Panduan Lengkap Mengakikahkan Anak Sesuai Syariat Islam
I. Definisi dan Urgensi Mengakikahkan
Mengakikahkan, atau pelaksanaan ibadah Akikah (sering juga disebut Aqiqah), adalah sebuah syariat Islam yang sangat ditekankan pelaksanaannya bagi setiap orang tua yang dikaruniai keturunan. Ibadah ini bukan sekadar tradisi budaya, melainkan sebuah bentuk manifestasi rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT atas karunia terindah berupa kelahiran seorang anak. Akikah merupakan penyembelihan hewan ternak tertentu sebagai tebusan atau jaminan bagi anak yang baru lahir, sekaligus sebagai sarana untuk memperkenalkan anak tersebut kepada masyarakat luas dalam suasana penuh keberkahan.
1.1. Asal Kata dan Konteks Historis
Secara etimologi, kata Akikah (العقيقة) berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna rambut yang tumbuh di kepala bayi sejak ia lahir. Namun, dalam konteks syariat, Akikah merujuk pada penyembelihan hewan yang dilakukan sebagai penebusan bagi anak. Ibadah ini telah dipraktikkan sejak masa Rasulullah SAW, yang menegaskan pentingnya amalan ini sebagai bagian dari hak anak terhadap orang tuanya.
Dasar hukum pelaksanaan Akikah sangat kuat, bersumber dari hadis-hadis sahih. Salah satunya adalah sabda Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Salman bin Amir Adh Dhobbi, bahwa: "Bersama anak laki-laki ada akikah. Maka tumpahkanlah darah (sembelihlah hewan) untuknya dan hilangkanlah kotoran darinya (cukur rambutnya)." Penekanan ini menunjukkan bahwa Akikah adalah sebuah Sunnah yang sangat dianjurkan (Sunnah Muakkadah), yang seyogyanya tidak ditinggalkan oleh orang tua yang mampu melaksanakannya.
1.2. Tujuan Filosofis Akikah
Pelaksanaan Akikah memiliki beberapa tujuan filosofis yang sangat mendalam, melampaui sekadar penyembelihan hewan. Pertama, ia adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah-Nya. Kedua, Akikah berfungsi sebagai
Ketiga, Akikah memiliki dimensi sosial yang kuat. Daging Akikah yang dibagikan kepada fakir miskin, kerabat, dan tetangga merupakan bentuk sedekah dan syiar Islam, menyebarkan kegembiraan atas kelahiran anggota baru dalam komunitas. Tindakan ini mempererat tali silaturahmi dan menumbuhkan rasa kepedulian sosial, menjadikan kelahiran anak sebagai momen kebahagiaan bersama.
II. Hukum Fiqh dan Penetapan Waktu Pelaksanaan
2.1. Status Hukum Akikah (Ikhtilaf Ulama)
Meskipun Akikah sangat dianjurkan, terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan ulama mazhab mengenai status hukum pastinya. Perbedaan ini didasarkan pada penafsiran yang beragam terhadap hadis-hadis Nabi SAW:
2.1.1. Sunnah Muakkadah (Mazhab Syafi'i dan Hanbali)
Mayoritas ulama, termasuk Mazhab Syafi'i dan Hanbali, menetapkan bahwa hukum Akikah adalah Sunnah Muakkadah, yaitu sunnah yang sangat ditekankan pelaksanaannya. Mereka berdalil dengan hadis-hadis yang menggunakan redaksi anjuran dan tidak menggunakan redaksi perintah wajib. Penekanan 'Sunnah Muakkadah' menunjukkan bahwa meninggalkannya tanpa uzur syar'i adalah perbuatan yang kurang tepat, namun tidak sampai berdosa.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa yang paling utama untuk melaksanakan Akikah adalah ayah dari anak tersebut, karena dialah yang bertanggung jawab menafkahi. Jika ayah tidak mampu, maka ibu atau wali lainnya tidak diwajibkan, namun jika mereka berinisiatif (dengan harta sendiri), itu diperbolehkan.
2.1.2. Mubah (Mazhab Maliki)
Sebagian ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa Akikah hukumnya mubah (diperbolehkan), tetapi mereka juga cenderung menyepakati bahwa Akikah adalah Sunnah yang dilakukan demi mengikuti jejak Rasulullah SAW dan para sahabat.
2.1.3. Wajib (Pandangan Minoritas)
Sebagian kecil ulama dari Mazhab Zhahiri, serta riwayat dari Hasan Al-Basri dan Dawud Azh-Zhahiri, berpendapat bahwa Akikah adalah wajib. Mereka berpegang pada lafaz hadis yang menyebutkan anak itu 'tergadai' dengan akikahnya, menafsirkan 'tergadai' sebagai kewajiban yang harus dipenuhi agar hak anak terpenuhi secara sempurna.
Kesimpulan Fiqh: Mayoritas umat Islam, khususnya di Indonesia yang mayoritas mengikuti Mazhab Syafi'i, berpegang teguh pada status Sunnah Muakkadah. Dengan demikian, orang tua dianjurkan keras untuk melaksanakannya jika memiliki kemampuan finansial.
2.2. Waktu Terbaik untuk Melaksanakan Akikah
Penentuan waktu adalah aspek krusial dalam mengakikahkan anak. Terdapat tiga periode waktu utama yang menjadi titik fokus pembahasan fiqh:
2.2.1. Hari Ketujuh (Waktu Pilihan/Afdhal)
Waktu yang paling utama (afdal) dan yang paling banyak disepakati oleh ulama adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Setiap anak tergadai dengan akikahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama."
Penghitungan Hari Ketujuh: Jika anak lahir di siang hari, hari kelahirannya dihitung sebagai hari pertama. Jika lahir setelah matahari terbenam (memasuki malam), maka malam tersebut sudah dihitung sebagai hari pertama. Penting untuk memastikan bahwa penyembelihan dilakukan sebelum terbenamnya matahari pada hari ketujuh.
2.2.2. Hari Keempat Belas atau Kedua Puluh Satu
Jika orang tua berhalangan atau belum mampu pada hari ketujuh, Akikah dapat diundur ke hari keempat belas atau hari kedua puluh satu. Dasar hukum ini juga berasal dari hadis-hadis yang menunjukkan kelonggaran waktu. Pandangan ini menunjukkan bahwa Akikah adalah ibadah yang bersifat fleksibel dalam konteks waktu, tetapi tetap memiliki batas waktu yang dianjurkan.
2.2.3. Setelah Usia Baligh atau Dewasa
Bagaimana jika Akikah belum juga dilaksanakan hingga anak mencapai usia baligh? Mazhab Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa kewajiban (anjuran) Akikah gugur dari orang tua saat anak sudah baligh. Namun, anak tersebut memiliki pilihan (hak) untuk mengakikahkan dirinya sendiri (tasyarru') jika ia menginginkannya, sebagai bentuk penyempurnaan ibadah dan mengikuti sunnah Nabi SAW. Tindakan ini sangat dianjurkan sebagai pelengkap jika orang tuanya dahulu tidak mampu melaksanakannya.
Pelaksanaan Akikah tidak boleh didahulukan sebelum kelahiran anak, sebab ia terikat pada wujud fisik anak tersebut. Jika terjadi keguguran, Akikah disyariatkan jika janin telah mencapai usia empat bulan (120 hari), yaitu saat ruh telah ditiupkan.
III. Syarat dan Kriteria Hewan Akikah
Sama seperti ibadah kurban, hewan yang digunakan untuk Akikah harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar penyembelihan sah secara syariat dan bernilai ibadah yang diterima di sisi Allah SWT.
3.1. Jenis dan Jumlah Hewan
Hewan yang sah untuk Akikah adalah kambing, domba, atau bisa juga sapi atau unta, meskipun kambing atau domba adalah yang paling utama dan sering disebutkan dalam hadis.
3.1.1. Jumlah Berdasarkan Jenis Kelamin Anak
- Anak Laki-laki: Disunnahkan menyembelih dua ekor kambing/domba yang sejenis, atau dua bagian dari sapi/unta, dengan kualitas yang sebanding. Hikmah di balik dua ekor kambing untuk laki-laki adalah karena kedudukan laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
- Anak Perempuan: Disunnahkan menyembelih satu ekor kambing/domba.
Meskipun dua ekor kambing untuk laki-laki adalah yang paling afdal, jika orang tua hanya mampu menyediakan satu ekor, maka Akikah tetap sah dan Sunnah telah tertunaikan. Hal ini didasarkan pada prinsip kemudahan dalam syariat, di mana kemampuan finansial menjadi pertimbangan utama.
3.2. Syarat Kualitas dan Kesehatan Hewan
Hewan Akikah harus bebas dari cacat yang mencegahnya untuk dijadikan kurban (al-'uyub al-man'ah), sama persis dengan syarat hewan kurban. Cacat-cacat yang menjadikan hewan tidak sah untuk Akikah meliputi:
- Buta Sebelah atau Keduanya: Hewan yang jelas-jelas buta, baik total maupun sebelah.
- Sakit Parah: Hewan yang sakit hingga jelas terlihat kurus, lesu, atau mengganggu kualitas dagingnya.
- Pincang yang Jelas: Hewan yang pincang sedemikian rupa sehingga tidak mampu berjalan normal mengikuti kawanannya.
- Sangat Kurus: Hewan yang kurus kering hingga tidak memiliki sumsum tulang.
3.3. Batasan Usia Hewan
Usia minimal hewan Akikah juga harus diperhatikan, diukur berdasarkan standar hewan kurban:
- Domba (Dha'n): Minimal berusia enam bulan (disebut Jadz'u).
- Kambing (Ma'iz): Minimal berusia satu tahun penuh (disebut Tsaniy).
- Sapi: Minimal berusia dua tahun penuh.
- Unta: Minimal berusia lima tahun penuh.
Pengawasan terhadap kualitas dan usia hewan ini adalah bentuk keseriusan dalam beribadah, karena Allah menyukai amal yang terbaik. Hendaknya orang tua memilih hewan yang sehat, gemuk, dan memenuhi syarat usia, sebagai wujud syukur yang optimal.
3.4. Isu Penggabungan Akikah dan Kurban
Timbul pertanyaan mengenai bolehkah satu bagian sapi atau unta diniatkan sebagai Akikah dan bagian lainnya diniatkan sebagai Kurban, atau bahkan Akikah untuk dua anak yang berbeda. Ulama memiliki perbedaan pandangan dalam hal ini:
- Pendapat yang Membolehkan (Mazhab Syafi'i dan Hanbali): Secara umum, mereka membolehkan patungan (syirkah) dalam sapi atau unta (maksimal tujuh orang) untuk Akikah, dan membolehkan penggabungan niat (Akikah dan Kurban) dalam satu hewan yang besar, asalkan bagian yang diniatkan Akikah mencapai satu per tujuh bagian penuh.
- Pendapat yang Melarang (Mazhab Maliki): Mazhab Maliki dan sebagian ulama lainnya lebih menekankan bahwa Akikah dan Kurban adalah ibadah yang berbeda dan hendaknya dilaksanakan secara terpisah (kambing/domba untuk Akikah) dan tidak digabungkan.
Jika memilih untuk menggabungkan, niat harus jelas pada saat penyembelihan, dan disarankan untuk mengikuti pendapat yang membolehkan patungan dalam sapi, yaitu satu bagian (1/7) untuk satu niat Akikah, guna mendapatkan nilai ibadah yang maksimal.
IV. Tata Cara Praktis Mengakikahkan
Pelaksanaan Akikah melibatkan beberapa rangkaian kegiatan yang harus dilakukan sesuai dengan tuntunan sunnah Nabi SAW. Berikut adalah langkah-langkah praktis dalam mengakikahkan anak:
4.1. Pemberian Nama dan Pencukuran Rambut
Dua amalan ini dianjurkan dilakukan bersamaan atau berdekatan dengan penyembelihan pada hari ketujuh. Rasulullah SAW menyarankan untuk memilih nama yang baik, memiliki makna positif, atau nama yang dicintai Allah seperti Abdullah dan Abdurrahman.
4.1.1. Pemberian Nama (Tasmiyah)
Pemberian nama adalah hak orang tua dan momen yang sakral. Pemberian nama yang baik berfungsi sebagai doa seumur hidup bagi anak. Jika nama belum ditentukan pada hari ketujuh, boleh ditunda, namun sunnah utamanya adalah pada hari tersebut.
4.1.2. Mencukur Rambut (Halq)
Pencukuran rambut bayi harus dilakukan secara menyeluruh (gundul), bukan hanya sebagian. Ini disebut al-Qaza', yang dilarang dalam Islam. Setelah dicukur, rambut ditimbang, dan orang tua disunnahkan untuk bersedekah dengan perak atau emas seberat timbangan rambut tersebut. Sedekah ini ditujukan kepada fakir miskin. Praktik ini melambangkan pembersihan fisik dan finansial, serta mengawali kehidupan anak dengan amal kebaikan.
4.2. Proses Penyembelihan Hewan
Penyembelihan harus dilakukan dengan tata cara penyembelihan syar'i (dzabh), yang memenuhi standar kebersihan, etika, dan keislaman. Penting untuk memastikan:
- Niat: Niat harus dikukuhkan untuk Akikah anak yang bersangkutan, menyebutkan nama anak jika memungkinkan.
- Pelaksana: Penyembelih dianjurkan adalah orang yang berilmu dan mahir, atau orang tua sendiri jika mampu.
- Doa: Membaca Bismillah, takbir, dan doa khusus Akikah, seperti: “Bismillah. Allahumma Minka Walaka. Aqiqotu (Nama Anak)” (Ya Allah, ini dari-Mu dan untuk-Mu, inilah Akikah untuk [Nama Anak]).
- Peralatan: Menggunakan pisau yang sangat tajam untuk meminimalisir rasa sakit pada hewan.
4.3. Pengolahan dan Pembagian Daging
Salah satu perbedaan utama antara daging Akikah dan daging Kurban adalah dalam cara penyajian dan pembagiannya.
4.3.1. Akikah Dimasak Terlebih Dahulu
Disunnahkan bagi daging Akikah untuk dimasak terlebih dahulu sebelum dibagikan. Hal ini memudahkan fakir miskin dan penerima untuk langsung mengonsumsinya tanpa perlu repot mengolahnya, sekaligus menyebarkan aroma dan suasana kegembiraan. Daging Akikah dianjurkan diolah menjadi masakan manis, seperti gulai, kari, atau sate, melambangkan kebahagiaan.
4.3.2. Larangan Menjual Daging
Seperti halnya Kurban, haram hukumnya menjual sedikit pun bagian dari hewan Akikah, termasuk kulit, tulang, atau bagian lainnya. Semua harus dibagikan atau dikonsumsi.
4.3.3. Pembagian dan Porsi
Daging Akikah dapat dibagikan kepada tiga kelompok utama (meskipun pembagian ini fleksibel, tidak seketat Kurban):
- Sepertiga untuk Keluarga: Orang tua, anak, dan keluarga inti disunnahkan memakan sebagian daging Akikah untuk mengambil keberkahan.
- Sepertiga untuk Kerabat dan Tetangga: Dibagikan kepada saudara, kerabat, dan tetangga terdekat, baik yang kaya maupun yang kurang mampu.
- Sepertiga untuk Fakir Miskin: Ini adalah sedekah wajib yang harus sampai kepada mereka yang membutuhkan.
Sebagian ulama juga menganjurkan agar tulang-tulang Akikah tidak dipatahkan, melainkan dilepaskan dari sendinya (diurai). Meskipun ini bukan syarat sah, praktik ini diyakini memiliki hikmah yang berkaitan dengan kesehatan dan kelurusan tulang anak di masa depan. Namun, hadis yang mendasari praktik tidak mematahkan tulang ini termasuk dhaif (lemah), sehingga ini hanya dihitung sebagai anjuran tambahan (istihsan) tanpa mengurangi keabsahan ibadah jika tulang dipatahkan.
V. Hikmah dan Filosofi Mendalam di Balik Akikah
Pelaksanaan Akikah adalah ibadah komprehensif yang memadukan dimensi spiritual, pendidikan, sosial, dan kesehatan. Memahami hikmah di baliknya akan menambah kualitas keikhlasan dalam pelaksanaannya.
5.1. Syukur dan Ketaatan
Akikah adalah perwujudan syukur tertinggi atas karunia keturunan. Dalam perspektif Islam, anak bukanlah sekadar anugerah biologis, melainkan amanah dari Allah SWT. Dengan menyembelih hewan terbaik, orang tua mendeklarasikan ketaatan dan pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah.
Syukur ini harus diiringi dengan niat yang murni. Tanpa niat yang benar, Akikah hanya akan menjadi pesta pora atau tradisi adat semata. Niat yang tulus adalah menjadikan Akikah sebagai pintu gerbang awal bagi anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang Islami dan dilindungi dari segala keburukan.
5.2. Penebusan dan Pembebasan (Gadai)
Konsep ‘tergadai’ (مُرْتَهَنٌ) dalam hadis merupakan pusat filosofi Akikah. Para ulama menafsirkan 'tergadai' dalam beberapa makna:
- Penebusan Rohani: Akikah membebaskan anak dari jeratan setan yang berusaha merusak fitrah keislamannya sejak dini. Akikah adalah perlindungan (tameng) awal.
- Penyempurnaan Syafaat: Anak yang Akikahnya tertunaikan lebih sempurna haknya untuk memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya kelak di hari kiamat.
- Tanggung Jawab Pendidikan: Hadis ini juga dipahami sebagai penekanan bahwa orang tua harus memenuhi hak anak, di mana Akikah adalah salah satunya. Jika hak ini tertunda, maka tanggung jawab pendidikan rohani anak juga terasa belum sempurna.
Intinya, Akikah adalah pemenuhan janji orang tua kepada Allah untuk membesarkan anak dalam bingkai Islam, diawali dengan pengorbanan yang disyariatkan.
5.3. Dimensi Sosial dan Pengumuman Kelahiran
Akikah adalah syiar (pengumuman) yang indah. Ketika daging dibagikan dan kerabat berkumpul, ini adalah cara Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk menyebarkan kabar gembira secara komunal. Ini bukan sekadar sedekah, tetapi juga:
- Penguatan Ukhuwah: Memperkuat ikatan antara orang tua, kerabat, dan masyarakat.
- Pengenalan Anak: Masyarakat mendoakan anak yang baru lahir tersebut, sekaligus mengakui keberadaannya sebagai anggota baru umat.
- Pemerataan Ekonomi: Memberi kesempatan kepada fakir miskin untuk turut menikmati hidangan daging, yang mungkin jarang mereka dapatkan, sehingga kebahagiaan dirasakan merata.
5.4. Hikmah Mencukur Rambut
Pencukuran rambut bayi dan sedekah perak/emas memiliki makna simbolis yang mendalam. Rambut bayi melambangkan kotoran atau sisa-sisa alam rahim. Mencukurnya adalah simbol membersihkan anak secara fisik dan spiritual untuk memulai kehidupan baru. Sedekah seberat timbangan rambut adalah pelajaran penting tentang kepedulian finansial dan berbagi sejak hari-hari awal kehidupan anak. Ini mengajarkan bahwa harta harus dikeluarkan di jalan Allah sebagai wujud syukur.
VI. Diskusi Fiqh dan Isu Kontemporer Akikah
Dalam praktik modern, muncul berbagai pertanyaan dan tantangan yang memerlukan tinjauan fiqh lebih lanjut terkait fleksibilitas dan pelaksanaan Akikah.
6.1. Akikah yang Tertunda Hingga Dewasa
Seperti yang telah dibahas, jika orang tua tidak mampu melaksanakan Akikah hingga anak baligh, maka anjuran tersebut gugur dari orang tua. Namun, bagaimana jika seseorang sudah dewasa dan mengetahui bahwa ia belum diakikahkan? Apakah ia boleh mengakikahkan dirinya sendiri?
Mayoritas ulama kontemporer sepakat bahwa disunnahkan bagi individu dewasa yang belum diakikahkan untuk melaksanakan Akikah bagi dirinya sendiri (Tasyarru'). Hal ini didasarkan pada hadis bahwa Nabi Muhammad SAW mengakikahkan dirinya sendiri setelah menjadi nabi, meskipun hadis ini diperselisihkan keabsahannya. Namun, secara umum, Akikah diri sendiri oleh yang bersangkutan saat dewasa adalah praktik istihsan (dianggap baik) untuk menunaikan Sunnah Nabi dan menyempurnakan amal.
6.2. Akikah Secara Kredit atau Berhutang
Akikah adalah Sunnah Muakkadah yang sangat ditekankan, namun statusnya tetap terikat pada kemampuan (istitha'ah). Apakah diperbolehkan mengambil utang (kredit) untuk melaksanakan Akikah?
- Jika Mampu Melunasi (Tidak Memberatkan): Jika orang tua yakin akan mampu melunasi utang dalam waktu dekat tanpa mengganggu kebutuhan pokok, mengambil utang untuk menunaikan Sunnah Muakkadah ini diperbolehkan dan dianjurkan.
- Jika Tidak Mampu Melunasi (Memberatkan): Jika Akikah harus dilakukan dengan utang yang besar dan membebani kehidupan finansial keluarga hingga mengganggu kebutuhan wajib (nafkah), maka Akikah sebaiknya ditunda. Prioritas dalam Islam adalah memenuhi kewajiban (seperti nafkah dan utang) sebelum melaksanakan Sunnah. Akikah yang tertunda tetap sah dilaksanakan di kemudian hari saat sudah mampu.
Prinsip dasarnya adalah jangan sampai Akikah yang Sunnah menjadi sebab terabaikannya kewajiban yang lebih utama.
6.3. Akikah untuk Anak Adopsi
Akikah adalah tanggung jawab biologis. Jika seorang anak diadopsi, Akikah tetap menjadi tanggung jawab orang tua biologisnya, bukan orang tua adopsi.
Namun, jika orang tua adopsi (yang mengasuh) ingin memberikan hadiah atau sedekah dalam bentuk penyembelihan hewan atas nama anak tersebut (sebagai rasa syukur atas kehadiran anak adopsi), ini adalah amal kebaikan yang pahalanya akan diterima, tetapi secara fiqh, ia tidak menggugurkan anjuran Akikah bagi orang tua biologisnya.
Jika orang tua adopsi sangat ingin memastikan Akikah anak tersebut tertunaikan, mereka boleh memberikannya kepada anak adopsi tersebut sebagai hadiah, dan anak adopsi boleh mengatasnamakannya Akikah, dengan catatan ini dilakukan setelah anak adopsi baligh dan atas inisiatif anak tersebut (seperti Akikah diri sendiri).
6.4. Perbedaan Akikah dengan Nazar
Perlu dibedakan tegas antara Akikah dan Nazar. Akikah adalah Sunnah Muakkadah yang dilaksanakan sebagai bentuk syukur dan ketaatan. Sementara Nazar adalah janji yang diucapkan seseorang kepada Allah SWT untuk melakukan suatu ibadah jika keinginannya tercapai (misalnya, "Jika anak saya lahir selamat, saya akan menyembelih dua ekor kambing").
Jika seseorang bernazar untuk menyembelih hewan pada saat kelahiran anak, maka penyembelihan tersebut menjadi wajib (karena Nazar mengubah hukum dari Sunnah menjadi Wajib). Namun, Nazar ini tidak menggugurkan Sunnah Akikah, meskipun hewan yang disembelih pada saat yang sama boleh diniatkan untuk memenuhi Nazar dan juga Akikah, dengan niat utama adalah menunaikan kewajiban Nazar.
VII. Perencanaan Praktis dan Logistik
Agar pelaksanaan Akikah berjalan lancar, dibutuhkan perencanaan yang matang, terutama dalam hal pemilihan penyedia jasa, pengelolaan anggaran, dan distribusi.
7.1. Memilih Penyedia Jasa Akikah (Layanan Modern)
Seiring berkembangnya zaman, banyak layanan Akikah profesional yang menawarkan kemudahan mulai dari pemilihan hewan, penyembelihan syar'i, hingga pengolahan dan distribusi. Menggunakan jasa ini diperbolehkan asalkan syarat syar'i (seperti usia dan kualitas hewan) terpenuhi, dan yang terpenting, penyedia jasa harus menjamin bahwa:
- Penyembelihan Dilakukan atas Nama Anak: Niat penyembelihan harus secara spesifik ditujukan sebagai Akikah bagi anak yang bersangkutan.
- Hewan Sesuai Syarat: Ada bukti atau jaminan bahwa hewan yang disembelih memenuhi usia dan bebas cacat.
- Pengolahan Daging: Daging dimasak dan didistribusikan sesuai dengan Sunnah (dalam bentuk masakan).
Menggunakan jasa ini dapat meringankan beban orang tua, terutama di perkotaan di mana penyembelihan di rumah sulit dilakukan. Namun, disarankan orang tua tetap hadir menyaksikan penyembelihan atau memastikan prosesnya didokumentasikan, sebagai wujud pelaksanaan ibadah secara langsung.
7.2. Anggaran dan Prioritas Finansial
Akikah memerlukan alokasi dana yang tidak sedikit. Orang tua disarankan mulai menabung sejak masa kehamilan. Dalam menyusun anggaran, prioritaskanlah:
- Biaya Pokok Hewan: Jangan mengorbankan kualitas hewan demi mencari harga termurah. Pilih hewan yang memenuhi syarat minimal.
- Biaya Pengolahan: Biaya memasak dan bumbu harus dihitung, karena Akikah disunnahkan dimasak.
- Biaya Distribusi dan Sedekah Rambut: Hitung biaya pengiriman makanan dan nilai sedekah perak/emas untuk pencukuran rambut.
Jika anggaran sangat terbatas, lebih baik memilih satu ekor kambing yang berkualitas baik untuk anak laki-laki daripada memaksakan dua ekor dengan kualitas yang meragukan atau memaksakan utang yang memberatkan.
7.3. Etika dan Kebersihan Penyembelihan
Aspek etika (ihsan) dalam penyembelihan sangat ditekankan. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk berbuat baik terhadap hewan yang akan disembelih. Ini meliputi:
- Memberi makan dan minum hewan sebelum penyembelihan.
- Menajamkan pisau di luar pandangan hewan.
- Menyembelih dengan cepat dan pasti.
- Tidak menyembelih satu hewan di hadapan hewan lainnya.
Memastikan kebersihan tempat penyembelihan dan pengolahan juga merupakan bagian integral dari pelaksanaan syariat yang sempurna, terutama jika acara Akikah dilakukan di lingkungan rumah atau masjid.
VIII. Analisis Mendalam Fiqh Akikah (Tinjauan Mazhab)
Untuk melengkapi panduan ini, kita perlu merinci perbedaan pandangan mazhab (fuqaha) secara lebih detail, terutama yang berkaitan dengan hal-hal teknis yang sering dipertanyakan umat Islam.
8.1. Mengapa Dua Kambing untuk Anak Laki-laki?
Hukum dua kambing untuk anak laki-laki adalah Sunnah, bukan kewajiban, namun sangat dianjurkan (Sunnah Muakkadah). Ini didasarkan pada hadis Ummu Kurz Al-Ka'biyyah, yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Akikah, dan beliau menjawab: "Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sepadan, dan untuk anak perempuan satu ekor kambing."
Penafsiran Fiqh: Mayoritas ulama melihat perbedaan jumlah ini sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Nabi SAW, yang secara umum memberikan keutamaan yang lebih besar kepada anak laki-laki dalam beberapa hukum (seperti warisan). Dua ekor kambing melambangkan nilai pengorbanan yang lebih besar, sejalan dengan potensi tanggung jawab yang lebih besar pula di masa depan.
8.2. Status Mematahkan Tulang Akikah (Khilafiyah)
Sebagaimana disinggung sebelumnya, isu mematahkan atau tidak mematahkan tulang Akikah sering menjadi perdebatan. Pandangan ini didasarkan pada tradisi ulama salaf yang meyakini bahwa menjaga keutuhan tulang (tidak mematahkannya) adalah simbol dari keinginan agar anak tersebut tumbuh dengan anggota tubuh yang sehat dan tidak patah.
Pandangan Mazhab:
- Mazhab Syafi'i: Umumnya menganjurkan (istihsan) agar tulang tidak dipatahkan, meskipun jika dipatahkan, Akikah tetap sah. Anjuran ini didasarkan pada hadis yang lemah, namun diamalkan para ulama untuk mengambil kehati-hatian.
- Mazhab Hanbali: Juga berpendapat serupa, yaitu sunnah untuk tidak mematahkan tulang, melainkan memotong daging di setiap sendi.
- Pandangan Modern: Banyak ulama modern berpendapat bahwa karena dalilnya lemah dan hadis utama Akikah tidak menyebutkan syarat ini, maka mematahkan tulang tidak memengaruhi keabsahan Akikah sama sekali. Fokus utama adalah pembagian daging yang bermanfaat.
8.3. Hukum Memakan Daging Akikah oleh Keluarga
Berbeda dengan Kurban Wajib (Nazar), di mana yang bernazar dilarang memakan dagingnya, dalam Akikah yang Sunnah Muakkadah, keluarga inti (orang tua, anak, dan kerabat) tidak hanya diperbolehkan, tetapi disunnahkan untuk memakan sebagian daging Akikah. Tujuannya adalah untuk turut merasakan keberkahan dan kebahagiaan dari ibadah tersebut.
Persentasenya fleksibel, namun yang utama adalah memastikan porsi untuk fakir miskin dan masyarakat terpenuhi. Tidak ada pembatasan khusus seberapa banyak keluarga boleh makan, asalkan kebiasaan masyarakat setempat yang adil tetap dipertahankan.
8.4. Akikah untuk Anak yang Meninggal Dunia
Jika seorang anak meninggal sebelum hari ketujuh, apakah Akikah masih disunnahkan? Ulama berpendapat bahwa jika anak meninggal sebelum penyembelihan sempat dilakukan, maka Akikah gugur. Sebab, Akikah adalah ibadah yang terikat waktu (hari ketujuh). Jika waktunya belum tiba dan anak sudah meninggal, maka anjuran tersebut hilang.
Namun, jika Akikah sudah diniatkan dan direncanakan, dan anak meninggal di hari ketujuh sebelum penyembelihan, orang tua masih boleh menyembelih sebagai bentuk penghormatan dan penggenapan niat baik. Meskipun demikian, secara hukum fiqh, penyembelihan setelah kematian anak bukanlah kewajiban.
IX. Penutup: Penguatan Niat dan Keberkahan
Mengakikahkan anak adalah ibadah yang mulia, sebuah gerbang spiritual yang menandai dimulainya perjalanan hidup seorang Muslim. Proses ini adalah cerminan dari kesadaran orang tua terhadap hak-hak anak dan ketaatan kepada syariat Nabi Muhammad SAW.
Bagi setiap orang tua yang diberi rezeki anak, jadikanlah Akikah sebagai prioritas setelah memenuhi kebutuhan wajib. Laksanakan Akikah dengan niat yang murni, bukan untuk pamer kemewahan atau sekadar mengikuti adat. Fokus utama harus selalu pada aspek ibadah: bersyukur kepada Allah, memohon perlindungan bagi anak, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Jika kemampuan finansial belum mencukupi pada hari ketujuh, tidak perlu berkecil hati. Islam memberikan kelonggaran waktu (hari ke-14, ke-21, atau kapan pun saat mampu). Penundaan Akikah karena alasan ketidakmampuan tidak mengurangi pahala niat baik orang tua, asalkan kewajiban primer (seperti nafkah dan hutang) telah terpenuhi. Pada akhirnya, keberkahan Akikah bukan terletak pada kemegahan acaranya, tetapi pada keikhlasan hati orang tua dalam menunaikan Sunnah Nabi SAW.
Semoga setiap upaya mengakikahkan anak yang dilakukan umat Islam menjadi amal jariyah yang membawa keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, serta menjadikan anak-anak kita generasi yang saleh dan salihah.