketenangan yang didapatkan dari pasangan dan keturunan yang saleh berfungsi sebagai penopang psikologis dan spiritual yang memungkinkan sang pemimpin bertahan dan konsisten dalam tugasnya.
- Warisan: Kepemimpinan takwa menjadi lestari melalui keturunan yang saleh. Anak-anak yang merupakan penyejuk mata akan meneruskan estafet kepemimpinan moral, memastikan bahwa cahaya takwa tidak padam setelah generasi orang tua berlalu.
Dengan demikian, doa Al-Furqan 74 adalah sebuah permintaan holistik yang mencakup keseluruhan hidup seorang Mukmin: kesalehan pribadi (implisit dalam sifat Ibadur Rahman), kesalehan keluarga (qurrata a’yun), dan kesalehan sosial (lil-muttaqina imama). Ketenangan mata dan kepemimpinan moral adalah dua sisi mata uang yang sama: kesuksesan sejati di dunia dan akhirat.
Bagian III: Tarbiyah Holistik sebagai Implementasi Doa
Doa Rabbana Hab Lana bukanlah mantra pasif yang hanya dibaca tanpa usaha. Ia adalah cetak biru (blueprint) bagi kehidupan yang proaktif. Untuk benar-benar meraih qurrata a’yun dan mencapai derajat Imam bagi Muttaqin, diperlukan implementasi praktis yang dikenal dalam Islam sebagai Tarbiyah (pendidikan dan pembinaan).
1. Tarbiyah Diri Sendiri (Memperbaiki Prasyarat)
Sebagaimana telah disinggung, prasyarat utama untuk doa ini adalah kesalehan diri si pemohon. Jika seseorang ingin anaknya menjadi pemimpin takwa, ia harus menjadi pemimpin takwa terlebih dahulu bagi dirinya sendiri. Proses ini meliputi:
- Tazkiyatun Nafs: Penyucian jiwa dari penyakit-penyakit hati seperti riya (pamer), hasad (iri), dan ‘ujub (bangga diri).
- Konsistensi Ibadah: Menjaga kualitas salat, puasa, dan ibadah wajib lainnya, serta memperbanyak nawafil (sunah). Sifat Ibadur Rahman sebelumnya (bermunajat di malam hari) menunjukkan investasi waktu spiritual yang signifikan.
- Akhlak Mulia: Menjadi teladan dalam kejujuran, menepati janji, dan memaafkan. Akhlak ini adalah "kurikulum tersembunyi" yang pertama kali diserap oleh pasangan dan anak-anak.
Tanpa fondasi kesalehan diri, permintaan untuk menjadi panutan adalah sia-sia. Allah akan menjadikan seseorang panutan hanya jika ia telah berhasil memimpin dirinya sendiri melewati cobaan dan godaan dunia.
2. Tarbiyah Pasangan (Hubungan Sakinah Mawaddah)
Menciptakan pasangan yang menyejukkan mata membutuhkan komunikasi, empati, dan pengorbanan. Kunci utama adalah menjadikan rumah tangga sebagai basis praktik Islam, bukan hanya sebagai tempat berlindung dari dunia. Ini meliputi:
- Saling Menguatkan dalam Ketaatan: Mendorong pasangan untuk bangun malam, berpuasa sunah, atau menghadiri majelis ilmu.
- Perlakuan Ihsan: Berinteraksi dengan pasangan dengan cara yang paling baik, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Kelembutan dan penghargaan adalah pupuk bagi qurrata a’yun dalam rumah tangga.
- Pembagian Tanggung Jawab Spiritual: Memastikan bahwa pendidikan agama anak-anak adalah tanggung jawab bersama, bukan beban salah satu pihak saja.
3. Tarbiyah Keturunan (Mewujudkan Buah Takwa)
Tarbiyah anak yang bertujuan menghasilkan qurrata a’yun adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan strategi yang matang. Ini jauh melampaui sekadar menyekolahkan anak di lembaga Islam. Beberapa aspek krusialnya meliputi:
Penanaman Fitrah Tauhid: Sejak usia dini, anak harus diperkenalkan pada keesaan Allah dan cinta kepada-Nya. Ini bukan pengajaran yang kaku, melainkan penanaman melalui kisah, contoh, dan lingkungan yang kondusif.
Pendidikan Hati dan Akhlak: Lebih penting dari skor akademis adalah integritas karakter. Orang tua harus mengajarkan anak untuk berempati, jujur, dan bertanggung jawab. Jika akhlak anak buruk, maka keberhasilan akademisnya tidak akan menjadi penyejuk mata bagi orang tua saleh.
Lingkungan yang Mendukung: Seorang hamba Ar-Rahman wajib memastikan bahwa lingkungan sosial anak tidak merusak nilai-nilai yang ditanamkan di rumah. Ini bisa berarti memilih sekolah, teman, dan kegiatan yang mendukung tujuan menjadi Muttaqin. Anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh kemaksiatan akan sulit mencapai derajat qurrata a’yun.
Tarbiyah ini bersifat holistik, mencakup aspek akidah, ibadah, moral, dan sosial. Tujuannya adalah melahirkan anak yang memiliki kedewasaan spiritual sehingga mereka mampu membuat keputusan hidup berdasarkan takwa, bukan sekadar mengikuti tren atau tekanan sosial.
Bagian IV: Analisis Mendalam tentang Tanggung Jawab Sosial dan Spiritual
Ayat 74 ini merupakan puncak dari kesadaran sosial seorang Muslim. Seseorang yang mencapai kesadaran ini memahami bahwa hidupnya memiliki dampak yang luas. Ia menyadari bahwa kesalehannya harus meluap dari batas-batas pribadinya dan membanjiri masyarakat dengan kebaikan. Permintaan lil-muttaqina imama mengandung pesan bahwa Islam menolak kesalehan yang egois.
1. Menolak Kesalehan yang Terisolasi
Dalam sejarah spiritualitas, terdapat kecenderungan bagi beberapa individu untuk mengisolasi diri demi mencapai kesalehan murni (asketisme yang ekstrem). Namun, Surah Al-Furqan 74 menolak konsep ini. Hamba Ar-Rahman adalah sosok yang terlibat aktif dalam masyarakat. Ia menyadari bahaya lingkungan yang rusak, dan oleh karena itu, ia memohon kekuatan untuk menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton yang mengkhawatirkan degradasi moral.
Jika semua orang saleh menyembunyikan kesalehan mereka, siapa yang akan memimpin? Siapa yang akan memberikan contoh nyata bagaimana seharusnya seorang Muttaqin hidup di tengah kompleksitas zaman? Permintaan untuk menjadi Imam adalah penolakan terhadap ‘ketakwaan pasif’ dan seruan menuju ‘ketakwaan proaktif’. Ini adalah panggilan untuk memikul beban bimbingan, walaupun itu berarti menghadapi kritik dan tantangan.
2. Implementasi Kepemimpinan dalam Berbagai Bidang
Kepemimpinan dalam takwa tidak terbatas pada mimbar masjid atau peran ulama. Setiap hamba Ar-Rahman dipanggil untuk menjadi Imam dalam bidang keahliannya:
- Di Tempat Kerja: Menjadi Imam dengan memimpin rekan kerja dalam kejujuran, etika bisnis yang tinggi, dan menolak korupsi.
- Di Komunitas Ilmiah: Menjadi Imam dengan menggunakan ilmu pengetahuan untuk kebaikan umat manusia, bukan untuk eksploitasi, dan dengan mengakui Kebesaran Pencipta dalam setiap penemuan.
- Di Arena Politik: Menjadi Imam dengan menegakkan keadilan, menolak tirani, dan memimpin dengan integritas, bahkan ketika harus mengorbankan popularitas pribadi.
Kepemimpinan ini bersifat kualitas, bukan kuantitas. Seseorang mungkin tidak memiliki jutaan pengikut, tetapi jika ia menjadi panutan yang kokoh bagi segelintir Muttaqin di sekitarnya, ia telah memenuhi sebagian dari aspirasi ayat ini. Intinya adalah kualitas dampak dan konsistensi moral.
3. Menghubungkan Doa dengan Sunnatullah (Hukum Alam)
Doa adalah manifestasi dari keyakinan, tetapi ia harus didukung oleh upaya (kasb). Jika seorang hamba berdoa agar keluarganya menjadi penyejuk mata, ia harus bekerja keras untuk menciptakan suasana itu. Jika ia berdoa menjadi pemimpin takwa, ia harus berusaha meningkatkan ilmunya, menguatkan kesabarannya, dan mencari peluang untuk berbuat kebaikan yang dapat diikuti orang lain. Doa dan usaha adalah dua sayap yang harus dikepakkan bersama.
Allah SWT menetapkan sunnatullah (hukum sebab-akibat) di dunia. Seseorang tidak bisa mengharapkan anak yang baik jika ia menanamkan benih yang buruk. Doa Rabbana Hab Lana adalah pendorong motivasi untuk melakukan usaha terbaik dalam pendidikan dan pembinaan, sementara pada saat yang sama, ia mengakui bahwa hasil akhir berada di tangan Allah semata. Tanpa rahmat dan taufik dari Allah, semua usaha manusia akan sia-sia. Dengan demikian, doa ini adalah keseimbangan sempurna antara kerja keras dan tawakal.
Kajian mendalam tentang konsep Imam yang diidamkan oleh Ibadur Rahman ini membawa kita pada kesimpulan bahwa mereka tidak mencari status, melainkan fungsi. Mereka ingin berfungsi sebagai sumbu moral dan pusat gravitasi spiritual bagi komunitas mereka. Mereka menyadari bahwa peran kepemimpinan adalah sebuah ujian berat, namun mereka meminta bantuan Allah untuk lulus dalam ujian tersebut, karena hanya melalui kepemimpinan yang berlandaskan takwa, kebaikan dapat tersebar luas dan bertahan lintas generasi.
Tanggung jawab ini mencakup dimensi yang sangat luas. Misalnya, bagaimana seorang Imam Muttaqin menghadapi krisis moral global? Ia tidak akan hanya mengeluh, tetapi akan menawarkan solusi yang berakar pada prinsip-prinsip ketakwaan. Jika dunia diserang oleh hedonisme dan materialisme, Imam Muttaqin akan menunjukkan model kehidupan yang seimbang, bahagia, dan bermakna meskipun minimnya ketergantungan pada kekayaan duniawi. Inilah kepemimpinan yang sejati, kepemimpinan yang dapat diteladani oleh umat, tidak peduli apa pun latar belakang budaya atau ras mereka.
Tuntutan terhadap diri sendiri untuk mencapai standar seorang Imam bagi orang-orang bertakwa adalah tuntutan untuk mencapai level Ihsan – beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak mampu, meyakini bahwa Dia melihat kita. Ihsan inilah yang menjadi bahan bakar bagi konsistensi moral yang diperlukan untuk menjadi panutan. Karena seorang panutan tidak hanya diawasi oleh manusia, tetapi juga secara permanen diawasi oleh Sang Pencipta. Jika kualitas Ihsan ini tertanam kuat dalam diri, maka ia akan mampu mempertahankan integritasnya dalam situasi apa pun, menjadikannya layak untuk diikuti.
4. Etika dalam Pencarian Kepemimpinan
Penting untuk dicatat, permintaan untuk menjadi Imam bagi Muttaqin harus dipahami dalam konteks kerendahan hati yang mendahuluinya. Seluruh sifat Ibadur Rahman (seperti berjalan di bumi dengan rendah hati, tidak membalas kebodohan dengan kebodohan) menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang menjauhi kesombongan. Oleh karena itu, permintaan kepemimpinan ini bukanlah permintaan untuk ketenaran atau kekuasaan yang bersifat politis dan otoriter.
Ini adalah permintaan untuk peran fungsional yang dibebankan kepada mereka oleh Allah. Jika Allah menghendaki seseorang menjadi panutan, maka dia akan diangkat. Ini adalah bentuk Isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah agar dijadikan alat kebaikan. Mereka tidak mengatakan, "Jadikan kami pemimpin dunia," melainkan, "Jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa." Fokusnya adalah pada kualitas moral pengikut, bukan pada jumlah pengikut di dunia. Ini menunjukkan kemurnian niat dan fokus yang tidak terbagi pada urusan akhirat.
Seorang yang berdoa dengan ayat 74 ini harus selalu memeriksa niatnya. Apakah ia ingin memimpin agar dihormati, atau ia ingin memimpin agar takwa dapat ditegakkan di muka bumi? Jika niatnya murni, maka kepemimpinan yang Allah anugerahkan kepadanya akan membawa berkah. Sebaliknya, jika niatnya ternoda oleh ambisi pribadi, maka ia berisiko jatuh ke dalam jurang riya yang bisa menghapus semua amal kebaikannya.
Kajian tentang etika dalam permintaan ini mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati berbanding lurus dengan kerendahan hati yang sejati. Semakin tinggi derajat takwa yang dicapai seseorang, semakin rendah hati dan semakin ia menyadari keterbatasannya, dan semakin ia bersandar sepenuhnya kepada Allah SWT dalam menjalankan peran kepemimpinannya.
Bagian V: Mengatasi Tantangan Modern dalam Mewujudkan Doa Al-Furqan 74
Di era modern ini, tantangan untuk mencapai qurrata a’yun dan lil-muttaqina imama semakin kompleks. Masyarakat global menghadapi gempuran informasi, pergeseran nilai yang cepat, dan tekanan materialisme yang kuat. Bagaimana hamba Ar-Rahman dapat mengimplementasikan doa ini di tengah badai digital dan sosial?
1. Ketenangan Mata di Tengah Badai Digital
Media sosial dan teknologi, meskipun menawarkan konektivitas, seringkali menjadi sumber utama kekacauan domestik. Anak-anak rentan terhadap pengaruh negatif, dan pasangan dapat terpisah secara emosional karena terlalu asyik dengan dunia maya. Mewujudkan qurrata a’yun hari ini menuntut:
- Keterlibatan Proaktif: Orang tua tidak bisa lagi bersifat pasif. Mereka harus terlibat dalam dunia digital anak-anak mereka, mengajarkan etika daring (online ethics), dan membantu mereka menyaring konten.
- Kualitas Waktu: Ketenangan mata muncul dari kehadiran yang bermakna. Orang tua harus menyisihkan waktu berkualitas (tanpa gangguan gawai) untuk berinteraksi spiritual dan emosional dengan pasangan dan anak-anak.
- Mengutamakan Moralitas Digital: Mengajarkan anak bahwa kejujuran, adab, dan pengendalian diri harus diterapkan bahkan ketika mereka bersembunyi di balik layar.
Jika keluarga tidak dapat menemukan kedamaian dan keterikatan spiritual di tengah kemudahan teknologi, maka teknologi tersebut telah menjadi penghalang untuk mencapai tujuan ayat 74, bukan alat bantu. Ketenangan mata dalam era ini adalah kemampuan untuk memelihara hubungan spiritual di tengah hiruk pikuk duniawi.
2. Menjadi Imam dalam Pluralitas Nilai
Dunia modern dicirikan oleh pluralitas nilai, di mana standar moral seringkali relatif. Menjadi Imam bagi Muttaqin hari ini berarti:
- Kemampuan Berdialog: Mampu menyajikan kebenaran Islam dengan cara yang relevan dan persuasif tanpa kompromi. Kepemimpinan hari ini membutuhkan kemampuan untuk berdialog dengan mereka yang memiliki pandangan berbeda.
- Integritas yang Teruji: Dalam masyarakat yang sering mencurigai otoritas dan kepemimpinan, seorang Imam harus menampilkan integritas yang absolut dan transparan. Kualitas ini adalah satu-satunya mata uang yang dapat dipercaya oleh generasi muda dan orang-orang bertakwa lainnya.
- Solusi yang Berbasis Takwa: Ketika masyarakat menghadapi masalah kemiskinan, lingkungan, atau kesehatan mental, seorang Imam Muttaqin harus menawarkan solusi yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga spiritual, menekankan keadilan, empati, dan tanggung jawab.
Kepemimpinan dalam takwa di era modern adalah sebuah peran yang sangat berat, menuntut kesiapan untuk menjadi minoritas yang berani berbicara kebenaran, sekaligus menjadi mayoritas dalam hal pengaruh moral. Ini memerlukan kombinasi antara kearifan masa lalu dan pemahaman mendalam tentang realitas masa kini.
Dalam menghadapi tekanan ekonomi dan persaingan hidup yang kian sengit, banyak orang tua terpaksa mengorbankan waktu mendidik anak demi mencari nafkah. Ayat 74 mengingatkan bahwa keseimbangan adalah kunci. Mencari rezeki adalah wajib, tetapi mendidik anak menjadi penyejuk mata adalah investasi yang jauh lebih berharga daripada semua uang di dunia. Prioritas harus jelas: keberkahan rezeki lebih penting daripada jumlahnya, dan keberkahan hanya datang melalui takwa. Jika orang tua mengutamakan takwa dalam mencari nafkah, dan menjadikan hal itu sebagai teladan bagi anak, maka mereka telah mengambil langkah besar menuju terwujudnya qurrata a’yun.
Kepemimpinan yang diimpikan oleh Ibadur Rahman juga memerlukan kemampuan adaptasi tanpa kehilangan prinsip. Seorang pemimpin takwa harus mampu memahami bahasa dan tantangan generasi muda (digital native) tanpa mengkompromikan batasan syariat. Jika ia tidak memahami konteks zaman, ia tidak akan bisa menjadi teladan. Oleh karena itu, peningkatan ilmu dan pemahaman kontekstual adalah bagian tak terpisahkan dari menjadi ‘Imam lil Muttaqin’ yang relevan dan efektif dalam abad ke-21.
3. Kesinambungan Kebaikan (The Cycle of Righteousness)
Ketika doa ini dikabulkan, maka terciptalah sebuah siklus kebaikan yang berkelanjutan. Keturunan yang merupakan penyejuk mata akan tumbuh dan, karena mereka telah dididik untuk menjadi saleh dan berjiwa kepemimpinan, mereka juga akan berdoa dan berusaha keras agar keturunan mereka sendiri menjadi penyejuk mata. Dengan demikian, kualitas kepemimpinan dalam takwa diwariskan dari generasi ke generasi. Inilah investasi abadi yang dijanjikan dalam Islam.
Siklus ini dimulai dari komitmen individu terhadap sifat-sifat Ibadur Rahman (ayat 63-73), berlanjut ke fondasi keluarga yang kokoh (qurrata a’yun), dan memuncak pada dampak sosial yang positif (lil-muttaqina imama). Ayat 74 adalah janji bahwa jika seseorang memenuhi syarat-syaratnya, Allah akan memberinya karunia yang sangat besar: kedamaian rumah dan kehormatan spiritual di masyarakat.
Doa ini mengajarkan kita bahwa ambisi seorang Muslim harus melampaui kebahagiaan pribadinya. Kebahagiaan sejati, qurrata a’yun, baru terasa lengkap ketika kita melihat keluarga kita menjadi bagian dari solusi moral bagi umat, dan ketika kita sendiri menjadi bagian dari barisan terdepan orang-orang yang menyeru kepada kebaikan. Ayat ini adalah seruan untuk kebesaran, yang didasarkan pada kerendahan hati dan kepatuhan mutlak kepada Allah SWT.
Memahami kedalaman makna ayat 74 ini adalah memahami bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan tanggung jawab total. Tanggung jawab kepada diri sendiri, kepada pasangan, kepada anak-anak, dan pada akhirnya, kepada seluruh komunitas orang-orang bertakwa. Semuanya terjalin erat. Kegagalan di satu sektor pasti akan mempengaruhi sektor lainnya. Keberhasilan dalam Tarbiyah keluarga adalah batu loncatan yang tak terhindarkan menuju keberhasilan dalam Tarbiyah umat.
Jika kita tinjau kembali seluruh rangkaian sifat Ibadur Rahman, kita akan melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat seimbang. Mereka ekstrem dalam ketaatan (shalat malam), tetapi sangat moderat dalam pengeluaran (tidak boros dan tidak kikir). Mereka tegas terhadap syirik dan dosa besar (tidak berzina dan membunuh jiwa tanpa hak), tetapi sangat toleran dan rendah hati dalam interaksi sosial. Keseimbangan inilah yang menghasilkan karakter yang dapat menjadi qurrata a’yun dan Imam bagi Muttaqin. Keseimbangan adalah kunci relevansi dan ketahanan dalam kepemimpinan spiritual.
Oleh karena itu, setiap Muslim yang mengamalkan doa ini harus senantiasa bertanya pada dirinya sendiri: "Apakah hari ini saya telah bekerja keras untuk memperbaiki karakter saya, mempererat ikatan spiritual dengan pasangan saya, dan memastikan bahwa anak-anak saya memiliki teladan yang jelas untuk diikuti?" Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang menentukan apakah doa Rabbana Hab Lana hanyalah ucapan di bibir, ataukah ia adalah prinsip hidup yang dijalankan dengan sepenuh hati.
Kesimpulan: Sebuah Doa yang Merangkum Tujuan Hidup
Surah Al-Furqan ayat 74 adalah salah satu doa teragung dalam Al-Qur’an karena ia merangkum tujuan hidup seorang hamba Ar-Rahman secara keseluruhan. Doa ini memindahkan fokus kesalehan dari lingkaran individual yang sempit, menuju lingkaran keluarga yang merupakan basis masyarakat, dan kemudian meluas ke lingkaran kepemimpinan moral yang memberikan dampak global.
Qurrata A’yun adalah janji tentang kedamaian domestik yang diperoleh melalui kesalehan. Ini adalah surga kecil yang dibangun di rumah. Sementara itu, Lil-Muttaqina Imama adalah cita-cita luhur untuk menjadi obor yang menerangi kegelapan, sebuah peran yang hanya bisa diemban oleh mereka yang telah berhasil mengukir kedamaian dan ketakwaan di lingkungan terdekat mereka.
Doa ini mengajarkan bahwa spiritualitas sejati bukanlah pelarian dari dunia, tetapi keterlibatan aktif di dalamnya dengan standar moral tertinggi. Ia adalah pengingat konstan bahwa keluarga dan masyarakat adalah medan jihad terbesar kita, dan bahwa kesuksesan abadi hanya dapat dicapai melalui upaya yang gigih untuk menumbuhkan ketakwaan, baik dalam diri kita sendiri maupun dalam jiwa orang-orang yang kita cintai. Doa Rabbana Hab Lana adalah seruan abadi menuju kesempurnaan hidup.